Sabtu, 05 Maret 2016

SEJARAH ROBO’-ROBO’

SOSIOLOGI DAKWAH
SEJARAH ROBO’-ROBO’


DOSEN PENGAMPU :
ABU BAKAR, M. Si



OLEH :
MARYAMATUL MUNAWWARAH

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM  (KPI)
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014

SEJARAH ROBO’-ROBO’
A.    Latar Belakang
Indonesia terkenal dengan negara yang memiliki seribu kemajemukan budaya pariwisata, potensi kebudayaan didalamnya menghasilkan sebuah masyarakat yang heterogen. Hal ini membuat banyak perbedaan budaya serta keberagaman yang menghasilkan suatu multikultural. Multikulturalisme mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini maka prinsip “Bhineka Tunggal Ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud.
Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Pada zaman globalisasi ini, umumnya masih ada kita temukan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat kebudayaan daerahnya dan hal itu menjadikan suatu kebiasaan yang harus dilaksanakan, apalagi tradisi kebudayaan tersebut bersifat sakral. Tradisi dan budaya merupakan beberapa hal yang menjadi sumber dari akhlak dan budi pekerti.
Kalimantan Barat juga memiliki beragam budaya dan tradisi yang berasal dari banyak suku, diantaranya : Dayak, Melayu, Tionghoa, Madura, Bugis, dan masih banyak lagi. Ciri khas dari masing-masing kebudayaan menjadikan suatu keunikan tersendiri bagi daerah. Salah satunya suku Bugis Kalimantan Barat yang identik dengan Melayu, suku Bugis ini memiliki banyak sekali tradisi yang masih kental yang juga bersifat sakral. Seperti tradisi Robo’-Robo’ yang dikenal sebagai tradisi yang memperingati hari datangnya seseorang dari tanah Bugis Sulawesi Selatan pada tahun 1637. Kedatangan Raja Mempawah Opu Daeng Manambon dari Bone, Sulawesi Selatan di abad ke-17 diabadikan dalam tradisi Robo’-Robo’.
Upacara sakral yang sering dilakukan adalah berupa wujud dari rasa syukur atas karunia yang diberikan dan sekaligus memohon keselamatan, hal ini masih terus berlangsung secara terus menerus bagi masyarakat pendukungnya. Tradisi Robo’-Robo’ sendiri merupakan agenda Visit Kalbar 2010 dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Barat (Gaya Hidup, 2010).

B.     Asal-Usul Tradisi Robo’-Robo’
Kesultanan Mempawah kini berbeda dengan Kerajaan Mempawah pertama kali berdiri yaitu sekitar tahun 1610 M. Mempawah kembali bangkit tampil sebagai pemimpin baru adalah Panembahan Kudong/Kudung atau juga disebut panembahan yang tidak berpusat, Raja Kudong memindahkan pusat ibu kota Mempawah ke Pekana (Karangan). Setelah Raja Kudong meninggal pada tahun 1680 M, tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Panembahan Senggauk. Panembahan Senggau menikah dengan putri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri Sumatra yang bernama Putri Cermin, mereka dikaruniai seorang anak perempuan, Mas Indrawati. Ketika usia Mas Indrawati telah beranjak dewasa, ia dinikahkan dengan Panembahan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan (Ketapang). Dari hasil perkawinan ini, lahirlah seorang putri cantik bernama Putri Kesumba. Ketika dewasa, Putri Kesumba dinikahkan dengan Opu Daeng Menambun.
Awal diperingatinya Robo’-Robo’ ini sendiri, bermula dengan kedatangan rombongan Opu Daeng Manambon dan Putri Kesumba yang merupakan cucu Panembahan Mempawah kala itu yakni Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan Raja Patih Gumantar dari Kerajaan Bangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi. Masuknya Opu Daeng Manambon dan istrinya Putri Kesumba ke Mempawah bermaksud menerima kekuasaan dari Panembahan Putri Cermin kepada Putri Kesumba yang bergelar Ratu Agung Sinuhun bersama suaminya, Opu Daeng Manambon yang selanjutnya bergelar Pangeran Mas Surya Negara sebagai pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Berlayarnya Opu Daeng Manambon dari Kerajaan Matan Sukadana (Kabupaten Ketapang) diiringi sekitar 40 perahu. Saat masuk di Muara Kuala Mempawah, rombongan disambut dengan suka cita oleh masyarakat Mempawah, penyambutan itu dilakukan dengan memasang berbagai kertas dan kain warna warni di rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir sungai. Bahkan, beberapa warga pun menyongsong masuknya Opu Daeng Manambon ke Sungai Mempawah dengan menggunakan sampan.
Terharu karena melihat sambutan rakyat Mempawah yang cukup meriah, Opu Daeng Manambon pun memberikan bekal makanannya kepada warga yang berada di pinggir sungai untuk dapat dinikmati mereka juga. Karena saat kedatangannya bertepatan dengan hari Minggu terakhir bulan Syafar, lantas rombongan tersebut menyempatkan diri turun di Kuala Mempawah. Selanjutnya Opu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya, mohon keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai melakukan doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama.
Bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, bulan Safar diyakini sebagai bulan na’as dan sial, Sang Pencipta dipercayai menurunkan berbagai malapetaka pada bulan Safar. Oleh sebab itu, masyarakat yang meyakininya akan menggelar ritual khusus agar terhindar dari “Kemurkaan” bulan Safar. Ritual tersebut juga dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur, namun pandangan di atas berbeda dengan pandangan masyarakat Kota Mempawah yang menganggap bulan Safar sebagai “Bulan Keberkahan” dan kedatangannya senantiasa dinanti-nantikan, karena pada bulan Safar terjadi peristiwa penting yang sangat besar artinya bagi masyarakat Kota Mempawah hingga saat ini.
Peristiwa penting tersebut kemudian diperingati dengan menggelar Ritual Robo’-Robo’. Tujuan digelarnya ritual ini adalah untuk memperingati kedatangan atau napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan, Martapura, Kabupaten Ketapang, ke Kerajaan Mempawah Kabupaten Pontianak pada tahun 1737 M/1448 H. Opu Daeng Menambon adalah putra ketiga Opu Daeng Rilekke yang terkenal sebagai pelaut handal dan gemar sekali melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Nusantara bersama dengan anak-anaknya. Opu Daeng Rilekke sendiri adalah putra ketiga Sultan La Madusalat dari Kesultanan Luwuk, Bone, Sulawesi Selatan, yang telah menjadi Kesultanan Islam sejak tahun 1398 M.
Opu Daeng Menambon beserta keluarganya pindah dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah atas permintaan Panembahan Senggauk Raja Mempawah waktu itu. Setelah Panembahan Senggauk mangkat, Opu Daeng Menambon naik tahta dan beliau berkuasa di sana sekitar 26 tahun yakni dari tahun 1740 M sampai beliau wafat pada tahun 1766 M. Opu Daeng Menambon memindahkan pusat kerajaan ke Sebukit Rama (kira-kira 10 km) dari Kota Mempawah. Masa pemerintahan Opu Daeng Menambun merupakan masa di mana Kesultanan Mempawah Islam mulai berdiri dan kemudian berkembang. Pada masanya, penduduk Mempawah dikenal sebagai penganut Islam yang sangat taat, Opu Daeng Menambon sendiri dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan lebih mementingkan musyawarah dalam memutuskan berbagai kebijakan kesultanan.
 Habib Husein Alkadrie, ulama terkenal asal Kalimantan Barat pernah pindah dari Matan ke Mempawah. Salah seorang putri Opu Daeng Menambun, Utin Candramidi dinikahkan dengan Sultan Syarif Abdurrahman (Sultan I di Kesultanan Kadriah), putra Habib Husein Alkadrie. Ritual ini bersifat historis karena upacara ini dikaitkan dengan peristiwa penting dalam kehidupan kerajaan mempawah. Antara lain, pendaratan pertama Opu Daeng Manambon, putra Bugis pendiri kerajaan Mempawah dan kematian beliau sebagai panembahan pertama kerajaan itu. Dapat pula dikatakan bersifat religius karena terdapat ibadah bagi orang Islam yaitu permohonan do’a kepada Allah SWT agar seluruh warga masyarakat diselamatkan dari bala’ bencana yang dapat menimpa sewaktu-waktu. Dikategorikan bersifat magis karena upacara ini bersifat memberi persembahan dan permintaan ampun dari manusia-manusia kepada para leluhur, khusunya arwah para Panembahan Mempawah dan makhluk-makhluk halus yang dipercayai mempunyai kelebihan dari manusia. Dari para leluhur dan makhluk-makhluk halus itu diharapkan dapat memberikan pertolongan pada manusia untuk melindungi dari bala bencana yang akan menimpa.
Selain itu, acara tambahan pihak panitia juga menggelar kirab benda-benda pusaka Kerajaan Amantubillah, setelah itu benda yang telah diarak keliling Kota Mempawah menjalani ritual pembersihan di Keraton Amantubillah. Panitia pun telah mengundang semua keraton yang ada di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura untuk menghadiri perayaan tersebut. Hal ini bertujuan untuk sekaligus menjalin tali persaudaraan dengan Negara tetangga melalui sebuah tradisi yang identik dengan budaya mereka.
C.     Nilai-Nilai Budaya yang dapat di Gali melalui Tradisi Robo’-Robo’
Dalam kegiatan tradisi Robo’-Robo’ terdapat banyak sekali runtutan-runtutan acara yang banyak mengandung nilai-nilai budaya. Hiburan yang berupa tarian Angin Mamiri dari Tanah Bugis ataupun yang berbau khas lainnya yang menjadi khas suatu acara kebudayaan turut mengisi salah satu acara. Selain itu, dalam hal ini juga terdapat banyak tempat yang dipergunakan untuk penyelenggaraan upacara sejak hari Selasa sampai pada siang hari Rabunya. Tempat-tempat tersebut adalah :
  1. Makam Opu Daeng Manambom di sebukit Rama
  2. Makam Para Panembahan Mempawah di Pulau Pedalaman agak hulu dari Kuala Mempawah
  3. Di daerah pantai yang dikenal oleh penduduk Mempawah sebagai tempat pendaratan pertama dari Armada Opu Daeng Manambon
  4. Di dalam setiap gang di Kota Mempawah
  5. Di Kuala Mempawah mulai dari jembatan induk sampai daerah pantai
Upacara ziarah kubur diselenggarakan pada hari Selasa terakhir bulan Syafar, pada malam Rabu diselenggarakan acara masak-masak diperkampungan tempat pendaratan pertama Opu Daeng Manambon ketika membangun Mempawah menjadi sebuah perkampungan. Pada malam itu juga diselenggarakan upacara-upacara persembahan sesajian untuk para penjaga air.
Hari Rabu pada pagi harinya selesai sholat shubuh diselenggarakan upacara kenduri oleh setiap kelompok masyarakat, khususnya masyarakat di Kota Mempawah, upacara hari Rabu itu kemudian dilanjutkan pada siang harinya berupa perlombaan sampan di Kuala Mempawah.
Untuk pihak-pihak yang terlibat dalam upacara, hampir seluruh warga masyarakat di wilayah Kabupaten Pontianak khususnya suku Bugis dan Melayu merasa turut terlibat dalam penyelenggaraan upacara Robo’-Robo’. Penduduk dalam kota ikut aktif menyelenggarakan upacara baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Yang tidak ikut aktif dalam kegiatan upacara keterlibatan mereka adalah dalam hal turut serta meramaikannya, terutama anak-anak muda laki-laki atau wanita mengambil kesempatan dalam acara ini untuk bersuka ria di tempat-tempat hiburan.
Dikalangan keluarga bangsawan keterlibatan dalam upacara ini ialah dalam melakukan ziarah makam para panembahan baik panembahan Opu Daeng Manambon atau panembahan-panembahan yang lainnya.
Dilingkungan istana pada hari Selasa, keluarga kerajaan dan masyarakat sudah berkumpul untuk bersama-sama menuju bukit guna menziarahi makam para panembahan. Sebelumnya telah dipersiapkan alat-alat perlengkapan upacara yang akan dibawa ke makam, terutama sesajian, air tolak bala, kendaraan air dan makanan, sementara panitia menyiapkan alat-alat untuk keperluan ziarah.
Pada waktu malam Rabu para ibu rumah tangga di kota Mempawah sibuk dengan tugas masak-memasak untuk keperluan keesokan harinya. Sementara itu, para tetua kampung menyelenggarakan sesajian untuk diantar ke Sungai Mempawah, nasi dan lauk-pauk dihidangkan diatas tikar untuk makan sekeluarga dan sahabat yang diundang. Pukul 07.00 atau 08.00 Upacara Kenduri dimulai, tetua kampung pun membacakan do’a selamat dan do’a tolak bala, selesai membaca do’a makanlah sekeluarga didalam satu gang bersama-sama. Selesai makan, Upacara Kenduri pun selesailah dan gang itu dikemaskan kembali sampai bersih.Pada zaman kini upacara ritual mandi Safar masih tetap dilaksanakan dengan berkumpulnya beberapa orang, baik dari pihak keluarga tertentu maupun pihak keluarga lainnya pada suatu tempat yang sudah ditentukan bersama, mereka saling kenal sehingga terjadi interaksi antarwarga dan tidak menutup kemungkinan terjadinya asimilasi dari berbagai suku yang ada. Kegiatan Upacara Ritual Mandi Safar kini tidak hanya pada masyarakat suku Melayu akan tetapi ada juga dari suku-suku pendatang lainnya yang ikut membaur dan beradabtasi dengan lingkungan, seperti rasa solidaritas sesama warga yang mengadakan ritual tersebut.
D.    Manfaat dan Tujuan Ritual Robo’-Robo’
Kegiatan ini banyak terdapat manfaat-manfaat yang kita anggap tidak terlalu penting, tetapi terlihat dalam beberapa kegiatan adanya Saprahan yang akan membangun rasa simpati terhadap sesama, terlebih pula untuk mempererat tali silaturrahmi bagi para peserta yang mengikuti tradisi ini. Robo’-Robo’ bagi sebagian masyarakat lokal menjadi berkah tersendiri untuk mendulang rupiah, mereka berjualan berbagai produk di deretan kios di sekitar lokasi yang berubah menjadi pasar kaget. Arti lambang dalam kegiatan Upacara Robo’-Robo’ antara lain;
  1. Perahu lancang kuning melambangkan perahu raja-raja Kesultanan Mempawah yang dipakai oleh para kaum kerabat kerajaan Mempawah
  2. Beras kuning melambangkan emas dan bertih melambangkan perak, menabur beras dan bertih melambangkan agar para leluhur turut hadir di dalam upacara adat tersebut
  3. Sesajian lauk-pauk dengan air melambangkan untuk para makhluk yang menjaga wilayah perairan
  4. Memasak dipantai Kuala Mempawah melambangkan rombongan Opu Daeng Manambun untuk mempersiapkan makan di daerah Sungai Mempawah
  5. Lantunan suara azan di Sungai Mempawah melambangkan pertama kali rombongan Opu Daeng Manambun mengumandangkan azan di wilayah Mempawah
  6. Air tolak bala dan air Salamun Tujuh melambangkan upaya manusia untuk menolak bala bencana yang mengancam kehidupan
  7. Kuntum bunga mawar melambangkan wewangian para leluhur untuk ditaburkan pada makam
  8. Air tepung tawar melambangkan penawaran bagi segala bencana yang datang
  9. Ketupat melambangkan bebasnya manusia dari bencana
  10. Upacara dipinggiran sungai melambangkan agar mendapatkan keselamatan dari bencana yang datang dari arah laut
Sedangkan hal yang ingin dicapai dengan diselenggarakannya upacara ini ialah :

  1. Memperingati peristiwa historis penting bagi kerajaan Mempawah yaitu tentang kedatangan pendaratan pertama Opu Daeng Manambon di wilayah Mempawah. Peristiwa lain yang diperingati ialah wafatnya Opu Daeng Manambon pendiri kerajaan Mempawah pada hari selasa bulan syafar tahun 1766
  2. Memohon ampun dan memohon pertolongan kepada Tuhan yang maha kuasa agar seluruh warga masyarakat diselamatkan dari bala bencana yang banyak diturunkan pada setiap bulan syafar
  3. Pemujaan dan penghormatan kepada para leluhur, khusunya para panembahan Mempawah yang telah memimpin dan mengembangakan wilayah kerajaan Mempawah, agar diampunkan dosa-dosanya dan dibalas jasa-jasanya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
  4. Robo’-Robo’ diselenggarakan untuk mengikuti adat-istiadat yang telah turun-temurun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar