A.
Riwayat Hidup Hasan Hanafi
Hasan Hanafi dilahirkan di Kairo, Mesir, pada 14 Februari 1934,
seperti kebanyakan anak-anak Mesir lainnya
Hanafi muda sudah belajar ilmu-ilmu agama Islam. Ketika masih duduk di madrasah
tsanawiyah Khalil Agha dia sudah
aktif dalam diskusi-diskusi Ikhwanul Muslimin, selain itu beliau juga
mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb tentang keadilan sosial. Hal
inilah yang membuatnya tertarik untuk bergelut dengan aktivitas pemikiran dan
intelektualitas. Pendidikan dasar hingga tingginya diselesaikan di tanah
kelahirannya, dan gelar Doktor dia raih pada 1966 di Universitas Sorbonne,
Paris, Preancis dengan disertasi setebal 900 halaman berjudul Essai Sur la
Methode d'exegese (Essai tentang Metode Penafsiran). Karya tulis ini
menjadi karya tulis terbaik di Mesir pada tahun 1961.[1]
Hasan Hanafi
adalah seorang Pemikir reformis Mesir dan
professor Filsafat. Lahir dari leluhur Berber dan Badui Mesir. Dia mengajar
bahasa Arab di Ecole des Langues Orientalis untuk memperoleh uang
tambahan sewaktu menjadi mahasiswa tingkat sarjana di Paris (1956-1966).
Sekembalinya di Mesir, dia mengajarkan pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan kemudian
Filsafat Islam di Universitas Kairo. Sebagai Profesor Tamu, dia juga mengajar
di berbagai Universitas di Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975), Kuwait
(1975), Maroko(1982-1984), Jepang (1984-1985) dan Uni Emirat Arab (1985).
Selain itu dia juga menjadi konsultan akademis di Universitas PBB di Tokyo
(1985-1987)[2].
Ketika masih
duduk di sekolah menengah Khalil Agha di Kairo (1948-1952)[3],
tepatnya pada tahun 1951, Hanafi
menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan
Suez. Hal inlah yang menjadikan alasannya untuk turut bergabung mengabdikan
diri guna mencapai revolusi. Ia pun turut bergabung dngan berbagai organisasi
pergerakan seperti Pemuda Muslimin, Ikhwanul Muslimin, Mesir Muda yang satu suara menyerukan revolusi,
namun ketika ia bergabung dengan organisasi-organisasi tersebut kekecewaanlah
yang timbul dari benaknya karena betapa masih banyaknya
permasalahan-permasalahan intern setiap organisasi yang mengakibatkan kesan
terkotak-kotaknya pemikiran Pemuda Islam saat itu. Dari situ ia mengerti dan
dapat menelaah kelemahan krusial ummat Islam khususnya para Pemuda Islam yang
masih tercerai berai dan tidak bersatu padu dalam pergerakan revolusioner.
Sejak tahun
1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami
bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di
Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan
dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan
dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang
jelas.
Kejadian-kejadian
yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya
bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu,
dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam
selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.
Banyak pakar menyebutkan bahwa
karya Hasan Hanafi tersebut merupakan suatu eksperimentasi yang menarik, karena
relativitasnya sangat tinggi dari kebenaran, yang ditarik dari rangkaian
fenomena dengan variasi tak berhingga, sehingga dapat diproyeksikan kepada
‘kepastian’ normatif yang berdimensi waktu abadi dari hukum agama, yang
bertumpu pada ‘rasionalitas Tuhan’ (logos).
Infinitas dari rangkaian fenomena kehidupan yang sama sekali tidak memiliki
pretensi kelanngengan, diterapkan pada ketangguhan kerangka berpikir yang
mendukung keabadian kitab suci Al-quran. Ikhtiar ini-sekali pun terlihat utopis
dan ambisius- merupakan tawaran menarik bagi ala pikiran kefilsafatan dunia
Timur. Melalui elaborasi secara ketat, realitas sosial diuraikan untuk
meneguhkan kebenaran agama. Sebuah eksperimen yang jarang dilakukan oleh
pemikir di belahan dunia manapun. Pemikiran Hasan Hanafi pada dasarnya tidak
bisa dilepaskan dari persinggungan dia dengan beberapa pemikir besar Prancis
yang menjadi dosennya, seperti Jean Gitton, Paul Ricouer, dan juga Edmund
Husserl[4].
Bahkan sepuluh tahun hidup (belajar) di Perancis adalah rentang waktu yang cukup
lama untuk bisa memahami tradisi pemikiran Barat dengan baik, dimana pada saat
itu ia begitu akrab dengan filsafat poststrukturalisme,
fenomenologi
dan juga eksistensialisme.[5]
A. Perkembangan
Pemikiran dan Karya-Karyanya
Dalam pembahasan ini pemakalah coba
menguraikan dengan membaginya pada 3 Periode yakni, Periode pertama berlangsung
pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode
ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an.
Pada awal dasawarsa tahun
(1956-1966), Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di
Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan
ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan
rekonstruksi pemikiran Islam. Dalam periode ini corak pemikiran dari
karya-karyanya masih bersifat karya ilmiah murni. Terlihat dari karya
penelitinya selama belajar di Prancis yakni disertasinya yang berjudul Essai
sur la Methode d’ Exegese(Esai tentang Metode Penafsiran). Karya
setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di
Mesir pada tahun 1961. [6]
Di awal periode 1970-an, Hanafi
juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam
dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya
lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di
berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan
Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan
sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina
al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi tentang realitas
dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam menanggapi problema
umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemikiran Islam untuk menghidupkan
kembafi khazanah tradisional Islam.[7]
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa
1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang
relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi
mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali
tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide
pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar
Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah
“manifesto politik” yang berbau ideologis, yang akan diuraikan di pembahsan
selanjutnya.[8]
B. Pemikiran
Pembaharuan Hasan Hanafi
1. Delapan
Strategi Pembaharuan
Hanafi menawarkan delapan model
rekonstruksi untuk mengubah keadaan umat dalam menghadapi zaman modern.[9] yaitu
;
Pertama, dari Tuhan ke bumi.
Yang dimaksudkan oleh Hanafi tampaknya adalah kepercayaan akan adanya Tuhan
yang maha Pencipta yang harus diimplemtasikan pengolahan dan pengelolaan bumi
sebagai sumber kehidupan manusia. Menurutnya, percaya kepada Tuhan berarti
bekerja di Bumi, berusaha untuk hidup layak dan berguna.
Kedua, dari Keabadian ke Waktu. Hanafi
berpendapat bahwa pembangunan tidak akan berlangsung jika berorientasi
keabadian. Menurut Hanafi, hal ini dikarnakan pembangunan berarti
tahapan-tahapan dalam waktu yang harus diikuti sesuai perencanaan. Dalam hal
ini, tampaknya Hanafi menganjurkanagar umat Islam pandai melakukan manajemen
waktu dan disiplin dalam menggunakannya. Dan yang dimaksud Hanafi dengan
keabadian adalah kehidupan pascadunia, yang merupakan tujuan akhir setiap
pemeluk agama.
Ketiga, dari takdir ke kehendak
bebas. Yang ia maksudkan adalah pembangunan akan sangat menguntungkan
apabila prioritas diberikan kepada kehendak bebas manusia dari pada takdir
Tuhan. Dengan kata lain, bukanlah melihat sifat-sifat tuhan seperti
kemahakuasaan, melainkan memperkuat kehendak bebas dan kapasitas manusia untuk
membangun dan berproduksi.
Keempat, dari otoritas akal.
Hasan Hanafi begitu gencarnya mendorong Ummat Islam untuk mendayagunakan akal,
samapai-sampai ia mengatakan “ Akal sama dengan Wahyu dan keduanya sama dengan
alam.
Kelima, dari teori ke tindakan.
Hanafi nampaknya bosan dengan jargon-jargon dan slogan-slogan ideologi di
Negara-negara dunia ketiga yang tidak pernah memikirkan implemtasinya. Ia
mengatakan bahwa dalam Islam perbuatan yang baik merupakan satu-satunya
manifestasi Iman. Karna iman tanpa tindakan adalah omong kosong. Maka dengan tegas
ia mengatakan bahwa tindakan yang benar yang didasari pada teori yang salah
adalah lebih baik disbanding denagan teori yang benar tanpa tindakan.
Keenam, Kharimsa ke Partisipasi
massa, umumnya di dunia ketiga, pembangunan dikendalikan oleh pemimpin yang
kharismatik tanpa memandang partispasi massa. Dalam hal ini, Hanafi memandang
perlu perubahan orientasi dari kepemimpinan kharismatik menuju komunitas massa.
Ketujuh, dari jiwa ke tubuh, dalam
hal ini Hanafi cenderung eksoteris dalam memandang kemanusiaan. Masalah tubuh,
katanya, adalah masalah utama di dunia ketiga yakni kelaparan,kekeringan,
perumahan, tranportasi, dan lain sebagainya.
Kedelapan, dari eskatologi ke
futurlogi, Eskatologi berarti masa depan manusia dan dunia. Manusia harus
mempersiapkan diri utuk sebuah masa depan yang baik dan membuat dunia ini
menjadi dunia yang sebaik-baiknya.
Dari tawaran model rekonstruksiyang
duraikandi atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hasan Hanafi
adalahseorang ideolog yang menawarkan ideology alternatif bagi pembangunan umat
Islam khususnya dan manusia pada umumya. Jelas terbaca bahwa pemikiran-pmikiran
Hasan Hanafi lebih berorientasi pada eksistensi manusia (antroposentris). Dan
juga gagasan-gagasannya tidak berhenti pada tataran ideologis konseptul dan
filosofis, namun juga berusaha mengajukan langkah-langkah oprasionalnya. Karena
iu, selalu mewujudkan segala sesuatu yang bersifat esoteris menjadi eksoteris.
Atau dengan kata lain
ia selalu mengubah konsep yang idealis menjadi parkisis. Lihat misalnya, konsep
tentang Otoritas-Akal, Takdir-Kehendak bebas, Teori-Tindakan, dan
Jiwa-Tubuh.
2. Teologi Klasik dan Teologi
Pembebasan
Hasan Hanafi memiliki corak kalam
yang dekat dengan Mu`tazilah. Bahkan secara tegas dalam salah satu risalahnya
ia mengikuti teologi kiri untuk menyebut Mu`tazilah.
Hal yang menarik dari Hanafi
adalah pemikiran teologisnya memiliki concern yang intens terhadap persoalan
kemanusiaan masa kini, terlepas dari kaitan teologi klasik di atas. Ini
terlihat misalnya pada saat ia mendefinisikan “teologi” itu sendiri. Menurutnya
teologi bukanlah ilmu Tuhan, mlainkan ilmu tentang perkataan (ilmu kalam).
Menurutnya, tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan tercermin dalam istilah logology.
Ilmu perkataan adalah ilmu tentang analisis percakapan. Ia merupakan
ilmu kemanusiaan, bukan ilmu ketuhanan. Teologi sebagai hermenautika, bukanlah
ilmu yang suci melainkan ilmu social yang tersusun secara kemanusiaan.[10]
Bila penafsiran baru tentang teologi
seperti itu yang dipakai Hanafi, tampaknya ia dapat disebut sbagai penganut
mazhab teologi pembebasan. Teologi pembebasan menghendaki terjadinya tatanan
baru mendobrak kebekuan berpikir dan ketergantungan manusia terhadap kemampuan
system dan struktur yang membelenggu kehidupan. Teologi Pembebasan Hassan
Hanafi mendorong ummat Islam agar melakukan tranformasi mendasar dalam
kehidupan melalui pengikisan segala macam bentuk feodalisme dan penindasan.
Komitment Hanafi terhadap nasib umat
demikian besarnya sehingga dalam setiap tulisan sering ia mulai ucapan bismill
ummah dan bukan bismillah demikian juga hal-hal yang sifatnya
transenden selalu ditafsirkan pada orientasi kemanusiaan. Masalah tasauf,
misalnya, ditafsirkan sedimikian rupa hingga makna orientasinya semakin
menerebos tradisi-tradisi mistik tradisional. Maka hampir setiap bidang
pemikiran tradisional direonstruksi oleh hanafi menjadi pemikiran yang dapat
diwujudakn bagi kemaslahatan kemanusiaan.
3. Turas dan Tajdid sebagai formula
baru untuk Peradaban Islam
Apa arti “Turas
dan Tajdid” ? Turas adalah segala sesuatu yang sampai kepada kita
dari masa lalu dalam peradaban yang dominan, sehingga merupakan masalah yang
diwarisi sekaligus masalah penerima yang hadir dalam berbagai tingkatan.[11]
Turas merupakan titik awal sebagai tanggung jawab kebudayaan dan bangsa,
sedangkan Tajdid adalah penafsiran ulang atas turas sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lamamendahului yang baru. Otentisitas adalah
asas modernitas, sedangkan sarana menghantarkan pada tujuan.[12]
Turas adalah perantara, sedangkan Tajdid adalah tujuan yaitu berpartisipasi
dalam pengembangan realitas, memecahkan problema-problemanya, menghilangkan
factor-faktor penghambatnya dan membuka keran-keran yang
menghambat setiap upaya pengembangnnya.
Jika Turas menunjuk ke masa lalu dan Tajdid menunjuk ke masa
sekarang, maka persoalannya “Turas dan Tajdid” adalah persoalan
homogenitas dalam zaman, mengaitkan masa lalu dengan masa kini dan menciptakan
kesatuan sejarah. Maka permasalahan “Turas dan Tajdid” adalah persoalan
homogenitas peradaban bagi suatu bangsa tertentu dari satu fase ke fase lain
menciptakan pemutusan atau keputusan peradaban, tetapi berarti kontiunitas
peradaban denagn berlandaskan asas baru dari kebutuhan-kebutuahan zaman.
“Turas dan Tajdid” mencerminkan proses peradaban, yaitu
pengungkapan sejarah, sebagai kebutuhan yang sangat mendesak dan tuntutan
revolusioner dalam kesadaran kontemporer kita demikian pula “Turas dan
Tajdid” mengungkapkan persoalan “mengkaji tentang jati diri “ .
Mengungkapkan bahwa masa kini hanyalah akumulasi –akumulasi masa lalu dan
realitas baru itu sendiri merupakan akibat karena hilangnya jiha lama.
Keterbelakangan akan menjadi akibat karena hilangnya teori praksis peradaban
kuno. Kemiskinan merupakan akibat dari hilanya system-sistem ekonomi lama. “Turas
dan Tajdid” menjamin perwujudan peradaban karena proses ini mengungkapkan,
menancapkan akar dan membebaskan diri dari dominasi,metode-metode,
konsep-konsep, aliran-aliran, dan system-sistem pemikiran budaya-budaya
ofensif.[13]
4. Paradigma Kiri Islam
Kiri islam
yang membooming setelah peluncuran Jurnal Kiri Islam adalah kelanjutan Al-Urwa
al –Wustqa dan Al-Manar dilihat dari keterkaitanya dengan agenda
Islam Al-Afghani : yaitu melawan kolonialisme dan kterbelakangan, menyerukan
kebebasan dan keadilan social serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok
Islam atau blok Timur. Dengan demikian Kiri Islam merupakan penyempurnaan
agenda modern Islam yang mengungkapkan realitas dan tendensi social politik
kaum muslimin.
Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaharuan masyarakat kita dalam
beberapa generasi hanya menghsilkan keberhasilan yang relatif, bahkan untuk
sebagainya gagal, terutama dalam mengentaskan masalah keterbelakangan. Hal ini
disebabkan karena,
Pertama, berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan
menjadikan Islam hanya sekedar ritus kepercayaan ukhrawi. Kedua, liberalisme
yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi yang terakhir, ternyata
didikte kebudayaan barat berprilaku seperti penguasa kolonial dan hanya
melayani kelas-kelas elite yang menguasai aset Negara. Ketiga, Nasionalisme
revolusioner yang berhasil melalkukan perubahan-perubahan radikal dalamsistem
politik dan konomi ternyata tidak berumur panjanag, tidak banyak
mempengaruhimayoritas dan terhenti hanya sebatas slogan belaka. [14]
Hasan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasar al-Islami: Kitabat fi
Al-NahdlaAl-Islamiyah (Kiri Islam: Beberapa Esai tentang KebangkitanIslam) Pada
tahun 1981. Dalam sai pertama jurnal itu berjudul “Apa arti Kiri Islam?” ,Hasan
Hanafi mendiskuiskan beberapa issue penting berkaitan dengan Kebangkitan Islam.
Secara singkat dapat dikatan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka
mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan
umat.
Pilar Pertama adalah revitalisasi Khazanah Islam Klasik. Hasan Hanafi
menekankan perlunya rasionalisme untuk revitalisasi Khazanah Islam itu. Hal ini
diupayakan guna untuk kemajuan dan kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan
situasi kekinian di dalam dunia Islam.[15]
Pilar kedua, adalah perlunya menentang peradaban barat. Ia memperingantkan
pmbacanya akan bahaynya imperialisme cultural baratyang cenderung membasmi
kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan kaya. Ia mengusulkan
“Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme” dalamrangka mengakhiri mitos
peradaban barat.[16]
Pilar ketiga, adalah analisis atas realita dunia Islam. Untuk analisis ini, ia
mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash) dan
mengusulkan suatu metode tertentu, agarrealitas dunia Islam dapat berbicara
bagi dirinya sendiri. Menurutnya dunia Islamkini sedang menghadapi tiga
ancaman, yaitu Imperialisme, zionisme, dan kapitalisme dari luar; kemiskinan,
ketertindasan, dan keterbelakangan dari dalam.Islam Kiri berfokus pada problem-problem
era ini.[17]
DAFTAR
PUSTAKA
Hanafi, Hasan. Turas dan Tajdid.
Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 2001.
Harahab, Syahrin.1994. Al-qur’an dan Sekularisasi Kajian Kritis Terhadap
Pemikiran Taha Husain. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam antara Modernisme dan
Postmodrnme ; telaah kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi. Yogyakarta : LKiS
, 1994.
[1]Abdurrahman
Wahid, 1993, “Hassan Hanafi dan Eksprementasinya”, pengantar dalam Kazuo
Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Pemikiran Hassan Hanafi : xi
[4]John L.
Esposito, 1995:98
[7]Syahrin
Harahab. Al-qur’an dan Sekularisasi Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Taha
Husain. ( Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994 ), h. 89
[8]Kazuo Shimogaki . Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme ; telaah
kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi. (Yogyakarta : LKiS , 1994 ), h. 91-92
[9]Didin Saefudin. Pemikiran Modern dan Postmodern
Islam; Biografi Intelktual 17 Tokoh. (Jakarta : PT Gramedia Widiasarana
Indonsia, 2003 ), h. 186
[10]Didin Saefudin. Pemikiran Modern dan
Postmodern Islam; Biografi Intelktual 17 Tokoh. (Jakarta : PT Gramedia
Widiasarana Indonsia, 2003 ), h. 193
[12] Ibid,.
[14]Kazuo Shimogaki . Kiri Islam
antara Modernisme dan Postmodrnme ; telaah kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi.
(Yogyakarta : LKiS , 1994 ), h. 91-92
[16] Ibid.
Hlm. 8
[17]Ibid,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar