SEJARAH DAKWAH
SEJARAH
DAKWAH PADA MASSA DINASTI UMAYYAH
DOSEN PENGAMPU :
BAMBANG SR, M. Ag
DISUSUN OLEH:
Maryamatul
Munawwarah
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM (KPI)
JURUSAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONTIANAK
2013
SEJARAH
DAKWAH PADA MASSA DINASTI UMAYYAH
A.
PENDAHULUAN
Umat Islam
pada masa Nabi Muhammad Saw
bisa dikatakan sangat kompak, sebab apabila ada masalah atau konflik, Nabi
sebagai problem solver, hakim dan keputusannya selalu diikuti. Setelah
beliau wafat, tampuk kepemimpinan diambil oleh khulafaurrasyidin, pada waktu
wafatnya Nabi muncul perselisihan siapakah yang akan dijadikan pengganti
sebagai pimpinan umat. Lalu mereka secara musyawarah memilih Abu Bakar sebagai
khalifah yang pertama, dilanjutkan Umar bin khatab yang ditunjuk oleh Abu Bakar
sebagai penggantinya setelah musyawarah dengan para sahabat senior. Sedangkan
Usman bin affan dibaiat menjadi khalifah melalui keputusan rapat “Dewan
Formatur” atas pertimbangan kualitas pribadinya dan Ali bin abi Thalib dipilih
melaui pemilihan terbuka dalam kondisi kacau karena terbunuhnya Usman bin
Affan.
Empat khulafaurrasyidin diatas berakhir
dari jabatannya dengan dibunuh kecuali Abu Bakar Ash shiddiq yang wafat karena
sakit, kekompakan dan soliditas Islam semakin parah pada masa Usman bin Affan
karena kepemimpinannya dianggap lemah dan nepotisme. Pada masa Ali bin abi
Thalib terjadilah perang jamal antara Ali dan ‘Aisyah, kemudian disusul dengan
perang shiffin antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah bin Abi Shufyan. Adanya
peristiwa tahkim (arbitrase) dalam peperangan tersebut mengakibatkan
kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib pecah menjadi dua golongan, yaitu
Khawarij dan syi’ah. Pertentangan itu berlanjut sampai Ali bin Abi Thalib
terbunuh oleh Abdu al-rahman bin Muljim dari kelompok khawarij pada bulan
Ramadlan tahun 35 H/611 M.[1]
Dengan wafatnya khalifah yang
keempat ini, maka berakhirlah zaman pemerintahan khulafa al-rasyidin yang
dianggap benar-benar menepati konsep khilafah dalam Islam. Gubernur
Syam tampil sebagai penguasa islam dan masa kekuasaannya merupakan awal dari
kedaulatan Bani Umayyah.[2] Nama
dinasti ini sendiri diambil dari nama Umayah ibnu Abdi Syams ibn Abdi Manaf,
yaitu salah satu pemuka dalam persukuan pada zaman Jahiliyah. Umayah senantiasa
bersaing dengan pamannya Hasyim ibn Abdi Manaf untuk berebut pengaruh dalam
proses-proses sosial-politik pada masyarakat bangsanya, namun Umayah lebih
dominan.[3] Hal ini
disebabkan karena ia berasal dari keluarga bangsawan, pengusaha yang kaya dan
memiliki sepuluh putra yang terhormat dalam masyarakat. Orang yang memiliki
ketiga unsur tersebut dizaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk
memperoleh kehormatan dan kekuasaan.[4]
Sesudah datang agama Islam berubahlah
mereka Bani Hasyim yakni persaingan untuk merebut kehormatan dan kekuasaan
berubah sifatnya menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayyah dengan tegas
menentang Rasulullah Saw, sebaliknya Bani Hasyim menjadi penyokong dan
pelindung beliau, baik mereka yang telah masuk Islam ataupun yang belum.[5] Bani
Umayyah baru masuk Islam setelah tidak menemukan jalan lain, yaitu ketika Nabi
Muhammad Saw bersama beribu pengikutnya menyerbu masuk ke kota Makkah.
Dengan demikian bahwa Bani
Umayyah itu adalah orang-orang yang terakhir masuk agama Islam pada masa
Rasulullah, juga merupakan musuh yang paling keras terhadap Islam sebelum
mereka memasukinya. Namun setelah memeluk Islam, mereka dengan segera dapat
memperlihatkan semangat kepahlawanan yang tiada tandingnya, seolah-olah ingin mengimbangi
keterlambatan mereka itu dengan berbuat jasa-jasa besar terhadap Islam.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pemikiran dan Peradaban pada Masa
Dinasti Umayyah
Dinasti Umayyah berkuasa selama hampir satu abad (661-750
M)
atau 89 tahun, selama rentang waktu tersebut, dinasti ini dipimpin oleh
14 Khalifah yaitu
:[6]
a)
Muawiyah bin abu Sufyan/Muawiyah I (661-680 M)
b)
Yazid bin Muawiyah/Yazid I (680-683 M)
c)
Muawiyah bin Yazid/Muawiyah II (683 M)
d)
Marwan bin Hakam/Marwan I (683-685)
e)
Abdul Malik bin Marwan (685-705 M)
f)
Walid bin Abdul Malik/al-Walid I (705-715 M)
g)
Sulaiman bin Abdul Malik (715-717 M)
h)
Umar bin Abdul Aziz/ Umar II (717-720 M)
i)
Yazid bin Abdul Malik/Yazid II (720-724 M)
j)
Hisyam bin abdul Malik (724-743 M)
k)
Walid bin Yazid/Al-Walid II (743-744 M)
l)
Yazid binn Walid/Yazid III (744 M)
m)
Ibrahim bin Walid (744 M)
n)
Marwan bin Muhammad/Marwan II (744-750 M).
Adapun sumbangsih pemikiran yang
mewarnai kemajuan peradaban yang dicapai oleh Dinasti Umayyah selama 89 tahun
berkuasa adalah sebagai berikut:
- Bidang Politik (Pemerintahan)[7]
Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan
yang baru untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin
komplek. Salah satunya adalah dengan mengangkat penasehat sebagai pendamping
khalifah dan beberapa orang al-kuttab (sekretaris) untuk membantu
pelaksanaan tugasnya. Al-kuttab ini meliputi:
a)
Katib al-rasail : Sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan
pembesar-pembesar setempat
b)
Katib al-kharraj : Sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara
c)
Katib al-jundi : Sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan
d)
Katib al-qudat : Sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan
hakim setempat.
- Bidang Keagamaan[8]
Selama pemerintahan Dinasti ini,
terdapat peluang untuk berkembangnya berbagai aliran yang tumbuh dikalangan
masyarakat meskipun aliran itu tidak dikehendaki oleh penguasa waktu itu.
Aliran-aliran tersebut diantaranya adalah : Syiah,
Khawarij, Mu’tazilah dan yang lainnya.
- Bidang Ekonomi[9]
Dengan
bertambah luasnya wilayah Dinasti Umayyah, maka perdagangan juga semakin
meluas. Praktik-praktik perniagaan merambah sampai daerah Tiongkok dengan
sutera, keramik, obat-obatan dan wangi-wangian sebagai komoditasnya. Lalu
meluas kebelahan negeri timur dengan rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata,
logam mulia, gading dan bulu-buluannya. Keadaan ini membuat kota Basrah dan Aden
menjadi pusat perdagangan yang ramai, dengan ramainya perdagangan tersebut mendorong kemakmuran
masyarakat dibidang industri.
Selain
itu juga menetapkan kebijakan fiskal, yaitu dengan mewajibkan kepada
orang Muslim maupun non Muslim yang mempunyai tanah untuk membayar pajak.
Sedangkan pajak per individu tidak berlaku pada orang Muslim namun berlaku bagi
orang dzimmi
(Azizah, 2011 : 100-101). Mereka hidup merdeka asalkan membayar
pajak tanah dan pajak per jiwa.
- Bidang Ilmu Bangunan (Arsitektur)[10]
Dinasti
Umayyah mencatat suatu pencapaian yang benilai seni budaya (Qubbah As-Shakhra) di
Yerussalem menjadi monumen terbaik yang hingga sekarang dikagumi orang. Bangunan masjid dan
gedung-gedung sipil yang arsitekturnya perpaduan Persia, Romawi dan arab.
Misalnya, Muawiyah membangun Istana hijau di Miyata pada tahun 704 M. Walid I
membangun masjid Damaskus
yang diarsiteki oleh Abu Ubaidah bin Jarrah.
- Bidang Sosial
Khalifah Abd al-Malik dan Al
Walid Ibn Al Malik membangun panti-panti untuk orang cacat serta mendirikan
jalan-jalan yang menghubungkan suatu daerah dengan yang lainnya, pabrik-pabrik,
gedung-gedung pemerintah dan masjid-masjid yang megah (Azizah, 2011 : 102). Semua
pekerja yang terlibat dalam kegiatan humanis ini digaji oleh Negara secara
tetap.
- Bidang Militer
Pada
masa dinasti Umayyah, organisasi militer terdiri dari angkatan darat (al-Jun),
angkatan laut (al-bahriyah), dan kepolisian (as-Surtah).[11]
Organisasi militer ini bertujuan untuk menjaga keamanan dan stabilitas seluruh
wilayah dinasti tersebut yang sudah semakin luas.
- Bidang Pendidikan
Pada periode Dinasti Umayyah terdapat
dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya, yaitu pendidikan
khusus dan pendidikan umum. Pendidikan khusus adalah pendidikan yang
diselenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak Khalifah dan anak-anak para
pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali
pemerintahan atau hal- hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan
kebutuhan pemerintahan.[12]
Adapun rencana pembelajaran
bagi sekolah ini adalah menulis dan membaca Al-Quran dan Hadist, bahasa Arab
dan syair-syair yang baik, sejarah bangsa arab dan peperangannya, adab kesopaan
dalam perilaku pergaulan, pelajaran-pelajaran keterampilan menggunakan senjata,
menunggang kuda dan kepemimpinan berperang. Tempat pendidikan berada dalam
lingkungan istana, guru-gurunya ditunjuk oleh Khalifah dengan mendapat jaminan
hidup yang lebih baik.
Sedangkan pendidikan umum
adalah pendidikan yang diperuntukan bagi rakyat biasa, pendidikan ini merupakan
lanjutan dari pendidikan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi masih hidup,
beliau merupakan sarana pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan Islam.
Pada masa Khulafaur Rasyidin dan Bani Umayyah sebenarnya telah ada
tingkat pengajaran dalam pendidikan, hampir seperti masa sekarang. Tingkat
pertama ialah Khuttab, tempat anak-anak belajar menulis dan membaca atau
menghafal Al-Quran serta belajar pokok-pokok agama Islam, setelah tamat Al-Quran
mereka meneruskan pelajaran ke masjid. Pelajaran di masjid itu terdiri dari
tingkat menengah dan tingkat tinggi, pada tingkat menengah gurunya belumlah
ulama besar dan mata pelajaran yang diberikan pada tingkat ini adalah : Al-Qur’an
dan penafsirannya, Hadist dan pengumpulannya dan Fiqh. Sedangkan pada tingkat
tinggi gurunya sudah ulama yang mashur ilmunya, kealimannya serta kesholehannya
dengan materi pelajaran: Al-Qur’an, Fiqh dan Ushul Fiqh, Nahwu Sharaf, Balaghah,
Bahasa dan sastra.
Umumnya pelajaran diberikan
guru kepada muridnya satu-persatu, baik di khuttab atau di masjid pada
tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran diberikan oleh guru dalam satu
Khalaqah dan dihadiri oleh seluruh pelajar. Yang bertanggung jawab terhadap
kelancaran jalannya pendidikan ini adalah para ulama, merekalah yang memikul
tugas mengajar dan memberikan bimbingan serta pimpinan kepada rakyat. Mereka
bekerja atas dasar kesadaran dan keinsyafan moral serta tanggung jawab agama,
bukan atas dasar pengangkatan dan penunjukkan pemerintah.[13]
Tujuan dari kedua pendidikan
tersebut akan diperoleh kesimpulan bahwa, yang pertama bertujuan untuk
memperoleh ilmu pengetahuan dan hakikat kebenaran yang ditunjang oleh keyakinan
agama. Adanya perbedaan tujuan pendidikan menunjukkan adanya perbedaan
pandangan hidup yakni menghasilkan pimpinan formal yang didukung oleh jabatan
kenegaraan dengan wibawa kekuasaan. Sedang yang kedua menghasilkan pimpinan
informal yang didukung oleh kharisma dan ilmu pengetahuan.
2.
Kebijakan Umar Bin Abdul Aziz dalam Pengembangan Pemikiran dan Peradaban Islam
Konsep
dasar kebijakan pemerintah Umar bin Abdul Aziz dapat dilihat pada pidato
pertama beliau sehari setelah dibaiat segabai khalifah “Sesungguhnya aku
menasehatkan kalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah swt (dalam hidup dan
kehidupan) serta meninggalkan segala hal yang menjauhkan dari ketakwaan
kepada-Nya. Perbanyaklah mengingat kematian, karena ia pemutus segala
kenikmatan (duniawi), maka persiapkanlah diri untuk menghadap kematian dengan
sebaik-baiknya. Sesungguhnya (kesesatan dan kehancuran) ummat ini bukan pada
perselisihan (dalam pemahaman dan peribadatan) terhadap Tuhan maupun kitab suci
tapi lebih pada pertentangan dalam masalah dinar dan dirham (uang/urusan
duniawi). Maka sesungguhnya aku tidak akan memberikannya dengan bathil kepada
seseorang dan tidak akan menahannya dari seseorang (jika memang ia berhak
mendapatkannya)”.[14]
Berdasarkan
keterangan diatas, dapatlah kita simpulkan bahwa yang menjadi dasar Umar dalam
memerintah adalah menjadikan ketaatan dan ketakwaan kepada Allah sebagai
pondasi dasar dan utama dalam membangun pemerintahan. Adapun hal-hal yang
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah
sebagai berikut :
a)
Sumber Hukum Kebijakan Umar bin Abdul Aziz
Dalam
menentukan kebijakan-kebijakan negara Umar selalu merujuk kepada sumber-sumber
hukum berikut ini
: Al-Qur’an
dan as-Sunnah,
Peninggalan hukum Abu Bakar dan Umar bin Khatab dan Ijma’
ulama’.
Ijma’
dilakukan dengan cara mengumpulkan keputusan-keputusan hukum para ulama
sebelumnya dan bermusyawarah dengan para ulama’ yang masih hidup pada zamannya.
Berikut adalah nama para ulama’ yang masih hidup pada zamannya : Anas bin
Malik, Said bin Musayyab, Salim bin Abdullah bin Umar bin Khatab, Muhammad bin
Syihab, Maimun bin Mahran, ‘Uwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Al-qasim bin
Muhammad, Khorijah bin Zaid dan Abullah bin ‘Amir bin Rubai’ah.[15]
Dalam berijtihad Umar bin Abdul
Aziz menghormati ijtihad para ulama walaupun mungkin hasilnya bertentangan
dengannya. Hal ini dilakukan untuk dapat merangkul semua golongan dan
menyatukan umat,
beliau menjadikan musyawarah dengan ulama’ sebagai salah satu cara kontrol
pemerintahannya agar selalu berjalan dalam garis-garis yang telah ditetapkan
syariat.
b)
Kebijakan Keuangan Umar bin Abdul Aziz
Umar bin
Abdul Aziz dengan tegas memutus rantai penyimpangan pendapatan dan distribusi
keuangan Negara oleh Aparatur Negara bahkan yang masih ada pertalian darah
dengannya atau dengan kata lain masih keturunan Bani Umayyah. Beliau memulai kehidupannya
sebagai pemimpin dengan membersihkan harta pribadinya dari barang-barang haram
dan syubhat serta menyerahkannya ke Bait al-maal. Kemudian memulai hidup
sederhana bagi ukuran seorang pemimpin dengan wilayah yang luas.
Dalam
bidang keuangan Umar melakukan pembenahan dan pengelolaan keuangan Negara
secara total, yaitu dengan menghapuskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
pada era pemerintahan Khalifah sebelumnya, baik dari pengelolaan pemasukan dan
pengeluaran maupun pembenahan administrasi Negara secara adil dan transparan.
c)
Pembenahan Pengelolaan Keuangan Negara
Umar
mewarisi pengelolaan keuangan yang telah jauh menyeleweng dari hukum Islam,
yang dilakukan oleh para pendahulunya. Sehingga menyebabkan ketidakseimbangan
pendapatan dan pengeluaran Negara, ketidakseimbangan yang terjadi kemudian berimbas pada
ketidakmerataan distribusi pendapatan Negara, seperti tidak meratanya
pembangunan antarkota dan melebarnya kesenjangan antara kondisi rakyat dan
pejabat pemerintahan.
Dengan alasan tersebut, Umar
memandang bahwa pembenahan secara lebih mendasar merupakan pilihan utama yang
tidak dapat dihindari. Maka beliau memerintahkan seseorang untuk mencari Yurisprudensi
(ajaran hukum melalui peradilan) milik kakeknya Umar bin Khattab kemudian
menjadikannya sebagai dasar awal kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang tentu
dengan ada beberapa perubahan sesuai kebutuhan pada zaman itu.[16]
Untuk menghindari kecurangan dan
penyimpangan jabatan dikarenakan gaji yang tidak mencukupi, Umar membuat
kebijakan dengan menaikkan gaji para pejabat. Bahkan, karena gaji yang tinggi
dianggap lebih dan cukup maka ia melarang para pejabat untuk berdagang atau
mempunyai aktifitas lain yang akan mengganggu konsentrasi mereka dalam
menjalaknkan roda pemerintahan.[17]
Sebuah keputusan yang cukup
mengejutkan adalah Umar II tidak mau menerima gaji yang semestinya ia terima
sebagai pemimpin, tapi mencukupkan diri hidup dari tunjangan bait maal
yang diterima secara merata bagi seluruh rakyat. Hal ini dikarenakan ia
menganggap sudah cukup merasakan dan tumbuh dari harta keluarga yang bersumber
dari penyimpangan fai’ (karena semua keluarga mendapatkan keistimewaan
dalam hal itu) dan tidak mau lagi merasakannya selamanya.
d)
Kebijakan di Bidang Politik dan Pemerintahan
Kebijakan
Umar Bin Abdul Aziz dalam bidang administrasi kepemerintahan terfokus pada dua
karakteristik. Pertama, memberikan jaminan keamanan bagi rakyat, demi
mewujudkan ketenangan dan keamanan, ia meninggalkan kebijakan-kebijakan
pendahulunya yang mengfokuskan perluasan dan penguasaan negara. Kedua,
demi mewujudkan keamanan dan ketertiban, baik ia pribadi maupun kebijakan
pemerintah yang netral dan berada diatas golongan, ras dan suku.
Pada
saat Umar bin Abdul Aziz berkuasa atau pertama kali diangkat menjadi khalifah situasi
dan kondisi Pemerintahan Umayyah dan sistem keuangan negara berada dalam pintu
politik yang gawat dan Riskan. Atas dasar kekuasan Arab atas mawali dan dzimmi,
menjadi pokok kebijakan pemerintahan Bani Umayyah, mereka menerapkan kebijakan
pajak yang tidak manusiawi. Maka ketika Umar menjadi khalifah, ia mencurahkan
tenaga dan pikirannya untuk memperbaiki dan mengatur urusan dalam negeri, kebijakannya
lebih dipusatkan untuk membangun negara secara moril dan ia merupakan
satu-satunya khalifah Umayyah yang mampu meredam konflik antar golongan dan
sekte.
Umar II mencurahkan untuk membangun,
mengislamkan negara dan rakyat dari pada ekspansi serta mengumpulkan kekayaan, akan
tetapi tidak melakukan pembangunan, menegakan hukum dan menjaga keadilan.
Saat-saat inilah, masa keemasan dalam hal dakwah Islam. Para da’i, alim-ulama
dan sufi berduyun-duyun datang keberbagai wilayah, dalam sejarah dinasti ini
hanya pada periode Umar rakyat merasakan keadilan dan pemerataan yang
sebelumnya dirampas oleh kebijakan para khalifah dan kepala daerah yang korup (Mansyur
: 2004).
Umar bin Abdul Aziz berusaha
menstabilkan kondisi politik dan keamanan Negara. Salah satunya diwujudkan
dengan memanggil pasukan yang mengepung konstantinopel dan merangkul kaum
pemberontak yang selalu merongrong pemerintahan.
Dalam
bidang administrasi aparatur negara Umar II melakukan reformasi total bagi
pejabat-pejabat pemerintahan yang diangkat tidak berdasarkan keahlian pada
bidang yang mereka pimpin. Sang Khalifah lebih mengutamakan skill dan keshalihan
dalam mengangkat para pejabat pemerintahan, walaupun mereka bukanlah dari
bangsa Quraisy, disamping tetap mengutamakan para pejabat yang memegang jabatan
strategis dari orang Arab dan menganjurkan para pejabatnya agar mengangkat
bawahan dari orang arab muslim.[18]
Secara umum, ada dua jabatan
penting yang mendapat perhatian lebih dari Umar yaitu Gubernur dan Qadli. Hal
ini dikarenakan sebagai kepala pemerintahan daerah dan pembuat keputusan hukum haruslah
orang yang jujur, adil, taqwa, tidak memihak golongan (netral), lemah lembut
terhadap orang yang tertindas tapi tegas terhadap pelanggar. Diutamakan muslim
serta ahli al-Qur’an karena mereka akan lebih dekat dengan kebenaran dalam
kehidupanannya, dengan dasar ini maka para ahli sejarah bersepakat bahwa untuk
kualitas para pejabat yang diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz, sebagaimana
dikutip oleh Ibnu Katsir, termasuk golongan tsiqqah
(terpercaya).
e)
Kebijakan di Bidang Ilmu Pengetahuan
Kehidupan
intelektual di Basrah dan kufah diantaranya melahirkan tokoh-tokoh intelektual
diantaranya adalah Al-Khalil bin ahmad (penyusun kamus Kitab ‘Ayn), sibawaih
(penyusun kitab tata bahasa Arab). Sedangkan di bidang hadits khalifah
Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada Gubernur Madinah dan Abu Bakar
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Shihab Az-zuhri untuk mengumpulkan
hadits dikarenakan suadah banyak perawi hadits yang meninggal. Dia adalah ulama
pertama yang membukukan hadits dan mengenal 70 pribadi sahabat yang ikut perang
badar,
selain itu juga ada Hasan Basri yang mengkaji hadits-hadits Nabi dan hukum
Islam. Kajian sejarah periwayatan hadits, merupakan embrio lahirnya kajian
historiografi Arab yang nantinya melahirkan kitab-kitab maghazy dan sirah.[19]
Pada zaman Muawiyah belum terdapat
Lembaga Pendidikan Formal, putera-puteri khalifah disekolahkan di Badiyah,
untuk mempelajari bahasa arab yang fasih dan murni serta puisi-puisi Arab.
Sedangkan pendidikan formal baru muncul di Kufah dengan nama kuttab yang
dirintis oleh Al-dhohak, sekolah dasar ini diperuntukkan bagi masyarakat secara
gratis.
3.
Analisis Terhadap Kebijakan Khalifah
Umar Bin Abdul Aziz Melalui Teori Double Movement
Secara
Konseptual yang digunakan oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai fondasi
pememerintahan adalah menjadikan ketaatan dan ketakwaan kepada Allah, yang
merujuk kepada Al-Qur’an, as-Sunnah, jurisprudensi Abu Bakar dan Umar bin
Khatab dan Ijma’ ulama. Hal itu dituangkan dalam kebijakan-kebijakan beliau
selama menjabat sebagai khalifah, seperti bidang keuangan Negara, politik
dan Pemerintahan dan Ilmu Pengetahuan.
Kalau
kita cermati secara historis kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Umar II sudah
sangatlah tepat pada masa itu, karena tidak sedikit dari ahli sejarah yang berapresiasi
dan mengakui kontribusinya dalam melakukan refolusi dan reformasi birokrasi
untuk mengarah kepada kesamaan hak dan kewajiban, persatuan, kemakmuran,
humanis dan sistem pemerintahan yang sehat.
Pada era sekarang dan yang akan
datang kebijakaaan-kebijakan Umar bin Abdul Aziz akan tetap relevan dan cocok
untuk diterapkan karena bersumber kepada Al-qur’an dan hadits yang suitable
(pantas) dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Apalagi dengan munculnya
isu-isu global dan realitas yang terjadi pada masa sekarang, seperti hak asasi
manusia, gender, perdagangan manusia, korupsi, kolusi, nepotisme dan
yang lainnya.
Dengan
melakukan pendekatan-pendekatan Umar II ini, ada kemungkinan akan dapat menjawab permasalahan- permasalahan
atau
dapat dijadikan sebagai pemecahan masalah terhadap permasalahan masyarakat,
negara dan dunia yang semakin kompleks.
REFERENSI
Azizah,
2011.
Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti Umayyah), Yogyakarta :
Nusantara Press
Ali
Mufrodi, 1999.
Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta : Logos
Mansyur,
2004.
Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta :
Global Pustaka Utama
Syalabi,
1995.
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta :
Al-Husna Zikra
Achmadi
Wahid, 2008.
Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta :
Pustaka Insan Madani
Siti
Maryam, 2003.
Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: SPI Fak Adab IAIN Suka
Badri
Yatim, 2001.
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali press
Qutb
Ibrahim Muhammad,
1988. As-Siyasah Al-Maliyah li ‘Umar bin Abdul
Aziz, Kairo
: al-Haiah al-Mishriyyah al-‘Amah li al-Kuttab
Imam
Haryadi, 2009.
Kebijakan Keuangan Umar bin Abdul Aziz, Yogyakarta : UIN
Suka
Iffat
Hishal Hamzah, Sirah
Umar bin Abdul Aziz
N.
Abbas Wahid dan Suratno, 2009. Sejarah Kebudayaan Islam, Solo :
Pustaka Mandiri
Zuhairini, 2010. Sejarah
Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta
Ali Al-jumbulati dan Abdul
Futuh At-Tuwaanisi, 2004. Perbandingan Pendidikan Islam, Yogjakarta :
Rineka Cipta
[1] Azizah, Mozaik Sejarah Islam (Islam
Masa Dinasti Umayyah), Yogyakarta
: Nusantara
Press, 2011, hal. 94-95
[13]Ali Al-jumbulati dan Abdul Futuh
At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Yogjakarta : Rineka Cipta
, 2004), hal. 29
[14]
Qutb Ibrahim
Muhammad, As-Siyasah Al-Maliyah li ‘Umar bin Abdul Aziz, Kairo:
al-haiah al-Mishriyyah al-‘amah li al-kuttab, 1988, hal. 225
Tidak ada komentar:
Posting Komentar