Sabtu, 05 Maret 2016

HUKUM BENCONG ATAU BANCI

MASAIL FIQIYAH AL-HADISAH
HUKUM BENCONG ATAU BANCI


DOSEN PENGAMPU :
ABU BAKAR, M. Si




OLEH :
MARYAMATUL MUNAWWARAH


JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM  (KPI)
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014

Bab I
Pendahuluan
  1. Latar Belakang
Pada zaman sekarang ini yang banyak dipengaruhi oleh teknologi, banyak umat muslim yang terpengaruh oleh kebudayaan dunia barat. Salah satu contohnya tentang gaya hidup sehari-hari, dimana dengan alasan emansipasi yang disalah artikan oleh orang sehingga terjadi gaya hidup yang kebablasan.
Iman dan memahami Islam secara kaffah dapat menjadi benteng bagi kita untuk menghindari diri dari pengaruh-pengaruh yang dibawa oleh kebudayaan barat. Jika kedua hal tersebut tidak ada pada diri kita, maka kita walaupun sedikit pasti terpengaruh oleh kebudayaan yahudi dan nasrani.
Seorang pria yang bertingkah laku seperti wanita ataupun sebaliknya merupakan sebagian kecil contoh akibat dari kesalahan gaya hidup yang tidak didasari akan keimanan dan pemahaman islam secara menyeluruh dan disebabkan oleh kebudayaan barat.

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah hukum pria kayak wanita?
  2. Bagaimanakah hukum wanita kayak pria?

  1. Tujuan
  1. Agar kita tahu hukumnya pria kayak wanita
  2. Agar kita tahu hukumnya wanita kayak pria







Bab II
Pembahasan

  1. Pria kayak wanita

Ada tiga istilah yang menyebutkan tentang hukum waria, khuntsa dan gay dalam islam, Adapun hukumnya ialah sebagai berikut :
A.    Khuntsa (interseks) adalah seseorang yang terlahir dalam keadaan tidak diketahui jenis kelaminnya karena mereka terlahir dalam keadaan fisik khusus (berkelamin dua/tidak berkelamin). Dan khuntsa sendiri  ada dua jenis yaitu,
1)      Khuntsa Musykil (Samar)
2)      Khuntsa Wadhih (Jelas)
B.     Mukhonats adalah pria tulen yang bertingkah laku seperti wanita baik dalam gerakan, gaya bicara, perilaku dan sebagainya, dan ini ada dua kemungkinan atau tipe :
1)      hal tersebut merupakan asli dari lahir
2)      hal tersebut datang dari keinginannya dan dia berusaha untuk bisa seperti itu

C.     Luthi (homoseks) adalah seorang pria yang ketertarikan seksualnya juga kepada sesama lelaki.

Khuntsa
Bagi orang tersebut atau orang tuanya untuk mencari tahu tentang jenis kelamin dirinya atau jenis kelamin anaknya dengan metode yang telah disebutkan oleh para ulama, yaitu dengan melihat ciri-ciri pembeda antara pria dan wanita. Dan tanda-tanda ini terbagi dua, tanda-tanda sebelum baligh dan sesudahnya.
Maka apabila seorang bayi lahir dengan dua alat kelamin atau seorang anak tumbuh padanya alat kelamin kedua yang berlawanan jenis dari yang pertama maka dalam keadaan seperti ini dapat dilihat dari tempat keluarnya kencing (ini metode adalah bagi khuntsa yang memiliki dua alat kelamin.
Dan ini adalah tanda yang paling jelas, apabila kencing keluar dari vagina saja maka dia adalah seorang wanita dan apabila hanya keluar dari penis saja maka dia adalah pria. Apabila kencing dapat keluar dari dua-duanya, maka dilihat mana yang lebih dahulu berfungsi, kemudian dihukumi untuknya. Misalkan ketika lahir, yang berfungsi mengeluarkan kencing adalah vagina, kemudian beberapa waktu kemudian penisnya juga bisa mengeluarkan kencing maka dia dihukumi sebagai wanita karena vaginanya yang lebih dahulu berfungsi dan begitu pula sebaliknya.
Apabila keduanya dapat berfungsi mengeluarkan kencing dan waktu berfungsinya pun bersamaan , tidak ada yang lebih dahulu dari yang satunya, maka dalam hal ini ulama berbeda p9endapat :
-Madzhab Al-Malikiyah dan pendapat yang terakhir Al-Hanabilah, dan salah satu pendapat dari Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa dilihat dari alat kelamin yang mana yang lebih banyak keluar air kencingnya, mereka mengatakan bahwa menghukumi dengan keadaan mayoritas sebagai hukum keseluruhan adalah termasuk dari pondasi syariah.
-Adapun Madzhab Al-Hanafiyah, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’iyah dan salah satu pendapat madzhab Al-Hanabilah bahwa insan tersebut tetap dihukumi sebagai khuntsa karena tidak ada tanda-tanda yang menguatkan. Dan banyaknya air kencing yang keluar dari salah satu alat kelamin bukanlah tanda yang jelas bahwa itu adalah organ yang asal.
Maka atas pendapat yang kedua ini yaitu bahwa dia tetap dihukumi sebagi khuntsa, maka ditunggu sampai ketika baligh. Begitu juga khuntsa yang secara lahiriah tidak memiliki dua alat kelamin sebagaimana dalam keadaan yang telah disebutkan sebelumnya, maka akan dilihat ketika mencapai usia baligh . Apabila tumbuh janggut, kumis atau Jakun maka jelaslah bahwa dia adalah seorang lelaki dan apabila dia haid atau hamil atau terbentuk payudaranya maka dia adalah seorang wanita.
Sebagian ulama juga menyebutkan bahwa salah satu tanda setelah baligh adalah dengan melihat mimpi basahnya, yaitu apabila dia bermimpi melakukan hubungan badan dengan pria maka dia adalah seorang wanita dan sebaliknya.
Apabila dalam keadaan usia baligh tidak ada tanda-tanda yang timbul ataupun bahkan timbul tanda-tanda yang bertentangan, seperti mengalami haid tapi tumbuh juga janggutnya, maka tetaplah dia dihukumi sebagai khuntsa.
Dan ibnu Utsaimin Rahimahullah membolehkan menggunakan metode kedokteran untuk mencari tahu apakah dia seorang pria atau wanita, misalkan dengan melihat keadaan rahimnya.
Dan dari pembahasan diatas bisa diketahui bahwa khuntsa ada dua jenis :
Khuntsa Musykil ( Samar atau tidak jelas ) yaitu yang masih dalam keadaan tidak bisa dihukumi apakah dia seorang pria atau wanita.
Khuntsa Wadhih (jelas) yaitu khuntsa yang telah diketahui dengan metode yang telah disebutkan diatas, bahwa dia seorang pria atau wanita.
Adapun Khuntsa Wadhih (jelas) maka telah jelas hukumnya dalam permasalahan ibadah, muamalah dan tingkah laku dan juga hal-hal lainnya, dia adalah sebagaimana jenis kelamin yang telah ditetapkan kepadanya. Dan boleh bagi dia untuk melakukan operasi menghilangkan orang-organ lainnya yang merupakan ciri-ciri dari lawan jenis kelaminnya. Misalkan telah jelas bahwa dia lelaki, akan tetapi masih memiliki vagina, atau telah jelas bahwa dia lelaki tapi payudaranya berbentuk seperti wanita maka boleh dia melakukan operasi untuk menghilangkannya. Adapun yang belum jelas keadaannya, maka tidak boleh melakukan operasi untuk hal tersebut, karena masih adanya dua kemungkinan.
Adapun untuk khuntsa musykil,  karena belum jelas jenis kelaminnya, maka ada hukum-hukum khusus yang terkait dengannya di dalam kitab Fiqih. Diantaranya :
1. Khuntsa musykil tidak boleh menjadi imam bagi pria dewasa maupun anak-anak karena bisa jadi dia adalah wanita dan tidak boleh pula dia sholat menjadi ma’mum di belakang imam wanita karena bisa jadi dia adalah seorang Pria.
Adapun untuk menjadi imam bagi para wanita maka diperbolehkan karena minimal dia akan setara apabila dia adalah nantinya seorang wanita.
Apabila setelah selesai sholat, seorang ma’mum baru mengetahui bahwa imamnya adalah seorang khuntsa musykil , maka wajib bagi dia untuk mengulang sholatnya.
2. Dalam masalah Khitan, sebagian ulama Asy-syafi’iyah berpendapat bahwa Khuntsa Musykil dikhitan di dua alamat kelaminnya. Karena khitan wajib pada salah satunya, dan tidak bisa dilaksanakan kewajiban tersebut kecuali mengkhitan keduanya.


Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa khuntsa musykil tidak dikhitan.
Dan pendapat yang benar bahwa khuntsa musykil dikhitan, karena telah datang dalil bahwa setiap yang terlahir disyariatkan untuk dikhitan dan tidak ada dalil yang mengecualikannya.
3. Dalam masalah bergaul dengan manusia, Khuntsa Musykil dihukumi dengan yang lebih berhati-hati dalam hukum, apabila berada dengan para lelaki dia dihukumi sebagai wanita dan begitu juga sebaliknya, sehingga para pria tidak menampakkan aurat di depannya, karena bisa jadi dia adalah seorang wanita. Dan begitu pula, para wanita tidak boleh menampakkan kepadanya sesuatu yang terlarang secara syariat karena bisa jadi dia lelaki.
4. Dalam masalah pernikahan, Khuntsa Musykil tidak boleh menikah, baik menikah dengan pria ataupun menikahi wanita sampai jelas keadaannya, apabila sudah jelas keadaannya maka boleh bagi dia menikahi lawan jenisnya.

Syaikh Muhammad Ulays Rahimahullah (bermadzhab Maliki ) berkata dalam Manhul Kholil : “ Tidak boleh menikah dari kedua sisi”
Dinukilkan pula bahwa Ibnul Qosim Rahimahullah dalam At-Taudhih berkata : “Tidak dinikahi atau menikahi”
Ibnu Muflih Rahimahullah berkata dalam Al Furu’ dan beliau bermadzhab Hanbali : “ Dan tidak sah nikah Khuntsa Musykil sampai jelas keadaannya”
Dalam Hasyiah Asy- Syarwani Rahimahullah dan beliau bermadzhab As-Syafi’I, beliau berpendapat bahwa Aqad terhadap khuntsa musykil tidak sah.

Adapun bagi seseorang yang menikah dan ternyata dia mendapati pasangannya adalah seorang Khuntsa Wadhih yaitu yang telah telah jelas kelaminnya akan tetapi terdapat alat kelamin yang lain, misalkan seorang pria yang menikahi seorang wanita (dalam prasangkanya), akan tetapi ternyata dia telah menikahi khuntsa Wadhih yang telah jelas bahwa dia wanita akan tetapi selain memiliki vagina juga memiliki penis maka nikahnya batal, karena seseorang tentunya ketika menikah dia menyangka bahwa wanita tersebut adalah wanita tulen, atau pria tulen sehingga apabila dia mendapatinya berbeda, maka pernikahannya batal karena ini termasuk aib yang membatalkan pernikahan.
Berbeda halnya jika memang sejak sebelum pernikahan, dia telah mengetahui bahwa calon pasangannya adalah seorang Khuntsa Wadhih.  Dan bagi Khuntsa Musykil, karena terlarang untuk menikah sampai jelas keadaannya maka apabila dia sudah memiliki syahwat disunnahkan baginya untuk berpuasa, dan boleh bagi dia untuk menggunakan obat-obatan yang akan membantu dia menurunkan hawa nafsunya, dan ini lebih ringan daripada dikatakan kepadanya untuk mengeluarkan spermanya dengan cara yang tidak boleh secara syar’i.
5. Adapun dalam bab warisan, Khuntsa musykil yang masih ada harapan untuk bisa diketahui keadaannya dengan menunggu masa baligh, saat munculnya tanda-tanda lelaki, seperti tumbuh kumis atau jenggot, keluar mani dari alat vital lelaki. Atau yang muncul adalah tanda-tanda kewanitaan, seperti datang bulan (haid), keluar mani dari alat vital perempuan, dan muncul payudaranya. Dalam keadaan demikian, masing-masing mewarisi sesuai dengan keadaannya yang telah jelas tersebut.

  1. Namun jika ahli waris selain khuntsa musykil (yang sama-sama mewarisi dari si mayit) tidak sabar menunggu dan meminta agar harta waris segera dibagikan, maka jalan keluarnya adalah dengan melihat posisi khuntsa musykil tersebut, apakah dari kalangan bunuwwah (keturunan si mayit), ‘umumah (kalangan paman si mayit), ukhuwwah (kalangan saudara si mayit), ataukah dari kalangan maula (mantan budak). Kemudian setelah itu dibuat dua hitungan waris sesuai dengan posisi waris khuntsa musykil di atas:
a.       dengan memposisikan khuntsa musykil sebagai lelaki,
b.      dengan memposisikan khuntsa musykil sebagai perempuan.

Setelah itu dibagikan untuk masing-masing ahli waris (termasuk khuntsa musykil) jatah yang paling sedikit dari kedua hitungan tersebut sebagai bentuk kehati-hatian. Khuntsa musykil mendapatkan jatah warisnya dengan anggapan bahwa dia seorang perempuan, sedangkan ahli waris lainnya mendapatkan jatah warisnya dengan anggapan bahwa khuntsa musykil tersebut seorang lelaki. Adapun sisa dari harta waris ditangguhkan hingga benar-benar jelas status khuntsa musykil tersebut. Jika di kemudian hari status khuntsa musykil tersebut jelas sebagai lelaki, maka dia mendapatkan tambahan jatah dari sisa harta yang ditangguhkan tadi. Namun jika perempuan, maka para ahli waris itulah yang mendapatkan tambahan jatah dari sisa harta yang ditangguhkan tadi.

c.       Tidak ada harapan untuk bisa diketahui statusnya, seperti meninggal dunia di waktu kecil, atau telah memasuki masa baligh namun tak kunjung jelas statusnya. Dalam keadaan demikian masing-masing dari ahli waris (termasuk khuntsa musykil) mendapatkan setengah dari penggabungan dua langkah penghitungan di atas. Artinya setelah dihitung dengan dua langkah penghitungan; memposisikan khuntsa musykil sebagai lelaki dan khuntsa musykil sebagai perempuan (sebagaimana pada keadaan kedua di atas), maka digabungkanlah hasil dari dua penghitungan tersebut, kemudian setelah itu dibagi dua. Hasil akhir dari pembagian inilah yang menjadi jatah waris dari masing-masing ahli waris. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 206-216 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 227-231)
















  1. Wanita Kayak Pria

Kata tomboy sering digunakan untuk menyebut wanita yang bergaya pria (maskulin) atau meniru pakaian dan perilaku kaum pria. Menurut para ahli, perilaku tomboy berpotensi menjurus pada perilaku penyimpangan seksual, seperti lesbian, yang hukumnya sangat jelas haram.
Hukum tomboy jelas terlarang dalam Islam. Para ulama biasanya merujuk pada hadits Nabi Saw:
 “Allah melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki” (HR. Abu Dawud).

Syekh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya, Halal dan Haram dalam Islam (Bina Ilmu, 1993), menyebutkan, dilarang memakai pakaian lawan jenis, termasuk di antaranya menyerupai atau meniru gaya bicaranya, geraknya, cara berjalannya, pakaiannya, dan sebagainya.

Syekh Al-Qaradhawi menulis:

“Sejahat-jahat bencana yang akan mengancam kehidupan manusia dan masyarakat ialah karena sikap yang abnormal dan menentang tabiat. Sedang tabiat ada dua: tabiat laki-laki dan tabiat perempuan. Masing-masing mempunyai keistimewaan tersendiri. Maka jika ada laki-laki yang berlagak seperti perempuan dan perempuan bergaya seperti laki-laki, maka ini berarti suatu sikap yang tidak normal dan meluncur ke bawah.”

“Rasulullah Saw pernah menghitung orang-orang yang dilaknat di dunia ini dan disambutnya juga oleh Malaikat, diantaranya ialah laki-laki yang memang oleh Allah dijadikan betul-betul laki-laki, tetapi dia menjadikan dirinya sebagai perempuan dan menyerupai perempuan; dan yang kedua, yaitu perempuan yang memang dicipta oleh Allah sebagai perempuan betul-betul, tetapi kemudian dia menjadikan dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai orang laki-laki (Hadis Riwayat Thabarani). ”
Dalam ilmu fikih, perbuatan menyerupai lawan jenis secara sengaja hukumnya haram dengan kesepakatan yang ada (Fathul Bari, 9/406). (Tim Asatidz DDHK).*

Dalam Islam, lesbianisme atau homoseksual disebut Sihaq atau Liwath dan termasuk zina. Tak ada perbedaan tentang hukum homoseksual dan lesbian dari para ulama fiqih. Semua mengatakan, hukumnya haram dan termasuk dosa besar.

Dalam Islam, pelakunya harus dihukum mati. ”Barangsiapa yang kalian temui melakukan perbuatan kaum Luth (liwath/homoseks/lesbi) maka bunuhlah pelaku dan orang yang menjadi objeknya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad).

Allah SWT membinasakan kaum Nabi Luth a.s. karena berperilaku lesbi/homoseks, dengan cara ditenggelamkan oleh banjir besar dan hujan batu.

“Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah. (Kami balikan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidak jauh dari orang-orang yang zhalim.” (QS. Hud: 82-83)

Salah satu simbol homo/lesbi adalah “jari tengah”. Saking besarnya dosa lesbi, sampai-sampai Rasulullah Saw melarang umatnya mengenakan cincin di jari tengah sebagai simbol lesbi dan kelakuan kaum Nabi Luth.

“Siti Aisyah meriwayatkan, Rasulullah melarang umatnya memakai cincin pada jari tengah karena hal itu menyerupai kaum Nabi Luth a.s.”

“Dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah Saw melarang kami untuk memakai cincin pada jari tengah dan telunjuk” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat An-Nasa’i: “Rasulullah Saw melarangku untuk memakai cincin pada jari telunjuk dan jari tengah.”

  1. Pergantian Kelamin
Islam mengharamkan seseorang berganti kelamin (operasi) untuk menjadi pria atau wanita karena itu “memberontak” dan menyalahi ketentuan Allah Swt. Dalam Islam ada yang disebut “takhannuts”, yaitu berlagak atau berpura-pura jadi khuntsa, atau dikenal dengan istilah banci, bencong, atau waria, padahal dari segi fisik dia punya organ kelamin yang jelas –umumnya jelas berkelamin laki-laki.

Orang yang melakukan “takhnnuts” ini dinilai Islam telah melakukan dosa besar karena berlaku menyimpang dengan menyerupai wanita. Rasulullah Saw menegaskan, perempuan dilarang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki dilarang memakai pakaian perempuan. Di samping itu, beliau melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.

Termasuk di antaranya, ialah tentang bicaranya, geraknya, cara berjalannya, pakaiannya, dan sebagainya. Sejahat-jahat bencana yang akan mengancam kehidupan manusia dan masyarakat, ialah karena sikap yang abnormal dan menentang tabiat. Sedang tabiat ada dua: tabiat laki-laki dan tabiat perempuan. Masing-masing mempunyai keistimewaan tersendiri.

Rasulullah SAW menegaskan, Allah melaknat laki-laki  yang menjadikan dirinya sebagai perempuan dan menyerupai perempuan; juga melaknat perempuan yang menjadikan dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai laki-laki (HR. Thabarani).









Daftar Pustaka

http://assamarindy.wordpress.com/2012/08/07/hukum-syari-tentang-khuntsa-berkelamin-ganda
http://asysyariah.com/kasus-kasus-seputar-waris.html
http://www.ddhongkong.org/hukum-tomboy-dalam-islam/
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar