MASAIL FIQIYAH AL-HADISAH
BID’AH AMBIYA
DOSEN
PENGAMPU :
ABU BAKAR, M. Si
OLEH
:
MARYAMATUL MUNAWWARAH
JURUSAN KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS
USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
KATA KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta inayah-Nya sehingga saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan
makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW, yang telah menunjukkan dan membuka lebar mata kita semua dari zaman
jahiliyyah menuju zaman yang terang benderang yakni addinul Islam.
Dan terimaksih kepada dari saya terhadap bahan rujukan yang saya ambil dari
buku, internet dan program-program Al-qur’an.
Tak lupa kepada bapak dosen yang telah membimbing kami sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang diberikan oleh beliau. Terima kasih juga
kepada segenap teman-teman seperjuangan yang ikut membantu mencari bahan dalam
tugas makalah ini.
A.
Pengertian
Bid’ah
1.
Kata dasar kata
bid’ah
Bid’ah
berasal dari kata Al-badi’u dan Al-bad’u dan secara etimologi berarti sesuatu
hasil cipta yang tidak pernah di buat terdahulunya atau sebelumnya. Bentuk
muannast dari al-bid’u adalah Al-bid’ah atau bentuk masdar haiah dari lafal
al-ibtida’. Adapun artinya ialah bentuk dari hasil cipta dan inisiatif pertama
bagi sebuah kerajian, ideologi, dan kisah yang berkaitan dengan masalah agama
serta masalah dunia.
Dipahami
dari sudut etimologi di atas bid’ah ini mencakup hasil karya yang baik maupun
yang buruk. Dilihat dari kata Sunnah seperti halnya kata luqmah yang ukhlah
yang berwazan Fu’lah merupakan bentuk masdar dari kata sanna yang berarti
‘melawati atau menyssuri jalan’. Sunnah seseorang dalam arti etimologis ialah
‘jalan yang dilewati oleh seseorang atau cara yang dilalui oleh suatu kebiasaan
masayarakat dalam segi agama atau segi lainnya, terpuji atau tidak’. Beranjak
dari sisni maka sunnah dalam Islam ada yang baik dan ada yang buruk.
Di
sini ada dua hadis yang berbunyi:
a.
Barang siapa
yang merintis di dalam Islam suatu perjalanan yang baik (HR. Muslim)
b.
Barang siapa
yang merintis di dalam Islam perjalanan yang buruk (HR. Muslim)
Dengan
istilah lain, orang tersebut merintis suatu jalan (jalan baik maupun jalan
buruk) untuk di tiru oleh masyarakat.
Dari
penjalsan tadi dapat ditarik pengertian bahwa konsep etimologi memberikan ari
‘jalan’ atau ‘cara baru’ pada bid’ah dilihat dari sdut di mana tidak didahului
oleh karya sebelumnya. Begitu pula dengan ‘sunnah’. Ia dilihat dai sudut
perjalanan peletaknya dalam sisi teritorial yang berpengaruh terhadap pola
pikir dan kebiasaan masyarakat.
2.
Bid’ah dalam
terminologi Syariat.
Kata
sunnah dan bid’ah dalam makna terminologi syariat menjadi makna yang sanagt rumit
jika dibandingkan dengan konsepsi etimologis. Dalam syariat Islam, keduanya
hampir tidak dipermasalahkan dalam urusan dunia secar khusus. Bid’ah dan Sunnah
secara khusus lebih ditajamkan kedalam prihal agama.
Lebih
dari itu jika salah satu dari bid’ah dan sunnah tidak mempunyai konteks (
qarinah) apa pun maka menurut para ulama, yang dimaksud adalah Shalafus Shalih
yang menjadi karekteritik sunnah, bertolak jauh dari ati bid’ah.
Kata
sunnah secara hakikat syariat dalam periode awal tidak mencakup jalan atau
unsur keagamaan sama sekali, kecuali ia adalah perbuatan yang benar.
Kebenarannya dapat di ukur dari ajaran yang telah ditulis dalam Al-qur’an yang
dijelaskan oleh Rasulullah dalam kehidupan nyata, baik yang berupa nash maupun Istinbath.
Begitu pula dengan kata bid’ah, pada hakikatnya tidak mencakup apapun kecuali
perbuatan yang jelas-jelas batil dan sesat. Kesesatannya dapat diukur dengan
perbuatan yang dikerjakan dengan tanpa bersandar pada Al-Qur’an, Sunnah, dan ketetapan hukum
yang telah digali dari keduanya melalui istinbath. Oleh kerenanya kecaman
terhadap bid’ah berulang kali dalam bentuk umum dan menyeluruh, seperti dalam
hadis dibawah ini:
وإيا كم ومحد ثا
ت الأ مورفإ ن كل محد ثة بد عة وكل بدعة ضـلا لة
Hati-hatilah
dengan hal-hal yang diperbarukan kerena
setiap hal yang diperbarukan itu bid’ah, sedang setiap bid’ah itu adalah sesat. (HR. Turmudzi)
Sementara
ulama syariat setelah periode awal terbagi kedalam dua kelompok.
1)
Kelompok yang
berhenti pada terminologi syariat di atas secara utuh tanpa menambah atau
mengurangi.
2)
Kelompok yang
melewatkan arti sunnah pada pengkhususan
ketiga, yaitu mengembalikan arti bid’ah pada makna secar lebih luas yang
mendekati arti bahasa. Lafal sunnah dalam persepsi mereka di artikan sebagai
jalan atau tata cara agama yang sudah berlaku secara mapan sejak zaman Sabi
saw. adapun lafal bid’ah diartikan sebagai setiap hal baru yang tidak dikenal
keberadaannya di zaman Rasulullah saw, baik yang dilakukan pada zaman sahabat
maupun sesudahnya, baik secara ligitimitas mempunyai sandaran yang sah dari
dalil syariat maupun tidak.
3.
Pengertian
bid’ah menurut beberapa ulama
Terkait
masalah pengertian bid’ah penulis merujuk pada dua ulama imam besar dari tokoh
ahli hadis ternama, yaitu:
a.
Al-Hafizh Ibnu
Rajab Al-Hanbali berkata, “Bid’ah adalah apa yang diciptakan dengan tidak
berlandasan syariat yang sah untuk digunakan. Dan jika mempunyai dasar syariat
yang sah, bukanlah bid’ah, meskipun dalam segi bahasa dapat dinamakan bid’ah.
b.
Syekh Muhammad
Bukhait Al-Muth’i, mantan mufti Mesir di dalam risalahnya tentang bid’ah beliau
berkata, “setiap hukum jika telah
diambil dali salah satu dalil empatsecar jelas atau secara ijtihady (melalui
proses ijtihad) dengan jalan yang shahih (benar) maka itulah hukum Allah yang
disyariatkan dan petunjuk Muhammad saw. yang oleh Allah kita diperintahkan
untuk mengikutinya. Jika tidak diambil dari salah satunya, baik berupa ilmu
maupun yang lain, itu adalah bid’ah, sesat, dan mengada-ada sesuatu dan
semestinya bukan termaksuk agama. Tidak harus apa yang belum dilaksanakan pada
masa Rasulullah saw. dan baru mucul pada masa berikutnya, dihukumi bid’ah
tercela dalam syariat. Andaipun bisa dikatan sebagai amalan bid’ah, mungkin
hanya bid’ah dari sudut bahasa. Dengan demikina maka bid’ah meempunyia beberapa
hukum syariat,, kadang fardu, wajib, sunnah, mubah, mandumubah, muharramah,
dan makruuhah, baik makruh tahrim maupun
tanzih.
B.
Bentuk-bentuk
bid’ah
Lafal
ibtida’ berati menciptakan sesuatu yang belum pernah terjadi, atau katakanlah menciptakan
bid’ah, mempunyai konotasi terhadap penciptaan hal baru dalam agama tanpa
konstruksi dasar dari peraturan syariat sebelumnya.
Adapun
yang termasuk kedalam bid’ah ialah:
a.
Setiap amalan
yang pelakunya memakai sandaran hadis maudhu’, seperti menari di saat melakukan
zikir yang diriwayatkan dari hadis maudhu’.
b.
Meninggalkan
sesuatu yang diperbolehkan kerena diduga sebagai taat beragama. Bid’ah semacam
ini dinamakan bid’ah at-tarkiyyah.
c.
Tradisi yang
dilakukan oleh sebagian ahli tasawuf terkait kehuzudannya, yaitu memakai baju
yang terbuat dari beberapa potongan kain yang disebut murraqqa’ah.
d.
Bid’ah yang
paling buruk, adalah amalan yang ditaruh sebagai peganti sunnah, seperti shalat
istikharah diganti dengan membaca Al-Qur’an atau mengucapkan doa tertentu
sebagai penggantinya.
e.
Bid’ah yang
paling berbahaya adalah membelanjakan harta untuk selain kebutuhan yang
semestinya, seperti untuk dibelikan lilin kemudian dibakar dimakam para wali
dengan niatan mendekatkan diri pada Allah (qurbah).
f.
Bid’ah yang
terburuk adalah pelanggaran terhadap syariat dengan pola yang diserukan dalam
menegakkan sekularisme untuk menolak senjata, pasukan atau pengendalian dari
terlaksananya syariat, baik dalam skala kecil maupun besar.
C.
Macam-macam
bid’ah
Adapun
macam-macam bid’ah ialah :
a.
Bid’ah Hasanah
(yang baik)
Setiap praktik
yang mempunyai legitimitas (perihal atau
keadaan sah; keabsahan secara hukum)
dari dalil Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas termasuk dalil-dalil yang
diimbau oleh Al-Qur’an dan Sunnah, itulah bid’ah yang baik walaupun belum
pernah dijumpai pada zaman Rasulullah saw.
b.
Bid’ah Sayyi’ah
(yang buruk)
Setiap bid’ah
yang tidak mempunyai legitimitas dari dalil yang diakui dalam perspektif
syariat, itulah bid’ah tercela walaupun pencetusnya memberikan banyak dukungan
melalui berbagai intrepretasi.
Imam
Syafi’i (1150-204) dalam sebuah riwayat mengatakan “Bid’ah” itu ada dua: bid’ah
terpuji (mahmudah) dan bid’ah tercela (madzmumah). Suatu perbuatan yang sudah
sesuai dengan Sunnah, itulah bid’ah terpuji, sedangkan suatu perbuatan yang
bertentangan dengannya, itrulah bid’ah tercela.
HUKUM MUSIK DAN
NYANYIAN
A. Pandangan Al-Qur’an dan Sunnah
Allah SWT berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي
لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً
أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ -٦-
"Dan di antara
manusia (ada) yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
bahan olok-olokan." (Luqman: 6)
Sebagian besar mufassir
berkomen-tar, yang dimaksud dengan lahwul hadits dalam ayat tersebut
adalah nyanyian. Hasan Al Basri berkata, ayat itu turun dalam masalah
musik dan lagu. Allah berfirman kepada syaiton: "Dan hasunglah siapa yang
kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu." Maksudnya dengan lagu
(nyanyian) dan musik.
Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam telah bersabda:
"Kelak akan ada
dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras dan
musik." (HR. Bukhari dan Abu Daud)
Dengan kata lain, akan
datang suatu masa di mana beberapa golongan dari umat Islam mempercayai bahwa
zina, memakai sutera asli, minum-minuman keras dan musik hukumnya halal,
padahal semua itu adalah haram.
Adapun yang dimaksud
dengan musik di sini adalah segala sesuatu yang menghasilkan bunyi dan suara
yang indah serta menyenangkan. Seperti kecapi, gendang, rebana, seruling, serta
berbagai alat musik modern yang kini sangat banyak dan beragam. Bahkan termasuk
di dalamnya jaros (lonceng, bel, klentengan).
"Lonceng adalah
nyanyian syaiton." (HR. Muslim)
Padahal di masa dahulu
mereka hanya mengalungkan klentengan pada leher binatang. Hadits di atas
menunjukkan betapa dibencinya suara bel tersebut. Penggunaan lonceng juga
berarti menyerupai orang-orang nasrani, di mana lonceng bagi mereka merupakan
suatu yang prinsip dalam aktivitas gereja.
Imam Syafi'i dalam
kitabnya Al Qadha' berkata: "Nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci,
bahkan menyerupai perkara batil. Barangsiapa memperbanyak nyanyian maka dia
adalah orang dungu, syahadat (kesaksiannya) tidak dapat diterima."
B. Bagaimana Hukum Musik Dan Nyanyian Menurut Islam
Pertanyaab serupa ini
seringkali diajukan oleh banyak orang dalam berbagai kesempatan. Suatu
pertanyaan yang saat ini dijawab secara beragam oleh mayoritas kaum muslimin,
yang kemudian membawa poerbedaan perilaku dalam menyikapinya.
a. Mereka beranggapan bahwa hal itu boleh-boleh saja, dan sebagai bagian dari
kebahagian hidup yang dihalalkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya.
b. Mereka beranggapan bahwa musik dan nyanyian itu adalah suara setan dan
perkataan tiada guna yang dapat mengahalang-halanginya dari mengingat Allah dan
Shalat. Mereka mengemukankan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis, serta
pendapat-pendapat para ulama. Diantara mereka ada yang yang menolak suara
musik, sekalipun sekedar untuk mengiringi siaran berita.
c. Mereka yang bersikap ragu-ragu. Sekali waktu condong pada yang a dan pada
saat lain condong kepada yang b. Di sini mereka menunggu jawaban-jawaban yang
memuaskan dari para ulama-ulam Islam dalam masalah yang sensitif ini (masalah
yang berhubungan dengan perasaan dan kehidupan mereka sehari-hari).
Nyanyian baik disertai
musik maupun tidak telah menimbul perdebatan sengit dan pembicaraan panjang
dikalangan para ulama sejak terdahulu. Mereka sepakat dalam beberapa masalah,
tetapi masih berselisih pendapat dalam beberapa masalah yang lain.
Mereka sepakat atas
haramnya nyanyian yang berisi kata-kata kotor dan jorok. Pada dasarnya,
nyanyian itu tidak lain adalah perkataan. Oleh kerena itu, ia akan baik bila
disusun dengan kata-kata yang baik dan ia akan jelek bila dirangkai dengan
kata-kata yang jelek. Jadi perkataan yang kandungan isinya haram, maka haram
pula hukumnya.
C. Pada Asalnya, Hukum sesuatu Itu Boleh
Disini para ulam telah
membuat ketetapan, pada asalnya, sesuatu (yang bersifat duniawi) itu boleh
hukumnya. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah Swt.
Dia-lah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semua (al-Baqarah : 29)
Tidak ada sesuatu yang
diharamkan kecuali berdsarkan teks hukum yang benar (shahih) dan jelas (
Sharih) dari Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma. Apabila suatu masalah tidak didapatkan
pengharamannya pada teks Qur’an, Sunnah atau ijma, atau ada teks nya yang jelas
tetapi tidak benar dan sebaliknya, benar tetapi tidak jelas, maka hal tersebut
tidak mempengaruhi kebolehan hukumnya, dan tetap ia dalam ruang lingkup
kemaafan yang luas. Allah Swt berfirman:
ôs%ur @¢Ásù Nä3s9 $¨B tP§ym öNä3øn=tæ wÎ) $tB óOè?öÌäÜôÊ$# Ïmøs9Î) 3
Sesungguhnya Allah
Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya (melakukannya). (Al-An’am: 119)
Rasulullah Saw bersabda:
Apa yang dihalalkan
Allah dalam kitab-Nya adalah halal, apa yang Allah haramkan adalah haram, dan
apa yang Allah diamkan berarti dimaafkan, maka terimalah kemaafan dari Allah,
kerena susungguhnya Allah tidak lupa terhadap sesuatu pun.
Kemudian beliau membaca ayat Al-Qur’an.
Dan tidaklah
sekali-kali Rabb-mu itu lupa (Maryam: 64)
(HR. Al-Hakim, dari Abu Darfa’, dan ia
menshahihkannya, juga diriwayatkan oleh Al-Bazzar)
Beliau Saw bersabda lagi,
Sesungguhnya Allah
telah menetapkan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kamu menyia-nyiakannya.
Dia telah menentukan sanksi-sanksi, maka janganlah kamu melanggarnya. Dia juga
membiarkan banyak persoalan kerena kasih sayang-Nya kepada kalian, bukan kerena
lupa, maka jangannlah kamu mencari-carinya. (HR. Daruquthni, dari
Abu Tsa’labah, dan di hasan oleh al-Hafizh Abu Bakar as-Sama’ni dalam kitabnya
Amali, dan Imam Nawawi daalm kitabnya Al-Arba’in)
D. Nyanyian di masa kini
Kebanyakan lagu dan
musik pada saat ini di adakan dalam berbagai pesta juga dalam tayangan televisi
dan siaran radio. Mayoritas lagu-lagunya berbicara tentang asmara, kecantikan,
ketampanan dan hal lain yang lebih banyak mengarah kepada problematika
biologis, sehingga membangkitkan nafsu birahi terutama bagi kawula muda dan
remaja. Pada tingkat selanjutnya membuat mereka lupa segala-galanya sehingga
terjadilah kemaksiatan, zina dan dekadensi moral lainnya.
Lagu dan musik pada
saat ini tak sekedar sebagai hiburan tetapi sudah merupakan profesi dan salah
satu lahan untuk mencari rizki. Dari hasil bernyanyi, para biduan dan biduanita
bisa membangun rumah megah, membeli mobil mewah atau berwisata keliling dunia,
baik sekedar jalan-jalan atau untuk pentas dalam sebuah acara pesta musik.
Tak diragukan lagi
hura-hura musik baik dari dalam atau manca negara sangat merusak dan banyak
menimbulkan bencana besar bagi generasi muda. Lihatlah betapa setiap ada pesta
kolosal musik, selalu ada saja yang menjadi korban. Baik berupa mobil yang
hancur, kehilangan uang atau barang lainnya, cacat fisik hingga korban meninggal
dunia. Orang-orang berjejal dan mau saja membayar meski dengan harga tiket yang
tinggi. Bagi yang tak memiliki uang terpaksa mencari akal apapun yang penting
bisa masuk stadion, akhirnya merusak pagar, memanjat dinding atau merusak
barang lainnya demi bisa menyaksikan pertunjukan musik kolosal tersebut.
Jika pentas dimulai,
seketika para penonton hanyut bersama alunan musik. Ada yang menghentak,
menjerit histeris bahkan pingsan karena mabuk musik. Para pemuda itu mencintai
para penyanyi idola mereka melebihi kecintaan mereka kepada Allah Ta'ala yang
menciptakannya, ini adalah fitnah yang amat besar.
Semua nyanyian itu
hampir sama, bahkan hingga nyanyian-nyanyian yang bernafaskan Islam
sekalipun tidak akan lepas dari kemungkaran.
E. Nyanyian yang diperbolehkan:
Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan yaitu:
1. Bernyanyi pada hari raya.
Hal itu berdasarkan
hadits A'isyah: "Suatu ketika Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam masuk
ke bilik 'Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang
masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata: "... dan di
sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi."), lalu
Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah malah bersabda: "Biarkanlah
mereka karena sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan
hari raya kita adalah pada hari ini." (HR. Bukhari)
2. Menyanyi dengan rebana
ketika berlangsung
pesta pernikahan, untuk menyemarakkan suasana sekaligus memperluas kabar
pernikahannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Pembeda
antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara (lagu) pada
saat pernikahan." (Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud di sini
adalah khusus untuk kaum wanita.
3. Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa
diiringi dengan musik)
yang disenandungkan
saat bekerja sehingga bisa lebih membangkitkan semangat, terutama jika di
dalamnya terdapat do'a. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyenandungkan
sya'ir Ibnu Rawahah dan menyemangati para sahabat saat menggali parit.
4. Nyanyian yang mengandung pengesaan Allah,
kecintaan kepada
Rasululah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan menyebutkan sifat-sifat beliau
yang terpuji; atau mengandung anjuran berjihad, teguh pendirian dan
memper-baiki akhlak; atau seruan kepada saling mencintai, untuk menolong di
antara sesama; atau menyebutkan beberapa kebaikan Islam, berbagai prinsipnya
serta hal-hal lain yang bermanfaat buat masyarakat Islam, baik dalam agama atau
akhlak mereka.
Di antara berbagai alat
musik yang diperbolehkan hanyalah rebana. Itupun penggunaannya terbatas hanya
saat pesta pernikahan dan khusus bagi para wanita. Kaum laki-laki sama
sekali tidak dibolehkan memakainya. Sebab Rasul Shallallahu 'Alahih Wasallam
tidak memakainya, demikian pula halnya dengan para sahabat beliau.
Orang-orang sufi
memperbolehkan rebana, bahkan mereka berpendapat bahwa menabuh rebana ketika
dzikir hukumnya sunnat, padahal ia adalah bid'ah, Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda:
"Jauhilah
perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara yang
diada-adakan adalah bid'ah. dan setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Turmudzi, beliau berkata: hadits hasan shahih).
Daftar Pustaka
Ahmad Zaki Mubarok, Mualimin Muntari, Sunnah Dan Bid’ah, Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, 2011.
Al-Kalam, CV
Diponegoro, 2009, Bandung.
Ebta
Setiawan, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Offline, 2010
Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jaza ‘iri, Minhajul Muslim (Konsep Hidup Ideal Dalam
Islam), Darul Haq, Jakarta, 2011
Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu, Rasa'ilut Taujihat Al Islamiyah, PDF,
2011.
///http.blogspot.com,
Elvira Suryani. Hukum Musik dan Nyanyian Dalam Pandangan Islam.
07-03-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar