Nama : Maryamatul Munawwarah Nim :
1113111006
MK : Komunikasi Massa Dosen : Acan Mahdi, M. Si
Jurusan : KPI
Kekuasaan
Media Massa
Keberadaan media saat ini telah
berkembang tidak hanya sekadar mempresentasikan pengetahuan, gagasan, dan
pandangan yang membentuk struktur secara mantap. Media saat ini justru telah
membangun realitas sosial dari sebuah industri yang lebih menuntut pada
pengembalian modal usaha yang disajikan terhadap masyarakat dinamis dan
kontemporer. Media massa
saat ini, telah menjadi institusi produktif yang kemudian memposisikan dirinya
sebagai agen perubahan. Melalui media, berlangsung perbenturan yang mengguncang
struktur kebudayaan dan sistem komunikasi yang telah mapan, berubah pada
struktur kebudayaan dan sistem kominikasi baru. Dengan demikian, media memberi kontribusi proses perubahan dan
pembentukan pengetahuan baru.
Industri media saat ini telah
melahirkan kelompok yang berdaya (para pemodal) untuk membentuk mainstream
atau nilai-nilai yang sekaligus membentuk struktur kebudayaan dominan. Dengan
demikian, kekuatan kelompok partkular dapat menghasilkan cultural
transgression berkat mitos-mitos bentukan mereka dan diekspresikan melalui
media yang mereka miliki. Keberadaan media saat ini adalah bagian dari sebuah
industri,
setiap industri
media dituntut memperhitungkan pengembalian setiap investasi yang ditanamnya.
Sebagai sebuah industri, setiap produsen media dalam rangka mempertahankan
eksistensinya tidak bisa menafikan kepentingan ekonomi. Determinasi ekonomi
inilah, kemudian menjadi motivasi utama pengusaha media akan selalu melakukan
ekspansi usaha demi mengembalikan investasi yang mereka tanam.
Bagi para pengusaha stasiun televisi
misalnya, demi pengembalian investasi akan ditandai dengan sejumlah tindakan
pengelola stasiun merayu pemasang iklan agar menjadi sponsor sejumlah sajian
acara yang ditayangkan, baik berupa hiburan maupun informasi. Diharapkan setiap
siaran yang ditayangkan mampu “merayu” pemasang iklan. Ketika sebuah sajian
acara ternyata disukai banyak pemirsa maka ia pun terus menerus diproduksi berkualitas, mendidik, atau berguna bagi
pemirsa, itu nomor dua.
Di sisi lain, praktik-praktik sosial
antarindividu tiba-tiba tercipta dengan cepat, secepat mereka merepresentasikan
dirinya akibat merespons sejumlah tayangan acara yang ada. Sihir sakti acara
televisi telah mencengkeram sejak bagun pagi hingga kita tidur kembali. Ia
telah membentuk gerakkan arus besar tentang relasi-relasi antara yang
mendominasi dan yang terdominasi, antara yang mempengaruhi dan yang
terpengaruhi, antara yang memprovokasi dan yang terprovokasi, antara yang
berkuasa dengan yang dikuasi, bahkan antara gambaran ruang yang bersifat publik
dengan yang bersifat domestik.
Acara tayangan televisi telah menjadi
bagian dari refleksi kehidupan sehari-hari. Ia menjadi model dari sebuah
habitus yang berperan aktif dalam ranah sosial. Ia telah menjadi fenomena
komunikasi yang tidak bisa dilepaskan dari karakterisitik individu-individu
yang kemudian menjadi objek dan subjeknya. Bahkan, tanpa sadar ia telah
membangun hubungan-hubungan sosial melalui interaksi sosial dalam konteks
politik, ekonomi, dan kultural. Ruang dan waktu tak lagi menjadi pembatas dan
kendala terjadinya perubahan (bandingkan pada Gidden 1979).
Dari sinilah lahir kebudayaan massa
yang cepat dan penuh perubahan. Di tengah kebudayaan massa yang serba cepat
itulah sejumlah ekspresi tentang nilai, pengetahuan, norma, dan simbol,
menandai dinamika masyarakat kita. Televisi, kini tak lagi sekadar media
komunikasi yang melahirkan dan membangun hubungan sosial secara harmonis. Ia
bisa jadi justru mendorong penghacuran hubungan sosial tersebut. Apalagi media semacam televisi merupakan alat yang digunakan untuk
mengembangkan strategi yang kemudian melahirkan propaganda kekuatan politik,
ekonomi, bahkan misi keagamaan (bandingkan pada Berlo, 1960 dan Fidler, 1997).
Di samping itu, jika televisi kita
tempatkan sebagai media strategi komunikasi, maka ia mempunyai tujuan
memelihara atau mengubah sikap atau pendapat sasaran demi kepentingan sumber
pembuat strategi. Bahkan, dapat dikatakan bahwa media komunikasi lebih
cenderung bertujuan untuk melahirkan khalayak (audience) agar patuh
kepada pihak yang menguasai modal komunikasi, baik dalam konteks politik maupun
ekonomi.
Televisi sebagai media komunikasi juga
menjalankan fungsi imperatif, yakni memelihara otonomi ruang pribadi (personal
space) khalayak untuk tujuan objektivikasi dan subjektivikasi.
Objektivikasi dapat dilihat sebagai proses untuk mencapai objektivitas terhadap
dunia luar (auter-world), sedangkan subjektifikasi dilakukan demi
membangun subjektivitas bagi dunia dalam (inner-world) masing-masing
individu (bandingkan pada Berger dan Luckman, 1966).
Kontestasi kekuasaan
Perkembangan media saat ini sejalan
dengan perkembangan sosial. Perkembangan sosial saat ini, pada dasarnya telah
melampaui pemikiran modernitas (yang ditandai dengan munculnya industri barang
dan jasa) menuju pemikiran pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan
oleh seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi
informasi.
Keberadaan media di era pascamodernitas
ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam menandai dinamika sosial dan ekonomi
masyarakatnya, terutama dalam mengkonsumsi simbol-simbol dan gaya hidup
daripada fungsi produksi barang yang menjadi ciri khas era industri. Konsumsi
simbol-simbol, gaya hidup, dan dinamika masyarakat terjadi, karena media telah
melakukan konstruksi realitas sosial.
Media pada dasarnya telah memberi
kontribusi cukup banyak dalam pengkajian tentang pengetahuan suatu masyarakat.
Kontribusi media terhadap pengkajian tentang pengetahuan suatu masyarakat dapat
ditandai dari strategi dan kepentingan yang dikembangkan media itu sendiri.
Dalam mengembangkan strategi dan kepentingannya, terbentuklah
identitas-identitas yang kemudian diposisikan menjadi para pelaku media.
Posisi para pelaku pada dasarnya telah
ditentukan oleh suatu struktur atau bentuk pengorganisasian demi kepentingan
media itu sendiri. Atau dengan kata lain, identitas-identitas yang telah
diorganisasi dan dikonstruksi menjadi aktor-aktor yang secara kongkret terlibat
dalam arus kontinyu tindakan tersebut, pada dasarnya disesuaikan dengan
kepentingan-kepentingan yang terus berkembang pada diri media.
Jika dalam mengembangkan kepentingan
media, para pelaku melakukan tindakan saling mendukung, saling mengontrol,
saling bersaing, dan saling mengalahkan, maka hal itu dapat dipahami sebagai
proses pembentukan pengetahuan yang melekat di dalamnya. Serangkaian proses
pembentukan pengetahuan itulah yang kemudian memberi ruang bekerjanya
kekuasaan. Sebab, tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak kekuasaan
tanpa pengetahuan.
Sajian acara televisi misalnya, pada
dasarnya tidak hanya dilihat dari bentuk-bentuk tekstual semata, ia tersaji
lantaran praktik-praktik sosial para pelaku yang diproduksi dan direproduksi
secara terus menerus sejalan dengan pengetahuan dan identitas-identitas
kultural secara luas. Tersajikannya acara televisi tersebut pada dasarnya
melalui proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi pengetahuan para
pelaku yang terlibat, yang kemudian diekspresikan secara tekstual.
Dalam proses konstruksi, dekonstruksi,
dan rekonstruksi pengetahuan para pelaku itulah, berlangsung kontestasi
kekuasaan. Konsep kontestasi kekuasaan dalam hal ini dapat digambarkan dalam
bentuk perjuangan, perebutan, dan persaingan yang seiring dengan proses
pembentukan pengetahuan itu sendiri.
Baik proses pembentukan pengetahuan
maupun terciptanya kontestasi kekuasaan pada dasarnya dapat dilihat sebagai
bentuk kebudayaan. Akan tetapi harus disadari bahwa kekuasaan akan terus
mengalir ke sejumlah institusi dan struktur, sehingga kekuasaan tidak dapat
diartikan sebagai suatu struktur yang mantap. Ia justru akan selalu berubah
sejalan dengan interaksi yang berlangsung secara terus-menerus – baik berupa
perjuangan, perebutan, maupun perdebatan – serta berkembangnya pengetahuan para
pelaku.
Artinya, kekuasaan akan menyebar tanpa
bisa dilokalisasi dan meresap dalam seluruh jalinan hubungan sosial. Meresapnya
kekuasaan dalam seluruh jalinan hubungan sosial pada dasarnya merupakan
ungkapan-ungkapan kebudayaan, sedangkan kebudayaan merupakan bentukan dari
relasi-relasi kekuasaan.
Relasi-relasi kekuasaan media saat ini
menunjukan gambaran yang sangat dinamis. Kedinamisan tersebut menggambarkan sebuah
kontestasi kekuasaan, yang tidak hanya ditentukan oleh satu pemegang otoritas.
Kedinamisan justru ditandai oleh kekuasaan yang terus menerus mengalir dan
menyebar ke sejumlah relasi yang terlibat di dalamnya. Katakanlah otoritas
negara negara tidak menjadi satu-satunya pengendali regulasi misalnya. Namun,
ada sejumlah kepentingan sejumlah pelaku yang selalu dinegosiasikan terus
menerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar