Selasa, 01 Maret 2016

Hasan Hanafi

A.    Riwayat Hidup Hasan Hanafi
Hasan Hanafi dilahirkan di Kairo, Mesir, pada 14 Februari 1934, seperti kebanyakan anak-anak  Mesir lainnya Hanafi muda sudah belajar ilmu-ilmu agama Islam. Ketika masih duduk di madrasah tsanawiyah Khalil Agha dia sudah aktif dalam diskusi-diskusi Ikhwanul Muslimin, selain itu beliau juga mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb tentang keadilan sosial. Hal inilah yang membuatnya tertarik untuk bergelut dengan aktivitas pemikiran dan intelektualitas. Pendidikan dasar hingga tingginya diselesaikan di tanah kelahirannya, dan gelar Doktor dia raih pada 1966 di Universitas Sorbonne, Paris, Preancis dengan disertasi setebal 900 halaman berjudul Essai Sur la Methode d'exegese (Essai tentang Metode Penafsiran). Karya tulis ini menjadi karya tulis terbaik di Mesir pada tahun 1961.[1]
Hasan Hanafi adalah seorang Pemikir reformis Mesir dan professor Filsafat. Lahir dari leluhur Berber dan Badui Mesir. Dia mengajar bahasa Arab di Ecole des Langues Orientalis untuk  memperoleh uang tambahan sewaktu menjadi mahasiswa tingkat sarjana di Paris (1956-1966). Sekembalinya di Mesir, dia mengajarkan pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan kemudian Filsafat Islam di Universitas Kairo. Sebagai Profesor Tamu, dia juga mengajar di berbagai Universitas di Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975), Kuwait (1975), Maroko(1982-1984), Jepang (1984-1985) dan Uni Emirat Arab (1985). Selain itu dia juga menjadi konsultan akademis di Universitas PBB di Tokyo (1985-1987)[2].
Ketika masih duduk di sekolah menengah Khalil Agha di Kairo (1948-1952)[3],  tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Hal inlah yang menjadikan alasannya untuk turut bergabung mengabdikan diri guna mencapai revolusi. Ia pun turut bergabung dngan berbagai organisasi pergerakan seperti Pemuda Muslimin, Ikhwanul Muslimin,  Mesir Muda yang satu suara menyerukan revolusi, namun ketika ia bergabung dengan organisasi-organisasi tersebut kekecewaanlah yang timbul dari benaknya karena betapa masih banyaknya permasalahan-permasalahan intern setiap organisasi yang mengakibatkan kesan terkotak-kotaknya pemikiran Pemuda Islam saat itu. Dari situ ia mengerti dan dapat menelaah kelemahan krusial ummat Islam khususnya para Pemuda Islam yang masih tercerai berai dan tidak bersatu padu dalam pergerakan revolusioner.
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir,  pembaharu, dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.
   Banyak pakar menyebutkan bahwa karya Hasan Hanafi tersebut merupakan suatu eksperimentasi yang menarik, karena relativitasnya sangat tinggi dari kebenaran, yang ditarik dari rangkaian fenomena dengan variasi tak berhingga, sehingga dapat diproyeksikan kepada ‘kepastian’ normatif yang berdimensi waktu abadi dari hukum agama, yang bertumpu pada ‘rasionalitas Tuhan’ (logos). Infinitas dari rangkaian fenomena kehidupan yang sama sekali tidak memiliki pretensi kelanngengan, diterapkan pada ketangguhan kerangka berpikir yang mendukung keabadian kitab suci Al-quran. Ikhtiar ini-sekali pun terlihat utopis dan ambisius- merupakan tawaran menarik bagi ala pikiran kefilsafatan dunia Timur. Melalui elaborasi secara ketat, realitas sosial diuraikan untuk meneguhkan kebenaran agama. Sebuah eksperimen yang jarang dilakukan oleh pemikir di belahan dunia manapun. Pemikiran Hasan Hanafi pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari persinggungan dia dengan beberapa pemikir besar Prancis yang menjadi dosennya, seperti Jean Gitton, Paul Ricouer, dan juga Edmund Husserl[4]. Bahkan sepuluh tahun hidup (belajar) di Perancis adalah rentang waktu yang cukup lama untuk bisa memahami tradisi pemikiran Barat dengan baik, dimana pada saat itu ia begitu akrab dengan filsafat poststrukturalisme,  fenomenologi dan juga eksistensialisme.[5]
A. Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karyanya
Dalam pembahasan ini pemakalah coba menguraikan dengan membaginya pada 3 Periode yakni, Periode pertama berlangsung pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an.
Pada awal dasawarsa tahun (1956-1966), Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam. Dalam periode ini corak pemikiran dari karya-karyanya masih bersifat karya ilmiah murni. Terlihat dari karya penelitinya selama belajar di Prancis yakni disertasinya yang berjudul Essai sur la Methode d’ Exegese(Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. [6]
Di awal peri­ode 1970-an, Hanafi juga memberikan perhatian uta­manya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal peri­ode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam menanggapi pro­blema umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemi­kiran Islam untuk menghidupkan kembafi khazanah tradisional Islam.[7]
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah “manifesto politik” yang berbau ideologis, yang akan diuraikan di pembahsan selanjutnya.[8]
B.  Pemikiran Pembaharuan Hasan Hanafi
1.   Delapan Strategi Pembaharuan
Hanafi menawarkan delapan model rekonstruksi untuk mengubah keadaan umat dalam menghadapi zaman modern.[9]  yaitu  ;
Pertama, dari Tuhan ke bumi. Yang dimaksudkan oleh Hanafi tampaknya adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang maha Pencipta yang harus diimplemtasikan pengolahan dan pengelolaan bumi sebagai sumber kehidupan manusia. Menurutnya, percaya kepada Tuhan berarti bekerja di Bumi, berusaha untuk hidup layak dan berguna.
Kedua, dari Keabadian ke Waktu. Hanafi berpendapat bahwa pembangunan tidak akan berlangsung jika berorientasi keabadian.  Menurut Hanafi, hal ini dikarnakan pembangunan berarti tahapan-tahapan dalam waktu yang harus diikuti sesuai perencanaan. Dalam hal ini, tampaknya Hanafi menganjurkanagar umat Islam pandai melakukan manajemen waktu dan disiplin dalam menggunakannya. Dan yang dimaksud Hanafi dengan keabadian adalah kehidupan pascadunia, yang merupakan tujuan akhir setiap pemeluk agama.
Ketiga, dari takdir ke kehendak bebas. Yang ia maksudkan adalah pembangunan akan sangat menguntungkan apabila prioritas diberikan kepada kehendak bebas manusia dari pada takdir Tuhan. Dengan kata lain, bukanlah melihat sifat-sifat tuhan seperti kemahakuasaan, melainkan memperkuat kehendak bebas dan kapasitas manusia untuk membangun dan berproduksi.
Keempat, dari otoritas akal. Hasan Hanafi begitu gencarnya mendorong Ummat Islam untuk mendayagunakan akal, samapai-sampai ia mengatakan “ Akal sama dengan Wahyu dan keduanya sama dengan alam.
Kelima, dari teori ke tindakan. Hanafi nampaknya bosan dengan jargon-jargon dan slogan-slogan ideologi di Negara-negara dunia ketiga yang tidak pernah memikirkan implemtasinya. Ia mengatakan bahwa dalam Islam perbuatan yang baik merupakan satu-satunya manifestasi Iman. Karna iman tanpa tindakan adalah omong kosong. Maka dengan tegas ia mengatakan bahwa tindakan yang benar yang didasari pada teori yang salah adalah lebih baik disbanding denagan teori yang benar tanpa tindakan.
Keenam, Kharimsa ke Partisipasi massa, umumnya di dunia ketiga, pembangunan dikendalikan oleh pemimpin yang kharismatik tanpa memandang partispasi massa. Dalam hal ini, Hanafi memandang perlu perubahan orientasi dari kepemimpinan kharismatik menuju komunitas massa.
Ketujuh, dari jiwa ke tubuh,  dalam hal ini Hanafi cenderung eksoteris dalam memandang kemanusiaan. Masalah tubuh, katanya, adalah masalah utama di dunia ketiga yakni kelaparan,kekeringan, perumahan, tranportasi, dan lain sebagainya.
Kedelapan, dari eskatologi ke futurlogi, Eskatologi berarti masa depan manusia dan dunia. Manusia harus mempersiapkan diri utuk sebuah masa depan yang baik dan membuat dunia ini menjadi dunia yang sebaik-baiknya.
Dari tawaran model rekonstruksiyang duraikandi atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa  Hasan Hanafi adalahseorang ideolog yang menawarkan ideology alternatif bagi pembangunan umat Islam khususnya dan manusia pada umumya. Jelas terbaca bahwa pemikiran-pmikiran Hasan Hanafi lebih berorientasi pada eksistensi manusia (antroposentris). Dan juga gagasan-gagasannya tidak berhenti pada tataran ideologis konseptul dan filosofis, namun juga berusaha mengajukan langkah-langkah oprasionalnya. Karena iu, selalu mewujudkan segala sesuatu yang bersifat esoteris menjadi eksoteris. Atau dengan kata lain ia selalu mengubah konsep yang idealis menjadi parkisis. Lihat misalnya, konsep tentang Otoritas-Akal, Takdir-Kehendak bebas, Teori-Tindakan, dan Jiwa-Tubuh.  
2.   Teologi Klasik dan Teologi Pembebasan

Hasan Hanafi memiliki corak kalam yang dekat dengan Mu`tazilah. Bahkan secara tegas dalam salah satu risalahnya ia mengikuti teologi kiri untuk menyebut Mu`tazilah.
Hal yang menarik  dari Hanafi adalah pemikiran teologisnya memiliki concern yang intens terhadap persoalan kemanusiaan masa kini, terlepas dari kaitan teologi klasik di atas. Ini terlihat misalnya pada saat ia mendefinisikan “teologi” itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu Tuhan, mlainkan ilmu tentang perkataan (ilmu kalam). Menurutnya, tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan tercermin dalam istilah logology. Ilmu perkataan adalah ilmu tentang analisis percakapan. Ia merupakan ilmu kemanusiaan, bukan ilmu ketuhanan. Teologi sebagai hermenautika, bukanlah ilmu yang suci melainkan ilmu social yang tersusun secara kemanusiaan.[10]
Bila penafsiran baru tentang teologi seperti itu yang dipakai Hanafi, tampaknya ia dapat disebut sbagai penganut mazhab teologi pembebasan. Teologi pembebasan menghendaki terjadinya tatanan baru mendobrak kebekuan berpikir dan ketergantungan manusia terhadap kemampuan system dan struktur yang membelenggu kehidupan. Teologi Pembebasan Hassan Hanafi mendorong ummat Islam agar melakukan tranformasi mendasar dalam kehidupan melalui pengikisan segala macam bentuk feodalisme dan penindasan.
Komitment Hanafi terhadap nasib umat demikian besarnya sehingga dalam setiap tulisan sering ia mulai ucapan bismill ummah dan bukan bismillah demikian juga hal-hal yang sifatnya transenden selalu ditafsirkan pada orientasi kemanusiaan. Masalah tasauf, misalnya, ditafsirkan sedimikian rupa hingga makna orientasinya semakin menerebos tradisi-tradisi mistik tradisional. Maka hampir setiap bidang pemikiran tradisional direonstruksi oleh hanafi menjadi pemikiran yang dapat diwujudakn bagi kemaslahatan kemanusiaan.  

3.   Turas dan Tajdid sebagai formula baru untuk Peradaban Islam
           Apa arti “Turas dan Tajdid” ? Turas adalah segala sesuatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam peradaban yang dominan, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus masalah penerima yang hadir dalam berbagai tingkatan.[11] Turas merupakan titik awal sebagai tanggung jawab kebudayaan dan bangsa, sedangkan Tajdid adalah penafsiran ulang atas turas  sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lamamendahului yang baru. Otentisitas adalah asas modernitas, sedangkan sarana menghantarkan pada tujuan.[12] Turas adalah perantara, sedangkan Tajdid adalah tujuan yaitu berpartisipasi dalam pengembangan realitas, memecahkan problema-problemanya, menghilangkan factor-faktor penghambatnya dan membuka keran-keran yang menghambat setiap upaya pengembangnnya. 
           Jika Turas menunjuk ke masa lalu dan Tajdid menunjuk ke masa sekarang, maka persoalannya “Turas dan Tajdid” adalah persoalan homogenitas dalam zaman, mengaitkan masa lalu dengan masa kini dan menciptakan kesatuan sejarah. Maka permasalahan “Turas dan Tajdid” adalah persoalan homogenitas peradaban bagi suatu bangsa tertentu dari satu fase ke fase lain menciptakan pemutusan atau keputusan peradaban, tetapi berarti kontiunitas peradaban denagn berlandaskan asas baru dari kebutuhan-kebutuahan zaman.
           “Turas dan Tajdid”  mencerminkan proses peradaban, yaitu pengungkapan sejarah, sebagai kebutuhan yang sangat mendesak dan tuntutan revolusioner dalam kesadaran kontemporer kita demikian pula “Turas dan Tajdid” mengungkapkan persoalan “mengkaji tentang jati diri “ . Mengungkapkan bahwa masa kini hanyalah akumulasi –akumulasi masa lalu dan realitas baru itu sendiri merupakan akibat karena hilangnya jiha lama. Keterbelakangan akan menjadi akibat karena hilangnya teori praksis peradaban kuno. Kemiskinan merupakan akibat dari hilanya system-sistem ekonomi lama. “Turas dan Tajdid” menjamin perwujudan peradaban karena proses ini mengungkapkan, menancapkan akar dan membebaskan diri dari dominasi,metode-metode, konsep-konsep, aliran-aliran, dan system-sistem pemikiran budaya-budaya ofensif.[13]  
4.   Paradigma Kiri Islam
           Kiri islam yang membooming setelah peluncuran Jurnal Kiri Islam adalah kelanjutan Al-Urwa al –Wustqa dan Al-Manar dilihat dari keterkaitanya dengan agenda Islam Al-Afghani : yaitu melawan kolonialisme dan kterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan social serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur. Dengan demikian Kiri Islam merupakan penyempurnaan agenda modern Islam yang mengungkapkan realitas dan tendensi social politik kaum muslimin.
           Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaharuan masyarakat kita dalam beberapa generasi hanya menghsilkan keberhasilan yang relatif, bahkan untuk sebagainya gagal, terutama dalam mengentaskan masalah keterbelakangan. Hal ini disebabkan karena,
           Pertama, berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan menjadikan Islam hanya sekedar ritus kepercayaan ukhrawi. Kedua, liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa  revolusi yang terakhir, ternyata didikte kebudayaan barat berprilaku seperti penguasa kolonial dan hanya melayani kelas-kelas elite yang menguasai aset Negara. Ketiga, Nasionalisme revolusioner yang berhasil melalkukan perubahan-perubahan radikal dalamsistem politik dan konomi ternyata tidak berumur panjanag, tidak banyak mempengaruhimayoritas dan terhenti hanya sebatas slogan belaka. [14]
           Hasan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasar al-Islami: Kitabat fi Al-NahdlaAl-Islamiyah (Kiri Islam: Beberapa Esai tentang KebangkitanIslam) Pada tahun 1981. Dalam sai pertama jurnal itu berjudul “Apa arti Kiri Islam?” ,Hasan Hanafi mendiskuiskan beberapa issue penting berkaitan dengan Kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat.
            Pilar Pertama adalah revitalisasi Khazanah Islam Klasik. Hasan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme untuk revitalisasi Khazanah Islam itu. Hal ini diupayakan guna untuk kemajuan dan kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam.[15]
           Pilar kedua, adalah perlunya menentang peradaban barat. Ia memperingantkan pmbacanya akan bahaynya imperialisme cultural baratyang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan kaya. Ia mengusulkan “Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme” dalamrangka mengakhiri mitos peradaban barat.[16]
           Pilar ketiga, adalah analisis atas realita dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash) dan mengusulkan suatu metode tertentu, agarrealitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Menurutnya dunia Islamkini sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu Imperialisme, zionisme, dan kapitalisme dari luar; kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan dari dalam.Islam Kiri berfokus pada problem-problem era ini.[17] 


DAFTAR PUSTAKA
Hanafi,  Hasan. Turas dan Tajdid. Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 2001.
Harahab, Syahrin.1994. Al-qur’an dan Sekularisasi Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Taha Husain. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodrnme ; telaah kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi. Yogyakarta : LKiS , 1994.





[1]Abdurrahman Wahid, 1993, “Hassan Hanafi dan Eksprementasinya”, pengantar dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi : xi
[2]John L. Esposito . Ensiklopedi Dunia Islam Modern. (Bandung : Mizan, 2001 ), hlm. 148
[3]Ibid.
[4]John L. Esposito, 1995:98
[5]Ruswantoro, dalam Dahlan (ed). 2001: 54
[6]Soleh, A.Khudori.. Wacana Baru Filsafat Islam. ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004 ), h. 133

[7]Syahrin Harahab. Al-qur’an dan Sekularisasi Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Taha Husain. ( Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994 ), h. 89
[8]Kazuo Shimogaki . Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme ; telaah kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi. (Yogyakarta : LKiS , 1994 ), h. 91-92
[9]Didin Saefudin. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam; Biografi Intelktual 17 Tokoh. (Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonsia, 2003 ), h. 186
[10]Didin Saefudin. Pemikiran Modern  dan Postmodern Islam; Biografi Intelktual 17 Tokoh. (Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonsia, 2003 ), h. 193
[11]Hasan Hanafi . Turas dan Tajdid. (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 2001 ), h. 9
[12] Ibid,.
[13]Ibid,. Hlm. 20
[14]Kazuo Shimogaki . Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodrnme ; telaah kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi. (Yogyakarta : LKiS , 1994 ), h. 91-92

[15]Ibid. Hlm. 7
[16] Ibid. Hlm. 8
[17]Ibid,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar