MASAIL FIQIYAH AL-HADISAH
HUKUM DONOR DARAH
DOSEN PENGAMPU :
ABU BAKAR, M. Si
OLEH :
MARYAMATUL MUNAWWARAH
JURUSAN KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
HUKUM
DONOR DARAH
Syari’at
Islam telah membahas segala urusan manusia, termasuk masalah-masalah
kontemporer yang belum dikenal pada zaman dahulu. Di antara masalah kontemporer
tersebut adalah donor darah, masalah ini cukup penting untuk kita kaji karena
sebagian kaum muslimin terkadang bersinggungan dengan tranfusi darah. Bisa jadi
dia membutuhkan darah atau dia hams “mendo-nasikan darahnya” untuk saudaranya.
Terlebih lagi masalah ini menyangkut banyak hukum yang berkaitan dengannya.
Donor
darah adalah proses pengambilan darah dari seseorang secara sukarela untuk
disimpan di bank darah untuk kemudian dipakai pada transfusi darah, donor darah
biasa dilakukan rutin di pusat donor darah lokal dan setiap beberapa waktu akan
dilakukan acara donor darah di tempat-tempat keramaian, misalnya di pusat
perbelanjaan, kantor perusahaan besar, tempat ibadah, serta sekolah dan
universitas.
Pada
acara ini, para calon pendonor dapat menyempatkan datang dan me-nyumbang tanpa
pergi jauh atau dengan perjanjian, selain itu sebuah mobil darah juga dapat
digunakan untuk dijadikan tempat me-nyumbang. Biasanya bank darah memiliki
banyak mobil darah. Untuk dapat menyumbangkan darah, seorang donor darah harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
·
Calon donor berusia 17-60 tahun
·
Berat badan minimal 45 kg
·
Tekanan darah l00-180 (sistole)
dan 60-100 (di-astole)
·
Menandatangani formulir
pendaftaran
·
Lulus pengujian kondisi berat
badan, hemoglo-bin, golongan darah, dan pemeriksaan dokter
·
Untuk menjaga kesehatan dan
keamanan da-rah, calon donor tidak boleh dalam kondisi menderita sakit seperti
alkoholik, penyakit hepatitis, diabetes mellitus, epilepsi, atau kelompok
masyarakat risiko tinggi mendapatkan AIDS serta mengalami sakit seperti demam
atau influenza.
Donor
darah juga memberikan manfaat kesehatan bagi sang pendonor. Setidaknya, ada
lima manfaat kesehatan yang bisa kita rasakan :
·
Menjaga kesehatan jantung
·
Meningkatkan produksi sel darah
merah
·
Membantu penurunan berat tubuh
·
Mendapatkan kesehatan
psikologis
·
Mendeteksi penyakit serius
Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Aali rahimahullah secara khusus memaparkan hukum donor
darah yaitu ada tiga hal yang harus dibicarakan untuk menjawab pertanyaan di
atas : Pertama, Siapakah orang yang menerima darah yang didonorkan itu ? Kedua,
Siapakah orang yang mendonorkan darahnya itu ? dan Ketiga, Instruksi siapakah
yang dipegang dalam pendonoran darah itu ?
Hal
pertama : Yang boleh menerima darah yang didonorkan adalah orang yang
berada dalam keadaan kritis karena sakit ataupun terluka dan sangat memerlukan
tambahan darah. Dasarnya adalah firman Allah Ta'ala QS. Al-Baqaroh : 173.
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
Artinya
: “Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang
siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”.
Dalam
ayat lain Allah juga berfirman yaaitu QS. Al-An’am : 119 yang artinya : “Dan
sungguh telah dijelaskan kepadamu apa-apa yang diharamkan atasmu kecuali yang
terpaksa kamu memakannya”.
Bentuk
pengambilan dalil dari ayat di atas bahwasanya jikalau keselamatan jiwa pasien
karena sakit atau luka sangat tergantung kepada darah yang didonorkan oleh
orang lain dan tidak ada zat makanan atau obat-obatan yang dapat
menggantikannya untuk menyelamatkan jiwanya maka dibolehkan mendonorkan darah
kepadanya. Dan hal itu dianggap sebagai pemberian zat makanan bagi si pasien
bukan sebagai pemberian obat. Memakan makanan yang haram dalam kondisi darurat
boleh hukumnya, seperti memakan bangkai bagi orang yang terpaksa memakannya.
Sedangkan
hal kedua : Boleh mendonorkan darah jika tidak menimbulkan bahaya dan
akibat buruk terhadap si pendonor darah, berdasarkan hadits Nabi SAW : “Tidak
boleh melakukan sesuatu yang membahayakan jiwa dan tidak boleh pula
membahayakan orang lain”.
Dan
hal ketiga : Instruksi yang dipegang dalam pendonoran darah itu adalah
instruksi seorang dokter muslim. Jika tidak ada, maka kelihatannya tidak ada
larangan mengikuti instruksi dokter non muslim, baik dokter itu Yahudi, Nasrani
ataupun selainnya, dengan catatan ia adalah seorang yang ahli dalam bidang
kedokteran dan dipercaya banyak orang. Dasarnya adalah sebuah riwayat dalam
kitab Ash-Shahih, bahwasanya Rasulullah menyewa seorang lelaki dari Bani
Ad-Diel sebagai “khirrit”, sementara ia masih memeluk agama kaum kafir Quraisy.
Khirrit adalah penunjuk jalan yang mahir dan mengenal medan. (H.R Al-Bukhari No
: 2104).
Hukum
bolehnya donor darah ini tidak ada perbedaan antara muslim dengan non muslim,
maka boleh seorang mendonorkan darahnya untuk orang non muslim atau menerima
donor dari non muslim. Hal ini berdasarkan beberapa firman Allah QS.
al-Mumtahanah : 8-9
w â/ä38yg÷Yt ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ã Îû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøä `ÏiB öNä.Ì»tÏ br& óOèdry9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍkös9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ $yJ¯RÎ) ãNä39pk÷]t ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNä.qè=tG»s% Îû ÈûïÏd9$# Oà2qã_t÷zr&ur `ÏiB öNä.Ì»tÏ (#rãyg»sßur #n?tã öNä3Å_#t÷zÎ) br& öNèdöq©9uqs? 4 `tBur öNçl°;uqtFt Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÒÈ
Artinya
: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai
kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Oleh
karena itu Allah tidak melarang kita untuk berbuat baik kepada orang-orang
kafir yang tidak memerangi kaum muslim. Dan di antara bentuk berbuat baik kepada
mereka adalah dengan mendonorkan darah kita untuk mereka pada saat mereka
membutuhkannya.
D.
Hukum
Menjual Darah Untuk Kepentingan Transfusi
Jual beli termasuk salah satu sistem ekonomi Islam.
Dalam Islam, ekonomi lebih berorientasi kepada nilai-nilai logika, etika, dan
persaudaraan, yang kehadirannya secara keseluruhan hanyalah untuk mengabdi
kepada Allah. Lalu bagaimanakah hukum menjual darah untuk kepentingan
transfusi?
Dalam hadits Jabir yang diriwayatkan dalam kedua kitab
shahih, Bukhari dan Muslim. Jabir berkata yang artinya sebagai berikut:[4] “Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan
memperjualbelikan khamar, bangkai, babi dan berhala. (lalu Rasulullah ditanya
para sahabat), bagaimana (orang Yahudi) yang memanfaatkan minyak bangkai yang
mereka pergunakan untuk memperbaiki kapal dan mereka gunakan untuk menyalakan
lampu? Rasul menjawab, semoga Allah melaknat orang Yahudi, diharamkan minyak
(lemak) bangkai bagi mereka, mereka memperjualbelikannya dan memakan
(hasil) harganya”.
Hadits Jabir ini menjelaskan tentang larangan menjual
najis, termasuk didalamnya menjual darah, karena darah juga termasuk najis
sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Al-Maidah : 3.
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosqè%öqyJø9$#ur èptÏjutIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur @x.r& ßìç7¡¡9$# wÎ) $tB ÷Läêø©.s $tBur yxÎ/è n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºs î,ó¡Ïù 3 tPöquø9$# }§Í³t tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. `ÏB öNä3ÏZÏ xsù öNèdöqt±ørB Èböqt±÷z$#ur 4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøxC uöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b} ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÈ
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan, pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Menjual darah untuk kepentingan transfusi
diperbolehkan asalkan penjualan itu terjangkau oleh yang menerima bantuan
darah, karena yang menjual darah atau donor memerlukan tambahan gizi untuk
kembali memulihkan kondisi tubuhnya sendiri setelah darahnya didonorkan,
tentunya untuk memperoleh gizi tambahan tersebut memerlukan biaya.
Demikian juga apabila darah itu dijual kepada suatu
Bank Darah atau Yayasan tertentu yang bergerak dalam pengumpulan darah dari
para donor, ia dapat meminta bayaran dari yang menerima darah, agar Bank Darah
atau yayasan tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan lancar. Dana tersebut
dapat dipergunakan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan dalam tugas oprasional
Bank Darah dan Yayasan, termasuk gaji dokter, perawat, biaya peralatan medis
dan perlengkapan lainnya, akan tetapi bila penjualan darah itu melampaui batas
kemampuan pasien untuk tujuan komersial, jelas haram hukumnya.
REFERENSI
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (ed.). 2002. Problematika Hukum Islam
Kontemporer Cet. 3, Jakarta : PT. Pustaka
Firdaus
www.ilhamkizaru.blogspot.com/2011/06/hukum-donor-darah-menurut-islam.html,
akses tanggal 30 Juni 2014
[1]www.ilhamkizaru.blogspot.com/2011/06/hukum-donor-darah-menurut-islam.html,
akses tanggal 30 Juni 2014
[2] Op. Cit
[3] www.binbaz.org.sa/mat/17465, akses tanggal 30
Juni 2014
[4] Chuzaimah
T. Yanggo dan Hafiz Anshary (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002) Cet. 3, hlm. 58