MASAIL FIQIYAH AL-HADISAH
HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA
DOSEN
PENGAMPU :
ABU BAKAR, M. Si
OLEH
:
MARYAMATUL MUNAWWARAH
JURUSAN KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS
USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan lintas agama atau beda agama merupakan
sebuah realitas. Bahkan Rasulullah SAW sendiri telah melangsungkannya. Pada Permulaannya pernikahan beda agama belum
diatur dalam Islam. Setelah turun QS. Albaqarah : 221 dan QS. Almaidah
: 5, barulah masalah tersebut diatur. Secara normatif
ketentuan memperkenankan laki-laki muslim menikahi wanita ahlu kitab, namun
wanita muslimah sama sekali tidak diperbolehkan menikahi laki-laki ahlu kitab.
Alquran membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlu kitab untuk dakwah
dan hal ini dapat dilakukan pada saat kondisi umat Islam kuat. Inti ajaran
Islam adalah memelihara dien, nafs (jiwa), nasl (keturunan), mal (harta),
dan aql (akal). Sehingga, kerusakan terhadap salah satunya harus
dihindarkan.
“Paham liberalisme yang berkembang di Indonesia
telah merusak tatanan ijtihad para ulama fiqih mengenai hukum pernikahan lintas agama. Permasalahan hukum nikah lintas
agama tersebut didestruk dengan berbagai metodenya. Berangkat dari asumsi yang
salah, bahwa pernikahan bukanlah termasuk ibadah dalam Islam, mendekonstruksi
makna musyrik, Dari asumsi ini melahirkan 'ijtihad' baru, yakni seorang muslim
baik yang laki-laki maupun perempuan boleh menikahi non muslim secara mutlak. Walhasil,
ayat-ayat Allah, hadits nabi serta ijtihad ulama bagi mereka sudah tidak
relevan lagi”.[1]
Kajian ini cukup penting
mengingat upaya pelegalan pernikahan beda agama didukung dengan
pemikiran-pemikiran liberal. Dampak pemikiran-pemikiran destruktif yang
dilandasi pluralisme akan membuat keragu-raguan umat Islam dalam meyakini
kebenaran Islam yang dianut selama ini.
Hal ini tentunya sangat merugikan umat islam.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah Bagaimana pandangan serta hukum Islam mengenai pernikahan beda
agama?
C.
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk
menganalisis dan menjelaskan hukum Islam terhadap fenomena pernikahan beda
agama yang selama ini marak terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan
masyarakat Islam pada khususnya. Sehingga
mahasiswa dapat memahami hukum perkawinan beda agama.
BAB II
PEMBAHASAN
Yang dimaksud dengan
perkawinan antar orang yang berlainan agama
di
sini ialah perkawinan orang Islam (pria atau wanita) dengan orang bukan Islam
(pria atau wanita). Mengenai masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai
berikut :
A. Perkawinan antara seorang pria
muslim dengan wanita musyrik
Berdasarkan
Alquran surah Albaqarah ayat 221, Allah berfirman bahwa :
wur (#qßsÅ3Zs?
ÏM»x.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
£`ÏB÷sã
4 ×ptBV{ur
îpoYÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
7px.Îô³B
öqs9ur
öNä3÷Gt6yfôãr&
3 wur
(#qßsÅ3Zè?
tûüÏ.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
(#qãZÏB÷sã
4 Óö7yès9ur
í`ÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
78Îô³B
öqs9ur
öNä3t6yfôãr&
3 y7Í´¯»s9'ré&
tbqããôt
n<Î)
Í$¨Z9$#
( ª!$#ur
(#þqããôt
n<Î)
Ïp¨Yyfø9$#
ÍotÏÿøóyJø9$#ur
¾ÏmÏRøÎ*Î/
( ßûÎiüt7ãur
¾ÏmÏG»t#uä
Ĩ$¨Y=Ï9
öNßg¯=yès9
tbrã©.xtGt
ÇËËÊÈ
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. Albaqarah : 221)
Asbab an Nuzul Ayat
Muqatil
berkata[2],
ayat ini turun berkaitan dengan kejadian Abi Martsad Al Ghanawi, yang juga
dikenal dengan Martsad ibnu Abi Martsad yang nama aslinya adalah Kun Naz bin
Hashin Al Ghanawi. Dia dikirim Rasulullah secara rahasia ke Makkah untuk
mengeluarkan seorang sahabatnya dari sana. Sedang di Makkah pada zaman
Jahiliyah dulu, dia memiliki teman perempuan yang dicintainya yang bernama
Inaq. Perempuan itu lalu datang kepadanya. Lalu Martsad berkata kepadanya,
“Sesungguhnya Islam telah mengharamkan perbuatan-perbuatan Jahiliyah dulu”.
Kemudian Inaq menjawab, “Kalau begitu, kawini saja aku”. Martsad menjawab,
“Nanti saya minta izin dulu kepada Rasulullah”. Ketika Martsad datang kepada
Rasulullah, Rasulullah melarang Martsad mengawini Inaq. Sebab ia sudah Islam,
sedangkan Inaq masih musyrik. (Diriwayatkan
oleh ibnu Mundzir, ibnu Abi Hatim dan al Wahidi yang bersumber dari Muqatil)
Dari
ibnu Abbas[3],
mengatakan bahwa turunnya ayat di atas berkaitan dengan Abdullah bin Rawahah.
Ia dulu punya budak perempuan hitam yang dimarahinya sedemikian rupa dan
ditampar mukanya. Kemudain dia merasa takut, lalu datang menghadap Rasulullah
untuk menceritakan kejadiannya. Rasulullah bertanya, “Siapa dia wahai
Abdullah?”
Abdullah
menjawab, “Wahai Rasulullah, dia perempuan yang suka puasa, shalat, baik
wudhunya dan bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Engkau Rasulullah”.
Maka
Nabi bersabda, “Wahai Abdullah, dia seroarng mukmin”.
Abdullah
menjawab, “Demi Allah yang mengutus engkau membawa kebenaran, sungguh saya akan
bebaskan dia lalu kujadikan istri”. Lalu dilaksanakan semua ini. Tetapi
segolongan orang-orang Islam mencelanya karena telah mengawini budak
perempuannya. Mereka itu menghendaki agar kawin dengan perempuan-perempuan
musyrik atau laki-laki musyrik karena melihat keturunan. Maka turunlah ayat ini
untuk menegaskan bahwa kawin dengan sorang sahaya Muslimah lebih baik dari pada
mengawini wanita musyrik. (Diriwayatkan
oleh al Wahidi dari as Suddi, dari Abu Malik yang bersumber dari ibnu Abbas)
Lalu, siapakah yang dimaksud wanita musyrik itu?
Menurut Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi perempuan yang termasuk haram di kawini
adalah perempuan musyrik yaitu perempuan yang menyembah berhala seperti
orang-orang musyrik Arab dahulu dan sebagaimya.[4]
Dalam
bukunya Nazar Bakry[5]
dituliskan bahwa, Rasyid Ridha dalam tafsir Al Manar
menyatakan beberapa keragaman pendapat ulama’ tentang pengertian musyrik.
Meskipun demikian, kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa semua musyrik selain
ahlul Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, tidak boleh dikawini.
Masih
menurut Nazar Bakry, di
kalangan ulama’ timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah yang haram
dikawini. Menurut Ibnu Jarir Ath Thabari, seorang ahli tafsir, musyrikah yang
haram untuk dikawini adalah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab
pada waktu turunnya Alquran memang tidak megnenal kitab suci dan mereka
menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang muslim boleh kawin dengan
wanita musyrik dari bangsa non Arab, karena diduga sudah memiliki kitab suci
atau serupa dengan kitab suci. Muhammad Abduh sependapat dengan pendapat ini.
Namun
dalam kitab Mughni[6],
dikatakan bahwa seluruh orang kafir selain ahli kitab, seperti penyembah
berhala, batu, pohon dan hewan, di kalangan para Ulama’ tidak ada perbedaan
pendapat tentang haramnya kawin dengan perempuan-perempuan seperti mereka dan
memakan sembelihan mereka. Katanya pula, perempuan murtad dari agama apapun
haram dikawini.
B.
Perkawinan Antara seorang pria muslim dengan ahlul
kitab
Adapun perempuan-perempuan ahlul kitab baik dari
kalangan Yahudi maupun Nasrani, oleh Alquran telah diizinkan kawin dengan mereka, untuk mengadakan pergaulan dengan mereka ini masih
dinilai sebagai orang yang beragama samawi sekalipun agama itu telah diubah dan
diganti. Firman Allah dalam Alquran surah Al Maidah ayat 5yaitu
:
tPöquø9$# ¨@Ïmé&
ãNä3s9
àM»t6Íh©Ü9$#
( ãP$yèsÛur
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
@@Ïm
ö/ä3©9
öNä3ãB$yèsÛur
@@Ïm
öNçl°;
( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur
z`ÏB
ÏM»oYÏB÷sßJø9$#
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur
z`ÏB
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
`ÏB
öNä3Î=ö6s%
!#sÎ)
£`èdqßJçF÷s?#uä
£`èduqã_é&
tûüÏYÅÁøtèC
uöxî
tûüÅsÏÿ»|¡ãB
wur
üÉÏGãB
5b#y÷{r&
3 `tBur
öàÿõ3t
Ç`»uKM}$$Î/
ôs)sù
xÝÎ6ym
¼ã&é#yJtã
uqèdur
Îû
ÍotÅzFy$#
z`ÏB
z`ÎÅ£»sø:$#
ÇÎÈ
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang
baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk
orang-orang merugi”. (QS. Al Maidah : 5)
Jumhur
Ulama’ mengatakan hukum menikah pria muslim dengan wanita ahlul kitab adalah
mubah. Namun, Umar r.a tidak memandang bolehnya menikahi wanita ahlul kitab. Namun
demikian, masalah ini tidak selesai sampai disini. Karena di kalangan para
ulama’ sendiri berbeda pendapat mengenai tafsirannya terhadap QS. Al Maidah
ayat 5 tersebut. Perbedaan ulama’ tersebut dapat digolongkan kedalam tiga
bagian yaitu[7]
:
1. Mereka
berpendapat bahwa boleh menikahkan lelaki muslim dengan wanita ahli
kitab. Pendapat ini di kemukakann oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin
Hanbal. Dalil atau alasan mereka yang membolehkan adalah: asalkan wanita
tersebut berasal dari golongan ahli kitab, yaitu Yahudi
dan Nasrani maka mereka dibolehkan untuk dinikahi. Bahwa pendapat
yang dikemukakan oleh para ulama tersebut berdasarkan dari pemahaman
surat Al-Maidah yang menyatakan boleh menikahi wanita ahli kitab, yaitu dalam
surat Al-Maidah ayat 5.
2. Para ulama berpendapat bahwa boleh menikahi wanita
ahli kitab,akan tetapi dengan
beberapa syarat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
bin Hanbal. ” Menurut pendapat mereka, laki-laki muslim boleh menikahi wanita
yahudi / nasrani dengan syarat yaitu ibu bapak wanita tersebut harus orang
yahudi dan nasrani juga”. Jika bapak atau nenek wanita itu menymbah berhala dan
bukan termasuk golongan ahli kitab (taurat /injil), kemudian ia memeluk agama
yahudi atau nasrani maka tidak boleh menikahi wanita dari keturunan itu.
Ulama
modern yang membolehkan pernikahan dengan ahli kitab dengan syarat adalah Professor
Hazairin. Beliau membolehkan laki laki muslim menikah dengan
perempuan ahli kitab dengan syarat, yaitu susah mendapatkan wanita
muslimah di sekitarnya yang hendak berumah tangga. Misalkan seperti keadaan
seorang yang tinggal di sebuah negara yang sangat jarang ditemui kaum
muslimahnya dan sebaliknya, sangat banyak kaum wanita ahli kitab.
Di
samping syarat di atas yang di kemukakan oleh Professor Hazairain, terdapat syarat lain yang harus dipenuhi yaitu
kadar iman lelaki muslim sangat kuat dan mampu memelihara agama dan
keturunannya. Namun jika iman dan kemampuannya tidak kuat maka pernikahanan
tersebut dilarang karena dikhawatirkan tidak mendidik keluarganya
berdasarkan ajaran agama Islam
3. Yusuf al Qardhawi
dalam bukunya Halal dan Haram Dalam Islam menyatakan “Kalau jumlah muslimin di
suatu negeri termasuk minoritas, maka menurut pendapat yang lebih kuat,
laki-laki muslim di negeri tersebut haram
menikahi perempuan non muslimah, karena akan merusak kondisi
perempuan-perempuan muslimah itu sendiri”.
Akan
tetapi, meskipun Yusuf al Qardhawi mengharamkan pernikahan beda agama antara
lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, beliau juga membolehkan pernikahan ini
jika dalam keadaan tertentu dan dengan syarat yang sangat ketat, yaitu:
a. Kitabiah itu benar -benar berpegang pada ajaran samawi ,
tidak atheis.
b. Kitabiah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari
perbuatan zina).
c. Wanita itu bukanlah kitabiah yang kaumnya berada
pada status permusuhan dan peperangan dengan kaum muslmin.
d. Dibalik pernikahan dengan kitabiah itu tidak terjadi
fitnah, yaitu mafsadah ataupun kemudhartan.
Lebih
lanjut, Syeikh Yusuf al
Qardhawi juga menjelaskan adanya rukhsah nikah dengan non muslim atau kitabiah.
Ada dua keharusan yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Wanita kitabiah itu benar-benar beragama samawi
b. Yang mengontrol atau yang memberi pengaruh dalam keluarga
haruslah dari seorang suami muslim yang teguh berpegang pada ajaran
Islam
Pendapat
selanjutnya yang melarang penikahan beda agama adalah pendapat Umar bin Khatab
r.a yang melarang laki-laki muslim terutama para pemimpinnya
kawin dengan perempuan non muslimah (wanita ahlu kitab). Larangan ini didasarkan
pada pertimbangan untuk melindungi perempuan Islam, bersuamikan pemimpin Islam dan untuk kepentingan negara,
agar jangan sanpai penguasa muslim membocorkan rahasia
negara melalui istrinya yang non muslamah itu. Bahkan dalam suatu riwayat Umar r.a pernah berkata pada Huzaifah “Bila orang-orang Islam suka mengawini perempuan kitabiah maka
siapakah yang akan mengawini perempuan Islam? Ini memberi alasan bahwa khalifah Umar melarang perkawinan ini dalam bidang penjagaan dan
pengwasan dan bukan karena haram kawin dengan peremmpuann-perempuan ahlu
kitab.
Menurut
pendapat Pendapat Prof Dr. Hj. Huzaimah, MA[8]
: Bahwa
menikah dengan ahli kitab hukumnya adalah haram syadli dhariah. Karena
terjadi mafsadah dan madharat, baik lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, dan
dengan wanita ahli kitab yang sudah menyimpang dari ajaran taurat dan injil
yang asli maupun yang belum menyimpang, karena dalam surat Al-Maidah ayat 5
tersebut tidak membedakan antara wanita ahli kitab yang masih murni dengan
wanita ahli kitab yang sudah melencang dari ajaran agamanya. Dikarenakan
keduanya dapat menimbulkan mafsadah dan madharat, maka untuk menghindari
mafsadah dan madharat tersebut, pernikahan dengan wanita ahli kitab diharamkan
syadli dhariah. Terlebih lagi dalam kondisi sosial dan politik di
Indonesia. Dan juga terdapat
mafsadah dan mudhrat lain terhadap si anak, baik secara psikologis atau
sosiologis.
Menurut Quraish Shihab[9],
Ahl al-Kitab itu mencakup dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani,
kapan, dimanapun dan dari keturunan siapa pun mereka. Sesuai dengan teks zahir
Q.S al-Ma’idah ayat 5, Quraish membolehkan perkawinan antara pria muslim
dengan wanita Ahl al-Kitab. Kebolehan ini menurutnya adalah sebagai
jalan keluar kebutuhan mendesak ketika itu, dimana kaum muslim sering bepergian
jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, dan sekaligus
juga untuk tujuan dakwah. Selain itu, kebolehan itu adalah bentuk toleransi
Islam kepada agama Ahl al-Kitab dalam bentuk perkawinan, karena pria
muslim mengakui kenabian ‘Isa yang dituhankan oleh Ahl al-Kitab.
Walaupun membolehkan, tetapi tetap ada kekhawatiran dalam dirinya terhadap
keberlangsungan dari perkawinan ini. Quraish menyebutkan bahwa jangankan
perbedaan agama, perbedaan budaya dan bahkan tingkat pendidikan pun tidak
jarang menimbulkan kesalahpahaman, ketidakharmonisan dan kegagalan perkawinan.
Kalau ini kemudian terjadi, tentunya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan itu
sendiri, yaitu menciptakan keluarga yang sakinah.
Meskipun telah
dihalalkan secara gamblang di dalam al-Qur’an tentang perkawinan dengan wanita Ahl
al-Kitab, para Ulama tetap mensyaratkan dengan persyaratan yang sangat
ketat, yang kemudian dengan syarat itu kemungkinan melakukan perkawinan dengan
wanita Ahl al-Kitab sangat kecil. Karena para Ulama cenderung takut
kalau-kalau orang yang menikahi wanita Ahl al-Kitab itu akan pindah
agama mengikuti agama istrinya. Karena dalam ajaran agama apapun, menjaga iman
merupakan kewajiban dasar. Berbagai benteng syari’at dirumuskan agar
iman tidak sampai tererosi.
C. Perkawinan antara seorang wanita
muslimah dengan pria non muslim
Wanita
muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki dari kalangan ahli kitab atau
orang kafir dari kalangan non ahli kitab berdasarkan firman Allah dalam Alquran
surah Al Mumtahanah ayat 10 :
( w £`èd
@@Ïm
öNçl°;
wur
öNèd
tbq=Ïts
£`çlm;
( Nèdqè?#uäur
!$¨B
(#qà)xÿRr&
4 wur
yy$oYã_
öNä3øn=tæ
br&
£`èdqßsÅ3Zs?
!#sÎ)
£`èdqßJçG÷s?#uä
£`èduqã_é&
4 wur
(#qä3Å¡ôJè?
ÄN|ÁÏèÎ/
ÌÏù#uqs3ø9$#
(#qè=t«óur
!$tB
÷Läêø)xÿRr&
(#qè=t«ó¡uø9ur
!$tB
(#qà)xÿRr&
4 öNä3Ï9ºs
ãNõ3ãm
«!$#
( ãNä3øts
öNä3oY÷t/
4 ª!$#ur
îLìÎ=tæ
ÒOÅ3ym
ÇÊÉÈ
“Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir
itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah
kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa
atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana”. (QS. Al Mumtahanah : 10)
Asbab
an Nuzul Ayat
Dalam suatu riwayat[10],
dikemukakan setelah Rasulullah membuat Perjanjian Hudaibiyyah dengan kaum
Quraisy (yang mana dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Rasulullah harus
mengembalikan kaum Mukminin yang hijrah dari Makkah ke Madinah, tapi tidak
disebutkan pengembalian kaum Mukminat), datanglah wanita-wanita Mukminat dari
Makkah. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan untuk menguji dahulu
wanita-wanita yang hijrah itu, dan setelah jelas keimanan mereka, tidak boleh
dikembalikan ke Makkah. (Diriwayatkan
oleh asy Syaikhan (Bukhari dan Muslim), yang bersumber dari al Miswar dan
Marwan bin al Hakam)
Dalam Fikih Sunah[11], Sayid Sabiq menuliskan bahwa dalam ayat
ini Allah memerintahkan kepada kaum Mukminin, jika mereka didatangi oleh
perempuan-perempuan yang hijrah hendaklah mereka ini terlebih dahulu diuji.
Bilamana terbukti benar keimanan mereka, maka janganlah di kembalikan kepada suami-suaminya
yang masih kafir dan sebaliknya. Yang dimaksud dengan menguji di dalam ayat ini
yaitu menanyakan alasan-alasan kedatangan mereka berhijrah ke Madinah dan
meninggalkan suami-suami mereka. Apakah mereka hijrah karena cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya dan rindu kepada Islam. Jika demikian yang menjadi niatnya,
hendaklah mereka ini diterima dengan baik.
Mengenai masalah ini, Abu Bakar Jabir al Jaza’iri[12]
menjelaskan lebih detail mengenai masalah itu sebagai berikut :
1.
Jika salah seorang dari suami istri
masuk Islam, misalnya suaminya masuk Islam, maka pernikahan keduanya menjadi
batal. Jika kemudian istrinya nanti masuk Islam sebelum masa iddahnya habis,
maka keduanya tetap dalam pernikahan pertama keduanya, tetapi jika istrinya
masuk Islam setelah masa iddahnya habis, maka harus dilangsungkan akad nikah
baru dengan mahar baru, jika direstui walinya, sebagaimana jumhur ulama’.
2.
Jika seorang istri yang kafir masuk
Islam sebelum digauli suaminya yang kafir, maka ia tidak berhak atas mahar,
karena perceraiannya disebabkan oleh dirinya. Jika suaminya masuk Islam, maka
ia berhak mendapat separuh mahar. Jika ia masuk Islam setelah digauli suaminya,
maka ia berhak mendapatkan mahar secara utuh. Hukum kemurtadan salah satu dari
suami istri sama dengan hukum masuk Islamnya salah satu dari keduanya tanpa ada
perbedaan sedikitpun.
3.
Jika seorang suami yang kafir masuk
Islam, dan ia beristri lebih dari empat orang yang juga ikut masuk Islam
bersamanya, atau istri-istrinya itu dari ahli kitab meski tidak masuk Islam bersamanya,
maka ia harus memilih empat orang saja dari mereka serta menceraikan sisanya.
Begitu juga dengan orang yang beristrikan dua orang wanita yang bersaudara dan
masuk Islam, maka ia harus menceraikan salah satu dari keduanya sesuai dengan
kehendaknya, karena memperistri dari dua wanita yang bersaudara tidak halal
berdasarkan Alquran surah An Nisa ayat 23.
Jadi,
Ulama’ telah sepakat bahwa Islam melarang dan tidak menghalalkan perkawinan
wanita muslim, menikah dengan laki-laki bukan muslim, baik dia musyrik maupun
ahlul kitab. Baik dia pemeluk agama yang memiliki kitab suci, seperti Kristen
dan Yahudi, ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci,
seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak
punya kitab suci dan kitab yang serupa dengan kitab suci. Termasuk pula disini
Animisme, Ateisme dan sebagainya. Dalil yang menjadi dasar hukum larangan kawin
antara wanita Islam dengan pria non Islam adalah :
1.
Alquran surah Albaqarah ayat 221 yang
artinya : “Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu”.
2.
Ijma’ para ulama’ tentang larangan
perkawinan antara wanita muslimah dengan pria
non muslim.
Pertimbangan
dari pada ketentuan ini adalah bahwa di tangan suamilah kekuasaan terhadap
istrinya, dan bagi istri wajib taat kepada perintahnya yang baik. Dalam
pengertian seperti inilah maksud daripada kekuasaan suami terhadap istri. Akan
tetapi bagi orang kafir tidak ada kekuasaan terhadap laki-laki atau perempuan
muslim. Seperti dalam QS. An Nisa ayat 141. Selain itu, seorang suami kafir
tidak mau tahu akan agama istrinya yang Muslim bahkan ia mendustakan kitab
sucinya dan mengingkari ajaran Nabinya.
Hikmah
Telah kita ketahui hukum-hukum dari pernikahan beda agama menurut Islam.
Dan yakinlah ketika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan tentang sesuatu, maka
tidak ada yang sia-sia. Semuanya mengandung manfaat dan hikmah.
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara
orang Islam dengan orang yang bukan Islam ialah bahwa antara orang Islam dengan
orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang
Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya
kepada para nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula kepada hari kiamat.
Sedangkan orang musyrik pada umumnya tidak percaya pada semua itu. Bahkan mereka
selalu mengajak orang-orang yang telah beriman untuk meninggalkan agamanya dan
kemudian dia diajak mengikuti kepercayaan dan ideologi mereka.
Yusuf al Qardhawi[13] mengingatkan bahwa terdapat banyak kemudharatan yang
mungkin terjadi karena pernikahan dengan wanita non muslim, diantaranya adalah:
1. Suami bisa saja
terpengaruh dengan agama si istri.
2.
Akan menimbulkan kesulitan dalam hal suami istri dan juga berpengruh pada anak
mereka
Sayid
Sabiq[14]
menuliskan dalam Fikih Sunnahnya, meskipun menikah dengan wanita ahli kitab
boleh tetapi dianggap makruh, karena adanya rasa tidak aman dari gangguan
keagamaan bagi suaminya atau bisa saja ia menjadi alat golongan agamanya. Jika
perempuannya dari golongan ahli kitab yang bermusuhan dengan kita, maka
dianggap lebih makruh lagi, sebab akan memperbanyak jumlah orang yang akan
menjadi musuh kita.
Selain itu, bagi para
muslimah yang dilarang menikah dengan pria non Islam dikhawatirkan wanita Islam
itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya,
kemudian terseret kepada suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari
hasil perkawinannya, dikhawatirkan akan mengikuti agama bapaknya, karena peran
bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-anak melebihi ibunya.
Ada beberapa hal yang
harus diingat adalah dari firman Allah dalam surah Albaqarah ayat 120 yaitu :
`s9ur
4ÓyÌös?
y7Ytã
ßqåkuø9$#
wur
3t»|Á¨Y9$#
4Ó®Lym
yìÎ6®Ks?
öNåktJ¯=ÏB
3 ö@è%
cÎ)
yèd
«!$#
uqèd
3yçlù;$#
3 ÈûÈõs9ur
|M÷èt7¨?$#
Nèduä!#uq÷dr&
y֏t/
Ï%©!$#
x8uä!%y`
z`ÏB
ÉOù=Ïèø9$#
$tB
y7s9
z`ÏB
«!$#
`ÏB
<cÍ<ur
wur
AÅÁtR
ÇÊËÉÈ
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang
benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu”.
Lalu Allah menjelaskan
lagi dalam surat cinta-Nya surah An Nisa ayat 141:
3
`s9ur
@yèøgs
ª!$#
tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9
n?tã
tûüÏZÏB÷sçRùQ$#
¸xÎ6y
ÇÊÍÊÈ
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman”.
Firman Allah tersebut
mengingatkan kepada umat Islam, hendaknya selalu berhati-hati dan waspada
terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan Kristen, yang
selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan berbagai cara. Dan
hendaknya umat Islam tidak memberi jalan atau kesempatan kepada mereka untuk
mencapai maksudnya. Seperti dengan tidak melakukan perkawinan beda agama.[15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkawinan
beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam baik itu pria
maupun wanita dengan orang yang bukan Islam, pria ataupun wanita. Dalam
menanggapi masalah ini, Islam membaginya dalam tiga kelompok, yaitu seorang
pria muslim menikah dengan wanita musyrik, seorang pria muslim menikah dengan
wanita ahlul kitab, dan seorang wanita muslimah yang menikah dengan sorang pria
bukan Islam.
Status
hukum bagi ketiganya berbeda-beda. Untuk hukum perkawinan bagi pria muslim
dengan wanita musyrikah sudah jelas larangannnya dalam Alquran surah Albaqarah
ayat 221. Sedangkan untuk hukum perkawinan seorang pria muslim dengan wanita
ahlul kitab, diperbolehkan. Sementara status hukum perkawinan bagi wanita
muslimah dengan pria non Islam, mendapat larangan keras seperti yang tertera
dalam Alquran surah Al Mumtahanah.
Adapun hikmah dilarangnya
perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam ialah bahwa antara
orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang
sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai
pencipta alam semesta, percaya kepada para nabi, kitab suci, malaikat dan
percaya pula kepada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik pada umumnya tidak
percaya pada semua itu. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah
beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian dia diajak mengikuti
kepercayaan dan ideologi mereka. Seperti yang Allah firmankan dalam Alquran
surah Albaqarah ayat 120.
B. Saran
Dari penjelasan dalam makalah ini, sudah kita
ketahui bagaimana hukum dan hikmah dari hukum perkawinan beda agama. Arus
modernisasi telah memaksa negara ini menerima masuknya paham-paham dunia barat
yang sebenarnya menggerus pemahaman dan perilaku bangsa Indonesia yang notabene
adalah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Paham-paham liberalisme yang berkembang di
Indonesia telah merusak tatanan ijtihad para ulama fiqih mengenai hukum pernikahan lintas agama. Permasalahan hukum nikah lintas
agama tersebut didestruk dengan berbagai metodenya. Berangkat dari asumsi yang
salah, bahwa pernikahan bukanlah termasuk ibadah dalam Islam, mendekonstruksi
makna musyrik. Dari asumsi ini melahirkan 'ijtihad' baru, yakni
seorang muslim baik yang laki-laki maupun perempuan boleh menikahi non muslim
secara mutlak. Walhasil, ayat-ayat Allah, hadits nabi serta ijtihad
ulama bagi mereka sudah tidak relevan lagi.
Mudah-mudahan kita sebagai generasi muda tidak ikut tercampur dalam produk
pemikiran dunia Barat yang mengajak kita untuk keluar dari pedoman utama kita
yaitu Alquran dan As sunnah.
(Penjelasan dari Pak M. Rizal Fahmi). Ketika melakukan sesuatu harus
melihat dari mashlahah dan mudharatnya. Artinya, ketika hukum pernikahan
dibolehkan maka, yang harus diperhatikan bahwa apa dampak positif dan negatif
dari kebolehan melakukan perkawinan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Quran dan terjemahannya. Departemen
Agama
Ed.
A.A Dahlan & M. Zaka Alfarisi, 2002, Asbab
an Nuzul, cet. 10, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro
Nazar
Bakry, 1994, Problematika Pelaksanaan
Fiqh Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
Sayid
Sabiq, 1980, Fikih Sunnah, cet. 20,
Bandung : PT. Al Maarif
Syekh
Abu Bakar Jabir al Jaza’ iri, 2011, Minhajul
Muslim, Jakarta : Darul Haq
Yusuf
Qardhawi, 1980, Halal dan Haram Dalam
Islam, PT. Bina Ilmu
Ahmad
Udin, “Pernikahan Lintas Agama”, http://kuplukluntur.blogspot.com/2012/11/pernikahan-lintas-agama.html,
diakses 3 Maret 2013
Iqbal
Agustian, “Pernikahan
beda agama Dalam tinjauan Hukum Islam”, http://bijehpade.blogspot.com/2011/10/pernikahan-beda-agama-dalam-tinjauan.html,
diakses 10 Maret
NeoEase,
“Studi Terhadap Pemikiran M. Quraish Shihab Tentang Makna Ahl Al Kitab dan
Implikasinya Terhadap Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia” http://koleksipengetahuan.wordpress.com/2010/02/19/studi-terhadap-pemikiran-m-quraish-shihab-tentang-makna-ahl-al-kitab-dan-implikasinya-terhadap-hukum-perkawinan-beda-agama-di-indonesia-rarstudi-terhadap-pemikiran-m-quraish-shihab-tentang-makna-a/,
diakses 10 Maret
[1] Ahmad Udin,
“Pernikahan Lintas Agama”, http://kuplukluntur.blogspot.com/2012/11/pernikahan-lintas-agama.html
[2] Asbabun
Nuzul, 2002, ed. A.A Dahlan & M. Zaka Alfarisi, cet. 10, Bandung : CV.
Penerbit Diponegoro, hlm. 73
[3] Ibid, hlm. 73
[4] Syekh
Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, (Alih bahasa H. Mu’ammad
Hamidy) tahun 1980, hlm. 249
[5] Nazar
Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, tahun 1994, hlm. 8
[6] Sayid
Sabiq, Fikih Sunnah, (alih bahasa oleh Drs. Mohammad Thalib), 1980, hlm. 154
[7] Iqbal
Agustian, “Pernikahan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam”, http://bijehpade.blogspot.com/2011/10/pernikahan-beda-agama-dalam-tinjauan.html
[8] Iqbal Agustian,
“Pernikahan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam”, http://bijehpade.blogspot.com/2011/10/pernikahan-beda-agama-dalam-tinjauan.html
[9] NeoEase, “STUDI TERHADAP PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB
TENTANG MAKNA AHL AL-KITAB DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM PERKAWINAN BEDA
AGAMA DI INDONESIA” http://koleksipengetahuan.wordpress.com/2010/02/19/studi-terhadap-pemikiran-m-quraish-shihab-tentang-makna-ahl-al-kitab-dan-implikasinya-terhadap-hukum-perkawinan-beda-agama-di-indonesia-rarstudi-terhadap-pemikiran-m-quraish-shihab-tentang-makna-a/
[10] Asbabun
Nuzul, 2002, ed. A.A Dahlan & M. Zaka Alfarisi, cet. 10, Bandung : CV.
Penerbit Diponegoro, hlm. 565
[11] Sayid Sabiq,
Fikih Sunnah, (alih bahasa oleh Drs. Mohammad Thalib), 1980, hlm. 163
[13] Iqbal
Agustian, “Pernikahan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam”, http://bijehpade.blogspot.com/2011/10/pernikahan-beda-agama-dalam-tinjauan.html
[14] Sayid
Sabiq, Fikih Sunnah, (alih bahasa oleh Drs. Mohammad Thalib), 1980, hlm. 157
[15] Nazar
Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, tahun 1994, hlm. 11-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar