MASAIL FIQIYAH AL-HADISAH
HUKUM BENCONG ATAU BANCI
DOSEN PENGAMPU :
ABU
BAKAR, M. Si
OLEH :
MARYAMATUL MUNAWWARAH
JURUSAN KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
Bab I
Pendahuluan
- Latar Belakang
Pada zaman sekarang ini yang banyak
dipengaruhi oleh teknologi, banyak umat muslim yang terpengaruh oleh kebudayaan
dunia barat. Salah satu contohnya tentang gaya hidup sehari-hari, dimana dengan
alasan emansipasi yang disalah artikan oleh orang sehingga terjadi gaya hidup
yang kebablasan.
Iman dan memahami Islam secara kaffah
dapat menjadi benteng bagi kita untuk menghindari diri dari pengaruh-pengaruh
yang dibawa oleh kebudayaan barat. Jika kedua hal tersebut tidak ada pada diri
kita, maka kita walaupun sedikit pasti terpengaruh oleh kebudayaan yahudi dan
nasrani.
Seorang pria yang bertingkah laku
seperti wanita ataupun sebaliknya merupakan sebagian kecil contoh akibat dari
kesalahan gaya hidup yang tidak didasari akan keimanan dan pemahaman islam
secara menyeluruh dan disebabkan oleh kebudayaan barat.
- Rumusan Masalah
- Bagaimanakah hukum pria kayak
wanita?
- Bagaimanakah hukum wanita kayak
pria?
- Tujuan
- Agar kita tahu hukumnya pria kayak
wanita
- Agar kita tahu hukumnya wanita kayak
pria
Bab II
Pembahasan
- Pria kayak wanita
Ada tiga istilah yang menyebutkan tentang hukum waria,
khuntsa dan gay dalam islam, Adapun hukumnya ialah sebagai berikut :
A.
Khuntsa (interseks) adalah
seseorang yang terlahir dalam keadaan tidak diketahui jenis kelaminnya karena
mereka terlahir dalam keadaan fisik khusus (berkelamin dua/tidak berkelamin). Dan
khuntsa sendiri ada dua jenis yaitu,
1)
Khuntsa Musykil (Samar)
2)
Khuntsa Wadhih (Jelas)
B.
Mukhonats adalah pria tulen
yang bertingkah laku seperti wanita baik dalam gerakan, gaya bicara, perilaku
dan sebagainya, dan ini ada dua kemungkinan atau tipe :
1)
hal tersebut merupakan asli
dari lahir
2)
hal tersebut datang dari
keinginannya dan dia berusaha untuk bisa seperti itu
C.
Luthi (homoseks) adalah seorang
pria yang ketertarikan seksualnya juga kepada sesama lelaki.
Khuntsa
Bagi orang tersebut atau orang tuanya untuk mencari tahu
tentang jenis kelamin dirinya atau jenis kelamin anaknya dengan metode yang
telah disebutkan oleh para ulama, yaitu dengan melihat ciri-ciri pembeda antara
pria dan wanita. Dan tanda-tanda ini terbagi dua, tanda-tanda sebelum baligh
dan sesudahnya.
Maka apabila seorang bayi lahir dengan dua alat kelamin atau seorang
anak tumbuh padanya alat kelamin kedua yang berlawanan jenis dari yang pertama
maka dalam keadaan seperti ini dapat dilihat dari tempat keluarnya kencing (ini
metode adalah bagi khuntsa yang memiliki dua alat kelamin.
Dan ini adalah tanda yang paling jelas, apabila kencing keluar dari
vagina saja maka dia adalah seorang wanita dan apabila hanya keluar dari penis
saja maka dia adalah pria. Apabila kencing dapat keluar dari dua-duanya, maka
dilihat mana yang lebih dahulu berfungsi, kemudian dihukumi untuknya. Misalkan
ketika lahir, yang berfungsi mengeluarkan kencing adalah vagina, kemudian
beberapa waktu kemudian penisnya juga bisa mengeluarkan kencing maka dia
dihukumi sebagai wanita karena vaginanya yang lebih dahulu berfungsi dan begitu
pula sebaliknya.
Apabila keduanya dapat berfungsi mengeluarkan kencing dan waktu
berfungsinya pun bersamaan , tidak ada yang lebih dahulu dari yang satunya,
maka dalam hal ini ulama berbeda p9endapat :
-Madzhab Al-Malikiyah dan pendapat yang terakhir Al-Hanabilah, dan
salah satu pendapat dari Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa dilihat dari alat kelamin
yang mana yang lebih banyak keluar air kencingnya, mereka mengatakan bahwa
menghukumi dengan keadaan mayoritas sebagai hukum keseluruhan adalah termasuk
dari pondasi syariah.
-Adapun Madzhab Al-Hanafiyah, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’iyah
dan salah satu pendapat madzhab Al-Hanabilah bahwa insan tersebut tetap
dihukumi sebagai khuntsa karena tidak ada tanda-tanda yang menguatkan. Dan
banyaknya air kencing yang keluar dari salah satu alat kelamin bukanlah tanda
yang jelas bahwa itu adalah organ yang asal.
Maka atas pendapat yang kedua ini yaitu bahwa dia tetap dihukumi
sebagi khuntsa, maka ditunggu sampai ketika baligh. Begitu juga khuntsa yang
secara lahiriah tidak memiliki dua alat kelamin sebagaimana dalam keadaan yang
telah disebutkan sebelumnya, maka akan dilihat ketika mencapai usia baligh .
Apabila tumbuh janggut, kumis atau Jakun maka jelaslah bahwa dia adalah seorang
lelaki dan apabila dia haid atau hamil atau terbentuk payudaranya maka dia
adalah seorang wanita.
Sebagian ulama juga menyebutkan bahwa salah satu tanda
setelah baligh adalah dengan melihat mimpi basahnya, yaitu apabila dia bermimpi
melakukan hubungan badan dengan pria maka dia adalah seorang wanita dan
sebaliknya.
Apabila dalam keadaan usia baligh tidak ada tanda-tanda yang timbul
ataupun bahkan timbul tanda-tanda yang bertentangan, seperti mengalami haid
tapi tumbuh juga janggutnya, maka tetaplah dia dihukumi sebagai khuntsa.
Dan ibnu Utsaimin Rahimahullah membolehkan menggunakan metode
kedokteran untuk mencari tahu apakah dia seorang pria atau wanita, misalkan
dengan melihat keadaan rahimnya.
Dan dari pembahasan diatas bisa diketahui bahwa khuntsa ada dua
jenis :
Khuntsa Musykil ( Samar atau tidak
jelas ) yaitu yang masih dalam keadaan tidak bisa dihukumi apakah dia seorang
pria atau wanita.
Khuntsa Wadhih (jelas) yaitu khuntsa yang telah diketahui dengan
metode yang telah disebutkan diatas, bahwa dia seorang pria atau wanita.
Adapun Khuntsa Wadhih (jelas) maka telah jelas hukumnya dalam
permasalahan ibadah, muamalah dan tingkah laku dan juga hal-hal lainnya, dia
adalah sebagaimana jenis kelamin yang telah ditetapkan kepadanya. Dan boleh
bagi dia untuk melakukan operasi menghilangkan orang-organ lainnya yang
merupakan ciri-ciri dari lawan jenis kelaminnya. Misalkan telah jelas bahwa dia
lelaki, akan tetapi masih memiliki vagina, atau telah jelas bahwa dia lelaki
tapi payudaranya berbentuk seperti wanita maka boleh dia melakukan operasi
untuk menghilangkannya. Adapun yang belum jelas keadaannya, maka tidak boleh
melakukan operasi untuk hal tersebut, karena masih adanya dua kemungkinan.
Adapun untuk khuntsa musykil, karena belum jelas jenis kelaminnya, maka ada
hukum-hukum khusus yang terkait dengannya di dalam kitab Fiqih. Diantaranya :
1. Khuntsa musykil tidak boleh menjadi imam bagi pria dewasa maupun
anak-anak karena bisa jadi dia adalah wanita dan tidak boleh pula dia sholat
menjadi ma’mum di belakang imam wanita karena bisa jadi dia adalah seorang
Pria.
Adapun untuk menjadi imam bagi para wanita maka diperbolehkan karena
minimal dia akan setara apabila dia adalah nantinya seorang wanita.
Apabila setelah selesai sholat, seorang ma’mum baru mengetahui bahwa
imamnya adalah seorang khuntsa musykil , maka wajib bagi dia untuk mengulang
sholatnya.
2. Dalam masalah Khitan, sebagian ulama Asy-syafi’iyah berpendapat
bahwa Khuntsa Musykil dikhitan di dua alamat kelaminnya. Karena khitan wajib
pada salah satunya, dan tidak bisa dilaksanakan kewajiban tersebut kecuali
mengkhitan keduanya.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa khuntsa musykil tidak
dikhitan.
Dan pendapat yang benar bahwa khuntsa musykil dikhitan, karena telah
datang dalil bahwa setiap yang terlahir disyariatkan untuk dikhitan dan tidak
ada dalil yang mengecualikannya.
3. Dalam masalah bergaul dengan manusia, Khuntsa Musykil dihukumi
dengan yang lebih berhati-hati dalam hukum, apabila berada dengan para lelaki
dia dihukumi sebagai wanita dan begitu juga sebaliknya, sehingga para pria
tidak menampakkan aurat di depannya, karena bisa jadi dia adalah seorang
wanita. Dan begitu pula, para wanita tidak boleh menampakkan kepadanya sesuatu
yang terlarang secara syariat karena bisa jadi dia lelaki.
4. Dalam masalah pernikahan, Khuntsa Musykil tidak boleh menikah,
baik menikah dengan pria ataupun menikahi wanita sampai jelas keadaannya,
apabila sudah jelas keadaannya maka boleh bagi dia menikahi lawan jenisnya.
Syaikh Muhammad Ulays Rahimahullah (bermadzhab Maliki ) berkata
dalam Manhul Kholil : “ Tidak boleh menikah dari kedua sisi”
Dinukilkan pula bahwa Ibnul Qosim Rahimahullah dalam At-Taudhih
berkata : “Tidak dinikahi atau menikahi”
Ibnu Muflih Rahimahullah berkata dalam Al Furu’ dan beliau
bermadzhab Hanbali : “ Dan tidak sah nikah Khuntsa Musykil sampai jelas
keadaannya”
Dalam Hasyiah Asy- Syarwani Rahimahullah dan beliau bermadzhab
As-Syafi’I, beliau berpendapat bahwa Aqad terhadap khuntsa musykil tidak sah.
Adapun bagi seseorang yang menikah dan ternyata dia
mendapati pasangannya adalah seorang Khuntsa Wadhih yaitu yang telah telah
jelas kelaminnya akan tetapi terdapat alat kelamin yang lain, misalkan seorang
pria yang menikahi seorang wanita (dalam prasangkanya), akan tetapi ternyata
dia telah menikahi khuntsa Wadhih yang telah jelas bahwa dia wanita akan tetapi
selain memiliki vagina juga memiliki penis maka nikahnya batal, karena
seseorang tentunya ketika menikah dia menyangka bahwa wanita tersebut adalah
wanita tulen, atau pria tulen sehingga apabila dia mendapatinya berbeda, maka
pernikahannya batal karena ini termasuk aib yang membatalkan pernikahan.
Berbeda halnya jika memang sejak sebelum pernikahan, dia
telah mengetahui bahwa calon pasangannya adalah seorang Khuntsa Wadhih. Dan bagi Khuntsa Musykil, karena terlarang
untuk menikah sampai jelas keadaannya maka apabila dia sudah memiliki syahwat
disunnahkan baginya untuk berpuasa, dan boleh bagi dia untuk menggunakan
obat-obatan yang akan membantu dia menurunkan hawa nafsunya, dan ini lebih
ringan daripada dikatakan kepadanya untuk mengeluarkan spermanya dengan cara
yang tidak boleh secara syar’i.
5. Adapun dalam bab warisan, Khuntsa musykil yang masih ada harapan
untuk bisa diketahui keadaannya dengan menunggu masa baligh, saat munculnya
tanda-tanda lelaki, seperti tumbuh kumis atau jenggot, keluar mani dari alat
vital lelaki. Atau yang muncul adalah tanda-tanda kewanitaan, seperti datang
bulan (haid), keluar mani dari alat vital perempuan, dan muncul payudaranya.
Dalam keadaan demikian, masing-masing mewarisi sesuai dengan keadaannya yang
telah jelas tersebut.
- Namun jika ahli waris selain khuntsa musykil (yang sama-sama
mewarisi dari si mayit) tidak sabar menunggu dan meminta agar harta waris
segera dibagikan, maka jalan keluarnya adalah dengan melihat posisi
khuntsa musykil tersebut, apakah dari kalangan bunuwwah (keturunan si
mayit), ‘umumah (kalangan paman si mayit), ukhuwwah (kalangan saudara si
mayit), ataukah dari kalangan maula (mantan budak). Kemudian setelah itu
dibuat dua hitungan waris sesuai dengan posisi waris khuntsa musykil di
atas:
a.
dengan memposisikan khuntsa
musykil sebagai lelaki,
b.
dengan memposisikan khuntsa
musykil sebagai perempuan.
Setelah itu dibagikan untuk masing-masing ahli waris (termasuk
khuntsa musykil) jatah yang paling sedikit dari kedua hitungan tersebut sebagai
bentuk kehati-hatian. Khuntsa musykil mendapatkan jatah warisnya dengan anggapan
bahwa dia seorang perempuan, sedangkan ahli waris lainnya mendapatkan jatah
warisnya dengan anggapan bahwa khuntsa musykil tersebut seorang lelaki. Adapun
sisa dari harta waris ditangguhkan hingga benar-benar jelas status khuntsa
musykil tersebut. Jika di kemudian hari status khuntsa musykil tersebut jelas
sebagai lelaki, maka dia mendapatkan tambahan jatah dari sisa harta yang
ditangguhkan tadi. Namun jika perempuan, maka para ahli waris itulah yang
mendapatkan tambahan jatah dari sisa harta yang ditangguhkan tadi.
c.
Tidak ada harapan untuk bisa
diketahui statusnya, seperti meninggal dunia di waktu kecil, atau telah
memasuki masa baligh namun tak kunjung jelas statusnya. Dalam keadaan demikian
masing-masing dari ahli waris (termasuk khuntsa musykil) mendapatkan setengah
dari penggabungan dua langkah penghitungan di atas. Artinya setelah dihitung
dengan dua langkah penghitungan; memposisikan khuntsa musykil sebagai lelaki
dan khuntsa musykil sebagai perempuan (sebagaimana pada keadaan kedua di atas),
maka digabungkanlah hasil dari dua penghitungan tersebut, kemudian setelah itu
dibagi dua. Hasil akhir dari pembagian inilah yang menjadi jatah waris dari
masing-masing ahli waris. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits
Al-Faradhiyyah, hal. 206-216 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 227-231)
- Wanita Kayak Pria
Kata tomboy sering digunakan untuk menyebut wanita yang
bergaya pria (maskulin) atau meniru pakaian dan perilaku kaum pria. Menurut
para ahli, perilaku tomboy berpotensi menjurus pada perilaku penyimpangan
seksual, seperti lesbian, yang hukumnya sangat jelas haram.
Hukum tomboy jelas terlarang dalam Islam. Para
ulama biasanya merujuk pada hadits Nabi Saw:
“Allah melaknat laki-laki
yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki” (HR. Abu
Dawud).
Syekh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya, Halal dan Haram dalam Islam
(Bina Ilmu, 1993), menyebutkan, dilarang memakai pakaian lawan jenis, termasuk
di antaranya menyerupai atau meniru gaya bicaranya, geraknya, cara berjalannya,
pakaiannya, dan sebagainya.
Syekh Al-Qaradhawi menulis:
“Sejahat-jahat bencana yang akan mengancam kehidupan manusia dan
masyarakat ialah karena sikap yang abnormal dan menentang tabiat. Sedang tabiat
ada dua: tabiat laki-laki dan tabiat perempuan. Masing-masing mempunyai
keistimewaan tersendiri. Maka jika ada laki-laki yang berlagak seperti
perempuan dan perempuan bergaya seperti laki-laki, maka ini berarti suatu sikap
yang tidak normal dan meluncur ke bawah.”
“Rasulullah Saw pernah menghitung orang-orang yang dilaknat di dunia
ini dan disambutnya juga oleh Malaikat, diantaranya ialah laki-laki yang memang
oleh Allah dijadikan betul-betul laki-laki, tetapi dia menjadikan dirinya
sebagai perempuan dan menyerupai perempuan; dan yang kedua, yaitu perempuan
yang memang dicipta oleh Allah sebagai perempuan betul-betul, tetapi kemudian
dia menjadikan dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai orang laki-laki (Hadis
Riwayat Thabarani). ”
Dalam ilmu fikih, perbuatan menyerupai lawan jenis secara sengaja hukumnya
haram dengan kesepakatan yang ada (Fathul Bari, 9/406). (Tim Asatidz DDHK).*
Dalam Islam, lesbianisme atau homoseksual disebut Sihaq
atau Liwath dan termasuk zina. Tak ada perbedaan tentang hukum homoseksual dan
lesbian dari para ulama fiqih. Semua mengatakan, hukumnya haram dan termasuk
dosa besar.
Dalam Islam, pelakunya harus dihukum mati. ”Barangsiapa yang kalian
temui melakukan perbuatan kaum Luth (liwath/homoseks/lesbi) maka bunuhlah
pelaku dan orang yang menjadi objeknya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah,
Ahmad).
Allah SWT membinasakan kaum Nabi Luth a.s. karena berperilaku
lesbi/homoseks, dengan cara ditenggelamkan oleh banjir besar dan hujan batu.
“Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu
yang di atas ke bawah. (Kami balikan), dan kami hujani mereka dengan batu dari
tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan
siksaan itu tidak jauh dari orang-orang yang zhalim.” (QS. Hud: 82-83)
Salah satu simbol homo/lesbi adalah “jari tengah”. Saking besarnya
dosa lesbi, sampai-sampai Rasulullah Saw melarang umatnya mengenakan cincin di
jari tengah sebagai simbol lesbi dan kelakuan kaum Nabi Luth.
“Siti Aisyah meriwayatkan, Rasulullah melarang umatnya memakai
cincin pada jari tengah karena hal itu menyerupai kaum Nabi Luth a.s.”
“Dari ‘Ali bin Abi Thalib ,
ia berkata, “Rasulullah Saw
melarang kami untuk memakai cincin pada jari tengah dan telunjuk” (HR. Bukhari
dan Muslim). Dalam riwayat An-Nasa’i: “Rasulullah Saw melarangku untuk memakai
cincin pada jari telunjuk dan jari tengah.”
- Pergantian Kelamin
Islam mengharamkan seseorang berganti kelamin (operasi)
untuk menjadi pria atau wanita karena itu “memberontak” dan menyalahi ketentuan
Allah Swt. Dalam Islam ada yang disebut “takhannuts”, yaitu berlagak atau
berpura-pura jadi khuntsa, atau dikenal dengan istilah banci, bencong, atau
waria, padahal dari segi fisik dia punya organ kelamin yang jelas –umumnya
jelas berkelamin laki-laki.
Orang yang melakukan “takhnnuts” ini dinilai Islam telah melakukan
dosa besar karena berlaku menyimpang dengan menyerupai wanita. Rasulullah Saw
menegaskan, perempuan dilarang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki dilarang
memakai pakaian perempuan. Di samping itu, beliau melaknat laki-laki yang
menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.
Termasuk di antaranya, ialah tentang bicaranya, geraknya, cara
berjalannya, pakaiannya, dan sebagainya. Sejahat-jahat bencana yang akan
mengancam kehidupan manusia dan masyarakat, ialah karena sikap yang abnormal
dan menentang tabiat. Sedang tabiat ada dua: tabiat laki-laki dan tabiat
perempuan. Masing-masing mempunyai keistimewaan tersendiri.
Rasulullah SAW menegaskan, Allah melaknat laki-laki yang menjadikan dirinya sebagai perempuan dan
menyerupai perempuan; juga melaknat perempuan yang menjadikan dirinya sebagai
laki-laki dan menyerupai laki-laki (HR. Thabarani).
Daftar Pustaka
http://assamarindy.wordpress.com/2012/08/07/hukum-syari-tentang-khuntsa-berkelamin-ganda
http://asysyariah.com/kasus-kasus-seputar-waris.html
http://www.ddhongkong.org/hukum-tomboy-dalam-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar