SOSIOLOGI DAKWAH
SEJARAH ROBO’-ROBO’
DOSEN PENGAMPU :
ABU BAKAR, M. Si
OLEH :
MARYAMATUL MUNAWWARAH
JURUSAN KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
SEJARAH ROBO’-ROBO’
A.
Latar Belakang
Indonesia terkenal dengan negara yang memiliki seribu kemajemukan
budaya pariwisata, potensi kebudayaan didalamnya menghasilkan sebuah masyarakat
yang heterogen. Hal ini membuat banyak perbedaan budaya serta keberagaman yang
menghasilkan suatu multikultural. Multikulturalisme mempunyai peran yang besar
dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas
keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam
pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini maka prinsip “Bhineka Tunggal
Ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud.
Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan
menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana
yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Pada zaman globalisasi ini, umumnya masih ada kita temukan
masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat kebudayaan
daerahnya dan hal itu menjadikan suatu kebiasaan yang harus dilaksanakan,
apalagi tradisi kebudayaan tersebut bersifat sakral. Tradisi dan budaya
merupakan beberapa hal yang menjadi sumber dari akhlak dan budi pekerti.
Kalimantan Barat juga memiliki beragam budaya dan tradisi yang
berasal dari banyak suku, diantaranya : Dayak, Melayu, Tionghoa, Madura, Bugis,
dan masih banyak lagi. Ciri khas dari masing-masing kebudayaan menjadikan suatu
keunikan tersendiri bagi daerah. Salah satunya suku Bugis Kalimantan Barat yang
identik dengan Melayu, suku Bugis ini memiliki banyak sekali tradisi yang masih
kental yang juga bersifat sakral. Seperti tradisi Robo’-Robo’ yang dikenal sebagai
tradisi yang memperingati hari datangnya seseorang dari tanah Bugis Sulawesi
Selatan pada tahun 1637. Kedatangan Raja Mempawah Opu Daeng Manambon dari Bone,
Sulawesi Selatan di abad ke-17 diabadikan dalam tradisi Robo’-Robo’.
Upacara sakral yang sering dilakukan adalah berupa wujud dari rasa
syukur atas karunia yang diberikan dan sekaligus memohon keselamatan, hal ini
masih terus berlangsung secara terus menerus bagi masyarakat pendukungnya.
Tradisi Robo’-Robo’ sendiri merupakan agenda Visit Kalbar 2010 dari Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Barat (Gaya Hidup, 2010).
B.
Asal-Usul Tradisi Robo’-Robo’
Kesultanan Mempawah kini berbeda dengan Kerajaan Mempawah pertama
kali berdiri yaitu sekitar tahun 1610 M. Mempawah kembali bangkit tampil
sebagai pemimpin baru adalah Panembahan Kudong/Kudung atau juga disebut panembahan
yang tidak berpusat, Raja Kudong memindahkan pusat ibu kota Mempawah ke Pekana
(Karangan). Setelah Raja Kudong meninggal pada tahun 1680 M, tahta kekuasaan
kemudian dipegang oleh Panembahan Senggauk. Panembahan Senggau menikah dengan
putri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri Sumatra yang bernama Putri
Cermin, mereka dikaruniai seorang anak perempuan, Mas Indrawati. Ketika usia
Mas Indrawati telah beranjak dewasa, ia dinikahkan dengan Panembahan Muhammad
Zainuddin dari Kerajaan Matan (Ketapang). Dari hasil perkawinan ini, lahirlah
seorang putri cantik bernama Putri Kesumba. Ketika dewasa, Putri Kesumba dinikahkan
dengan Opu Daeng Menambun.
Awal diperingatinya Robo’-Robo’ ini sendiri, bermula dengan
kedatangan rombongan Opu Daeng Manambon dan Putri Kesumba yang merupakan cucu
Panembahan Mempawah kala itu yakni Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan
Raja Patih Gumantar dari Kerajaan Bangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148
Hijriah atau 1737 Masehi. Masuknya Opu Daeng Manambon dan istrinya Putri
Kesumba ke Mempawah bermaksud menerima kekuasaan dari Panembahan Putri Cermin
kepada Putri Kesumba yang bergelar Ratu Agung Sinuhun bersama suaminya, Opu
Daeng Manambon yang selanjutnya bergelar Pangeran Mas Surya Negara sebagai
pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Berlayarnya Opu Daeng Manambon dari Kerajaan Matan Sukadana
(Kabupaten Ketapang) diiringi sekitar 40 perahu. Saat masuk di Muara Kuala
Mempawah, rombongan disambut dengan suka cita oleh masyarakat Mempawah,
penyambutan itu dilakukan dengan memasang berbagai kertas dan kain warna warni
di rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir sungai. Bahkan, beberapa warga
pun menyongsong masuknya Opu Daeng Manambon ke Sungai Mempawah dengan
menggunakan sampan.
Terharu karena melihat sambutan rakyat Mempawah yang cukup meriah,
Opu Daeng Manambon pun memberikan bekal makanannya kepada warga yang berada di
pinggir sungai untuk dapat dinikmati mereka juga. Karena saat kedatangannya
bertepatan dengan hari Minggu terakhir bulan Syafar, lantas rombongan tersebut
menyempatkan diri turun di Kuala Mempawah. Selanjutnya Opu Daeng Manambon yang
merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan
warga yang menyambutnya, mohon keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari
bala dan petaka. Usai melakukan doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama.
Bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, bulan
Safar diyakini sebagai bulan na’as dan sial, Sang Pencipta dipercayai
menurunkan berbagai malapetaka pada bulan Safar. Oleh sebab itu, masyarakat
yang meyakininya akan menggelar ritual khusus agar terhindar dari “Kemurkaan”
bulan Safar. Ritual tersebut juga dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap
arwah leluhur, namun pandangan di atas berbeda dengan pandangan masyarakat Kota
Mempawah yang menganggap bulan Safar sebagai “Bulan Keberkahan” dan kedatangannya
senantiasa dinanti-nantikan, karena pada bulan Safar terjadi peristiwa penting
yang sangat besar artinya bagi masyarakat Kota Mempawah hingga saat ini.
Peristiwa penting tersebut kemudian diperingati dengan menggelar
Ritual Robo’-Robo’. Tujuan digelarnya ritual ini adalah untuk memperingati
kedatangan atau napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon yang bergelar
Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan, Martapura, Kabupaten Ketapang,
ke Kerajaan Mempawah Kabupaten Pontianak pada tahun 1737 M/1448 H. Opu Daeng
Menambon adalah putra ketiga Opu Daeng Rilekke yang terkenal sebagai pelaut
handal dan gemar sekali melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Nusantara
bersama dengan anak-anaknya. Opu Daeng Rilekke sendiri adalah putra ketiga
Sultan La Madusalat dari Kesultanan Luwuk, Bone, Sulawesi Selatan, yang telah
menjadi Kesultanan Islam sejak tahun 1398 M.
Opu Daeng Menambon beserta keluarganya pindah dari Kerajaan Matan ke
Kerajaan Mempawah atas permintaan Panembahan Senggauk Raja Mempawah waktu itu.
Setelah Panembahan Senggauk mangkat, Opu Daeng Menambon naik tahta dan beliau berkuasa
di sana sekitar 26 tahun yakni dari tahun 1740 M sampai beliau wafat pada tahun
1766 M. Opu Daeng Menambon memindahkan pusat kerajaan ke Sebukit Rama
(kira-kira 10 km) dari Kota Mempawah. Masa pemerintahan Opu Daeng Menambun
merupakan masa di mana Kesultanan Mempawah Islam mulai berdiri dan kemudian
berkembang. Pada masanya, penduduk Mempawah dikenal sebagai penganut Islam yang
sangat taat, Opu Daeng Menambon sendiri dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana
dan lebih mementingkan musyawarah dalam memutuskan berbagai kebijakan kesultanan.
Habib Husein Alkadrie, ulama terkenal
asal Kalimantan Barat pernah pindah dari Matan ke Mempawah. Salah seorang putri
Opu Daeng Menambun, Utin Candramidi dinikahkan dengan Sultan Syarif Abdurrahman
(Sultan I di Kesultanan Kadriah), putra Habib Husein Alkadrie. Ritual ini
bersifat historis karena upacara ini dikaitkan dengan peristiwa penting dalam
kehidupan kerajaan mempawah. Antara lain, pendaratan pertama Opu Daeng
Manambon, putra Bugis pendiri kerajaan Mempawah dan kematian beliau sebagai panembahan
pertama kerajaan itu. Dapat pula dikatakan bersifat religius karena terdapat
ibadah bagi orang Islam yaitu permohonan do’a kepada Allah SWT agar seluruh
warga masyarakat diselamatkan dari bala’ bencana yang dapat menimpa
sewaktu-waktu. Dikategorikan bersifat magis karena upacara ini bersifat memberi
persembahan dan permintaan ampun dari manusia-manusia kepada para leluhur,
khusunya arwah para Panembahan Mempawah dan makhluk-makhluk halus yang
dipercayai mempunyai kelebihan dari manusia. Dari para leluhur dan
makhluk-makhluk halus itu diharapkan dapat memberikan pertolongan pada manusia
untuk melindungi dari bala bencana yang akan menimpa.
Selain itu, acara tambahan pihak panitia juga menggelar kirab
benda-benda pusaka Kerajaan Amantubillah, setelah itu benda yang telah diarak
keliling Kota Mempawah menjalani ritual pembersihan di Keraton Amantubillah.
Panitia pun telah mengundang semua keraton yang ada di Indonesia, Malaysia,
Brunei Darussalam dan Singapura untuk menghadiri perayaan tersebut. Hal ini bertujuan
untuk sekaligus menjalin tali persaudaraan dengan Negara tetangga melalui
sebuah tradisi yang identik dengan budaya mereka.
C.
Nilai-Nilai Budaya yang dapat
di Gali melalui Tradisi Robo’-Robo’
Dalam kegiatan tradisi Robo’-Robo’ terdapat banyak sekali
runtutan-runtutan acara yang banyak mengandung nilai-nilai budaya. Hiburan yang
berupa tarian Angin Mamiri dari Tanah Bugis ataupun yang berbau khas lainnya
yang menjadi khas suatu acara kebudayaan turut mengisi salah satu acara. Selain
itu, dalam hal ini juga terdapat banyak tempat yang dipergunakan untuk
penyelenggaraan upacara sejak hari Selasa sampai pada siang hari Rabunya.
Tempat-tempat tersebut adalah :
- Makam Opu
Daeng Manambom di sebukit Rama
- Makam
Para Panembahan Mempawah di Pulau Pedalaman agak hulu dari Kuala Mempawah
- Di daerah
pantai yang dikenal oleh penduduk Mempawah sebagai tempat pendaratan
pertama dari Armada Opu Daeng Manambon
- Di dalam setiap
gang di Kota Mempawah
- Di Kuala
Mempawah mulai dari jembatan induk sampai daerah pantai
Upacara ziarah kubur diselenggarakan pada hari Selasa terakhir bulan
Syafar, pada malam Rabu diselenggarakan acara masak-masak diperkampungan tempat
pendaratan pertama Opu Daeng Manambon ketika membangun Mempawah menjadi sebuah
perkampungan. Pada malam itu juga diselenggarakan upacara-upacara persembahan
sesajian untuk para penjaga air.
Hari Rabu pada pagi harinya selesai sholat shubuh diselenggarakan upacara kenduri oleh setiap kelompok masyarakat, khususnya masyarakat di Kota Mempawah, upacara hari Rabu itu kemudian dilanjutkan pada siang harinya berupa perlombaan sampan di Kuala Mempawah.
Hari Rabu pada pagi harinya selesai sholat shubuh diselenggarakan upacara kenduri oleh setiap kelompok masyarakat, khususnya masyarakat di Kota Mempawah, upacara hari Rabu itu kemudian dilanjutkan pada siang harinya berupa perlombaan sampan di Kuala Mempawah.
Untuk pihak-pihak yang terlibat dalam upacara, hampir seluruh warga
masyarakat di wilayah Kabupaten Pontianak khususnya suku Bugis dan Melayu
merasa turut terlibat dalam penyelenggaraan upacara Robo’-Robo’. Penduduk dalam
kota ikut aktif menyelenggarakan upacara baik secara sendiri-sendiri maupun
secara bersama-sama. Yang tidak ikut aktif dalam kegiatan upacara keterlibatan
mereka adalah dalam hal turut serta meramaikannya, terutama anak-anak muda
laki-laki atau wanita mengambil kesempatan dalam acara ini untuk bersuka ria di
tempat-tempat hiburan.
Dikalangan keluarga bangsawan keterlibatan dalam upacara ini ialah
dalam melakukan ziarah makam para panembahan baik panembahan Opu Daeng Manambon
atau panembahan-panembahan yang lainnya.
Dilingkungan istana pada hari Selasa, keluarga kerajaan dan masyarakat sudah berkumpul untuk bersama-sama menuju bukit guna menziarahi makam para panembahan. Sebelumnya telah dipersiapkan alat-alat perlengkapan upacara yang akan dibawa ke makam, terutama sesajian, air tolak bala, kendaraan air dan makanan, sementara panitia menyiapkan alat-alat untuk keperluan ziarah.
Dilingkungan istana pada hari Selasa, keluarga kerajaan dan masyarakat sudah berkumpul untuk bersama-sama menuju bukit guna menziarahi makam para panembahan. Sebelumnya telah dipersiapkan alat-alat perlengkapan upacara yang akan dibawa ke makam, terutama sesajian, air tolak bala, kendaraan air dan makanan, sementara panitia menyiapkan alat-alat untuk keperluan ziarah.
Pada waktu malam Rabu para ibu rumah tangga di kota Mempawah sibuk
dengan tugas masak-memasak untuk keperluan keesokan harinya. Sementara itu,
para tetua kampung menyelenggarakan sesajian untuk diantar ke Sungai Mempawah,
nasi dan lauk-pauk dihidangkan diatas tikar untuk makan sekeluarga dan sahabat
yang diundang. Pukul 07.00 atau 08.00 Upacara Kenduri dimulai, tetua kampung
pun membacakan do’a selamat dan do’a tolak bala, selesai membaca do’a makanlah
sekeluarga didalam satu gang bersama-sama. Selesai makan, Upacara Kenduri pun
selesailah dan gang itu dikemaskan kembali sampai bersih.Pada zaman kini
upacara ritual mandi Safar masih tetap dilaksanakan dengan berkumpulnya
beberapa orang, baik dari pihak keluarga tertentu maupun pihak keluarga lainnya
pada suatu tempat yang sudah ditentukan bersama, mereka saling kenal sehingga
terjadi interaksi antarwarga dan tidak menutup kemungkinan terjadinya asimilasi
dari berbagai suku yang ada. Kegiatan Upacara Ritual Mandi Safar kini tidak
hanya pada masyarakat suku Melayu akan tetapi ada juga dari suku-suku pendatang
lainnya yang ikut membaur dan beradabtasi dengan lingkungan, seperti rasa
solidaritas sesama warga yang mengadakan ritual tersebut.
D.
Manfaat dan Tujuan Ritual
Robo’-Robo’
Kegiatan ini banyak terdapat manfaat-manfaat yang kita anggap tidak
terlalu penting, tetapi terlihat dalam beberapa kegiatan adanya Saprahan yang
akan membangun rasa simpati terhadap sesama, terlebih pula untuk mempererat
tali silaturrahmi bagi para peserta yang mengikuti tradisi ini. Robo’-Robo’
bagi sebagian masyarakat lokal menjadi berkah tersendiri untuk mendulang
rupiah, mereka berjualan berbagai produk di deretan kios di sekitar lokasi yang
berubah menjadi pasar kaget. Arti lambang dalam kegiatan Upacara Robo’-Robo’
antara lain;
- Perahu
lancang kuning melambangkan perahu raja-raja Kesultanan Mempawah yang
dipakai oleh para kaum kerabat kerajaan Mempawah
- Beras
kuning melambangkan emas dan bertih melambangkan perak, menabur beras dan
bertih melambangkan agar para leluhur turut hadir di dalam upacara adat
tersebut
- Sesajian
lauk-pauk dengan air melambangkan untuk para makhluk yang menjaga wilayah
perairan
- Memasak
dipantai Kuala Mempawah melambangkan rombongan Opu Daeng Manambun untuk
mempersiapkan makan di daerah Sungai Mempawah
- Lantunan
suara azan di Sungai Mempawah melambangkan pertama kali rombongan Opu
Daeng Manambun mengumandangkan azan di wilayah Mempawah
- Air tolak
bala dan air Salamun Tujuh melambangkan upaya manusia untuk menolak bala
bencana yang mengancam kehidupan
- Kuntum
bunga mawar melambangkan wewangian para leluhur untuk ditaburkan pada
makam
- Air
tepung tawar melambangkan penawaran bagi segala bencana yang datang
- Ketupat
melambangkan bebasnya manusia dari bencana
- Upacara
dipinggiran sungai melambangkan agar mendapatkan keselamatan dari bencana
yang datang dari arah laut
Sedangkan hal yang ingin dicapai dengan diselenggarakannya upacara
ini ialah :
- Memperingati
peristiwa historis penting bagi kerajaan Mempawah yaitu tentang kedatangan
pendaratan pertama Opu Daeng Manambon di wilayah Mempawah. Peristiwa lain
yang diperingati ialah wafatnya Opu Daeng Manambon pendiri kerajaan
Mempawah pada hari selasa bulan syafar tahun 1766
- Memohon
ampun dan memohon pertolongan kepada Tuhan yang maha kuasa agar seluruh
warga masyarakat diselamatkan dari bala bencana yang banyak diturunkan
pada setiap bulan syafar
- Pemujaan
dan penghormatan kepada para leluhur, khusunya para panembahan Mempawah
yang telah memimpin dan mengembangakan wilayah kerajaan Mempawah, agar
diampunkan dosa-dosanya dan dibalas jasa-jasanya oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa
- Robo’-Robo’
diselenggarakan untuk mengikuti adat-istiadat yang telah turun-temurun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar