Nama : Maryamatul Munawwarah NIM : 1113111006
Dosen : Juniawati, M. Sc MK : Broadcasting
Konteks Sosial Media
Penyiaran
A. Penyiaran Publik
Sebelum masuk ke istilah penyiaran publik, lebih baik mendefinisikan
terlebih dahulu kata publik sejauh dimungkinkan. Kata publik, ketika
membicarakan pada tingkat lembaga penyiaran publik, secara umum dilekatkan
dalam konteks warga negara (citizens) dengan hak-haknya, menjadi warga
negara dan mendapatkan hak-haknya adalah konsekuensi logis secara hukum (juga
konsekuensi politis, administratif, dan lain-lain) dari kontrak sosial bersama,
yang melahirkan negara berikut dengan : wilayah negara, warga negara, dan
pemerintahan, serta atribut lainya dari negara tersebut, misalnya penggunaan
publik yang dilekatkan pada transportasi publik dan pelayanan publik.
Secara khusus, publik dalam istilah penyiaran publik sebagaimana
yang disebut oleh Efendi Ghazali bahwa kata publik diposisikan sekaligus dalam
dua pengertian yakni sebagai khalayak (pemirsa atau pendengar) dan sebagai partisipan
yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat, hak
untuk mendapatkan informasi, serta upaya pemberdayaan masyarakat dalam proses
menuju masyarakat madani.
Oleh karena itu, ketika penyiaran publik dibangun bersama atas partisipasi
publik, maka fungsi dan nilai kegunaan penyiaran publik tentunya ditujukan bagi
berbagai kepentingan dan aspirasi publik. Sendjaja yang terinspirasi oleh Harol
D. Lasswell telah menguraikan beberapa fungsi sosial dari lembaga penyiaran
publik. Pertama, sebagai pengawas sosial (social surveillance)
yaitu merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang objektif
mengenai berbagai peristiwa yang terjadi didalam dan diluar lingkungan sosial
dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kedua,
Korelasi sosial (social correlation) merujuk pada upaya pemberian
interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan
kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan
tujuan mencapai konsensus. Konsensus sosial ini biasanya untuk memperkuat rasa
identitas dari berbagai kelompok untuk menjadi satu kekuatan besar bersama. Dan
Ketiga, Sosialisasi (socialization) merujuk pada upaya
pewarisan nilai-nilai dari satu generasi kegenerasi lainnya atau dari satu
kelompok kekelompok lainnya. Nilai-nilai kearifan masyarakat lokal harus terus
dijaga dan dibentengi dari “serbuan” nilai-nilai modern yang ditampilkan
melalui institusi-institusi produksi.
Menurut Ashadi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk
kehadiran media penyiaran publik di Indonesia. Pertama, telekomunikasi
sebagai basis material, keberadaan media penyiaran publik bertumpu pada ranah
(domain) telekomunikasi, yaitu fasilitas transmisi signal. Setiap transmisi
menggunakan jalur telekomunikasi berupa gelombang elektromagnetik yang
“dikuasai” negara.
Kedua, orientasi fungsi publik sebagai
basis kultural, basis kultural dari keberadaan media penyiaran publik sebagai
institusi publik ditentukan oleh nilai bersama yang menjadi dasar
keberadaannya. Nilai dasar ini mulai dari ketentuan hukum, kebijakan negara,
serta konsensus yang tumbuh dilingkungan masyarakat tentang orientasi dan
fungsi sosial-kultural yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik, nilai
bersama ini diharapkan dirumuskan oleh kaum profesional penyiran publik sebagai
titik awal dalam penghayatan atas orientasi fungsional kelembagaan.
Ketiga, sistem jaringan publik, sistem
penyiaran publik pada dasarnya berupa ranah jaringan penyiaran dan stasiun
penyiaran, masing-masing ranah ini dapat memiliki pola orientasi fungsional
yang spesifik serta pola hubungan institusional satu sama lain. Rumusan kedua
macam pola ini diperlukan sebagai dasar sistemik kelembagaan penyiaran publik,
keberadaan media penyiran publik juga ditentukan oleh dukungan sosial dan
finansial. Secara kongkrit dukungan ini diwujudkan melalui adanya stake-holder
yang berfungsi untuk mendorong dan mengawasi jalannya fungsi kultural penyiaran
publik dan memberi dukungan sistem finansial beroperasinya penyiaran publik.
Keempat, adanya code of conduct profesi
dan institusi, code of conduct dimaksudkan untuk memelihara
standar profesi, biasanya mencakup visi dan misi yang menjadi landasan dari
seluruh standar tindakan dan nilai hasil kerja kaum prefesional, bertolak dari
sikap terhadap masyarakat dan pemaknaan atas hasil kerja dalam konteks sosial.
Pemaknaan hasil kerja dalam konteks sosial ini perlu ditempatkan dalam konteks
makna sosial dari media penyiaran publik, sebagai acuan standar tindakan
profesional dan hasil kerjanya suatu institusi memiliki dua sisi, eksternal
untuk menjaga makna sosial dari media massa dan internal sebagai dasar dalam
penilaian (evaluasi) profesional sebagai bagian dalam sistem manejemen
personalia.
Kelima sistem kontrol fungsi publik, untuk
menjaga agar suatu institusi dapat berjalan dalam penyelenggaraan yang bersih,
perlu dijunjung tinggi prinsip akuntabilitas terhadap stake-holder khususnya
dan publik umumnya. Akuntabilitas memiliki dua sisi, menyangkut parameter
akuntabilitas akuntasi dan menyangkut prinsip akuntabilitas sosial untuk
menjaga orientasi fungsionalnya kepada publik. Jika pertanggungjawaban
akuntansi melalui lembaga audit (publik maupun negara).
B. Program Siaran yang “Membumi”
Idealnya, LPP berorientasi pada penyiaran yang mengusung nilai-nilai
lokal dan kepentingan-kepentingan masyarakat lokal. Habermas berpendapat bahwa
pada awalnya media dibentuk dan menjadi bagian integral dari public sphere
tetapi kemudian dikomersialkan menjadi komoditas (comodified) melalui
distribusi secara massal dan menjual khalayak massa untuk perusahaan
periklanan, sehingga media jauh dari perannya semula sebagai public sphere.
Tetapi patut diperhatikan peringatan Keane, media publik masih
dominan memberikan kesempatan berbicara dan didengarkan secara tidak merata
diantara para khalayak. Mereka mengandalkan casting profesional atau
orang-orang yang menjadi “langganan” yang ditunjuk sendiri oleh media untuk
berbicara mewakili umum. Murdock mengacu kepada kegagalan siaran publik dalam
mengikuti langkah diskursus sosial politik yang meningkat dengan cepat, sistem
demokratis ditingkat nasional yang bertanggung
jawab memerlukan sistem media yang mempunyai batas yang sama yang dapat
menghasilkan diskusi-diskusi publik yang tidak berkaitan dengan kepentingan
partisan.
Murdock mengusulkan prinsip-prinsip mendasar yakni kebutuhan akses
terhadap informasi, nasehat dan analisis yang memungkinkan mereka untuk
mengetahui apa hak pribadi mereka dan mengusahakannya secara efektif; akses terhadap
beragam informasi, debat pada bidang-bidang yang melibatkan pilihan-pilihan
politik publik, fasilitas untuk mengenali diri dan aspirasi mereka dalam
representasi dan pembentukannya dalam media. Media publik memberikan lisensi
untuk berbicara dan mendengar secara tidak adil, karena pembicara ditunjuk dan
belum tentu mewakili kepentingan publik.
Jadi, untuk menguatkan penyiaran publik sebagai model dari pelayanan
publik (the public service models) yang dapat menguatkan bangunan public
sphere tentunya harus melakukan hal-hal yang dapat mendukung
keberlangsungan model pelayanan publik yang dimaksud. Sehingga, cita-cita
tentang public sphere sebagaimana yang disebut oleh Habermas dapat
terealisasikan.
Agenda kultural yang harus ditempuh insan LPP adalah meyakinkan
publik bahwa perubahan itu telah dan sedang terjadi dengan secara sistemik
mengubah stigma yang masih kuat di publik bahwa media publik ini merupakan
media organik pemerintah, meraih sebanyak mungkin partisipasi publik untuk
mengisi program siaran LPP tanpa tendensi untuk akumulasi modal atau
akumulasi kebutuhan akses politik kepada elit lokal.
Kedepan, LPP patut meniru langkah yang telah dilakukan di USA.
Ketika jasa layanan Televisi kabel mulai marak di AS tahun 1970an, Komisi
Komisi Penyiaran Federal AS (FCC) tersebut menetapkan semua perusahaan layanan
TV kabel (yang mencakup 100 wilayah pemasaran) harus memberikan akses kepada
publik setempat untuk menayangkan program-program siaran nirlaba yang
mereka produksi sendiri melalui sumber-sumber dana yang mereka himpun sendiri.
Itu semua dinilai sebagai corporate social responsibility dari
setiap perusahaan TV kabel yang telah memperoleh hak monopoli untuk membangun
infrastruktur dan kemudian menggarap pasar layanan TV kabel di masing-masing
wilayah.
Secara filosofis, urgensi kehadiran media penyiaran publik berangkat
dari kehidupan publik yang dilihat dari posisi sebagai warga masyarakat hanya
dalam dua ranah, yaitu dalam lingkup kekuasaan dan lingkup pasar. Padahal,
masyarakat memiliki ruang tersendiri untuk berapresiasi, berkarya, berpendapat,
dan bersikap terhadap realitas yang ada di sekelilingnya. Oleh karena itu,
munculnya pandangan dikotomis yang mengabaikan peran dan posisi warga negara
dalam konteks hubungan sosial dan bernegara telah mengabaikan adanya kenyataan
tentang ranah publik yang diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang
di dalamnya berlangsung dinamika kehidupan yang bersih dari kekuasaan dan
pasar. Habermas menyebut ranah ini sebagai ranah publik atau public sphere.
Secara garis besar, ada empat alasan mengapa lembaga penyiaran
publik itu penting dalam sistem demokrasi. Pertama dalam konteks
kehidupan demokrasi dan penguatan masyarakat sipil, sejatinya publik berhak
mendapatkan siaran yang lebih mencerdaskan, lebih mengisi kepala dengan sesuatu
yang lebih bermakna dibandingkan sekedar menjual kepala kepada pemasang iklan
melalui logika rating.
Kedua, berkait dengan yang pertama
warga berhak memperoleh siaran yang mencerdaskan tanpa adanya batasan
geografis, lebih-lebih sosio-politis. Argumen kedua ini penting karena lembaga
penyiaran swasta akan selalu berfikir dalam kerangka besaran jumlah penduduk
dan potensi ekonomi untuk membuka jaringannya. Akibatnya, daerah-daerah yang
miskin dan secara ekonomi tidak menguntungkan tidak akan mendapatkan layanan
siaran swasta.
Ketiga, penyiaran publik merupakan
entitas penyiaran yang memiliki concern lebih terhadap identitas dan
kultur nasional. Jika lembaga penyiaran swasta acapkali dituduh menjadi bagian
dari apa yang sering disebut sebagai imperalisme budaya, maka lembaga penyiaran
publik justru sebaliknya. Keberadaan lembaga penyiaran publik penting dalam
rangka menjaga identitas dan kultur nasional yang bersifat dinamis.
Keempat, demokrasi media niscaya
memerlukan lembaga penyiaran yang bersifat independent, baik dilihat
dari kepentingan negara maupun komersial. Hal ini penting digarisbawahi karena
lembaga penyiaran yang dikontrol negara akan cenderung menjadi ideological
state aparatus, sedangkan lembaga penyiaran yang dikontrol swasta akan
mengakibatkan penggunaan logic of acumulation and exclusion
sebagai penentu apa dan bagaimana sesuatu ditayangkan. Sebagaimana nanti dapat
dilihat dalam pembahasan bab selanjutnya, dominasi lembaga penyiaran swasta
telah membuat hanya kelompok masyarakat tertentu yang direpresentasikan dalam
media penyiaran nasional. Demikian juga dengan tayangan yang hanya memenuhi
keinginan pasar dibandingkan dilandasi oleh usaha yang sungguh-sungguh untuk
turut serta, katakanlah, mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Kemudian dalam konteks budaya, terdapat delapan prinsip yang dibawa
oleh lembaga penyiaran publik. Pertama, geographic universality, prinsip ini menggambarkan bagaimana
seharusnya penyelenggaraan penyiaran publik berorientasi pada publik secara
luas. Keterjangkauan siaran di seluruh lapisan masyarakat merupakan hal penting
yang harus diwujudkan. Kedua, catering for all interest and taste.
Prinsip ini mendorong lembaga penyiaran publik memproduksi semua program
yang memenuhi kepentingan publik termasuk untuk kelompok minoritas. Ketiga,
catering for minorities. Prinsip ini menopang idealisme lembaga
penyiaran publik untuk senantiasa menaruh perhatian pada program-program acara
bagi publik minoritas misalnya menyangkut persoalan anak-anak, rasial, atau
minoritas gender. Melalui lembaga penyiaran publik kelompok-kelompok minoritas
akan memiliki ruang berekspresi yang bermakna bagi tumbuh kembangnya wacana
publik tanpa harus tertekan oleh kepentingan kelompok elit atau mayoritas.
Keempat, detachment from vested interest and government. Prinsip
ini mengindikasikan pentingnya kemandirian lembaga penyiaran publik dari
pengaruh atau intervensi pihak luar seperti pemerintah, partai politik, pemodal
atau kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Kemandirian ini penting artinya
untuk menjaga konsistensi lembaga penyiaran publik pada kepentingan-kepentingan
publik.
Kelima, one broadcasting system to
be directly founded by the corpus of users. Berdasarkan prinsip
tersebut lembaga penyiaran publik dituntut untuk mencanangkan pendanaan
langsung dan pembayaran yang relatif universal. Sifat pendanaan demikian akan
memberikan ruang independensi yang luas bagi lembaga karena tidak perlu
bergantung pada pihak-pihak tertentu. Alternatif pendanaan yang dimaksud dapat
bersumber dari iuran penyiaran, donasi perorangan, yayasan atau
perusahaan-perusahaan juga subsidi pemerintah.
Keenam, competition in good
programming rather than numbers. Prinsip ini menegaskan teori diversity
of content sekaligus mengarahkan lembaga penyiaran publik untuk
memproduksin dan menyiarkan program-program berkualitas yang tidak hanyak
mengikuti rating dan selera pasar sebagaimana terjadi pada lembaga penyiaran
komersial.
Ketujuh, guideliness to liberate
programming makers and not restricted them. Prinsip ini menegaskan
perlunya pedoman untuk memberi kebebasan kepada pengelola lembaga penyiaran
publik untuk mebuat program-program sesuai tuntutan kreativitas, bukan malah
membatasi dengan berbagai sensor dan tekanan.
C. Penyiaran Swasta
Secara mendasar, lembaga penyiaran swasta bersifat komersial dan
menggantungkan hidupnya dari pemasukan iklan, namun sebagai institusi yang
mempergunakan ranah publik, ia harus terikat oleh ketentuan-ketentuan di dalam
peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran. Dalam konteks televisi swasta
Indonesia, kecenderungannya sangat sentralistik, untuk itulah sistem penyiaran
swasta berjaringan menjadi sebuah keniscayaan. Alasannya, televisi swasta
nasional mampu menjangkau 80% penduduk di Indonesia, sementara penduduk yang
mempunyai akses terhadap televisi sebesar 67%. Jadi, jumlah potensial
viewers-nya berkisar sekitar 118 juta penduduk, ini berarti sekitar 118
juta penduduk mempunyai akses terhadap televisi. Masing-masing televisi sudah
menjangkau antara 60 sampai dengan 99 % penduduk yang mempunyai akses terhadap
televisi.
Ada dua hal yang dapat dicatat dari sini. Pertama, jumlah
penduduk yang mampu mengakses televisi baru separuhnya. Kedua, disisi
lain televisi sudah mampu menjangkau sekitar 60 sampai 90% dari mereka yang
mempunyai akses. Ini sebenarnya sudah dapat dikatakan sangat tinggi mengingat
di Amerika Serikat saja regulasinya mengatakan bahwa seseorang dapat memiliki
stasiun televisi dalam jumlah yang tidak terbatas, tetapi tidak boleh
menjangkau lebih dari 39% television’s household atau nation’s
TV homes.
Bila dilihat dari yang lain, maka pelaksanaan stasiun televisi
berjaringan ini akan ikut membangun berkembangnya televisi lokal,
merangsang dan membangun dinamika ekonomi dan sosial dan budaya lokal. Rumah
produksi lokal akan tumbuh, biro iklan lokal, lembaga “rating” lokal
juga akan tumbuh, hal semacam ini tentu saja akan mendapat dukungan ekonomi dan
sosial lokal.
Posisi televisi jaringan semacam ini akan sangat kuat posisinya ditingkat
lokal karena mendapat dukungan lokal, yang pada gilirannya menjadi stasiun
televisi berjaringan yang sangat kuat secara nasional, baik dilihat dari kaca
mata sosial, budaya maupun ekonomi. Disini, diperlukan sebuah pemimpin stasiun
televisi yang visioner, yang sebenarnya sudah dituntun oleh Undang-undang
Penyiaran.
D. Penyiaran Komunitas
Media komunitas hadir sebagai media alternatif yang mengusung
keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), yang juga mendorong
adanya keberagaman isi (diversity of content) dalam program-program
siaran karena melayani komunitasnya yang juga beragam[9]. Kemudian, oleh karena
keberagaman kepemilikan itulah, masyarakat bisa melakukan kontrol sendiri (self
controlling) terhadap isi siaran. Pengelola lembaga penyiaran komunitas,
tidak bisa sewenang-wenang menayangkan program siaran yang tidak sesuai dengan
nilai, aturan, maupun budaya lokal.
Media komunitas pada dasarnya memainkan peran yang hampir sama
dengan media massa pada umumnya, hanya saja pada wilayah (level of playing
field) yang terbatas. Dibatasinya jangkauan layanan jenis media penyiaran
ini justru diharapkan dapat memberikan layanan secara lebih spesifik dan
membuka partisipasi secara lebih sempurna kepada komunitasnya. Semakin luas
jangkauan siaran akan semakin sulit mendapatkan partisipasi dari masyarakat,
karena apapun media ini merupakan refleksi kebutuhan komunitasnya. Dengan
demikian, ada pula fungsi kontrol sosial yang dimilikinya, fungsi menghibur,
mendidik dan menginformasikan berita yang benar-benar merefleksikan kebutuhan
komunitasnya.
Selanjutnya, dalam rangka menjawab kebutuhan kebutuhan tersebut,
empat prinsip mendasar yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan penyiaran
komunitas. Pertama, berskala lokal dan mendorong partisipatif
warga, karena tipologinya yang mendorong partisipasi warga masyarakat,
maka skala terbatas merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan. Dengan
keterbatasan jangkauan yang dimiliki, diharapkan dapat memberi kesempatan pada
setiap prakarsa warga komunitas untuk tumbuh dan tampil setara sejak tahap
perumusan program siaran, pengelolaan hingga kepemilikan. Untuk mampu menjawab
kebutuhan komunitasnya, penyiaran tersebut haruslah membangun partisipasi warga
masyarakatnya seluas mungkin.
Kedua, teknologi siaran yang dipergunakan sesuai dengan kemampuan
ekonomi komunitas dan bukan bergantung pada campur tangan pihak luar, untuk
membangun sense of belonging yang tinggi, partisipasi masyarakat dalam
hal penyediaan peralatan sesuai dengan kemampuannya merupakan hal penting yang
harus dipertimbangkan meskipun bukan tidak mungkin sumber pembiayaan dari luar
komunitas. Jika sumber daya infastruktur berasal dari luar komunitas, maka
perlu pendekatan yang tepat agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian
hari. Ketiga, didorong oleh misi kebaikan bersama komunitas dan bukan
mencapai tujuan keuntungan uang, sejak awal penyiaran komunitas harus
mendeklarasikan misinya kepada masyarakat, termasuk operasionalisasinya yang
mengandalkan semangat kesukarelawan penyiar dan pengelolanya. Jika tidak, maka
akan sulit untuk menjaga semangat tersebut yang telah dimunculkan sedari awal
pendirian.
Keempat, mengemukakan masalah-masalah bersama untuk dicarikan
solusinya sehingga mendorong keterlibatan aktif komunitas dalam upaya perubahan
sosial-politik. Sebagai media milik bersama, persoalan-persoalan
bersama yang ada dimasyarakat layak disiarkan dan diadvokasi. Ketika
persoalan-persoalan tersebut diangkat, maka harapannya semakin banyak warga
masyarakat yang concern dengan persoalan bersama dan pada gilirannya
semakin memperluas keterlibatan warga masyarakat dari berbagai lapisan yang ada
di wilayah tersebut.
REFERENSI
www.bincangmedia.wordpress.com/2011/12/31/menggagas-model-penyiaran-yang-ideal-di-indonesia/,
akses tanggal 10 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar