Sabtu, 05 Maret 2016

BID'AH "status nyanyian dan musik dalam Islam"

MASAIL FIQIYAH AL-HADISAH
BID’AH


DOSEN PENGAMPU :
ABU BAKAR, M. Si



OLEH :
MARYAMATUL MUNAWWARAH

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM  (KPI)
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014

Bab I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah
Dalam pembahasan kali ini pemakalah ingin menyampaikan latar belakang dari masalah yang timbul di masyarakat saat ini, ada banyak begiru masalah yang timbul dalam masyarakat muslim sehubungan dengan penyalah gunaan kata bid’ah, selain itu musik dan nyanyian juga dijadikan alasan jauhnya moral islam pada anak muda.
Oleh sebab itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai bid’ah dan status musik dan nyayian dalam islam, penggunaan kata bid’ah dan bernyayi sering disalahgunakan pada saat ini, kondisi ini tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah).

2.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapatdalam makalah ini ialah :
1.      Apa makna dari bid’ah?
2.      Bagaimana status nyanyian dan musik dalam Islam?

3.      Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan agar kita memahami tentang bid’ah yang mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, serta agar kita memahami status musik dalam Islam.


Bab II
Pembahasan
1.      Pengertian Bid’ah

Dewasa ini ditengah umat Islam orang-orang yang menghembuskan pemaknaan bid’ah  sebagai sesuatu yang senantiasa bersifat dhalalah (sesat). Dalam pandangan orang-orang tertentu semua bid’ah adalah sesat. Segala hal baru dalam perkara agama ini yang tidak pernah dicontohkan  sebelumnya oleh Rasulullah SAW adalah bid’ah dhalalah dan pelakunya divonis sebagai ahli bid’ah yang kelak akan disiksa didalam neraka. Masih menurut mereka bid’ah hasanah itu tidak ada, karena Rasulullah SAW  telah menegaskan bahwa kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)

a.       Pengertian bid’ah menurut bahasa

-       Dalam kamus al-muhith, jus III halaman 3, disebutkan bahwa bida’ah adalah al amrullazi yakunu awwalan (sesuatu barang yang pertama adanya) dalam kamus yang lain ada yang menuliskan bid’ah  adalah mengadakan sesuatu  tidak menurut contoh, diciptakan tanpa contoh, dan menciptakan dan membuat sesuatu tanpa contoh sebelumnya.

-       Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.


“Bid’ah berarti Ikhtira’ yaitu seseuatu yang diciptakan bukan dari asal sebelumnya dan juga tidak menurut model yang tidak dijdikan contoh[1]

Jadi dari beberapa penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa bid’ah  dalam bahasa berarti sesuatu tana contoh sebelumnya.

b.      Pengertian bid’ah menurut syara’

Secara umum bisa dikatakan bahwa bid’ah menurut syara’ adalah sesuatu yang baru dalam urusan agama yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW.

Berikut penjelasan tentang bid’ah dari para ulama :
Ø   Al-Imam Izzudinbin Abdissalam : Bid’ah adalah melakukan sesuatu  yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah SAW.
Ø   Al-Imam al- Nawawi : Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah  SAW.
Ø   Al-Imam al-Syafi’i : bid’ah itu terbagi dua bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW, sedangkan bid’ah tercela adalah yang menyelisihi sunnah Nabi SAW.
Ø   Al-Imam Al-Suyuti : maksud dari kata bid’ah ialah sesuatu yang baru diadakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya, dalam istilah syari’at bid’ah adalah lawan dari sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada masa Nabi SAW. kemudian hukum bid’ah terbagi dalam hukum yang lima.
Berbagai uraian tentang bid’ah yang telah disampaikan oleh para ulama terkemuka, mereka tidak mengingkari adanya bidah hasanah  mereka tidak menganggap bi’dah dhalalah semua amal kebajikan yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah. Mereka menjadikan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’ sebagai tolok ukur untuk menetapkan sesuatu itu sebagai bid’ah dhalalah atau bid’ah hasanah[2].

2.      Macam-macam Bid’ah
Bid’ah dibagi menjadi dua macam yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyiah (bid’ah yang buruk). Seperti yang dikatakan oleh Al Imam al-Syafi’i.  Bid’ah hasanah yang boleh dikerjakan dan malah akan mendatangkan pahala bagi orang-orang yang mengerjakannya adalah bid’ah yang sesuai dengan kaedah-kaedah syari’ah, contohnya membangun menara masjid, madrasah-madrasah dan masih banyak lagi, contoh ini dianggap bid’ah hasanah karena sesuai dengan syari’at Islam, yakni menciptakan hal yang ma’ruf dan saling tolong menolong untuk berbuat kebaikan[3].

Begitupula sebaliknya dengan bid’ah sayyiah adalah bid’ah yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedan syari’ah dan tidak mendatangkan pahala baginya.

3.      Hukum Musik dan Nyanyi dalam Islam
Sebenarnya musik dan nyayian dalam Islam tidak ada statement yang menjelaskan adanya larangan baik dalam al-Qur’an maupun Hadist bagi pemain maupun pendengarnya yang merupakan jenis hiburan.

Oleh karena itu masalah ini menjadi persoalan dikalangan ulama tentang status hukumnya, yaitu sebagian ulama mengharamkan dengan alasan kalau musik dan nyanyian itu bisa membuat orang lengah terhadap kewajibannya sebagai seorang muslim dengan meninggalkan shalat dan melalaikan ketaatan kepada Allah serta dapat merusak sosial terhadap manusia. Adanya larangan ini berdasarkan dalil Syar’i yang dinamakan “Saddu al-Zari’ah” degan maksud mencegah pada hal-hal yang dapat menjerumuskan orang terhadap hal-hal yang dilarang dalam Islam.

Sedangkan yang membolehkan, karena hal ini merupakan sebagai hiburan dan tidak adanya larangan secara ekspilit keharamannya dengan alasan kaidah Usul Fiqh sebagai berikut :






Artinya :
“pada dasarnya sesuatu itu halal (boleh) sehingga ada dalil yang jelas  menunjukkan keharamannya”


Allah SWT berfirman :
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ



Artinya :
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak,  dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran :14)

Hiburan adalah bagian kesenangan manusia sebagai ghazirahnya (naluri) yang merupakan fitrahnya (human nature) yang cendrung kepada keindahan dan kelezatan hingga membuat ketenangan serta kedamaian hatinya, termasuk musik dan nyayian. Hal ini sesuai dengan ayat diatas, maka kesenangan dan hiburan bagi manusia tidaklah tercela, karena hal itu sesuai dengan fitrah manusia yang Allah menciptakan lengkap dengan instingnya yang baik dan tidak menciptakan untuk semua hambanya yang jelek[4].

Berikut ini ada beberapa pendapat ulama tentang seni suara beserta dalīl-dalīlnya, baik dari golongan yang mengharamkan maupun yang membolehkannya.

Para ulama’ berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut mazhab Jumhur adalah harām, sedangkan mazhab Ahl-ul-Madīnah, Azh-Zhāhiriyah dan jamā‘ah Sūfiyah memperbolehkannya.

a.       Abū Mansyūr Al-Baghdadi (dari mazhab Asy-Syāfi‘ī) menyatakan: "‘Abdullah bin Ja’far berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah.



b.      Ar-Ruyani meriwayatkan dari Al-Qaffal bahwa mazhab Maliki membolehkan menyanyi dengan ma‘azif (alat-alat musik yang berdawai).
c.       Abu Al-Fadl bin Thahir mengatakan: "Tidak ada perselisihan pendapat antara ahli Madinah tentang, menggunakan alat gambus. Mereka berpendapat boleh saja."
d.      Ibnu An Nawawi di dalam kitabnya AL-‘UMDAH mengatakan bahwa para shahabat Rasulullah yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya antara lain ‘Umar bin Khattāb, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abd-ur-Rahman bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abi Waqqas dan lain-lain. Sedangkan dari tābi‘in antara lain Sa‘id bin Musayyab, Salim bin ‘Umar, Ibnu Hibban, Kharijah bin Zaid, dan lain-lain.
e.       Abu Ishak Asy-Syirazi dalam kitabnya AL-MUHAZZAB  berpendapat: Diharamkan menggunakan alat-alat permainan yang membangkitkan hawa nafsu seperti alat musik gambus, tambur (lute), mi‘zah (sejenis piano), drum dan seruling. Boleh memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitanan. Selain dua acara tersebut tidak boleh.
f.       Al-Muhasibi di dalam kitabnya AR-RISĀLAH berpendapat bahwa menyanyi itu harām seperti harāmnya bangkai.
g.      Ath-Thursusi menukil dari kitab ADAB-UL-QADHA bahwa Imam Syāf‘i berpendapat menyannyi itu adalah permainan makruh yang menyerupai pekerjaan bathil (yang tidak benar).

Adapun dalil-dalil yang memperkuat pendapat ulama adalah sebagai berikut :
1.      Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
Berdasarkan firman Allah:
z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ÎŽtIô±tƒ uqôgs9 Ï]ƒÏysø9$# ¨@ÅÒãÏ9 `tã È@Î6y «!$# ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ $ydxÏ­Gtƒur #·râèd 4 y7Í´¯»s9'ré& öNçlm; Ò>#xtã ×ûüÎgB ÇÏÈ
                Artinya :
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Qs. Luqman [31]: 6)
2.      Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
Berdasarkan firman Allah :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÌhptéB ÏM»t6ÍhsÛ !$tB ¨@ymr& ª!$# öNä3s9 Ÿwur (#ÿrßtG÷ès? 4 žcÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏtF÷èßJø9$# ÇÑÐÈ
 Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).





Bab III
Penutup
1.      Kesimpulan
Demikianlah makalah yang didalamnya dapat diambil kesimpulan bahwa tidak semua yang dianggap tidak baik pada kenyataannya tidak baik, tergantung pada orang yang menafsirkan kata-kata yang menghampirinya, jika salah dalam mengartikan akan menjadi sebuah kesesatan.
2.      Saran
Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh sebab itu saran dan kritiknya diharapkan agar dapat membantu dalam penulisan makalah selanjutnya.








Daftar Pustaka :
Ø  Abiza El Rinaldi, Menolak Bid’ah Hasanah Adalah Bid’ah ; 2012,  Klaten. Pustaka Wasilah.
Ø  Matroni, Islam Menjawab Problematika yang Dialami Umat Islam ; 2005, Jakarta, Restu Ilahi
Ø  Muh. Jamaludin Al Qasimi, Bid’ah Dalam Masjid ; 2001, Jakarta, Pustaka Azam



[1]  M. Jamaludin Al Qasimi, Bid’ah Dalam masjid. Hal: 24

[2]  Abiza El Rinaldi, Menolak Bid’ah Hasanah adalah Bid’ah. Hal : 17
[3] M. Jamaludin Al Qasimi, Bid’ah Dalam masjid. Hal: 26
[4] Drs. Matroni. Islam Menjawab Problematika yang dialami umat islam. Hal:96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar