MASAIL FIQIYAH AL-HADISAH
BID’AH
DOSEN
PENGAMPU :
ABU BAKAR, M. Si
OLEH
:
MARYAMATUL MUNAWWARAH
JURUSAN KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS
USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
Bab I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Dalam pembahasan kali
ini pemakalah ingin menyampaikan latar belakang dari masalah yang timbul di
masyarakat saat ini, ada banyak begiru masalah yang timbul dalam masyarakat
muslim sehubungan dengan penyalah gunaan kata bid’ah, selain itu musik dan
nyanyian juga dijadikan alasan jauhnya moral islam pada anak muda.
Oleh sebab itu dalam
makalah ini akan dibahas mengenai bid’ah dan status musik dan nyayian dalam
islam, penggunaan kata bid’ah dan bernyayi sering disalahgunakan pada saat ini,
kondisi ini tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham
sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb
mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn,
artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam
bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl
ad-din ‘an al-hayah).
2.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang terdapatdalam makalah ini ialah :
1.
Apa makna dari
bid’ah?
2.
Bagaimana status
nyanyian dan musik dalam Islam?
3.
Tujuan
Penulisan makalah ini
bertujuan agar kita memahami tentang bid’ah yang mana yang boleh dilakukan dan
mana yang tidak boleh dilakukan, serta agar kita memahami status musik dalam
Islam.
Bab II
Pembahasan
1.
Pengertian Bid’ah
Dewasa ini ditengah
umat Islam orang-orang yang menghembuskan pemaknaan bid’ah sebagai sesuatu yang senantiasa bersifat dhalalah (sesat). Dalam pandangan
orang-orang tertentu semua bid’ah adalah sesat. Segala hal baru dalam perkara
agama ini yang tidak pernah dicontohkan
sebelumnya oleh Rasulullah SAW adalah bid’ah dhalalah dan pelakunya divonis sebagai ahli bid’ah yang
kelak akan disiksa didalam neraka. Masih menurut mereka bid’ah hasanah itu tidak ada, karena Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)
a.
Pengertian
bid’ah menurut bahasa
-
Dalam kamus
al-muhith, jus III halaman 3, disebutkan bahwa bida’ah adalah al amrullazi yakunu awwalan (sesuatu
barang yang pertama adanya) dalam kamus yang lain ada yang menuliskan
bid’ah adalah mengadakan sesuatu tidak menurut contoh, diciptakan tanpa
contoh, dan menciptakan dan membuat sesuatu tanpa contoh sebelumnya.
-
Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu
mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.
“Bid’ah berarti Ikhtira’
yaitu seseuatu yang diciptakan bukan dari asal sebelumnya dan juga tidak
menurut model yang tidak dijdikan contoh[1]”
Jadi dari beberapa penjelasan diatas, dapat dipahami
bahwa bid’ah dalam bahasa berarti
sesuatu tana contoh sebelumnya.
b.
Pengertian
bid’ah menurut syara’
Secara umum bisa dikatakan bahwa bid’ah menurut
syara’ adalah sesuatu yang baru dalam urusan agama yang tidak pernah ada pada
masa Rasulullah SAW.
Berikut penjelasan tentang bid’ah dari para ulama :
Ø
Al-Imam
Izzudinbin Abdissalam : Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa
Rasulullah SAW.
Ø
Al-Imam al-
Nawawi : Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada pada
masa Rasulullah SAW.
Ø
Al-Imam
al-Syafi’i : bid’ah itu terbagi dua bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah
terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW, sedangkan bid’ah tercela
adalah yang menyelisihi sunnah Nabi SAW.
Ø
Al-Imam
Al-Suyuti : maksud dari kata bid’ah ialah sesuatu yang baru diadakan tanpa
adanya contoh yang mendahuluinya, dalam istilah syari’at bid’ah adalah lawan
dari sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada masa Nabi SAW. kemudian hukum
bid’ah terbagi dalam hukum yang lima.
Berbagai uraian
tentang bid’ah yang telah disampaikan oleh para ulama terkemuka, mereka tidak
mengingkari adanya bidah hasanah mereka tidak menganggap bi’dah dhalalah semua amal kebajikan yang tidak pernah ada pada
masa Rasulullah. Mereka menjadikan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’ sebagai
tolok ukur untuk menetapkan sesuatu itu sebagai bid’ah dhalalah atau bid’ah
hasanah[2].
2.
Macam-macam Bid’ah
Bid’ah dibagi menjadi
dua macam yaitu bid’ah hasanah (bid’ah
yang baik) dan bid’ah sayyiah (bid’ah
yang buruk). Seperti yang dikatakan oleh Al Imam al-Syafi’i. Bid’ah hasanah yang boleh dikerjakan dan malah
akan mendatangkan pahala bagi orang-orang yang mengerjakannya adalah bid’ah
yang sesuai dengan kaedah-kaedah syari’ah, contohnya membangun menara masjid,
madrasah-madrasah dan masih banyak lagi, contoh ini dianggap bid’ah hasanah
karena sesuai dengan syari’at Islam, yakni menciptakan hal yang ma’ruf dan
saling tolong menolong untuk berbuat kebaikan[3].
Begitupula sebaliknya dengan
bid’ah sayyiah adalah bid’ah yang
tidak sesuai dengan kaedah-kaedan syari’ah dan tidak mendatangkan pahala
baginya.
3.
Hukum Musik dan Nyanyi dalam Islam
Sebenarnya
musik dan nyayian dalam Islam tidak ada statement yang menjelaskan adanya
larangan baik dalam al-Qur’an maupun Hadist bagi pemain maupun pendengarnya
yang merupakan jenis hiburan.
Oleh karena
itu masalah ini menjadi persoalan dikalangan ulama tentang status hukumnya,
yaitu sebagian ulama mengharamkan dengan alasan kalau musik dan nyanyian itu
bisa membuat orang lengah terhadap kewajibannya sebagai seorang muslim dengan
meninggalkan shalat dan melalaikan ketaatan kepada Allah serta dapat merusak
sosial terhadap manusia. Adanya larangan ini berdasarkan dalil Syar’i yang
dinamakan “Saddu al-Zari’ah” degan maksud mencegah pada hal-hal yang dapat
menjerumuskan orang terhadap hal-hal yang dilarang dalam Islam.
Sedangkan
yang membolehkan, karena hal ini merupakan sebagai hiburan dan tidak adanya
larangan secara ekspilit keharamannya dengan alasan kaidah Usul Fiqh sebagai
berikut :
Artinya :
“pada dasarnya sesuatu itu halal (boleh) sehingga ada
dalil yang jelas menunjukkan
keharamannya”
Allah SWT
berfirman :
z`Îiã
Ĩ$¨Z=Ï9
=ãm
ÏNºuqyg¤±9$#
ÆÏB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
tûüÏZt6ø9$#ur
ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur
ÍotsÜZs)ßJø9$#
ÆÏB
É=yd©%!$#
ÏpÒÏÿø9$#ur
È@øyø9$#ur
ÏptB§q|¡ßJø9$#
ÉO»yè÷RF{$#ur
Ï^öysø9$#ur
3
Ï9ºs
፯tFtB
Ío4quysø9$#
$u÷R9$#
(
ª!$#ur
¼çnyYÏã
ÚÆó¡ãm
É>$t«yJø9$#
ÇÊÍÈ
Artinya :
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali
Imran :14)
Hiburan
adalah bagian kesenangan manusia sebagai ghazirahnya (naluri) yang merupakan
fitrahnya (human nature) yang cendrung kepada keindahan dan kelezatan hingga
membuat ketenangan serta kedamaian hatinya, termasuk musik dan nyayian. Hal ini
sesuai dengan ayat diatas, maka kesenangan dan hiburan bagi manusia tidaklah
tercela, karena hal itu sesuai dengan fitrah manusia yang Allah menciptakan
lengkap dengan instingnya yang baik dan tidak menciptakan untuk semua hambanya
yang jelek[4].
Berikut ini
ada beberapa pendapat ulama tentang seni suara beserta dalīl-dalīlnya, baik
dari golongan yang mengharamkan maupun yang membolehkannya.
Para ulama’
berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut mazhab
Jumhur adalah harām, sedangkan mazhab Ahl-ul-Madīnah, Azh-Zhāhiriyah dan
jamā‘ah Sūfiyah memperbolehkannya.
a.
Abū Mansyūr Al-Baghdadi (dari mazhab Asy-Syāfi‘ī)
menyatakan: "‘Abdullah bin Ja’far berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu
tidak menjadi masalah.
b.
Ar-Ruyani meriwayatkan dari Al-Qaffal bahwa mazhab
Maliki membolehkan menyanyi dengan ma‘azif (alat-alat musik yang berdawai).
c.
Abu Al-Fadl bin Thahir mengatakan: "Tidak ada perselisihan
pendapat antara ahli Madinah tentang, menggunakan alat gambus. Mereka
berpendapat boleh saja."
d.
Ibnu An Nawawi di dalam kitabnya AL-‘UMDAH mengatakan
bahwa para shahabat Rasulullah yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya
antara lain ‘Umar bin Khattāb, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abd-ur-Rahman bin ‘Auf,
Sa‘ad bin Abi Waqqas dan lain-lain. Sedangkan dari tābi‘in antara lain Sa‘id
bin Musayyab, Salim bin ‘Umar, Ibnu Hibban, Kharijah bin Zaid, dan lain-lain.
e.
Abu Ishak Asy-Syirazi dalam kitabnya AL-MUHAZZAB berpendapat: Diharamkan menggunakan alat-alat
permainan yang membangkitkan hawa nafsu seperti alat musik gambus, tambur
(lute), mi‘zah (sejenis piano), drum dan seruling. Boleh memainkan rebana pada
pesta perkawinan dan khitanan. Selain dua acara tersebut tidak boleh.
f.
Al-Muhasibi di dalam kitabnya AR-RISĀLAH berpendapat
bahwa menyanyi itu harām seperti harāmnya bangkai.
g.
Ath-Thursusi menukil dari kitab ADAB-UL-QADHA bahwa
Imam Syāf‘i berpendapat menyannyi itu adalah permainan makruh yang menyerupai pekerjaan
bathil (yang tidak benar).
Adapun dalil-dalil yang memperkuat
pendapat ulama adalah sebagai berikut :
1.
Dalil-Dalil Yang Mengharamkan
Nyanyian:
Berdasarkan
firman Allah:
z`ÏBur Ĩ$¨Z9$#
`tB ÎtIô±t uqôgs9
Ï]Ïysø9$# ¨@ÅÒãÏ9
`tã È@Î6y «!$#
ÎötóÎ/
5Où=Ïæ
$ydxÏGtur #·râèd 4 y7Í´¯»s9'ré&
öNçlm;
Ò>#xtã ×ûüÎgB ÇÏÈ
Artinya :
“Dan di
antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Qs.
Luqman [31]: 6)
2.
Dalil Yang Menghalalkan
Nyanyian:
Berdasarkan
firman Allah :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qãBÌhptéB
ÏM»t6ÍhsÛ !$tB
¨@ymr& ª!$#
öNä3s9 wur
(#ÿrßtG÷ès?
4 cÎ)
©!$#
w =Ïtä tûïÏtF÷èßJø9$# ÇÑÐÈ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Bab III
Penutup
1. Kesimpulan
Demikianlah makalah yang didalamnya dapat diambil kesimpulan bahwa tidak
semua yang dianggap tidak baik pada kenyataannya tidak baik, tergantung pada
orang yang menafsirkan kata-kata yang menghampirinya, jika salah dalam
mengartikan akan menjadi sebuah kesesatan.
2. Saran
Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh
sebab itu saran dan kritiknya diharapkan agar dapat membantu dalam penulisan
makalah selanjutnya.
Daftar Pustaka :
Ø
Abiza El Rinaldi, Menolak Bid’ah Hasanah Adalah
Bid’ah ; 2012, Klaten. Pustaka Wasilah.
Ø
Matroni, Islam Menjawab Problematika yang
Dialami Umat Islam ; 2005, Jakarta, Restu Ilahi
Ø
Muh. Jamaludin Al Qasimi, Bid’ah Dalam Masjid ;
2001, Jakarta, Pustaka Azam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar