1.
ETIKA BERBICARA
Dalam islam bisa dikatakan bahwa etika bicara itu
merupakan menjaga lisan dalam mengkomunikasikan sesuatu, karena setiap
kata-kata yang diucapkan kita bisa mendapat pahala apabila perkataan itu baik.
Ajaran Islam amat sangat serius memperhatikan soal menjaga lisan sehingga
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa yang memberi jaminan kepadaku
(untuk menjaga) apa yang ada antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada
antara dua kakinya (kema-luannya) maka aku menjamin Surga untuknya."
(HR. Al-Bukhari).
Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan.
Seperti dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya:
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia)
memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara
manusia".(An-Nisa: 114).
Hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat
didengar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu rendah, ungkapannya jelas
dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.
A.
Menjaga Lisan
Seorang muslim wajib menjaga lisannya, tidak boleh
berbicara batil, dusta, menggunjing, mengadu domba dan melontarkan
ucapan-ucapan kotor, ringkasnya, dari apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Sebab kata-kata yang merupakan produk lisan memiliki dampak yang luar biasa.
Perang, pertikaian antarnegara atau perseorangan
sering terjadi karena perkataan dan provokasi kata. Sebaliknya, ilmu
pengetahuan lahir, tumbuh dan berkembang melalui kata-kata. Perdamaian bahkan
persaudaraan bisa terjalin melalui kata-kata. Ironinya, banyak orang yang tidak
menyadari dampak luar biasa dari kata-kata. Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa
Salam bersabda:
"Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu
kalimat yang membawa keridhaan Allah, dan dia tidak menyadarinya, tetapi Allah
mengangkat dengannya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba berbicara
dengan suatu kalimat yang membawa kemurkaan Allah, dan dia tidak
mempedulikannya, tetapi ia menjerumuskan-nya ke Neraka Jahannam"
(HR. Bukhari)
Hadis Hasan riwayat Imam Ahmad menyebutkan, bahwa
semua anggota badan tunduk kepada lisan. Jika lisannya lurus maka anggota badan
semuanya lurus, demikian pun sebaliknya. Ath-Thayyibi berkata, lisan adalah
penerjemah hati dan penggantinya secara lahiriyah. Karena itu, hadits Imam
Ahmad di atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi yang lain:
"Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad
terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan bila
rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
B.
Berkata Baik Atau Diam
Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan
memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa
kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata
yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan lebih baik
diam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam."
(HR. Al-Bukhari).
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: "
Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya
setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu
adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Adab Nabawi di atas tidak lepas dari prinsip
kehidupan seorang muslim yang harus produktif menangguk pahala dan kebaikan
sepanjang hidupnya. Menjadikan semua gerak diamnya sebagai ibadah dan sedekah.
Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"… Dan kalimat yang baik adalah sedekah. Dan
setiap langkah yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di masjid)adalah
sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah."(HR.Al-Bukhari).
Dalam ayat Al-Qur’an dijelaskan bahwa perkataan atau
ucapan yang baik itu terpuji dan juga merupakan amal ibadah, karena akan
mendapatkan pahala. Namun apabila sebaliknya maka kehancuran yang akan
didapatkan.
“Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan
yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.”
“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi
Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang
baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan
kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.”
C.
Sedikit Bicara Lebih Utama
Orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit
mengendalikan diri dari kesalahan. Kata-kata yang meluncur bak air mengalir
akan menghanyutkan apa saja yang diterjangnya, dengan tak terasa akan
meluncurkan kata-kata yang baik dan yang buruk. Ka-rena itu Nabi Shallallaahu
alaihi wa Salam melarang kita banyak bicara. Beliau Shallallaahu alaihi wa
Salam bersabda artinya,
"…Dan (Allah) membenci kalian untuk qiila wa
qaala." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, qiila wa qaala
adalah asyik membicarakan berbagai berita tentang seluk beluk seseorang
(ngerumpi). Bahkan dalam hadits hasan gharib riwayat Tirmidzi disebutkan, orang
yang banyak bicara diancam oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sebagai
orang yang paling beliau murkai dan paling jauh tempatnya dari Rasulullah pada
hari Kiamat. Abu Hurairah Radhiallaahu’anhu berkata,
'Tidak ada baiknya orang yang banyak bicara.' Umar
bin Khathab Radhiallaahu anhu berkata, 'Barangsiapa yang banyak bicaranya, akan
banyak kesalahannya.'
Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa.
Seperti halnya dalam nasehat menasehati pada seseorang dengan mengatur nada bicara
dan menghjhidari pokok pembicaraan yang dapat menyinggung perasaan orang lain.
Aisyah Radhiallaahu 'anha telah menuturkan: "Sesungguhnya Nabi apabila
membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya
ia dapat menghitungnya".(Mutta-faq'alaih).
D.
Dilarang Membicarakan Setiap Yang Didengar
Dunia kata di tengah umat manusia adalah dunia yang
campur aduk. Seperti manusianya sendiri yang beragam dan campur aduk; shalih,
fasik, munafik, musyrik dan kafir. Karena itu, kata-kata umat manusia tentu ada
yang benar, yang dusta; ada yang baik dan ada yang buruk. Karena itu, ada
kaidah dalam Islam soal kata-kata, 'Siapa yang membicarakan setiap apa yang
didengarnya, berarti ia adalah pembicara yang dusta'. Hal ini sesuai dengan hadits
Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam :
"Cukuplah seseorang itu berdosa, jika ia
membicarakan setiap apa yang di-dengarnya."
Dalam riwayat lain disebutkan:
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Cukuplah seseorang itu telah berdusta, jika ia
membicarakan setiap apa yang didengarnya."(HR.Muslim).
Adakalanya kita mendengarkan apa yang dibicarakan
seseorang kepada kita, tapi alangkah baiknya jika kita hanya sebagai pendengar
baik saja. Ada pula seseorang yang menceritakan rahasia mereka, dan sering pula
kita menceritakan rahasia kita pada orang lain. Tapi alangkah baiknya jika kita
menceritakan pada orang yang tepat dan bisa dipercaya. Dalam al-Qur’an
menerangkan bahwa jika memang pembicaraan itu tidak bermanfaat lebih baik
hindarilah.
Al-Qur’an
Surat Al- Qashas Ayat 55 :
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami
amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak
ingin bergaul dengan orang-orang jahil".
Al-Qur’an
Az-Zumar Ayat 18 :
“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
Bisa dikatakan jika kita membicarakan sesuatu yang
telah kita dengar tapi kita tidak tahu akan kebenarannya maka sama halnya
dengan Ghibah atau menggunjing, yang bisa mengakibatkan perseteruan. Maka
haruslah menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah
berfirman yang artinya: "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian
yang lain".(Al-Hujurat: 12).
Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan
tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang
dibicarakannya, tidak menganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya. Jangan
memonopoli dalam berbicara, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain
untuk berbicara. Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan
perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan
kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan
pertentangan.
E.
Jangan Mengutuk dan Berbicara Kotor
Mengutuk dan sumpah serapah dalam kehidupan modern
yang serba materialistis sekarang ini seperti menjadi hal yang dianggap biasa.
Seorang yang sempurna akhlaknya adalah orang yang paling jauh dari kata-kata
kotor, kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji lainnya. Ibnu Mas'ud
Radhiallaahu anhu meriwayatkan, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Seorang mukmin itu bukanlah seorang yang
tha'an, pelaknat, (juga bukan) yang berkata keji dan kotor."(HR.Bukhari).
Tha'an adalah orang yang suka-merendahkan kehormatan
manusia, dengan mencaci, menggunjing dan sebagainya.Melaknat atau mengutuk
adalah do’a agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah. Imam Nawawi
rahima-hullah berkata, 'Mendo’akan agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah
bukanlah akhlak orang-orang beriman. Sebab Allah menyifati mereka dengan rahmat
(kasih sayang) di antara mereka dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan
takwa. Seperti tertulis dalam ayat Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 148 : “
Allah tidak menyukai ucapan buruk diucapkan langsung dengan terus terang
kecuali oleh orang-orang yang di aniaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan
memandang rendah orang yang berbicara. Allah berfirman yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum
yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari
mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan)
wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan)
lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan)". (Al-Hujurat: 11).
Mereka dijadikan Allah sebagai orang-orang yang
seperti bangunan, satu sama lain saling menguatkan, juga diumpamakan
sebagaimana satu tubuh. Seorang mukmin adalah orang yang mencintai saudara
mukminnya yang lain sebagai-mana ia mencintai dirinya sendiri. Maka, jika ada
orang yang mendo’akan saudara muslimnya dengan laknat (dijauhkan dari rahmat
Allah), itu berarti pemutusan hubungan secara total. Padahal laknat adalah
puncak doa seorang mukmin terhadap orang kafir. Karena itu disebutkan dalam
hadits shahih:
"Melaknat seorang mukmin adalah sama dengan
membunuhnya." (HR. Bukhari).
Sebab seorang pembunuh memutuskan orang yang
dibunuhnya dari berbagai manfaat duniawi. Sedangkan orang yang melaknat
memutuskan orang yang dilaknatnya dari rahmat Allah dan kenikmatan akhirat.
F.
Jangan Senang Berdebat Meski Benar
Saat ini, di alam yang katanya demokrasi, perdebatan
menjadi hal yang lumrah bahkan malah digalakkan. Ada debat calon presiden,
debat calon gubernur dan seterusnya. Pada kasus-kasus tertentu, menjelaskan
argumentasi untuk menerangkan kebenaran yang berdasarkan ilmu dan keyakinan
memang diperlukan dan berguna.
Tetapi, berdebat yang didasari ketidak-tahuan,
ramalan, masalah ghaib atau dalam hal yang tidak berguna seperti tentang jumlah
Ashhabul Kahfi atau yang sejenisnya maka hal itu hanya membuang-buang waktu dan
berpengaruh pada retaknya persaudaraan.
Maka, jangan sampai seorang mukmin hobi berdebat.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Saya adalah penjamin di rumah yang ada di
sekeliling Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meski dia benar. Dan
di tengah-tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun dia
bergurau. Juga di Surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaknya."(HR.AbuDaud,dihasankanolehAl-Albani).
G.
Dilarang Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa
Dunia hiburan (entertainment) menjadi dunia yang
digandrungi oleh sebagian besar umat manusia. Salah satu jenis hiburan yang
digandrungi orang untuk menghilangkan stress dan beban hidup yang berat adalah
lawak. Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa terbahak-bahak, padahal
di dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti memaksa diri
dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang mendapat
ancaman melalui lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan sabda
beliau:
"Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!" (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).
"Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!" (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).
Menghindari perdebatan dan saling membantah,
sekali-pun kamu berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta
sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Aku
adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari
bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di
tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun
bercanda”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
H.
Merendahkan Suara Ketika Berbicara
Meninggikan suaranya, berteriak dan membentak. Dalam
pergaulan sosial, tentu orang yang semacam ini sangat dibenci. Bila sebagai
pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang ditakuti oleh bawahannya. Bukan karena
kewibawaan dan keteladanannya, tapi karena suaranya yang menakutkan. Bila
sebagai bawahan, maka dia adalah orang yang tak tahu diri.
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya
di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh
Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, 'Orang yang
meninggikan suaranya terhadap orang lain, maka tentu semua orang yang berakal
menge-tahui, bahwa orang tersebut bukanlah orang yang terhormat.' Ibnu Zaid
berkata, 'Seandainya mengeraskan suara (dalam berbicara), adalah hal yang baik,
tentu Allah tidak menjadikannya sebagai suara keledai.' Abdurrahman As-Sa'di
berkata, 'Tidak diragukan lagi, bahwa (orang yang) meninggikan suara kepada
orang lain adalah orang yang tidak beradab dan tidak menghormati orang lain.'
Karena itulah termasuk adab berbicara dalam Islam
adalah merendahkan suara ketika berbicara. Allah berfirman, artinya:
"Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara adalah suara keledai."(QS.Luqman:19).
Bagi wanita sangat beresiko sekali apabila
merendahkan suara dengan tunduk, karena dalam ayat Al-Qur’an Surat Al Ahzab, kata tunduk tersebut ialah
berbicara dengan sikap menimbulkan seseorang akan bertindak atau berperilaku
tidak baik. Seperti tertulis dalm Surat Al-Ahzab Ayat 32
yang artinya:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik,”
Selain adab dan pemilihan kata dalam berkomunikasi,
perhatikan juga materi atau isi pembicaraan kita. Pembicaraan yang
dikhawatirkan dapat menjerumuskan kita pada pembicaraan yang berpotensi dosa
2.
Dosa Yang Berdusta Atas Nama
Rasulullah
diriwayatkan. Dari Ali, ia
mengatakan, Nabi SAW. Bersabda: “janganlah kalian berdusta atas namaku, sebab
sesungguhnya siapa yang berdusta atas namaku, maka siaplah masuk ke neraka.
(HR. Sepakat Bukahari dan Muslim)
Larangan ini berlaku umum dan ditujukan
kepada seluruh pendusta, serta berlaku mutlak untuk segala macam bentuk
kebohongan. Artinya, janganlah memakai namaku untuk melakukan sebuah kedustaan.
Sebagian orang
telah keliru akibat kejahilannya. Mereka membuat hadits-hadits palsu di dalam
hal targhib (anjuran beramal) dan tarhib (peringatan untuk tidak melakukan
pelanggaran) dengan argumen: “Kami berdusta tidak untuk keburukan Rasulullah,
tetapi itu kami lakukan untuk mendukung syari’at beliau!” Mereka tidak
menyadari bahwa kedustaan mereka atas nama Rasulullah tersebut sama artinya
dengan berdusta atas nama Allah. Sebab, perbuatan tersebut berarti menetapkan
sebuah hukum baru di dalam syariat, baik hukumnya wajib atau mustahab; atau
lawan dari kedua hukum tersebut, yakni haram dan makruh.
Jadi, alasan mereka yang menyelisihi
hadits di atas tidak dapat diterima, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok
al-Karamiyyah yang membolehkan berbohong dalam perkara targhib dan tarhib untuk
menguatkan apa yang sudah tercantum di dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. Mereka
beralasan bahwa kedustaan tersebut adalah untuk membela Nabi, bukan untuk
merusak citra beliau. Alasan seperti ini menunjukkan kebodohan mereka terhadap
bahasa Arab.
Dusta dijadikan penyebab masuknya
seseorang ke dalam Neraka. Sebab konsekuensi suatu perkara itu pasti terjadi,
dan dalam hal ini kepastian seseorang akan masuk Neraka adalah disebabkan oleh
kedustaan atas nama Nabi. Atau disimpulkan demikian jika dipahami bahwa kalimat
tersebut berbentuk perintah namun bermakna berita. Hal ini didukung oleh
riwayat Muslim dari jalur Ghundar, dari Syu’bah:
(( مَنْ يَكْذِبْ
عَلَيَّ يَلِجِ النَّارَ. ))
“Barang siapa yang berdusta atas
namaku, niscaya dia akan masuk Neraka.”
Dan riwayat Ibnu Majah dari jalur
Syarik, dari Manshur, beliau n bersabda:
(( اَلْكَذِبُ
عَلَيَّ يُوْلِجُ –أَيْ يُدْخِلُ- النَّارَ. ))
“Berdusta atas namaku akan memasukkan
seseorang ke dalam api Neraka.”
3.
Dusta yang Diperbolehkan
Dari Ummu Kultsum binti Uqbah radhiallahu
anha bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا
“Bukanlah disebut pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan cara dia menyampaikan hal-hal yang baik atau dia berkata hal-hal yang baik”. (HR. SepakatBukhari, dan muslim
Maksudnya:
Walaupun apa yang dia sampaikan atau katakan itu tidak benar, akan tetapi dia
mengucapkannya agar terwujud perdamaian di antara kedua belah pihak. Dalam
riwayat Muslim ada tambahan:
وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
“Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal: Dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami.”
Dusta merupakan
dosa yang sangat besar dan amalan yang sangat jelek. Hanya saja, jika pada
suatu keadaan tertentu, kedustaan bisa membawa kemaslahatan syar’i yang lebih
besar daripada mudharat kedustaan itu, maka ketika itu dusta diperbolehkan
sebutuhnya. Hanya saja ini bukan berarti setiap orang bisa berijtihad dengan
pemikirannya untuk menilai suatu dusta itu boleh atau tidak, karena Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam sendiri telah menegaskan bentuk dusta yang
diperbolehkan dalam syariat. Karenanya kita wajib terbatas pada apa yang beliau
sebutkan dan selainnya tetap dalam hukum haram dan merupakan dusta yang
tercela.
Adapun kedustaan yang diperbolehkan
adalah:
1.
Dusta untuk mendamaikan pihak yang
bertikai.
2.
Dusta dalam perang.
Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma berkata:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْحَرْبُ خَدْعَةٌ
“Perang adalah tipu daya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
الْحَرْبُ خَدْعَةٌ
“Perang adalah tipu daya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4.
Menjaga
lidah
Dua perkara
penting yang sering diperingatkan Islam kepada manusia supaya menjaga dan
memelihara dengan baik ialah penggunaan lidah dan tingkah laku.
Rasulullah s.a.w berpesan kepada semua orang iaitu sekiranya mereka
beriman kepada Allah dan rasul-Nya maka hendaklah ia mengeluarkan tutur kata
yang baik, dan sekiranya tidak ada sesuatu yang baik yang hendak diperkatakannya,
maka hendaklah ia berdiam diri sahaja.
Pesanan ini menekankan tentang kepentingan manusia menjaga tutur
katanya supaya tidak mengucapkan sesuatu yang buruk dan menyakiti hati orang
lain, kerana tutur kata yang tidak baik akan membawa kepada krisis lain yang
boleh menimbulkan permusuhan, kekacauan dan ada kalanya membawa kepada
pertumpahan darah dan melibatkan nyawa manusia sendiri.
Maka dengan menjaga lidah dan tutur kata, manusia akan dapat
menjamin ketenteraman, perdamaian dan kesejahteraan masyarakat mereka sepanjang
masa.
Dalam konteks inilah Rasulullah s.a.w berpesan supaya menjaga lidah,
maka tentulah amat diharapkan bahawa manusia juga haruslah menjaga tingkah laku
dan perbuatannya agar tidak mengganggu dan melampaui batas sehingga menyentuh
hak dan maruah orang lain dengan perbuatan dan gerak geri fizikalnya sendiri.
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar (Al-Ahzab[33]: ayat 70) “
5.
Jujur Dalam Menyampaikan
Informasi
Qaulan Sadida
artinya pembicaraan yang benar, jujur, lurus, tidak bohong, dan tidak
berbeli-belit. Dalam berkomunikasi kita hendaknya harus berkata yang
benar, jujur, lurus dan tidak berbelit- belit dalam menyampaikan sebuah
informasi, sebab apabila ketika kita memberikan informasi dengan berbelit-
belit maka akan memungkinkan terjadinya kesalahan informasi yang diterima oleh
penerima informasi dari pengirim informasi. Selain itu juga dalam menyampaikan
informasi kita harus memberikan informasi yang sebenar- benarnya atau sesuai
dengan fakta. Sebab ini merupakan kaedah pertama dalam sistem komunikasi islam
menurut Ahmad Sufyan Che Abdullah dalam tulisannya “beberapa kaedah komunikasi
islam: menjamin produktiviti kerja”. Dalam islam ketika kita memperoleh
informasi atau ketika kita mau menyampaikan sebuah informasi hendaknya
informasi yang akan kita sampikan kepada orang lain atau informasi yang kita
terima dari orang lain hendaknya kita telaah terlebih dahulu kebenarannya,
sebab apabila kita menyampaikan sebuah informasi yang tidak sesuai dengan
faktanya itu tentu saja jelas telah menyalahi ajaran islam karena kita
memberika sebuah informasi yang tidak sesuai dengan faktnaya atau dusta,
padahal sudah jelas- jelas di dalam Al- Qur’an surat Al- Hajj Allah SWT
melarang manusia untuk berkata dusta, Allah Berfirman :
“Dan
jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30).”:
Dari segi
substansi, komunikasi islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran,
hal yang benar saja, jujur, juga tidak boleh merekayasa atau memanipulasi.
Apabila dikaitkan dalam pendidikan, komunikasi islam yaitu jadi disini seorang
guru hendaknya dalam menyampaikan sebuah informasi kepada siswanya hendaknya
memberikan informasi yang benar, jujur, tidak boleh merekayasa dan tidak boleh
berbelit- belit. Contoh: ketika seorang guru fiqh sedang menyampaikan informasi
atau materi mengenai hukum meminum- minuman khamar itu haram, maka sebelum
menyampaikan materi tersebut hendaknya guru terlebih dahulu menelaah tentang
pengharaman minuman khamar itu, Apa benar khamar itu diharamkan? Hal ini
dilakukan agar ketika guru memberikan materi mengenai khamar sudah tidak
terjadi kesalahan informasi. Sebab apabila seorang guru memberikan informasi
yang salah, seperti contoh guru memberikan informasi kepada siswanya bahwa khamar
itu dihalalkan maka dipikiran siswanya sampai dia dewasa akan membenarkan bahwa
khamar itu halal, padahal faktanya bahwa sudah jelas- jelas bahwa minuman
khamar itu hukumnya haram, itu semua akan memberikan dampak yang sangat buruk
bagi pengetahuan peserta didik, Hal ini terjadi Karen pada dasarnya guru
dikelas itu sangat dipercaya perkataannya oleh peserta didik, jadi guru
hendaknya berhati- hati dalam memberikan informasi dan dalam menyampaikan
informasi juga guru diharapkan dapat menyampikan secara jelas agar peserta
didik mudah menerima informasi yang diberikan oleh guru dan agar tidak terjadi
kesalahan penafsiran informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar