Sabtu, 05 Maret 2016

SEJARAH DAKWAH PADA MASA DINASTI UMAYYAH

SEJARAH DAKWAH
SEJARAH DAKWAH PADA MASSA DINASTI UMAYYAH



DOSEN PENGAMPU :
BAMBANG SR, M. Ag







DISUSUN OLEH:
Maryamatul Munawwarah



PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM  (KPI)
JURUSAN  DAKWAH
SEKOLAH  TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONTIANAK
2013


SEJARAH DAKWAH PADA MASSA DINASTI UMAYYAH
A.    PENDAHULUAN
 Umat Islam pada masa Nabi Muhammad Saw bisa dikatakan sangat kompak, sebab apabila ada masalah atau konflik, Nabi sebagai problem solver, hakim dan keputusannya selalu diikuti. Setelah beliau wafat, tampuk kepemimpinan diambil oleh khulafaurrasyidin, pada waktu wafatnya Nabi muncul perselisihan siapakah yang akan dijadikan pengganti sebagai pimpinan umat. Lalu mereka secara musyawarah memilih Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama, dilanjutkan Umar bin khatab yang ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya setelah musyawarah dengan para sahabat senior. Sedangkan Usman bin affan dibaiat menjadi khalifah melalui keputusan rapat “Dewan Formatur” atas pertimbangan kualitas pribadinya dan Ali bin abi Thalib dipilih melaui pemilihan terbuka dalam kondisi kacau karena terbunuhnya Usman bin Affan.
Empat khulafaurrasyidin diatas berakhir dari jabatannya dengan dibunuh kecuali Abu Bakar Ash shiddiq yang wafat karena sakit, kekompakan dan soliditas Islam semakin parah pada masa Usman bin Affan karena kepemimpinannya dianggap lemah dan nepotisme. Pada masa Ali bin abi Thalib terjadilah perang jamal antara Ali dan ‘Aisyah, kemudian disusul dengan perang shiffin antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah bin Abi Shufyan. Adanya peristiwa tahkim (arbitrase) dalam peperangan tersebut mengakibatkan kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib pecah menjadi dua golongan, yaitu Khawarij dan syi’ah. Pertentangan itu berlanjut sampai Ali bin Abi Thalib terbunuh oleh Abdu al-rahman bin Muljim dari kelompok khawarij pada bulan Ramadlan tahun 35 H/611 M.[1]
 Dengan wafatnya khalifah yang keempat ini, maka berakhirlah zaman pemerintahan khulafa al-rasyidin yang dianggap benar-benar menepati konsep khilafah dalam Islam. Gubernur Syam tampil sebagai penguasa islam dan masa kekuasaannya merupakan awal dari kedaulatan Bani Umayyah.[2] Nama dinasti ini sendiri diambil dari nama Umayah ibnu Abdi Syams ibn Abdi Manaf, yaitu salah satu pemuka dalam persukuan pada zaman Jahiliyah. Umayah senantiasa bersaing dengan pamannya Hasyim ibn Abdi Manaf untuk berebut pengaruh dalam proses-proses sosial-politik pada masyarakat bangsanya, namun Umayah lebih dominan.[3] Hal ini disebabkan karena ia berasal dari keluarga bangsawan, pengusaha yang kaya dan memiliki sepuluh putra yang terhormat dalam masyarakat. Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut dizaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan.[4]
Sesudah datang agama Islam berubahlah mereka Bani Hasyim yakni persaingan untuk merebut kehormatan dan kekuasaan berubah sifatnya menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayyah dengan tegas menentang Rasulullah Saw, sebaliknya Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung beliau, baik mereka yang telah masuk Islam ataupun yang belum.[5] Bani Umayyah baru masuk Islam setelah tidak menemukan jalan lain, yaitu ketika Nabi Muhammad Saw bersama beribu pengikutnya menyerbu masuk ke kota Makkah.
 Dengan demikian bahwa Bani Umayyah itu adalah orang-orang yang terakhir masuk agama Islam pada masa Rasulullah, juga merupakan musuh yang paling keras terhadap Islam sebelum mereka memasukinya. Namun setelah memeluk Islam, mereka dengan segera dapat memperlihatkan semangat kepahlawanan yang tiada tandingnya, seolah-olah ingin mengimbangi keterlambatan mereka itu dengan berbuat jasa-jasa besar terhadap Islam.
B.     PEMBAHASAN
1.      Pemikiran dan Peradaban pada Masa Dinasti Umayyah 
Dinasti Umayyah berkuasa selama hampir satu abad (661-750 M) atau 89 tahun, selama rentang waktu tersebut, dinasti ini dipimpin oleh 14 Khalifah yaitu :[6]
a)      Muawiyah bin abu Sufyan/Muawiyah I (661-680 M)
b)      Yazid bin Muawiyah/Yazid I (680-683 M)
c)      Muawiyah bin Yazid/Muawiyah II (683 M)
d)     Marwan bin Hakam/Marwan I (683-685)
e)      Abdul Malik bin Marwan (685-705 M)
f)       Walid bin Abdul Malik/al-Walid I (705-715 M)
g)      Sulaiman bin Abdul Malik (715-717 M)
h)      Umar bin Abdul Aziz/ Umar II (717-720 M)
i)        Yazid bin Abdul Malik/Yazid II (720-724 M)
j)        Hisyam bin abdul Malik (724-743 M)
k)      Walid bin Yazid/Al-Walid II (743-744 M)
l)        Yazid binn Walid/Yazid III (744 M)
m)    Ibrahim bin Walid (744 M)
n)      Marwan bin Muhammad/Marwan II (744-750 M).
Adapun sumbangsih pemikiran yang mewarnai kemajuan peradaban yang dicapai oleh Dinasti Umayyah selama 89 tahun berkuasa adalah sebagai berikut:   
  1. Bidang Politik (Pemerintahan)[7]
Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan yang baru untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin komplek. Salah satunya adalah dengan mengangkat penasehat sebagai pendamping khalifah dan beberapa orang al-kuttab (sekretaris) untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Al-kuttab ini meliputi:
a)      Katib al-rasail : Sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat
b)      Katib al-kharraj : Sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara
c)      Katib al-jundi : Sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan
d)     Katib al-qudat : Sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.
  1. Bidang Keagamaan[8]
 Selama pemerintahan Dinasti ini, terdapat peluang untuk berkembangnya berbagai aliran yang tumbuh dikalangan masyarakat meskipun aliran itu tidak dikehendaki oleh penguasa waktu itu. Aliran-aliran tersebut diantaranya adalah : Syiah, Khawarij, Mu’tazilah dan yang lainnya.
  1. Bidang Ekonomi[9]
 Dengan bertambah luasnya wilayah Dinasti Umayyah, maka perdagangan juga semakin meluas. Praktik-praktik perniagaan merambah sampai daerah Tiongkok dengan sutera, keramik, obat-obatan dan wangi-wangian sebagai komoditasnya. Lalu meluas kebelahan negeri timur dengan rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluannya. Keadaan ini membuat kota Basrah dan Aden menjadi pusat perdagangan yang ramai, dengan ramainya perdagangan tersebut mendorong kemakmuran masyarakat dibidang industri.
 Selain itu juga menetapkan kebijakan fiskal, yaitu dengan mewajibkan kepada orang Muslim maupun non Muslim yang mempunyai tanah untuk membayar pajak. Sedangkan pajak per individu tidak berlaku pada orang Muslim namun berlaku bagi orang dzimmi (Azizah, 2011 : 100-101). Mereka hidup merdeka asalkan membayar pajak tanah dan pajak per jiwa.   
  1. Bidang Ilmu Bangunan (Arsitektur)[10]
 Dinasti Umayyah mencatat suatu pencapaian yang benilai seni budaya (Qubbah As-Shakhra) di Yerussalem menjadi monumen terbaik yang hingga sekarang dikagumi orang. Bangunan masjid dan gedung-gedung sipil yang arsitekturnya perpaduan Persia, Romawi dan arab. Misalnya, Muawiyah membangun Istana hijau di Miyata pada tahun 704 M. Walid I membangun masjid Damaskus yang diarsiteki oleh Abu Ubaidah bin Jarrah.
  1. Bidang Sosial
 Khalifah Abd al-Malik dan Al Walid Ibn Al Malik membangun panti-panti untuk orang cacat serta mendirikan jalan-jalan yang menghubungkan suatu daerah dengan yang lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintah dan masjid-masjid yang megah (Azizah, 2011 : 102). Semua pekerja yang terlibat dalam kegiatan humanis ini digaji oleh Negara secara tetap.
  1. Bidang Militer
 Pada masa dinasti Umayyah, organisasi militer terdiri dari angkatan darat (al-Jun), angkatan laut (al-bahriyah), dan kepolisian (as-Surtah).[11] Organisasi militer ini bertujuan untuk menjaga keamanan dan stabilitas seluruh wilayah dinasti tersebut yang sudah semakin luas.
  1. Bidang Pendidikan
Pada periode Dinasti Umayyah terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya, yaitu pendidikan khusus dan pendidikan umum. Pendidikan khusus adalah pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak Khalifah dan anak-anak para pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal- hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintahan.[12]
Adapun rencana pembelajaran bagi sekolah ini adalah menulis dan membaca Al-Quran dan Hadist, bahasa Arab dan syair-syair yang baik, sejarah bangsa arab dan peperangannya, adab kesopaan dalam perilaku pergaulan, pelajaran-pelajaran keterampilan menggunakan senjata, menunggang kuda dan kepemimpinan berperang. Tempat pendidikan berada dalam lingkungan istana, guru-gurunya ditunjuk oleh Khalifah dengan mendapat jaminan hidup yang lebih baik.
Sedangkan pendidikan umum adalah pendidikan yang diperuntukan bagi rakyat biasa, pendidikan ini merupakan lanjutan dari pendidikan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi masih hidup, beliau merupakan sarana pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan Islam. Pada masa Khulafaur Rasyidin dan  Bani Umayyah sebenarnya telah ada tingkat pengajaran dalam pendidikan, hampir seperti masa sekarang. Tingkat pertama ialah Khuttab, tempat anak-anak belajar menulis dan membaca atau menghafal Al-Quran serta belajar pokok-pokok agama Islam, setelah tamat Al-Quran mereka meneruskan pelajaran ke masjid. Pelajaran di masjid itu terdiri dari tingkat menengah dan tingkat tinggi, pada tingkat menengah gurunya belumlah ulama besar dan mata pelajaran yang diberikan pada tingkat ini adalah : Al-Qur’an dan penafsirannya, Hadist dan pengumpulannya dan Fiqh. Sedangkan pada tingkat tinggi gurunya sudah ulama yang mashur ilmunya, kealimannya serta kesholehannya dengan materi pelajaran: Al-Qur’an, Fiqh dan Ushul Fiqh, Nahwu Sharaf, Balaghah, Bahasa dan sastra.
Umumnya pelajaran diberikan guru kepada muridnya satu-persatu, baik di khuttab atau di masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran diberikan oleh guru dalam satu Khalaqah dan dihadiri oleh seluruh pelajar. Yang bertanggung jawab terhadap kelancaran jalannya pendidikan ini adalah para ulama, merekalah yang memikul tugas mengajar dan memberikan bimbingan serta pimpinan kepada rakyat. Mereka bekerja atas dasar kesadaran dan keinsyafan moral serta tanggung jawab agama, bukan atas dasar pengangkatan dan penunjukkan pemerintah.[13]
Tujuan dari kedua pendidikan tersebut akan diperoleh kesimpulan bahwa, yang pertama bertujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan hakikat kebenaran yang ditunjang oleh keyakinan agama. Adanya perbedaan tujuan pendidikan menunjukkan adanya perbedaan pandangan hidup yakni menghasilkan pimpinan formal yang didukung oleh jabatan kenegaraan dengan wibawa kekuasaan. Sedang yang kedua menghasilkan pimpinan informal yang didukung oleh kharisma dan ilmu pengetahuan.
2.   Kebijakan Umar Bin Abdul Aziz dalam Pengembangan Pemikiran dan Peradaban Islam
Konsep dasar kebijakan pemerintah Umar bin Abdul Aziz dapat dilihat pada pidato pertama beliau sehari setelah dibaiat segabai khalifah “Sesungguhnya aku menasehatkan kalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah swt (dalam hidup dan kehidupan) serta meninggalkan segala hal yang menjauhkan dari ketakwaan kepada-Nya. Perbanyaklah mengingat kematian, karena ia pemutus segala kenikmatan (duniawi), maka persiapkanlah diri untuk menghadap kematian dengan sebaik-baiknya. Sesungguhnya (kesesatan dan kehancuran) ummat ini bukan pada perselisihan (dalam pemahaman dan peribadatan) terhadap Tuhan maupun kitab suci tapi lebih pada pertentangan dalam masalah dinar dan dirham (uang/urusan duniawi). Maka sesungguhnya aku tidak akan memberikannya dengan bathil kepada seseorang dan tidak akan menahannya dari seseorang (jika memang ia berhak mendapatkannya)”.[14]
 Berdasarkan keterangan diatas, dapatlah kita simpulkan bahwa yang menjadi dasar Umar dalam memerintah adalah menjadikan ketaatan dan ketakwaan kepada Allah sebagai pondasi dasar dan utama dalam membangun pemerintahan. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah sebagai berikut :
a)        Sumber Hukum Kebijakan Umar bin Abdul Aziz
 Dalam menentukan kebijakan-kebijakan negara Umar selalu merujuk kepada sumber-sumber hukum berikut ini : Al-Qur’an dan as-Sunnah, Peninggalan hukum Abu Bakar dan Umar bin Khatab dan Ijma’ ulama’.
 Ijma’ dilakukan dengan cara mengumpulkan keputusan-keputusan hukum para ulama sebelumnya dan bermusyawarah dengan para ulama’ yang masih hidup pada zamannya. Berikut adalah nama para ulama’ yang masih hidup pada zamannya : Anas bin Malik, Said bin Musayyab, Salim bin Abdullah bin Umar bin Khatab, Muhammad bin Syihab, Maimun bin Mahran, ‘Uwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Al-qasim bin Muhammad, Khorijah bin Zaid dan Abullah bin ‘Amir bin Rubai’ah.[15]
 Dalam berijtihad Umar bin Abdul Aziz menghormati ijtihad para ulama walaupun mungkin hasilnya bertentangan dengannya. Hal ini dilakukan untuk dapat merangkul semua golongan dan menyatukan umat, beliau menjadikan musyawarah dengan ulama’ sebagai salah satu cara kontrol pemerintahannya agar selalu berjalan dalam garis-garis yang telah ditetapkan syariat.  
b)        Kebijakan Keuangan Umar bin Abdul Aziz
 Umar bin Abdul Aziz dengan tegas memutus rantai penyimpangan pendapatan dan distribusi keuangan Negara oleh Aparatur Negara bahkan yang masih ada pertalian darah dengannya atau dengan kata lain masih keturunan Bani Umayyah. Beliau memulai kehidupannya sebagai pemimpin dengan membersihkan harta pribadinya dari barang-barang haram dan syubhat serta menyerahkannya ke Bait al-maal. Kemudian memulai hidup sederhana bagi ukuran seorang pemimpin dengan wilayah yang luas.
 Dalam bidang keuangan Umar melakukan pembenahan dan pengelolaan keuangan Negara secara total, yaitu dengan menghapuskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada era pemerintahan Khalifah sebelumnya, baik dari pengelolaan pemasukan dan pengeluaran maupun pembenahan administrasi Negara secara adil dan transparan.
c)        Pembenahan Pengelolaan Keuangan Negara
 Umar mewarisi pengelolaan keuangan yang telah jauh menyeleweng dari hukum Islam, yang dilakukan oleh para pendahulunya. Sehingga menyebabkan ketidakseimbangan pendapatan dan pengeluaran Negara, ketidakseimbangan yang terjadi kemudian berimbas pada ketidakmerataan distribusi pendapatan Negara, seperti tidak meratanya pembangunan antarkota dan melebarnya kesenjangan antara kondisi rakyat dan pejabat pemerintahan.
 Dengan alasan tersebut, Umar memandang bahwa pembenahan secara lebih mendasar merupakan pilihan utama yang tidak dapat dihindari. Maka beliau memerintahkan seseorang untuk mencari Yurisprudensi (ajaran hukum melalui peradilan) milik kakeknya Umar bin Khattab kemudian menjadikannya sebagai dasar awal kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang tentu dengan ada beberapa perubahan sesuai kebutuhan pada zaman itu.[16]
 Untuk menghindari kecurangan dan penyimpangan jabatan dikarenakan gaji yang tidak mencukupi, Umar membuat kebijakan dengan menaikkan gaji para pejabat. Bahkan, karena gaji yang tinggi dianggap lebih dan cukup maka ia melarang para pejabat untuk berdagang atau mempunyai aktifitas lain yang akan mengganggu konsentrasi mereka dalam menjalaknkan roda pemerintahan.[17]
 Sebuah keputusan yang cukup mengejutkan adalah Umar II tidak mau menerima gaji yang semestinya ia terima sebagai pemimpin, tapi mencukupkan diri hidup dari tunjangan bait maal yang diterima secara merata bagi seluruh rakyat. Hal ini dikarenakan ia menganggap sudah cukup merasakan dan tumbuh dari harta keluarga yang bersumber dari penyimpangan fai’ (karena semua keluarga mendapatkan keistimewaan dalam hal itu) dan tidak mau lagi merasakannya selamanya.  
d)       Kebijakan di Bidang Politik dan Pemerintahan
 Kebijakan Umar Bin Abdul Aziz dalam bidang administrasi kepemerintahan terfokus pada dua karakteristik. Pertama, memberikan jaminan keamanan bagi rakyat, demi mewujudkan ketenangan dan keamanan, ia meninggalkan kebijakan-kebijakan pendahulunya yang mengfokuskan perluasan dan penguasaan negara. Kedua, demi mewujudkan keamanan dan ketertiban, baik ia pribadi maupun kebijakan pemerintah yang netral dan berada diatas golongan, ras dan suku.
 Pada saat Umar bin Abdul Aziz berkuasa atau pertama kali diangkat menjadi khalifah situasi dan kondisi Pemerintahan Umayyah dan sistem keuangan negara berada dalam pintu politik yang gawat dan Riskan. Atas dasar kekuasan Arab atas mawali dan dzimmi, menjadi pokok kebijakan pemerintahan Bani Umayyah, mereka menerapkan kebijakan pajak yang tidak manusiawi. Maka ketika Umar menjadi khalifah, ia mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk memperbaiki dan mengatur urusan dalam negeri, kebijakannya lebih dipusatkan untuk membangun negara secara moril dan ia merupakan satu-satunya khalifah Umayyah yang mampu meredam konflik antar golongan dan sekte.
Umar II mencurahkan untuk membangun, mengislamkan negara dan rakyat dari pada ekspansi serta mengumpulkan kekayaan, akan tetapi tidak melakukan pembangunan, menegakan hukum dan menjaga keadilan. Saat-saat inilah, masa keemasan dalam hal dakwah Islam. Para da’i, alim-ulama dan sufi berduyun-duyun datang keberbagai wilayah, dalam sejarah dinasti ini hanya pada periode Umar rakyat merasakan keadilan dan pemerataan yang sebelumnya dirampas oleh kebijakan para khalifah dan kepala daerah yang korup (Mansyur : 2004).
 Umar bin Abdul Aziz berusaha menstabilkan kondisi politik dan keamanan Negara. Salah satunya diwujudkan dengan memanggil pasukan yang mengepung konstantinopel dan merangkul kaum pemberontak yang selalu merongrong pemerintahan.
 Dalam bidang administrasi aparatur negara Umar II melakukan reformasi total bagi pejabat-pejabat pemerintahan yang diangkat tidak berdasarkan keahlian pada bidang yang mereka pimpin. Sang Khalifah lebih mengutamakan skill dan keshalihan dalam mengangkat para pejabat pemerintahan, walaupun mereka bukanlah dari bangsa Quraisy, disamping tetap mengutamakan para pejabat yang memegang jabatan strategis dari orang Arab dan menganjurkan para pejabatnya agar mengangkat bawahan dari orang arab muslim.[18]
 Secara umum, ada dua jabatan penting yang mendapat perhatian lebih dari Umar yaitu Gubernur dan Qadli. Hal ini dikarenakan sebagai kepala pemerintahan daerah dan pembuat keputusan hukum haruslah orang yang jujur, adil, taqwa, tidak memihak golongan (netral), lemah lembut terhadap orang yang tertindas tapi tegas terhadap pelanggar. Diutamakan muslim serta ahli al-Qur’an karena mereka akan lebih dekat dengan kebenaran dalam kehidupanannya, dengan dasar ini maka para ahli sejarah bersepakat bahwa untuk kualitas para pejabat yang diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, termasuk golongan tsiqqah (terpercaya).   
e)        Kebijakan di Bidang Ilmu Pengetahuan
 Kehidupan intelektual di Basrah dan kufah diantaranya melahirkan tokoh-tokoh intelektual diantaranya adalah Al-Khalil bin ahmad (penyusun kamus Kitab ‘Ayn), sibawaih (penyusun kitab tata bahasa Arab). Sedangkan di bidang hadits khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada Gubernur Madinah dan Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Shihab Az-zuhri untuk mengumpulkan hadits dikarenakan suadah banyak perawi hadits yang meninggal. Dia adalah ulama pertama yang membukukan hadits dan mengenal 70 pribadi sahabat yang ikut perang badar, selain itu juga ada Hasan Basri yang mengkaji hadits-hadits Nabi dan hukum Islam. Kajian sejarah periwayatan hadits, merupakan embrio lahirnya kajian historiografi Arab yang nantinya melahirkan kitab-kitab maghazy dan sirah.[19]
 Pada zaman Muawiyah belum terdapat Lembaga Pendidikan Formal, putera-puteri khalifah disekolahkan di Badiyah, untuk mempelajari bahasa arab yang fasih dan murni serta puisi-puisi Arab. Sedangkan pendidikan formal baru muncul di Kufah dengan nama kuttab yang dirintis oleh Al-dhohak, sekolah dasar ini diperuntukkan bagi masyarakat secara gratis.


3.      Analisis Terhadap Kebijakan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz Melalui Teori Double Movement
 Secara Konseptual  yang digunakan oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai fondasi pememerintahan adalah menjadikan ketaatan dan ketakwaan kepada Allah, yang merujuk kepada Al-Qur’an, as-Sunnah, jurisprudensi Abu Bakar dan Umar bin Khatab dan Ijma’ ulama. Hal itu dituangkan dalam kebijakan-kebijakan beliau selama menjabat sebagai khalifah, seperti bidang  keuangan Negara, politik dan Pemerintahan dan Ilmu Pengetahuan.
 Kalau kita cermati secara historis kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Umar II sudah sangatlah tepat pada masa itu, karena tidak sedikit dari ahli sejarah yang berapresiasi dan mengakui kontribusinya dalam melakukan refolusi dan reformasi birokrasi untuk mengarah kepada kesamaan hak dan kewajiban, persatuan, kemakmuran, humanis dan sistem pemerintahan yang sehat.
 Pada era sekarang dan yang akan datang kebijakaaan-kebijakan Umar bin Abdul Aziz akan tetap relevan dan cocok untuk diterapkan karena bersumber kepada Al-qur’an dan hadits yang suitable (pantas) dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Apalagi dengan munculnya isu-isu global dan realitas yang terjadi pada masa sekarang, seperti hak asasi manusia, gender, perdagangan manusia, korupsi, kolusi, nepotisme dan yang lainnya.
 Dengan melakukan pendekatan-pendekatan Umar II ini, ada kemungkinan akan dapat menjawab permasalahan- permasalahan atau dapat dijadikan sebagai pemecahan masalah terhadap permasalahan masyarakat, negara dan dunia yang semakin kompleks.




   
REFERENSI
Azizah, 2011. Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti Umayyah), Yogyakarta : Nusantara Press
Ali Mufrodi, 1999. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta : Logos
Mansyur, 2004. Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Global Pustaka Utama
Syalabi, 1995. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : Al-Husna Zikra
Achmadi Wahid, 2008. Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta : Pustaka Insan Madani
Siti Maryam, 2003. Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: SPI Fak Adab IAIN Suka
Badri Yatim, 2001. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali press
Qutb Ibrahim Muhammad, 1988. As-Siyasah Al-Maliyah li ‘Umar bin Abdul Aziz, Kairo : al-Haiah al-Mishriyyah al-‘Amah li al-Kuttab
Imam Haryadi, 2009. Kebijakan Keuangan Umar bin Abdul Aziz, Yogyakarta : UIN Suka
Iffat Hishal Hamzah, Sirah Umar bin Abdul Aziz
N. Abbas Wahid dan Suratno, 2009. Sejarah Kebudayaan Islam, Solo : Pustaka Mandiri
Zuhairini, 2010. Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta
Ali Al-jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, 2004. Perbandingan Pendidikan Islam, Yogjakarta : Rineka Cipta




[1] Azizah, Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti Umayyah), Yogyakarta : Nusantara Press, 2011, hal. 94-95
[2] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1999) hal. 69
[3] Mansyur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2004)
[4] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995) hal. 24
[5] Mansyur, ibid,  hal. 29-30
[6] Achmadi Wahid, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008) hal. 53
[7] Azizah, ibid, hal. 99
[8] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1999, hal. 83.  
[9] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: SPI Fak Adab IAIN Suka, 2003, hal 81-82
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali press, 2001), hal. 45
[11] Azizah, hal. 102
[12]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Bumi Aksara: Jakarta,2010), hal. 92

[13]Ali Al-jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Yogjakarta : Rineka Cipta , 2004), hal. 29

[14] Qutb Ibrahim Muhammad, As-Siyasah Al-Maliyah li ‘Umar bin Abdul Aziz, Kairo: al-haiah al-Mishriyyah al-‘amah li al-kuttab, 1988, hal. 225
[15] Qutb Ibrahim Muhammad, ibid hal. 53-54.
[16] Imam Haryadi, kebijakan keuangan Umar bin Abdul Aziz, Yogyakarta:UIN Suka, 2009. Hal. 114-115.
[17] Qutb Ibrahim Muhammad, ibid hal. 164
[18] Iffat Hishal Hamzah,Sirah Umar bin Abdul Aziz, hal. 274-275.
[19] N. Abbas Wahid dan Suratno, sejarah Kebudayaan Islam, Solo: Pustaka Mandiri, 2009, hal. 46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar