MASAIL
FIQIYAH AL-HADISAH
HUKUM
MENGAWINI WANITA HAMIL
DOSEN
PENGAMPU :
ABU BAKAR, M. Si
OLEH
:
MARYAMATUL MUNAWWARAH
JURUSAN KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS
USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dari
latar belakang masalah ini karena banyaknya terjadi kehamilan di luar nikah
yang dianggap sudah menjadi suatu hal wajar sesuai dengan perkembangan zaman.
Hal ini yang mendorong diharuskannya adanya suatu pernikahan yang mengandung
dosa atau yang sering kita dengar salah satu bentuk pernikahan yang mengandung
kemungkaran. Karena dalam pernikahan tersebut ada unsur melegalisasi perbuatan
dosa. Islam menghendaki agar komunitas muslim
bersih dari penyakit-penyakit masyarakat yang sangat merusak seperti zina. Oleh
karena itu islam berusaha menghilangkan tempat-tempat tumbuhnya kerusakan dan penutup celah-celah
yang menuju pada kerusakan. Selanjutnya isalam mengisyaratkan berbagai al-hudud
untuk mencegah semuanya. Setelah islam membimbing individu-individu muslim agar
selalu mengigat Allah, baik ketika sendirian maupun ketika bersama orang lain.
Islam juga membimbing mereka agar mempelajari dan memahami ketenntuan-ketentuan
Allah, dan tidak melanggarnya. Sehingga ketika menjauhi suatu perbuatan yang di
haramkan, maka perbuatan itu datang dari hati (yang ikhlas), bukan karena
merasa takut akan sanksi di dunia.
B.
Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan kami bahas
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mengawini wanita hamil
dari hasil perzinahan ?
2. Bagaimana mengawini wanita hamil ?
3. Bagaimana hukum mengawini wanita hamil ?
4. Bagaimana mazhab fuqaha mengenai
mengawini wanita hamil ?
5. Bagaimana dalil-dalil mengawini
wanita hamil ?
6. Bagaimana status anak zina dari yang
bukan menghamili ?
7. Bagaiman pembagian waris anak zina
bolah ataukah tidak ?
BAB II
PEMBAHASAN
Pernikahan wanita hamil dengan laki-laki yang
menghamili dan pernikahan wanita hamil dengan laki-laki yang bukan menghamili
A.
Menghamili
wanita hamil dari perzinahan
Menurut Yahya Abdurrahman (2003: 81-82) Setiap
manusia menghendaki menikah dalam keadaan suci, seorang suami tidak pernah
menggauli seorang wanita, begitu juga seorang wanita harus mampu menjaga
dirinya dari pergaulan bebas yang saat ini semakin marak. Sehingga kita
saksikan mereka terpaksa kawin dalam keadaan hamil. Bagaimana Islam memandang
pernikahan ini, Sesungguhnya islam telah mengharam
zina dan hal-hal yang membangkitkannya, seperti melalui pergaulan yang
diharamkan dengan pertemuan tertutup
(khalwat) yang berdampak negatif. Islam mengharamkan memasuki rumah orng lain
kecuali setelah meminta izin. Islam juga menuntut suami-istri agar mengajarkan
kepada anak-anak mereka, baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa akan
pentingnya meminta izin sebelum masuk ke kamar ayah ibu mereka, yaitu pada
waktu-waktu tidur dan ketika melepas busana. Islam telah mewajibkan hijab
(menutup aurat) atas wanita dan mengikatnya dengan berbagai etika, seperti
tidak merendahkan ucapan kepada laki-laki dan lainnya. Islam mengisayaratkan
nikah dan mendorong untuk meringankan maskawin, serta menjadikan rahasia
kebahagiaan dan kesuksesan pernikhan dengan memilih istri shalihah, dan ketika
suami istri tersebut telah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan hak-haknya
masing-masing. Sebagaimana islam telah mengharamkan menuduh wanita baik-baik
bezina, atau perbuatan keji terhadapnya, dan sebagai sanksinya islam menetapkan
li’in, ataukah pernikahannya ini terus dibangun demi menjaga dan menutupi
kehormatannya. Dan masih banyak lagi bagian-bagian syariat islam yang mampu
menutup serta menghentikan kerusakan, yaitu ketika hendak mencegah kerusakan
sebelm kerusakan itu terjadi. Untuk itu, ada banyak ayat al-qur’an yang
membimbing masyarakat muslim kepada nilai-nilai yang luhur, diantaranya firman
Allah SWT dalam QS al-mukminun (23:5) yang artinya : “Dan orang-orang yang
memelihara kehormatannya”.
Ayat
itu memerintahkan agar memelihara kehormatan dari kotoran syahwat yang tidak
halal, menjaga hati dari berpikir hal-hal yang tidak halal, dan menjaga
komunitas masyarakat dari mengikuti keinginan syahwat dan kesenangannya tanpa
batas. Juga menjaga masyarakat dari rusaknya kehidupan rumah tangga dan tidak
teraturnya nasab merupakan faktor kehancuran suatu masyarakat, yang akhirnya
menyebarkan penyakit-penyakit sosial. Mengacaukan dan meluluhlantakkan
unsur-unsur masyarakat.
B.
Mengawini
Wanita Hamil
Menurut
Maslani (2009:183) Agama islam menghendaki agar setiap manusia menikah dalam
keadaan suci, seorang suami tidak pernah mengauli seorang wanita harus menjaga
dirinya dari pergaulan bebas yang saat ini semakin marak, yang membuat mereka
kawin dengan terpaksa dan dalam keadaan hamil. Bagaimana isam memandang
pernikahan ini. Berikut ini dijelasan dalam masalah tersebut. Di antara sebab seorang lelaki mengawini
wanita hamil adalah sebagai berikut:
1. Pergaulan
bebas yang telah dilakukan oleh sepasang
lelaki dan perempuan yang menyebabkan kehamilan, dan lelaki dituntut untuk
bertanggung jawab atas perbuatanna melakukan hubungan seks sebelum terjadi akad
nikah menurut ajaran islam.
2. Perkawinan
harus dilakukan kerena menutup malu keluarga wanita. Kehamilan diluar nikah
adalah sebua aib yang sulit untuk ditutup-tutupi. Sehingga harus segera
dilakukan perkawinan agar tertutupi aib tersebut.
C.
Hukum
mengawini wanita hamil
Menurut
Maslani ( 183-192) Hukum mengawini wanita hamil karena diceraikan atau
ditinggal mati oleh suaminya adalah haram karena dalam keadaan iddah. Adapun
yang dimaksud disini adalah hukum mengawini wanita hamil karena zina, maka
secara umum para ulama menetapkan bahwa wanita yang hamil karena perbuatan zina
tidak boleh dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dngan
laki-laki lain, kecuali sudah memenuhi dua syarat.
Dia
dan si laki-laki telah bertaubat dari perbuatan zinanya. Pernyataan itu menurut
madzhab imam ahmad dan pendapat qatadah, Ishaq dan abu Ubai. Sedangkan imam
malik, syafi’I dan abu hanifah tidak menyaratkan taubat.
Dari
kedua pendapat di atas, pendapat pertama yang mengatakan diisyaratkan untuk
bertaubat adalah pendapat yang dibenarkan.
Pendapat pertama ini diperkuat
dengan pendapat Syaikul Islam Ibnu Taimiah dalam Al fatawa 32/109 :
"Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, pakah
yang menikahinya itu yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa
keraguan".
Allah Swt pun telah menegaskan dalam
firman-nya, yang artinya sebagai berikut: “laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin. (Q.S An-nur : 3)
Dan dalam hadits Amr bin Syu'aib
dari ayahnya dari kakeknya Abdullah bin Amr bin Ash, beliau berkata : "Sesunguhnya
Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawu membawa tawanan perang dari Makkah ada
seorang perempuan pelaYa Rasulullah, saya nikahi anaq? Martsad berkata : Maka
beliau diam, maka turunlah ayat, "Dan perempuan yang berzina tidak
dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik".
Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata :
jangan kamu nikahi dia". (Hadits hasan,riwyat Abu Daud
no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa'I 6/66dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam Al-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Sayikh Muqbil rahimahulullah dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa'I 6/66dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam Al-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Sayikh Muqbil rahimahulullah dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukan
haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hokum haram tersebut bila ia
belum bertaubat. Adapaun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hokum haram
nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
التَّائِبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا
ذَنْبَ لَهُ
Artinya :"Orang yang
bertaubat dari dosa sepertiorang yang tidak ada dosa baginya". (Dihasankan
oleh Syaikh Al-Bani dalam Adh-Dho'ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya).
Syaikh Al-Utsaimin berpendapat
berkaitan dengan firman Allah Swt di atas (Q.S An-Nur : 3) bahwa ayat tersebut
menjelaskan bahwa haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya dan
haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan atri,bahwa seseorang tidak
boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang
(wali) menikahinya kepada putri-nya.
Menurut Yusuf (1985: 121) bila seseorang
telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan
melanggarnya, maka pernikahnnya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka
hubungan itu adalah perzinah-an. Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak
dinisbatkan kepada lelaki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki
bapak. Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa
Allah telah memngharamkannya, maka ia dihukumi sebagai orang musyrik.
Kedua, Dia harus beristibra. (menunggu
kosongnya rahim) dengan satu kali haidh, bila tidak hamil, dan bila ternyata
hamil, maka sampai melahirkan kandungannya. Rasulullah Saw bersabda : "Tidak boleh digauli (budak) yang sedang
hamil, sampai ia melahirkan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai
ia beristibra? dengan satu kali haid".
Menurut Maslani ( 2009: 185-192) Dalam
hadits di atas,Rasulullah melarang menggauli budak dari tawanan perang yang
sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haid,
padahal budak itu sudah menjadi miliknya. Juga sabdanya : Artinya, Tidak
halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan HAri akhir, dia menuangkan air
(maninya) padasemainan orang lain".
Mungkin sebagaian orang
bertanya,bahwa yang dirahim itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si
laki-laki yang menzinahinya yang hendak menikahinya. Kenapa tidak dibolehkan
menyetubuhinya. Jawabannya adalah apa yang dikatakan oleh Al-Imam Muhammad Ibnu
Ibrahim Al Asyaikh, "Tidak boleh menikahinya sampai ia taubat dan
selesai dari iddahnya dengan melahirkan kandungannya,karena perbedaan dua air
(mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari
sisi halal dan haram".
Jawaban tersebut menjadi jelas bahwa
sekalipun laki-laki yang menzinahinya terlah bertaubatdan mengawininya, tetap
laki-laki yang sudah menjadi sumi itu tidak boleh menyetubuhinya sampai istri
yang dizinahinya itu melahirkan. Hal ini dikarenakan ada perbedaan dua mani
yang najis dan suci, baik dan buruk dan dari sisi halal dan haram.
Syarat wajib iddah ini dipegang oleh
Hasan Al-Bashrim An-Nakha'I, Rabi'ah bin Abdurrahman, Imam Malik,Ats-Tsauri,
Imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih.
Sedangkan Imam Syafi'I dan Abu
Hanifah tidak wajib Iddah. Artinya lelaki yang mengawini wanita hamil boleh
menyetubuhinya tidak perlu menunggu sampai melahirkan. Karenna iddah hanya
berlaku bagi mereka yang sudah menikah. Sadengkan hamil di luar nikah tidak
diysaratkan secara khusus dalam nash ketentuan memiliki iddah. Namun ada
perbedaan mendasar antara Imam Syafi'I dan Abu Hanifah. Namun imam Syafi'I
boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima'
dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang
menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat
boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima' dengannya,
apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau
yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka oleh melakukan akad nikah
tetapi tidak boleh ber-jima' sampai istibra (telah nampak
kosongnya rahim dan janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau
perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Dari kedua perbedaan pendapat di
atas, tampaknya perlu untuk ditarjih (diunggulkan). Pendapat yang benar adalah
pendapat yang wajib iddah berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :
1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry
ra,sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda tentang tawanan perang Authos :
لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
Artinya:
"Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan pula
yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali". (H.R Ahmad 3/62,87, Abu
Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449,
Ath-Thobrany dalam Aushat no. 1973 dan Ibnu Jauzy dalam At-Tahqiq no.307 dan di
dalam sanadnya ada rawi yang bernama syarik bin Abdullah An-Nakh'iy dan ia
lemah karena hafaannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan
yang lain dari beberapa orang sahabat sehingga dishahihkan dari seluruh
jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Bany dalam Al-Irwa no. 187).
2. Hadits Ruwaifi bin Tsabit r.a dari
Nabi Saw, beliau bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَسْقِ مَاءَهُ وَلَدَ غَيْرِهِ
Artinya
:"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan ia menyiramkan
airnya ke tanaman orang lain". (H.R Ahmad 4/108, Abu Daudno. 2158,
At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah
1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqat 2/114-115, Ath-Thobrany 5/no. 4482
dihasankan oleh Syaikh Al-Bany dalam Al-Irwa no. 2137).
3. Hadits Abu Ad-Darda' riwayat Muslim
dari Nabi Saw :
أَنَّهُ
أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيدُ أَنْ
يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوا نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ
كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لَا
يَحِلُّ لَهُ
Artinya: "Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya? (para Sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisi sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudaknya sedangkan ia tidak halal baginya".
Artinya: "Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya? (para Sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisi sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudaknya sedangkan ia tidak halal baginya".
Berkata Ibnu Qoyyi r.a : "Dalam hadits ini ada dalil
yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu
karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak), Syubhat (yaitu nikah dengan
orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran),
atau karena zina.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib
iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim,
Asy-Syinqithi, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Saimah (Lembaga Fatwa Saudi
Arabia).
Dari uraian di atas dapat diambil pelajaran bahwa manusia
harus berpikir seribu kali untuk berbuat, jangan sampai perbuatan yang
dilakukan adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan Allah, termasuk pelanggaran
tersebut itu adalah perzinahan yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah.
Padahal ancaman bagi para pelaku zina adalah dirajam 80-100 kali dera.
Meskipun
ada sebagian ulama yang menganggap sah pernikahan yang dilangsungkan pada saat
hamil di luar nikah,bukan berarti mereka mengizinkan atau membolehkan
perzinahan. Pendapat para ulama yang membolehkan pernikahan wanita hamil kerena
zini ini tanpa ada syarat tertentu didasarkan kepada keterangan-keterangan
sebagai berikut :
1.
Abu Bakar As-Shidiq r.a dan Umar bin Khatab r.a serta para
fuqaha umumnya, menyatakan bahwa seseorang menikahi wanita yang pernah
dizinahinya adalah boleh. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah
mengharamkan dirinya dari menikahi secara sah.
2.
Adanya hadits Nabi yang membolehkan hal itu
Dari Aisyah r.a berkata : Rasulullah Saw pernah ditanya
tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk
menikahinya, lalu beliau bersabda : Awalnya perbuatan kotordan akhirnya nikah.
Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.
3.
Hadits lainnya.
Seseorang bertanya kepada Rasulullah Sa, istriku ini seorang
yang suka berzina. Beliau menjawab, Ceraikan dia, tapi aku takut memberatkan
diriku. kalau begitu mut'ahillah dia.
4.
Pendapat Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita
hamil itu laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalua yang
menikahinya itu bukan laki-laki yang menghailinya, maka laki-laki itu tidak
boleh menggaulinya hingga melahirkan.
5.
Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal Imam Malik dan
Imam Ahmad bin Hanbal mengtakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh
mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkandan
telah habis masa iddahnya.Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita
tersebut harus sudah tobat dari dosa zinahnya. Jika belum bertobat dari dosa
zinahnya, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun.
6.
Pendapat Imam Syafi'I Adapaun Imam Syafi'I berpendapat,
bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan
menikahinya.
7.
Undang-undang Perkawinan RI Dalam Kompilasi Hukum Islam
dengan intruksi Presiden Ri no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang
pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Mentri Agama RI no. 154 tahun
1991telah disebutkan hal-hal berikut :
a.
Seorang wanita hamil di luar nikah, data dikawinkan dengan
pria yang menghamilinya.
b.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anknya.
c.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Ketentuan tersebut di atas,
hendaknya tidak mengakibatkan bertambahnya para wanita yang hamil di luar
nikah. Karena banyak juga ulama selain empat madzhab di atas, yang diharamkan
menikahi wanita hamil di luar nikah sebagimana telah dibahas di atas.
Lebih lanjut, Sayyid Sabiq dalam
Fiqh Sunnah dengan tegas mengatakan bahwa perbuatan zina yang mengakibatkan
kehamilan di luar nikah merupakan tindak pidana, yang akan mengakibatkan
sebagai berikut :
a. Zina dapat menghilangkan nasab
(keturunan) dan dengan sendirinya menyia-nyiakan harta warisan ketika orang
tuanya (tidak sah) meninggal dunia.
b. Zina mengakibatkan tidak adanya
saling mewarisi dengan laki-laki itu dan hanya mewarisi dengan ibunya saja.
c. Zina juga tidak dapat menjadi wali
bagi anak perempuan, karena dia lahir akibat hubungan di luar nikah.
Selain
itu,para ulama juga berpendapat tentang kebolehan menikahkan seorang wankita yang
berzina dengan laki-laki yang bukan menzinahinya dalam beberapa hal :
1. Fuqaha Hanafiyah menyatakan : Jika
wanita yang berzina tidak hamil. Maka akad nikahnya dengan laki-laki yang bukan
menzinahinya adalah sah. demikian juga jika si wanita tersebut sedang hamil,
demikian menurut Abu Hanifah. Akan tetapiia tidak boleh menggaulinya selama
belum melahirkan. Dengan dalil sebagai berikut :
a. Perempuan yang berzina tidak
termasuk wanita yang haram dinikahi. Oleh karena itu hukumnya mubah (boleh) dan
termasuk dalam firmannya : Dan kami memnghalalkan bagi kalian selain dari itu
(Q.S An-Nisa :24).
b. Tidak ada keharaman karena
disebabkan air (sperma) hasil zina. Hal tersebut tidak bisa menjadi sebab
penasaban anak tersebut kepada bapaknya. Oleh karena ituzina tidak bisa menjadi
penghalang pernikahan. Adapun sebab tidak bolehnya laki-laki tersebut menggauli
wanita tersebut sampai ia melahirkan, adalah sabda Rasulullah Saw : Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyirami dengan
airnya lading orang lain. (H.R Abu Daud dan At-Tirmdzi) yang dimaksudkan adalah
wanita hamil disebabkan orang lain.
2.
Abu Yusuf dan Zufar berpendapat tidak boleh melakukan akad
nikah terhadap wanita yang hamil karena zina. Karena kehamilan tersebut
menghalanginya untuk menggauli wanita tersebut dan juga menghalangi akad
dengannya. Sebagimana halnya kehamilan yang sah, yaitu : sebagimana tidak
bolehnya melaksanakan akad nikah dengan wanita hamil bukan karena zina maka
dengan wanita yanh hamil karena zina pun tidak sah.
3. Fuqaha Malikiyah menyatakan : tidak
boleh melaksanakan akad nikah dengan wanita yang berzina sebelum diketahui
bahwa wanita tersebut tidak sedang hamil (istibra), hal terebut diketahui
dengan haid sebanyak tiga kali atau ditunggu tiga bulan. Karena akad dengannya
sebelum istibra adalah akad yang fasid dan harus di gugurkan. Baik sudah Nampak
tanda-tanda kehamilan atau belum karena dua sebab, pertama adalah kehamilannya
sebagiamana hadits jangnlah ia menyirami dengan air ladang orang lain atau
dikhawatirkan dapat tercampurinya nasab jika belum Nampak tanda-tanda
kehamilan.
4. Fuqaha Syafi'iyah : Jika ia berzinah
dengan seorang wanita, maka tidak diharamkan menikah dengannya, hal tersebut
berdasrkan firman Allah : Dan kami halalkan bagi kalian selain dari itu
(An-Nisa : 24) juga sabda Rasulullah Saw: suatu yang haram tidak dapat mengharamkan
yang halal.
5. Fuqaha Hanabilah berpendapat jika
seorang wanita berzina maka tidak boleh bagi laki-laki yang mengetahui hal
tersebutmenikahinya, kecuali dengan dua syarat :
a. Selesai masa iddah dengan dalil di
atas, janganlah ia menyirami dengan air ladang orang lain dan hadits shahih
tentang wanita hamil tidak boleh digauli sampai ia melahirkan.
b. Wanita tersebut bertaubat dari
zinahnya berdasarkan firman Allah Saw : dan hal tersebut diharamkan bagi
orang-orang mukmin (Q.S An-Nur :3) dan ayat tersebut berlaku sebelum ia
bertaubat. Jika sudah bertaubat hilanglah keharamannya menikahinya sebab
Rasulullah Saw bersabda : Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang
tidak memiliki dosa.
Oleh karena itu, meskipun di
Indonesia ada undang-undang yang mengesahkan pernikahan di luar nikah,
berpikirlah sebelum melakukan perzinahan dan berpikirlah dampak yang akan
terjadi pada dirinya, anak keturunannya, dan hilangnya harga diri keluarga di
masyarakat.
D.
mazhab
fuqaha
Menurut
Yahya Abdurrahman al-Khatib (2003:81-84) tentang hukum menikahi wanita pezina
para ahli fiqh berbeda pendapat menjadi tiga pendapat yaitu:
1. sesungguhnya
tidak ada kewajiban iddah bagi wanita penzina(artinya wanita yang telah berzina
boleh langsung dinikahi tanpa iddah). baik ia hamil atau tidak dari perzinahan
itu, baik ia memiliki suami, sehingga seketika itu juga suaminya boleh
mencampurinya, atau tidak memiliki suami, sehingga boleh bagi laki-laki yang
telah menzinahinya atau orang lainnya seketika itu juga, baik ia hamil atau
tidak. namun jika ia hamil(dari berzina itu dan memiliki suami), maka suaminya
dimakruhkan mencampurinya sampai ia melahirkan. ini adalah madzhab syafi’i.
2. apabila
wanita yang dizinahinya tidak hamil, maka sah menikahkannya, baik dengan
laki-laki yang tidak menzinahinya atau laki-laki yang menzinahinya, dan bagi
wanita itu tersebut tiadak perlu iddah. semua itu telah menjadi kesepakatan
mazhab hanafi. sehingga, apabila laki-laiki yang mezinai itu sendiri yang
menikahinya maka halal mencampurinya menurut mazhab hanafi. sedangkan anaknya,
apabipa wanita itu melahirkanya setelah massa 6 bulan dari pernikahanya, maka
anak tersebut dinasabkan kepadanya. Namun, apabila masa kelahiran kurang dari
masa itu maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya, sehingga anak tersebut
tidak bisa menerima warisan dari suami ibunya, kecuali suami itu berkata: “anak
ini dari saya, bukan dari zina.” adapun ketika wanita yang dinikahinya itu
hamil maka boleh menikahinya menurut abu hanifah dan muhammad-tetapi suami
tidak boleh mencapurinya sampai selesai melahirkan. sedangkan abu yusup dan
zupar dari mazhab hanafi berpendapat jika wanita yang dinikahi itu hamil, maka
tidak boleh menikahinya.
3. wanita
penzina itu tidak boleh langsung dinikahi, ia wajib beriddah beberapa quru’
jika dengan berzina itu ia tidak hamil, dan dengan melahirkan jika ia hamil.
apabila ia mempunyai suami, maka suami haram mencampurinya sampai iddahnya
habis dengan beberapa quru’ atau melahirkan. ini adalah pendapat rabi’ah,
Al-Tsauri, al-Auza’i dan Ishaq, dan ia merupakan mazhab maliki dan hambali.
menurut mazhab maliki, (rahim) wanita itu menjadi bersih(istibra’) dengan tiga
kali haid atau berlalunya tiga bulan.
sedangkan menurut imam Ahmad, rahim wanita itu menjadi bersih dengan tiga kali
haid. ibnu Qudamah berpendapat, bahwa untuk menjadikan rahim wanita itu bersih
cukup dengan sekali haid saja. pendapat ini didukung dan dibela dengan
sungguh-sungguh oleh Ibnu Taimiyah. mazhab hambali masih mensyaratkan syarat
lain untuk halalnya menikahi wanita pezina, yaitu harus bertaubat dari
perbuatan zina.
E.
Dalil-dalil
dan Pembahasannya
Menurut
Yahya Abdurrahman al-Khatib (2003: 84-85) berikut ini dalil-dalil yang
dikemukakan oleh pendukung pendapat pertama, yaitu madzhab Syafi’i, dalam surat
Q.S. an-Nisa’ 4:24 yang artinya” dan dihalalkan bagi kalian selain yang
demikian”. ayat ini (maknanya) tetap pada keumumannya, yaitu meliputi wanita
terhormat dan wanita pezina. Dalam hadist Aisyah ra. sesungguhnya Nabi Saw
bersabda “ perkara tidak dapat mengharamkan perkara halal”. hadis’s ini
merupakan nash (ketetapan) bahwa haramnya zina tidak dapat mengharamkan
halalnya nikah.
F.
Status Anak Zina
Menurut
Maslani (2009: 192-196) Anak zina itu menyimpan 3 keburukan (H.R Abu Daud, Ahmad).
Sebagaimana ulam menjelaskan,
maksudnya ia buruk dari aspek-aspek asal-usul dan unsure pembentukannya, garis
nasb, dan kelahirannya. Penjelasannya, dia merupakn kombinasi dari sperma dan
ovum pezina, satu jenis cairan yang menjijikan (karena dari pezina) sementara
gen it uterus menjalar turun menurun, dikhawatirkan keburukan tersbut akan
berpengaruh pada dirinya untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks inilah,Allah
menepis poteni negative dari pribadi Maryam dengan firmannya, yang artinya:
“ ayahmu sekali-kali bukanlah
seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina",
(Q.S Maryam : 28)
Walaupun demikian adanya, dia tidak
dibebani dosa orang tuanya. Allah Swt berfirman : “Dan seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain.. (Q.S Al-An'am : 164)
Pada prinsipnya, dosa dan sanksi
zina di dunia dan di akhirat hanya ditanggung oleh orang tuanya.tetapi
dikhawatirkan sifat bawaan yang negative itu akan terwarisi dan akan membawa
pada berbuat keburukan dan kerusakan. namun hal ini tidak selalu menjadi acuan,
kadngkala Allah akan meperbaikinya untuk menjadi manusia yang baik dan
bertakwa.
Meskipun pernikahan wanita hamil
karena zina dianggap sah dengan memenuhi dua syarat utama di atas, tetapi
pernikahan tersebut tidak membawa perubahan status terhadap anak yang
dikandungnya, artinya anak tersebut tidak dinasabkan kepada ayahnya tetapi
hanya dinasabkan kepada ibunya. Karena semua madzhab yang emapat (madzhab
hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu
tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia tidak memiliki bapak,
meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku
bahwa dia itu anknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil
hubungan di luar nikah. Di dalamhal ini, sama saja baik si wanita yang dizinahi
itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah Saw : "Anak itu bagi (pemilik) firasy dan
bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan). (Al Mabsuth
17/154, Asy Syahrul Kabir 3/412, Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal 338, dan Ar
Raudhah 6/44. Di kutip dari Taisiril Fiqh 2/828).
Rasulullah Saw telah menjadikan
kerugian dan penyesalan bagi laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak
nasab bagi laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah
murni hak Allah Swt.
Ibnul Abdil Barr berkata, Nabi
Saw bersabda : "Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan
penyesalan). Maka beliau menafikann (meniadakan) adanya nasab anak zina di
dalam Islam.
Semua madzhab yang empat telah
sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki,
dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang
menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anknya.
Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersbut hasil hubungan di luar nikah.
Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinahi itu bersuami atau pun
tidak bersuami. jadi anak itu tidak berbapak. (Al Mabsuth 17/154, Asy
Syahrul Kabir 3/412, Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal 338, dan Ar Raudhah 6/44.
Di kutip dari Taisiril Fiqh 2/828). Hal ini berdasarkan sabda RAsulullah :
"Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu
(kerugian dan penyesalan)". (H.R Bukhary dan Muslim).
Oleh karena itu anak hasil zina
tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
§ Anak itu tidak berbapak
- Anak
itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
Bila anak itu perempuan dan di kala
dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak
memiliki wali.
Rasulullah Saw bersabda : "Maka
sultanlah (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki
wali". (Hadits Hasan riwayat Asy-Syafi'I, Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi,
dan Ibnu Majah).
Satu masalah lagi yaitu bila si
wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra dengan satu kali haidh,
lalu di gauli dan terus hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil
kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari
pernikahan yang telah di jelaskan dimuka bahwa pernikahan ini adalah haram atau
tidak sah, maka bagaiman status anak yang baru lahir ini
Bila si orang itu meyakini bahwa
pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang membolehkannya atau
dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang
yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anknya dan dinasabkan kepadanya,
sebagaimana yang diisyaratkan Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa
iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah atau
karena tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa iddahnya, maka anak
yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepadanya padahal pernikahan di masa iddah
itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahan di
atas adalah lebih berhak (Al Mughny 6/445).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan hal serupa, beliau berkata, "Barang siapa menggauli wanita
dengan keadaan yang dia yakin pernikahan (yang sah), mana nasb (anak) diikutkan
kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan
kesepakatan para ulama, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di
hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia
yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikatkan
kepadanya)". (Dinukil dari Al Bassam dalam Taudlihul Ahkam 5/104).
G.
Pembagian Waris Anak Zina
Menurut Maslani (2009: 196-197) Sebagaimana dijelaskan, anak zina
tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya,begitu juga jika anak itu wanita,ayahnya
tidak dapat menikahkannya sebagai wali. Dengan demikian pembagian waris pun
tidak berhak diberikan kepadanya karena tidak ada hubungan nasab dari
perkawinan yang sah. Tetapi anak zina hanya dapat waris dari ibnunya. Pembagian
warisannya sebagai berikut : Seorang perempuan meninggalkan ahli waris sebagai
berikut :
Suami
dan anak laki-laki hasil zina. Maka suami mendapat ¼ karena ada anak.Sedangkan
anak laki-laki hasil zina mendapatb asobah (sisa) yaitu 3/4. Atau kasus lain
seorang perempuan meninggalkan ajli waris sebagai berikut :
Suami
dan anak perempuan hasil zina. Maka suami berhak mendapat ¼ karena mayit
memiliki anak. Sedangkan anak perempuan hasil zina mendapat ½ karena sendirian.
Sedangkan ibu mendapa 1/6 karena ada anak. Asal masalahnya adalah 12. Suami
mendapat ¼ menjadi 3/12. Anak perempuan hasilo zina ½ menjadi 6/12. Dan ibu 1/6
menjadi 2/12. Adapun sisanya 1/12 adalah dibagikan buat anak perempuan dan ibu.
Tetapi
jika yang meninggalkan itu adalah seorang laki-laki.Maka anak hasil zina itu
tidak berhak mendapatkan waris. tetapi dapat diberikan dengan cara hibah atau
wasiat, tentunya dengan cara yang sesuai dengan ketentuan wasiat dan hibah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan
yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah
bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina
dianggap lepas iddah adalah sebaai berikut :
a. Kalau ia hamil, maka iddah-nya sampai
melahirkan.
b. Kalau ia belum hamil, maka iddah-nya
sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut.
3. Kompilasi Hukum Islam Bab VIII pasal
53 ayat (1),(2) dan (3) dicantumkan bahwa : (a) seorang wanita hamil diluar
nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (b) Perkawinan dengan
wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu
dahulu kelahiran anaknya. (c) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat
hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
4. Status anak zina tidak dapat
dinasabkan kepada ayahnya, meskipun mani (sperma) itu bersumber dari dirinya.
tetapi karena kehamilannya tidak didasarkan kepada pernikahan yang sesuai
syariat Isalam. Maka status anak zina tidak dapat dinasabkan kepadanya tetapu
hanya kepada ibunya.
5. Anak hasil zina juga tidak berhak
mendapatkan waris dari ayahnya melainkan hanya dari ibunya. Jika anak itu
perempuan, maka ayahnya tidak berhak menjadi wali untuk menikahkannya.
B.
Saran
Saran
saya mengenai “Pernikahan wanita hamil dengan
laki-laki yang menghamili dan pernikahan wanita hamil dengan laki-laki yang
bukan menghamili” kita sebagai muda-mudi harus menghindari dari perbuatan zina,
karena perbuatan zina adalah perbuatan yang haram dalam agama islam.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Maslahani, M. Ag. 2009. Masail Fiqhiyah
Al-Haditash : Fiqh Kontemporer. Bandung : Griya asri asaranten
Qardhawi, Yusuf. 1985. Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam.
Daail Baidha : Daarul Ma'rifah.
Yahya Abdurrahman al-Khatib, MA. 2003. Hukum-hukum Wanita Hamil. Bangil- JATIM: Darul Nafais.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar