Sabtu, 05 Maret 2016

HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA

MASAIL FIQIYAH AL-HADISAH
HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA


DOSEN PENGAMPU :
ABU BAKAR, M. Si



OLEH :
MARYAMATUL MUNAWWARAH

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM  (KPI)
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkawinan lintas agama atau beda agama merupakan sebuah realitas. Bahkan Rasulullah SAW sendiri telah melangsungkannya. Pada Permulaannya pernikahan beda agama belum diatur dalam Islam. Setelah turun QS. Albaqarah : 221 dan QS. Almaidah : 5, barulah masalah tersebut diatur. Secara normatif ketentuan memperkenankan laki-laki muslim menikahi wanita ahlu kitab, namun wanita muslimah sama sekali tidak diperbolehkan menikahi laki-laki ahlu kitab. Alquran membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlu kitab untuk dakwah dan hal ini dapat dilakukan pada saat kondisi umat Islam kuat. Inti ajaran Islam adalah memelihara dien,  nafs (jiwa), nasl (keturunan), mal (harta), dan aql (akal). Sehingga, kerusakan terhadap salah satunya harus dihindarkan.
Paham liberalisme yang berkembang di Indonesia telah merusak tatanan ijtihad para ulama fiqih mengenai hukum pernikahan lintas agama. Permasalahan hukum nikah lintas agama tersebut didestruk dengan berbagai metodenya. Berangkat dari asumsi yang salah, bahwa pernikahan bukanlah termasuk ibadah dalam Islam, mendekonstruksi makna musyrik, Dari asumsi ini melahirkan 'ijtihad' baru, yakni seorang muslim baik yang laki-laki maupun perempuan boleh menikahi non muslim secara mutlak. Walhasil, ayat-ayat Allah, hadits nabi serta ijtihad ulama bagi mereka sudah tidak relevan lagi.[1]
Kajian ini cukup penting mengingat upaya pelegalan pernikahan beda agama didukung dengan pemikiran-pemikiran liberal. Dampak pemikiran-pemikiran destruktif yang dilandasi pluralisme akan membuat keragu-raguan umat Islam dalam meyakini kebenaran Islam yang dianut selama ini.  Hal ini tentunya sangat merugikan umat islam.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimana pandangan serta hukum Islam mengenai pernikahan beda agama?
C.    Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan hukum Islam terhadap fenomena pernikahan beda agama yang selama ini marak terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan masyarakat Islam pada khususnya. Sehingga mahasiswa dapat memahami hukum perkawinan beda agama.
























BAB II
PEMBAHASAN
Yang dimaksud dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama di sini ialah perkawinan orang Islam (pria atau wanita) dengan orang bukan Islam (pria atau wanita). Mengenai masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
A.  Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita musyrik
Berdasarkan Alquran surah Albaqarah ayat 221, Allah berfirman bahwa :
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ  
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Albaqarah : 221)
Asbab an Nuzul Ayat
Muqatil berkata[2], ayat ini turun berkaitan dengan kejadian Abi Martsad Al Ghanawi, yang juga dikenal dengan Martsad ibnu Abi Martsad yang nama aslinya adalah Kun Naz bin Hashin Al Ghanawi. Dia dikirim Rasulullah secara rahasia ke Makkah untuk mengeluarkan seorang sahabatnya dari sana. Sedang di Makkah pada zaman Jahiliyah dulu, dia memiliki teman perempuan yang dicintainya yang bernama Inaq. Perempuan itu lalu datang kepadanya. Lalu Martsad berkata kepadanya, “Sesungguhnya Islam telah mengharamkan perbuatan-perbuatan Jahiliyah dulu”. Kemudian Inaq menjawab, “Kalau begitu, kawini saja aku”. Martsad menjawab, “Nanti saya minta izin dulu kepada Rasulullah”. Ketika Martsad datang kepada Rasulullah, Rasulullah melarang Martsad mengawini Inaq. Sebab ia sudah Islam, sedangkan Inaq masih musyrik. (Diriwayatkan oleh ibnu Mundzir, ibnu Abi Hatim dan al Wahidi yang bersumber dari Muqatil)
Dari ibnu Abbas[3], mengatakan bahwa turunnya ayat di atas berkaitan dengan Abdullah bin Rawahah. Ia dulu punya budak perempuan hitam yang dimarahinya sedemikian rupa dan ditampar mukanya. Kemudain dia merasa takut, lalu datang menghadap Rasulullah untuk menceritakan kejadiannya. Rasulullah bertanya, “Siapa dia wahai Abdullah?”
Abdullah menjawab, “Wahai Rasulullah, dia perempuan yang suka puasa, shalat, baik wudhunya dan bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Engkau Rasulullah”.
Maka Nabi bersabda, “Wahai Abdullah, dia seroarng mukmin”.
Abdullah menjawab, “Demi Allah yang mengutus engkau membawa kebenaran, sungguh saya akan bebaskan dia lalu kujadikan istri”. Lalu dilaksanakan semua ini. Tetapi segolongan orang-orang Islam mencelanya karena telah mengawini budak perempuannya. Mereka itu menghendaki agar kawin dengan perempuan-perempuan musyrik atau laki-laki musyrik karena melihat keturunan. Maka turunlah ayat ini untuk menegaskan bahwa kawin dengan sorang sahaya Muslimah lebih baik dari pada mengawini wanita musyrik. (Diriwayatkan oleh al Wahidi dari as Suddi, dari Abu Malik yang bersumber dari ibnu Abbas)
Lalu, siapakah yang dimaksud wanita musyrik itu? Menurut Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi perempuan yang termasuk haram di kawini adalah perempuan musyrik yaitu perempuan yang menyembah berhala seperti orang-orang musyrik Arab dahulu dan sebagaimya.[4]
Dalam bukunya Nazar Bakry[5] dituliskan bahwa, Rasyid Ridha dalam tafsir Al Manar menyatakan beberapa keragaman pendapat ulama’ tentang pengertian musyrik. Meskipun demikian, kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa semua musyrik selain ahlul Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, tidak boleh dikawini.
Masih menurut Nazar Bakry, di kalangan ulama’ timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah yang haram dikawini. Menurut Ibnu Jarir Ath Thabari, seorang ahli tafsir, musyrikah yang haram untuk dikawini adalah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Alquran memang tidak megnenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non Arab, karena diduga sudah memiliki kitab suci atau serupa dengan kitab suci. Muhammad Abduh sependapat dengan pendapat ini.
Namun dalam kitab Mughni[6], dikatakan bahwa seluruh orang kafir selain ahli kitab, seperti penyembah berhala, batu, pohon dan hewan, di kalangan para Ulama’ tidak ada perbedaan pendapat tentang haramnya kawin dengan perempuan-perempuan seperti mereka dan memakan sembelihan mereka. Katanya pula, perempuan murtad dari agama apapun haram dikawini.

B.  Perkawinan Antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab
Adapun perempuan-perempuan ahlul kitab baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani, oleh Alquran telah diizinkan kawin dengan mereka, untuk mengadakan pergaulan dengan mereka ini masih dinilai sebagai orang yang beragama samawi sekalipun agama itu telah diubah dan diganti. Firman Allah dalam Alquran surah Al Maidah ayat 5yaitu :
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur üÉÏ­GãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÎÈ  
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi. (QS. Al Maidah : 5)
Jumhur Ulama’ mengatakan hukum menikah pria muslim dengan wanita ahlul kitab adalah mubah. Namun, Umar r.a tidak memandang bolehnya menikahi wanita ahlul kitab. Namun demikian, masalah ini tidak selesai sampai disini. Karena di kalangan para ulama’ sendiri berbeda pendapat mengenai tafsirannya terhadap QS. Al Maidah ayat 5 tersebut. Perbedaan ulama’ tersebut dapat digolongkan kedalam tiga bagian yaitu[7] :
1.    Mereka berpendapat bahwa boleh menikahkan lelaki muslim dengan wanita ahli kitab. Pendapat ini di kemukakann oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dalil atau alasan mereka yang membolehkan adalah: asalkan wanita tersebut  berasal  dari golongan  ahli kitab,  yaitu Yahudi dan Nasrani maka mereka dibolehkan untuk  dinikahi. Bahwa  pendapat yang dikemukakan oleh para ulama tersebut berdasarkan dari pemahaman  surat Al-Maidah yang menyatakan boleh menikahi wanita ahli kitab, yaitu dalam surat Al-Maidah ayat 5.
2.    Para ulama  berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahli kitab,akan tetapi  dengan beberapa syarat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. ” Menurut pendapat mereka, laki-laki muslim boleh menikahi wanita yahudi / nasrani dengan syarat yaitu ibu bapak wanita tersebut harus orang yahudi dan nasrani juga”. Jika bapak atau nenek wanita itu menymbah berhala dan bukan termasuk golongan ahli kitab (taurat /injil), kemudian ia memeluk agama yahudi atau nasrani maka tidak boleh menikahi wanita dari keturunan itu.
Ulama modern yang membolehkan pernikahan dengan ahli kitab dengan syarat adalah Professor Hazairin. Beliau membolehkan laki laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab dengan syarat, yaitu   susah mendapatkan wanita muslimah di sekitarnya yang hendak berumah tangga. Misalkan seperti keadaan seorang yang tinggal di sebuah negara yang sangat jarang ditemui  kaum muslimahnya dan sebaliknya,  sangat banyak kaum wanita ahli kitab.
Di samping syarat di atas yang di kemukakan oleh Professor Hazairain, terdapat syarat lain yang harus dipenuhi yaitu kadar iman lelaki muslim sangat kuat dan mampu memelihara agama dan keturunannya. Namun jika iman dan kemampuannya tidak kuat maka pernikahanan tersebut dilarang karena dikhawatirkan tidak mendidik keluarganya  berdasarkan ajaran agama Islam
3.    Yusuf al Qardhawi dalam bukunya Halal dan Haram Dalam Islam menyatakan “Kalau jumlah muslimin di suatu negeri termasuk minoritas, maka menurut pendapat yang lebih kuat, laki-laki muslim di negeri tersebut haram menikahi perempuan non muslimah, karena akan merusak kondisi perempuan-perempuan muslimah itu sendiri”.
Akan tetapi, meskipun Yusuf al Qardhawi mengharamkan pernikahan beda agama antara lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, beliau juga membolehkan pernikahan ini jika  dalam keadaan tertentu dan dengan syarat yang sangat ketat, yaitu:
a.       Kitabiah itu benar -benar berpegang pada ajaran samawi , tidak atheis.
b.      Kitabiah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina).
c.       Wanita itu bukanlah kitabiah  yang kaumnya berada pada status permusuhan dan  peperangan dengan kaum muslmin.
d.      Dibalik pernikahan dengan kitabiah itu tidak terjadi fitnah, yaitu mafsadah ataupun kemudhartan.
Lebih lanjut, Syeikh Yusuf al Qardhawi juga menjelaskan adanya rukhsah nikah dengan non muslim atau kitabiah. Ada dua keharusan yang harus dipenuhi, yaitu:
a.    Wanita kitabiah itu benar-benar beragama samawi
b.    Yang mengontrol atau yang memberi pengaruh dalam keluarga haruslah dari  seorang suami muslim yang teguh berpegang pada ajaran Islam
Pendapat selanjutnya yang melarang penikahan beda agama adalah pendapat Umar bin Khatab r.a yang melarang laki-laki muslim terutama para pemimpinnya kawin dengan perempuan non muslimah (wanita ahlu kitab). Larangan ini didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi perempuan Islam, bersuamikan pemimpin Islam dan untuk kepentingan negara, agar jangan sanpai penguasa muslim membocorkan rahasia negara melalui istrinya yang non muslamah itu. Bahkan dalam suatu riwayat  Umar r.a pernah berkata pada Huzaifah “Bila orang-orang Islam suka mengawini perempuan kitabiah  maka siapakah yang akan mengawini perempuan Islam? Ini memberi alasan bahwa khalifah Umar melarang perkawinan ini dalam bidang penjagaan dan pengwasan  dan bukan karena haram kawin dengan peremmpuann-perempuan ahlu kitab.
Menurut pendapat Pendapat Prof Dr. Hj. Huzaimah, MA[8] : Bahwa menikah dengan ahli kitab hukumnya adalah haram syadli dhariah. Karena terjadi mafsadah dan madharat, baik lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, dan dengan wanita ahli kitab yang sudah menyimpang dari ajaran taurat dan injil yang asli maupun yang belum menyimpang, karena dalam surat Al-Maidah ayat 5 tersebut tidak membedakan antara wanita ahli kitab yang masih murni dengan wanita ahli kitab yang sudah melencang dari ajaran agamanya. Dikarenakan keduanya dapat menimbulkan mafsadah dan madharat, maka untuk menghindari mafsadah dan madharat tersebut, pernikahan  dengan wanita ahli kitab diharamkan syadli dhariah. Terlebih lagi dalam kondisi sosial dan politik di Indonesia. Dan juga terdapat mafsadah dan mudhrat lain  terhadap si anak, baik secara psikologis atau sosiologis.
Menurut Quraish Shihab[9], Ahl al-Kitab itu mencakup dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani, kapan, dimanapun dan dari keturunan siapa pun mereka. Sesuai dengan teks zahir Q.S al-Ma’idah ayat 5, Quraish membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kitab. Kebolehan ini menurutnya adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak ketika itu, dimana kaum muslim sering bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, dan sekaligus juga untuk tujuan dakwah. Selain itu, kebolehan itu adalah bentuk toleransi Islam kepada agama Ahl al-Kitab dalam bentuk perkawinan, karena pria muslim mengakui kenabian ‘Isa yang dituhankan oleh Ahl al-Kitab. Walaupun membolehkan, tetapi tetap ada kekhawatiran dalam dirinya terhadap keberlangsungan dari perkawinan ini. Quraish menyebutkan bahwa jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya dan bahkan tingkat pendidikan pun tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman, ketidakharmonisan dan kegagalan perkawinan. Kalau ini kemudian terjadi, tentunya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu menciptakan keluarga yang sakinah.
Meskipun telah dihalalkan secara gamblang di dalam al-Qur’an tentang perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab, para Ulama tetap mensyaratkan dengan persyaratan yang sangat ketat, yang kemudian dengan syarat itu kemungkinan melakukan perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab sangat kecil. Karena para Ulama cenderung takut kalau-kalau orang yang menikahi wanita Ahl al-Kitab itu akan pindah agama mengikuti agama istrinya. Karena dalam ajaran agama apapun, menjaga iman merupakan kewajiban dasar. Berbagai benteng syari’at dirumuskan agar iman tidak sampai tererosi.

C.  Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim
Wanita muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki dari kalangan ahli kitab atau orang kafir dari kalangan non ahli kitab berdasarkan firman Allah dalam Alquran surah Al Mumtahanah ayat 10 :
( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sŒÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ̍Ïù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uŠø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÊÉÈ  
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al Mumtahanah : 10)
Asbab an Nuzul Ayat
Dalam suatu riwayat[10], dikemukakan setelah Rasulullah membuat Perjanjian Hudaibiyyah dengan kaum Quraisy (yang mana dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Rasulullah harus mengembalikan kaum Mukminin yang hijrah dari Makkah ke Madinah, tapi tidak disebutkan pengembalian kaum Mukminat), datanglah wanita-wanita Mukminat dari Makkah. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan untuk menguji dahulu wanita-wanita yang hijrah itu, dan setelah jelas keimanan mereka, tidak boleh dikembalikan ke Makkah. (Diriwayatkan oleh asy Syaikhan (Bukhari dan Muslim), yang bersumber dari al Miswar dan Marwan bin al Hakam)
Dalam Fikih Sunah[11], Sayid Sabiq menuliskan bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada kaum Mukminin, jika mereka didatangi oleh perempuan-perempuan yang hijrah hendaklah mereka ini terlebih dahulu diuji. Bilamana terbukti benar keimanan mereka, maka janganlah di kembalikan kepada suami-suaminya yang masih kafir dan sebaliknya. Yang dimaksud dengan menguji di dalam ayat ini yaitu menanyakan alasan-alasan kedatangan mereka berhijrah ke Madinah dan meninggalkan suami-suami mereka. Apakah mereka hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan rindu kepada Islam. Jika demikian yang menjadi niatnya, hendaklah mereka ini diterima dengan baik.
Mengenai masalah ini, Abu Bakar Jabir al Jaza’iri[12] menjelaskan lebih detail mengenai masalah itu sebagai berikut :
1.    Jika salah seorang dari suami istri masuk Islam, misalnya suaminya masuk Islam, maka pernikahan keduanya menjadi batal. Jika kemudian istrinya nanti masuk Islam sebelum masa iddahnya habis, maka keduanya tetap dalam pernikahan pertama keduanya, tetapi jika istrinya masuk Islam setelah masa iddahnya habis, maka harus dilangsungkan akad nikah baru dengan mahar baru, jika direstui walinya, sebagaimana jumhur ulama’.
2.    Jika seorang istri yang kafir masuk Islam sebelum digauli suaminya yang kafir, maka ia tidak berhak atas mahar, karena perceraiannya disebabkan oleh dirinya. Jika suaminya masuk Islam, maka ia berhak mendapat separuh mahar. Jika ia masuk Islam setelah digauli suaminya, maka ia berhak mendapatkan mahar secara utuh. Hukum kemurtadan salah satu dari suami istri sama dengan hukum masuk Islamnya salah satu dari keduanya tanpa ada perbedaan sedikitpun.
3.    Jika seorang suami yang kafir masuk Islam, dan ia beristri lebih dari empat orang yang juga ikut masuk Islam bersamanya, atau istri-istrinya itu dari ahli kitab meski tidak masuk Islam bersamanya, maka ia harus memilih empat orang saja dari mereka serta menceraikan sisanya. Begitu juga dengan orang yang beristrikan dua orang wanita yang bersaudara dan masuk Islam, maka ia harus menceraikan salah satu dari keduanya sesuai dengan kehendaknya, karena memperistri dari dua wanita yang bersaudara tidak halal berdasarkan Alquran surah An Nisa ayat 23.
Jadi, Ulama’ telah sepakat bahwa Islam melarang dan tidak menghalalkan perkawinan wanita muslim, menikah dengan laki-laki bukan muslim, baik dia musyrik maupun ahlul kitab. Baik dia pemeluk agama yang memiliki kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi, ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan kitab yang serupa dengan kitab suci. Termasuk pula disini Animisme, Ateisme dan sebagainya. Dalil yang menjadi dasar hukum larangan kawin antara wanita Islam dengan pria non Islam adalah :
1.    Alquran surah Albaqarah ayat 221 yang artinya : “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu”.
2.    Ijma’ para ulama’ tentang larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria  non muslim.
Pertimbangan dari pada ketentuan ini adalah bahwa di tangan suamilah kekuasaan terhadap istrinya, dan bagi istri wajib taat kepada perintahnya yang baik. Dalam pengertian seperti inilah maksud daripada kekuasaan suami terhadap istri. Akan tetapi bagi orang kafir tidak ada kekuasaan terhadap laki-laki atau perempuan muslim. Seperti dalam QS. An Nisa ayat 141. Selain itu, seorang suami kafir tidak mau tahu akan agama istrinya yang Muslim bahkan ia mendustakan kitab sucinya dan mengingkari ajaran Nabinya.
Hikmah
Telah kita ketahui hukum-hukum dari pernikahan beda agama menurut Islam. Dan yakinlah ketika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan tentang sesuatu, maka tidak ada yang sia-sia. Semuanya mengandung manfaat dan hikmah.
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula kepada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik pada umumnya tidak percaya pada semua itu. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian dia diajak mengikuti kepercayaan dan ideologi mereka.
Yusuf al Qardhawi[13] mengingatkan bahwa terdapat banyak kemudharatan yang mungkin terjadi karena pernikahan dengan wanita non muslim, diantaranya adalah:
1. Suami bisa saja terpengaruh dengan agama si istri.
2. Akan menimbulkan kesulitan dalam hal suami istri dan juga berpengruh pada anak mereka
Sayid Sabiq[14] menuliskan dalam Fikih Sunnahnya, meskipun menikah dengan wanita ahli kitab boleh tetapi dianggap makruh, karena adanya rasa tidak aman dari gangguan keagamaan bagi suaminya atau bisa saja ia menjadi alat golongan agamanya. Jika perempuannya dari golongan ahli kitab yang bermusuhan dengan kita, maka dianggap lebih makruh lagi, sebab akan memperbanyak jumlah orang yang akan menjadi musuh kita.
Selain itu, bagi para muslimah yang dilarang menikah dengan pria non Islam dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian terseret kepada suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil perkawinannya, dikhawatirkan akan mengikuti agama bapaknya, karena peran bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-anak melebihi ibunya.
Ada beberapa hal yang harus diingat adalah dari firman Allah dalam surah Albaqarah ayat 120 yaitu :
`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ߊqåkuŽø9$# Ÿwur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3 ö@è% žcÎ) yèd «!$# uqèd 3yçlù;$# 3 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& y÷èt/ Ï%©!$# x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$#   $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <cÍ<ur Ÿwur AŽÅÁtR ÇÊËÉÈ  
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
Lalu Allah menjelaskan lagi dalam surat cinta-Nya surah An Nisa ayat 141:
3 `s9ur Ÿ@yèøgs ª!$# tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y ÇÊÍÊÈ  
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.
Firman Allah tersebut mengingatkan kepada umat Islam, hendaknya selalu berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan berbagai cara. Dan hendaknya umat Islam tidak memberi jalan atau kesempatan kepada mereka untuk mencapai maksudnya. Seperti dengan tidak melakukan perkawinan beda agama.[15]














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam baik itu pria maupun wanita dengan orang yang bukan Islam, pria ataupun wanita. Dalam menanggapi masalah ini, Islam membaginya dalam tiga kelompok, yaitu seorang pria muslim menikah dengan wanita musyrik, seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab, dan seorang wanita muslimah yang menikah dengan sorang pria bukan Islam.
Status hukum bagi ketiganya berbeda-beda. Untuk hukum perkawinan bagi pria muslim dengan wanita musyrikah sudah jelas larangannnya dalam Alquran surah Albaqarah ayat 221. Sedangkan untuk hukum perkawinan seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab, diperbolehkan. Sementara status hukum perkawinan bagi wanita muslimah dengan pria non Islam, mendapat larangan keras seperti yang tertera dalam Alquran surah Al Mumtahanah.
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula kepada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik pada umumnya tidak percaya pada semua itu. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian dia diajak mengikuti kepercayaan dan ideologi mereka. Seperti yang Allah firmankan dalam Alquran surah Albaqarah ayat 120.
B.     Saran
Dari penjelasan dalam makalah ini, sudah kita ketahui bagaimana hukum dan hikmah dari hukum perkawinan beda agama. Arus modernisasi telah memaksa negara ini menerima masuknya paham-paham dunia barat yang sebenarnya menggerus pemahaman dan perilaku bangsa Indonesia yang notabene adalah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Paham-paham liberalisme yang berkembang di Indonesia telah merusak tatanan ijtihad para ulama fiqih mengenai hukum pernikahan lintas agama. Permasalahan hukum nikah lintas agama tersebut didestruk dengan berbagai metodenya. Berangkat dari asumsi yang salah, bahwa pernikahan bukanlah termasuk ibadah dalam Islam, mendekonstruksi makna musyrik. Dari asumsi ini melahirkan 'ijtihad' baru, yakni seorang muslim baik yang laki-laki maupun perempuan boleh menikahi non muslim secara mutlak. Walhasil, ayat-ayat Allah, hadits nabi serta ijtihad ulama bagi mereka sudah tidak relevan lagi.
Mudah-mudahan kita sebagai generasi muda tidak ikut tercampur dalam produk pemikiran dunia Barat yang mengajak kita untuk keluar dari pedoman utama kita yaitu Alquran dan As sunnah.
(Penjelasan dari Pak M. Rizal Fahmi). Ketika melakukan sesuatu harus melihat dari mashlahah dan mudharatnya. Artinya, ketika hukum pernikahan dibolehkan maka, yang harus diperhatikan bahwa apa dampak positif dan negatif dari kebolehan melakukan perkawinan tersebut.















DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan terjemahannya. Departemen Agama
Ed. A.A Dahlan & M. Zaka Alfarisi, 2002, Asbab an Nuzul, cet. 10, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro
Nazar Bakry, 1994, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
Sayid Sabiq, 1980, Fikih Sunnah, cet. 20, Bandung : PT. Al Maarif
Syekh Abu Bakar Jabir al Jaza’ iri, 2011, Minhajul Muslim, Jakarta : Darul Haq
Yusuf Qardhawi, 1980, Halal dan Haram Dalam Islam, PT. Bina Ilmu
Ahmad Udin, “Pernikahan Lintas Agama”, http://kuplukluntur.blogspot.com/2012/11/pernikahan-lintas-agama.html, diakses 3 Maret 2013
NeoEase, “Studi Terhadap Pemikiran M. Quraish Shihab Tentang Makna Ahl Al Kitab dan Implikasinya Terhadap Hukum Perkawinan Beda Agama       di         Indonesia” http://koleksipengetahuan.wordpress.com/2010/02/19/studi-terhadap-pemikiran-m-quraish-shihab-tentang-makna-ahl-al-kitab-dan-implikasinya-terhadap-hukum-perkawinan-beda-agama-di-indonesia-rarstudi-terhadap-pemikiran-m-quraish-shihab-tentang-makna-a/, diakses 10 Maret

 

 

 

 

 

 

 

 

 




[2] Asbabun Nuzul, 2002, ed. A.A Dahlan & M. Zaka Alfarisi, cet. 10, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro, hlm. 73
[3] Ibid, hlm. 73
[4] Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, (Alih bahasa H. Mu’ammad Hamidy) tahun 1980, hlm. 249
[5] Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, tahun 1994, hlm. 8
[6] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, (alih bahasa oleh Drs. Mohammad Thalib), 1980, hlm. 154
[7] Iqbal Agustian, “Pernikahan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam”, http://bijehpade.blogspot.com/2011/10/pernikahan-beda-agama-dalam-tinjauan.html

[8] Iqbal Agustian, “Pernikahan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam”, http://bijehpade.blogspot.com/2011/10/pernikahan-beda-agama-dalam-tinjauan.html
[10] Asbabun Nuzul, 2002, ed. A.A Dahlan & M. Zaka Alfarisi, cet. 10, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro, hlm. 565
[11] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, (alih bahasa oleh Drs. Mohammad Thalib), 1980, hlm. 163
[12] Syekh Abu Bakar Jabir al Jaza’ iri, Minhajul Muslim, tahun 2011, hlm. 961-962

[13] Iqbal Agustian, “Pernikahan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam”, http://bijehpade.blogspot.com/2011/10/pernikahan-beda-agama-dalam-tinjauan.html

[14] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, (alih bahasa oleh Drs. Mohammad Thalib), 1980, hlm. 157
[15] Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, tahun 1994, hlm. 11-13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar