Sabtu, 05 Maret 2016

BID’AH AMBIYA

MASAIL FIQIYAH AL-HADISAH
BID’AH AMBIYA


DOSEN PENGAMPU :
ABU BAKAR, M. Si




OLEH :
MARYAMATUL MUNAWWARAH


JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM  (KPI)
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014

KATA KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan dan membuka lebar mata kita semua dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang terang benderang yakni addinul Islam.
Dan terimaksih kepada dari saya terhadap bahan rujukan yang saya ambil dari buku, internet dan program-program Al-qur’an.
Tak lupa kepada bapak dosen yang telah membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang diberikan oleh beliau. Terima kasih juga kepada segenap teman-teman seperjuangan yang ikut membantu mencari bahan dalam tugas makalah ini.









A.    Pengertian Bid’ah
1.      Kata dasar kata bid’ah
Bid’ah berasal dari kata Al-badi’u dan Al-bad’u dan secara etimologi berarti sesuatu hasil cipta yang tidak pernah di buat terdahulunya atau sebelumnya. Bentuk muannast dari al-bid’u adalah Al-bid’ah atau bentuk masdar haiah dari lafal al-ibtida’. Adapun artinya ialah bentuk dari hasil cipta dan inisiatif pertama bagi sebuah kerajian, ideologi, dan kisah yang berkaitan dengan masalah agama serta masalah dunia.
Dipahami dari sudut etimologi di atas bid’ah ini mencakup hasil karya yang baik maupun yang buruk. Dilihat dari kata Sunnah seperti halnya kata luqmah yang ukhlah yang berwazan Fu’lah merupakan bentuk masdar dari kata sanna yang berarti ‘melawati atau menyssuri jalan’. Sunnah seseorang dalam arti etimologis ialah ‘jalan yang dilewati oleh seseorang atau cara yang dilalui oleh suatu kebiasaan masayarakat dalam segi agama atau segi lainnya, terpuji atau tidak’. Beranjak dari sisni maka sunnah dalam Islam ada yang baik dan ada yang buruk.
Di sini ada dua hadis yang berbunyi:
a.       Barang siapa yang merintis di dalam Islam suatu perjalanan yang baik (HR. Muslim)
b.      Barang siapa yang merintis di dalam Islam perjalanan yang buruk (HR. Muslim)
Dengan istilah lain, orang tersebut merintis suatu jalan (jalan baik maupun jalan buruk) untuk di tiru oleh masyarakat.
Dari penjalsan tadi dapat ditarik pengertian bahwa konsep etimologi memberikan ari ‘jalan’ atau ‘cara baru’ pada bid’ah dilihat dari sdut di mana tidak didahului oleh karya sebelumnya. Begitu pula dengan ‘sunnah’. Ia dilihat dai sudut perjalanan peletaknya dalam sisi teritorial yang berpengaruh terhadap pola pikir dan kebiasaan masyarakat.



2.      Bid’ah dalam terminologi Syariat.
Kata sunnah dan bid’ah dalam makna terminologi syariat menjadi makna yang sanagt rumit jika dibandingkan dengan konsepsi etimologis. Dalam syariat Islam, keduanya hampir tidak dipermasalahkan dalam urusan dunia secar khusus. Bid’ah dan Sunnah secara khusus lebih ditajamkan kedalam prihal agama.
Lebih dari itu jika salah satu dari bid’ah dan sunnah tidak mempunyai konteks ( qarinah) apa pun maka menurut para ulama, yang dimaksud adalah Shalafus Shalih yang menjadi karekteritik sunnah, bertolak jauh dari ati bid’ah.
Kata sunnah secara hakikat syariat dalam periode awal tidak mencakup jalan atau unsur keagamaan sama sekali, kecuali ia adalah perbuatan yang benar. Kebenarannya dapat di ukur dari ajaran yang telah ditulis dalam Al-qur’an yang dijelaskan oleh Rasulullah dalam kehidupan nyata, baik yang berupa nash maupun Istinbath. Begitu pula dengan kata bid’ah, pada hakikatnya tidak mencakup apapun kecuali perbuatan yang jelas-jelas batil dan sesat. Kesesatannya dapat diukur dengan perbuatan yang dikerjakan dengan tanpa bersandar  pada Al-Qur’an, Sunnah, dan ketetapan hukum yang telah digali dari keduanya melalui istinbath. Oleh kerenanya kecaman terhadap bid’ah berulang kali dalam bentuk umum dan menyeluruh, seperti dalam hadis dibawah ini:

وإيا كم ومحد ثا ت الأ مورفإ ن كل محد ثة بد عة وكل بدعة ضـلا لة

Hati-hatilah dengan hal-hal yang diperbarukan  kerena setiap hal yang diperbarukan itu bid’ah, sedang setiap bid’ah itu adalah sesat. (HR. Turmudzi)

Sementara ulama syariat setelah periode awal terbagi kedalam dua kelompok.
1)      Kelompok yang berhenti pada terminologi syariat di atas secara utuh tanpa menambah atau mengurangi.
2)      Kelompok yang melewatkan arti sunnah pada pengkhususan  ketiga, yaitu mengembalikan arti bid’ah pada makna secar lebih luas yang mendekati arti bahasa. Lafal sunnah dalam persepsi mereka di artikan sebagai jalan atau tata cara agama yang sudah berlaku secara mapan sejak zaman Sabi saw. adapun lafal bid’ah diartikan sebagai setiap hal baru yang tidak dikenal keberadaannya di zaman Rasulullah saw, baik yang dilakukan pada zaman sahabat maupun sesudahnya, baik secara ligitimitas mempunyai sandaran yang sah dari dalil syariat maupun tidak.
                                               
3.      Pengertian bid’ah menurut beberapa ulama
Terkait masalah pengertian bid’ah penulis merujuk pada dua ulama imam besar dari tokoh ahli hadis ternama, yaitu:
a.       Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Bid’ah adalah apa yang diciptakan dengan tidak berlandasan syariat yang sah untuk digunakan. Dan jika mempunyai dasar syariat yang sah, bukanlah bid’ah, meskipun dalam segi bahasa dapat dinamakan bid’ah.
b.      Syekh Muhammad Bukhait Al-Muth’i, mantan mufti Mesir di dalam risalahnya tentang bid’ah beliau berkata, “setiap hukum jika  telah diambil dali salah satu dalil empatsecar jelas atau secara ijtihady (melalui proses ijtihad) dengan jalan yang shahih (benar) maka itulah hukum Allah yang disyariatkan dan petunjuk Muhammad saw. yang oleh Allah kita diperintahkan untuk mengikutinya. Jika tidak diambil dari salah satunya, baik berupa ilmu maupun yang lain, itu adalah bid’ah, sesat, dan mengada-ada sesuatu dan semestinya bukan termaksuk agama. Tidak harus apa yang belum dilaksanakan pada masa Rasulullah saw. dan baru mucul pada masa berikutnya, dihukumi bid’ah tercela dalam syariat. Andaipun bisa dikatan sebagai amalan bid’ah, mungkin hanya bid’ah dari sudut bahasa. Dengan demikina maka bid’ah meempunyia beberapa hukum syariat,, kadang fardu, wajib, sunnah, mubah, mandumubah, muharramah, dan  makruuhah, baik makruh tahrim maupun tanzih.

B.     Bentuk-bentuk bid’ah
Lafal ibtida’ berati menciptakan sesuatu yang belum pernah terjadi, atau katakanlah menciptakan bid’ah, mempunyai konotasi terhadap penciptaan hal baru dalam agama tanpa konstruksi dasar dari peraturan syariat sebelumnya.
Adapun yang termasuk kedalam bid’ah ialah:
a.       Setiap amalan yang pelakunya memakai sandaran hadis maudhu’, seperti menari di saat melakukan zikir yang diriwayatkan dari hadis maudhu’.
b.      Meninggalkan sesuatu yang diperbolehkan kerena diduga sebagai taat beragama. Bid’ah semacam ini dinamakan bid’ah at-tarkiyyah.
c.       Tradisi yang dilakukan oleh sebagian ahli tasawuf terkait kehuzudannya, yaitu memakai baju yang terbuat dari beberapa potongan kain yang disebut murraqqa’ah.
d.      Bid’ah yang paling buruk, adalah amalan yang ditaruh sebagai peganti sunnah, seperti shalat istikharah diganti dengan membaca Al-Qur’an atau mengucapkan doa tertentu sebagai penggantinya.
e.       Bid’ah yang paling berbahaya adalah membelanjakan harta untuk selain kebutuhan yang semestinya, seperti untuk dibelikan lilin kemudian dibakar dimakam para wali dengan niatan mendekatkan diri pada Allah (qurbah).
f.       Bid’ah yang terburuk adalah pelanggaran terhadap syariat dengan pola yang diserukan dalam menegakkan sekularisme untuk menolak senjata, pasukan atau pengendalian dari terlaksananya syariat, baik dalam skala kecil maupun besar.

C.    Macam-macam bid’ah
Adapun macam-macam bid’ah ialah :
a.       Bid’ah Hasanah (yang baik)
Setiap praktik yang mempunyai  legitimitas (perihal atau keadaan sah; keabsahan secara hukum)  dari dalil Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas termasuk dalil-dalil yang diimbau oleh Al-Qur’an dan Sunnah, itulah bid’ah yang baik walaupun belum pernah dijumpai pada zaman Rasulullah saw.
b.      Bid’ah Sayyi’ah (yang buruk)
Setiap bid’ah yang tidak mempunyai legitimitas dari dalil yang diakui dalam perspektif syariat, itulah bid’ah tercela walaupun pencetusnya memberikan banyak dukungan melalui berbagai intrepretasi.
Imam Syafi’i (1150-204) dalam sebuah riwayat mengatakan “Bid’ah” itu ada dua: bid’ah terpuji (mahmudah) dan bid’ah tercela (madzmumah). Suatu perbuatan yang sudah sesuai dengan Sunnah, itulah bid’ah terpuji, sedangkan suatu perbuatan yang bertentangan dengannya, itrulah bid’ah tercela.


HUKUM MUSIK DAN NYANYIAN
A.    Pandangan Al-Qur’an dan Sunnah
Allah SWT berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ -٦-
"Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan." (Luqman: 6)
Sebagian besar mufassir berkomen-tar, yang dimaksud dengan lahwul hadits dalam ayat tersebut adalah nyanyian. Hasan Al Basri berkata, ayat itu turun dalam masalah musik dan lagu. Allah berfirman kepada syaiton: "Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu." Maksudnya dengan lagu (nyanyian) dan musik.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
"Kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras dan musik." (HR. Bukhari dan Abu Daud)

Dengan kata lain, akan datang suatu masa di mana beberapa golongan dari umat Islam mempercayai bahwa zina, memakai sutera asli, minum-minuman keras dan musik hukumnya halal, padahal semua itu adalah haram.
Adapun yang dimaksud dengan musik di sini adalah segala sesuatu yang menghasilkan bunyi dan suara yang indah serta menyenangkan. Seperti kecapi, gendang, rebana, seruling, serta berbagai alat musik modern yang kini sangat banyak dan beragam. Bahkan termasuk di dalamnya jaros (lonceng, bel, klentengan).
"Lonceng adalah nyanyian syaiton." (HR. Muslim)

Padahal di masa dahulu mereka hanya mengalungkan klentengan pada leher binatang. Hadits di atas menunjukkan betapa dibencinya suara bel tersebut. Penggunaan lonceng juga berarti menyerupai orang-orang nasrani, di mana lonceng bagi mereka merupakan suatu yang prinsip dalam aktivitas gereja.

Imam Syafi'i dalam kitabnya Al Qadha' berkata: "Nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci, bahkan menyerupai perkara batil. Barangsiapa memperbanyak nyanyian maka dia adalah orang dungu, syahadat (kesaksiannya) tidak dapat diterima."
B.     Bagaimana Hukum Musik Dan Nyanyian Menurut Islam
Pertanyaab serupa ini seringkali diajukan oleh banyak orang dalam berbagai kesempatan. Suatu pertanyaan yang saat ini dijawab secara beragam oleh mayoritas kaum muslimin, yang kemudian membawa poerbedaan perilaku dalam menyikapinya.
a.       Mereka beranggapan bahwa hal itu boleh-boleh saja, dan sebagai bagian dari kebahagian hidup yang dihalalkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya.
b.      Mereka beranggapan bahwa musik dan nyanyian itu adalah suara setan dan perkataan tiada guna yang dapat mengahalang-halanginya dari mengingat Allah dan Shalat. Mereka mengemukankan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis, serta pendapat-pendapat para ulama. Diantara mereka ada yang yang menolak suara musik, sekalipun sekedar untuk mengiringi siaran berita.
c.       Mereka yang bersikap ragu-ragu. Sekali waktu condong pada yang a dan pada saat lain condong kepada yang b. Di sini mereka menunggu jawaban-jawaban yang memuaskan dari para ulama-ulam Islam dalam masalah yang sensitif ini (masalah yang berhubungan dengan perasaan dan kehidupan mereka sehari-hari).
Nyanyian baik disertai musik maupun tidak telah menimbul perdebatan sengit dan pembicaraan panjang dikalangan para ulama sejak terdahulu. Mereka sepakat dalam beberapa masalah, tetapi masih berselisih pendapat dalam beberapa masalah yang lain.
Mereka sepakat atas haramnya nyanyian yang berisi kata-kata kotor dan jorok. Pada dasarnya, nyanyian itu tidak lain adalah perkataan. Oleh kerena itu, ia akan baik bila disusun dengan kata-kata yang baik dan ia akan jelek bila dirangkai dengan kata-kata yang jelek. Jadi perkataan yang kandungan isinya haram, maka haram pula hukumnya.
C.    Pada Asalnya, Hukum sesuatu Itu Boleh
Disini para ulam telah membuat ketetapan, pada asalnya, sesuatu (yang bersifat duniawi) itu boleh hukumnya. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah Swt.
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semua (al-Baqarah : 29)
Tidak ada sesuatu yang diharamkan kecuali berdsarkan teks hukum yang benar (shahih) dan jelas ( Sharih) dari Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma. Apabila suatu masalah tidak didapatkan pengharamannya pada teks Qur’an, Sunnah atau ijma, atau ada teks nya yang jelas tetapi tidak benar dan sebaliknya, benar tetapi tidak jelas, maka hal tersebut tidak mempengaruhi kebolehan hukumnya, dan tetap ia dalam ruang lingkup kemaafan yang luas. Allah Swt berfirman:
ôs%ur Ÿ@¢Ásù Nä3s9 $¨B tP§ym öNä3øn=tæ žwÎ) $tB óOè?ö̍äÜôÊ$# Ïmøs9Î) 3
Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya (melakukannya). (Al-An’am: 119)
Rasulullah Saw bersabda:
Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal, apa yang Allah haramkan adalah haram, dan apa yang Allah diamkan berarti dimaafkan, maka terimalah kemaafan dari Allah, kerena susungguhnya Allah tidak lupa terhadap sesuatu pun.
Kemudian beliau membaca ayat Al-Qur’an.
Dan tidaklah sekali-kali Rabb-mu itu lupa (Maryam: 64)
(HR. Al-Hakim, dari Abu Darfa’, dan ia menshahihkannya, juga diriwayatkan oleh Al-Bazzar)
Beliau Saw bersabda lagi,
Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kamu menyia-nyiakannya. Dia telah menentukan sanksi-sanksi, maka janganlah kamu melanggarnya. Dia juga membiarkan banyak persoalan kerena kasih sayang-Nya kepada kalian, bukan kerena lupa, maka jangannlah kamu mencari-carinya. (HR. Daruquthni, dari Abu Tsa’labah, dan di hasan oleh al-Hafizh Abu Bakar as-Sama’ni dalam kitabnya Amali, dan Imam Nawawi daalm kitabnya Al-Arba’in)

D.    Nyanyian di masa kini
Kebanyakan lagu dan musik pada saat ini di adakan dalam berbagai pesta juga dalam tayangan televisi dan siaran radio. Mayoritas lagu-lagunya berbicara tentang asmara, kecantikan, ketampanan dan hal lain yang lebih banyak mengarah kepada problematika biologis, sehingga membangkitkan nafsu birahi terutama bagi kawula muda dan remaja. Pada tingkat selanjutnya membuat mereka lupa segala-galanya sehingga terjadilah kemaksiatan, zina dan dekadensi moral lainnya.
Lagu dan musik pada saat ini tak sekedar sebagai hiburan tetapi sudah merupakan profesi dan salah satu lahan untuk mencari rizki. Dari hasil bernyanyi, para biduan dan biduanita bisa membangun rumah megah, membeli mobil mewah atau berwisata keliling dunia, baik sekedar jalan-jalan atau untuk pentas dalam sebuah acara pesta musik.
Tak diragukan lagi hura-hura musik baik dari dalam atau manca negara sangat merusak dan banyak menimbulkan bencana besar bagi generasi muda. Lihatlah betapa setiap ada pesta kolosal musik, selalu ada saja yang menjadi korban. Baik berupa mobil yang hancur, kehilangan uang atau barang lainnya, cacat fisik hingga korban meninggal dunia. Orang-orang berjejal dan mau saja membayar meski dengan harga tiket yang tinggi. Bagi yang tak memiliki uang terpaksa mencari akal apapun yang penting bisa masuk stadion, akhirnya merusak pagar, memanjat dinding atau merusak barang lainnya demi bisa menyaksikan pertunjukan musik kolosal tersebut.
Jika pentas dimulai, seketika para penonton hanyut bersama alunan musik. Ada yang menghentak, menjerit histeris bahkan pingsan karena mabuk musik. Para pemuda itu mencintai para penyanyi idola mereka melebihi kecintaan mereka kepada Allah Ta'ala yang menciptakannya, ini adalah fitnah yang amat besar.
Semua nyanyian itu hampir sama, bahkan hingga nyanyian-nyanyian yang bernafaskan Islam sekalipun tidak akan lepas dari kemungkaran.

E.     Nyanyian yang diperbolehkan:
Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan yaitu:
1.      Bernyanyi pada hari raya.
Hal itu berdasarkan hadits A'isyah: "Suatu ketika Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam masuk ke bilik 'Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata: "... dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi."), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah malah bersabda: "Biarkanlah mereka karena sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini." (HR. Bukhari)
2.      Menyanyi dengan rebana
ketika berlangsung pesta pernikahan, untuk menyemarakkan suasana sekaligus memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara (lagu) pada saat pernikahan." (Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud di sini adalah khusus untuk kaum wanita.
3.      Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa diiringi dengan musik)
yang disenandungkan saat bekerja sehingga bisa lebih membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya terdapat do'a. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyenandungkan sya'ir Ibnu Rawahah dan menyemangati para sahabat saat menggali parit.
4.      Nyanyian yang mengandung pengesaan Allah,
kecintaan kepada Rasululah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan menyebutkan sifat-sifat beliau yang terpuji; atau mengandung anjuran berjihad, teguh pendirian dan memper-baiki akhlak; atau seruan kepada saling mencintai, untuk menolong di antara sesama; atau menyebutkan beberapa kebaikan Islam, berbagai prinsipnya serta hal-hal lain yang bermanfaat buat masyarakat Islam, baik dalam agama atau akhlak mereka.
Di antara berbagai alat musik yang diperbolehkan hanyalah rebana. Itupun penggunaannya terbatas hanya saat pesta pernikahan dan khusus bagi para wanita. Kaum laki-laki sama sekali tidak dibolehkan memakainya. Sebab Rasul Shallallahu 'Alahih Wasallam tidak memakainya, demikian pula halnya dengan para sahabat beliau.
Orang-orang sufi memperbolehkan rebana, bahkan mereka berpendapat bahwa menabuh rebana ketika dzikir hukumnya sunnat, padahal ia adalah bid'ah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah. dan setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Turmudzi, beliau berkata: hadits hasan shahih).
















Daftar Pustaka

Ahmad Zaki Mubarok, Mualimin Muntari, Sunnah Dan Bid’ah, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, 2011.
Al-Kalam, CV Diponegoro, 2009, Bandung.
Ebta Setiawan, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Offline, 2010
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza ‘iri, Minhajul Muslim (Konsep Hidup Ideal Dalam Islam), Darul Haq, Jakarta, 2011
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Rasa'ilut Taujihat Al Islamiyah, PDF, 2011.
///http.blogspot.com, Elvira Suryani. Hukum Musik dan Nyanyian Dalam Pandangan Islam. 07-03-2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar