BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam melaksanakan proses dakwah akan menghadapi berbagai keragaman
dalm berbagai hal, seperti pikiran-pikiran, pengalaman, kepribadian, dan
lanl-lain. Keragaman tersebut akan memberikan corak dalam menerima pesan
dakwah, karena itulah untuk mengefektifkan sorang da’i ketika menyampaikan
pesan dakwah kepada mad’u diperlukan memahami psikologi yang mempelajari
tentang kejiwaan.
Kompleksitas merupakan Kemunculan tatanan keteraturan pada
level lebih tinggi dalam sistem yang tersusun dari banyak komponen, yang mana
sistem tersebut dapat mengatur dirinya sendiri.
Dalam pembahasan kali ini akan dikupas tentang kompleksitas dan
bentuk-bentuk interaksi psikologis antara subyek dakwah dan sasaran dakwah,
mudah-mudahan dengan sedikit dikupas tentang masalah ini, akan memberikan
penerangan kepada kita semua.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
memahami mad’u?
2. Apa
saja yang mempengaruhi mad’u?
3. Bagaimana
interaksi antara da’i dan mad’u?
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk menjelaskan sasaran dakwah atau objek dakwah yang
dalam bahasa Arabnya disebut dengan mad’u.
Sehingga sebagai seorang da’i, kita dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan kondisi mad’u.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Pendekatan sistem adalah pendekatan yang
dipergunakan dalam aktivitas dakwah. Artinya aktivitas dakwah tidak akan sukses
tanpa ada suatu unsur atau faktor tertentu. Sistem dakwah tidak ubahnya dengan
sistem manusia, Bila salah satu anggota tubuhnya sakit maka, sakitlah semuanya.
Ini berarti bahwa keberhasilan suatu aktivitas dakwah tidak mungkin disukseskan
atas dasar satu faktor atau dua faktor saja, tetapi keberhasilan dakwah
ditentukan oleh kesatuan faktor-faktor atau unsur-unsur yang saling membantu,
memengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain.
A.
Manusia
sebagai individu
Individu
berasal dari kata latin, “individum”
artinya, yang tidak berbagi. Individu merupakan sebutan yang dapat dipakai
untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Individu adalah
seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan khas dalam lingkungan
sosialnya melainkan juga memiliki kepribadian serta pola tingkah laku yang
spesifik.
Dalam
membentuk kepribadian seorang manusia, faktor intern (bawaan) dan faktor
ekstern (lingkungan) saling memengaruhi, pribadi terengaruh lingkungan dan
lingkungan diubah oleh pribadi. Faktor intern yang ada dalam pribadi manusia
terus berkembang, dan hasil perkembangannya dipergunakan untuk mengembangkan
pribadi tersebut lebih lanjut. Dengan demikian, jelaslah bagaiman uniknya
pribadi tersebut, sebab tentu saja tidak ada pribadi yang sama, yang
benar-benar identik dengan pribadi yang lain.
Selain
dengan fisik, keunikan psikis tiap manusia membawa perbedaan-perbadaan
mendasar. Secara psikologis, manusia sebagai objek dakwah dibedakan oleh
berbagai aspek :
1. Sifat-sifat
kepribadian (personality trains ) yaitu adanya sifat-sifat manusia yang
penakut, pemarah, suka bergaul, peramah, sombong, dan sebagainya.
2. Intelegensi
yaitu aspek kecerdasan sesorang mencakup kewaspadaan, kemampuan belajar,
kecepatan berpikir, kesanggupan dalam mengambil keputusan yang tepat dan cepat,
kepandaian menagkap dan mengolah kesan-kesan atau masalah, dan kemampuan
mengambil kesimpulan.
3. Pengetahuan
(knowledge)
4. Keterampilan
(skill)
5. Nilai-nilai
(values)
6. Peranan
(roles)
Ketika
dakwah dilakukan terhadap seorang individu, perubahan individu harus diwujudkan
dalam satu landasan yang kokoh serta berkaitan erat dengannya, sehingga
perubahan yang terjadi pada dirinya itu menciptakan arus gelombang paling tidak
riak yang menyentuh orang lain.
B.
Manusia
sebagai Angota Masyarakat (Kelompok)
Manusia
secara herarki merupakan makhluk social, sejak ia dilahirkan ia memerlukan
orang lain untuk memenuhi segala kebutuhannya. Pada tahap awal pertumbuhannya
ia memerlukan orang tuanya atau keluarganya. Menanjak dewasa, ia terlibat
kontak social dengan teman-teman sepermainanya, ia mulai mengerti bahwa dalam
kelompok sepermainanya terdapat peraturan-peraturan tertentu, norma-norma
social yang harus dipatuhi dengan suka rela guna dapat melanjutkan hubungan
tersebut dengan lancar. Ia pun turut membentuk norma-norma pergaulan tertentu
yang sesuai bagi interaksi kelompoknya. Dengan demikian sejak awal manusia
sudah mengenal norma-norma, nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat atau kelompok
dimana ia hidup dan sejak dini juga telah tertanam dalam diri seorang anak,
karenanya walaupun secara pribadi (individu) manusia adalah unik namun tak
terlepas dari pengaruh budaya masyarakat dimana ia hidup.
Masyarakat
dapat memiliki arti luas dan sempit. Dalam arti luas masyarakat adalah
keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh
lingkungan, bangsa, dan sebagainya. Dalam arti sempit yang dimaksud masyarakat
adalah hubungan sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu
(territorial, bangasa, golongan, dan lain-lain)
Masyarakat
yang merupakan sasaran dakwah (objek dakwah) tersebut meliputi masyarakat yang
dilihat dari berbagai segi :
1. Sasaran
yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiologis berupa
masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil serta masyarakat di daerah
marginal di kota besar.
2. Sasaran
yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi struktur kelembagaan
berupa masyarakat, pemerintah, dan keluarga.
3. Sasaran
yang berupa kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiokultural berupa golongan
priyai, abangan, dan santri. Klasifikasi ini terutama terletak dalam masyarakat
jawa.
4. Sasaran
yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat usia
berupa golongan anak-anak, remaja, dan orang tua.
5. Sasaran
yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari segi okupasional
(profesi atau pekerjaan) berupa golonga petani, pedagang, seniman, buruh,
pegawai negri (administrator).
6. Sasaran
yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup sosial-ekonomis
berupa golongan orang kaya, menengah, dan miskin.
7. Sasaran
yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari jenis kelamin (sex) berupa
golongan pria, wanita, dan sebagainya.
8. Sasaran
yang berhubungan dengan golongan dilihat dari segi khusus berupa golongan
masyarakat tunasusila, tunasuwisma, tunakarya, narapidana, dan sebagainya.
Masyarakat
dalam perkembangannya sangat dipengaruhi olehberbagai hal di antara nya adalah:
a. Pengaruh Budaya
Kebudayaan
disebut culture dalam bahasa belanda, culture dalam bahasa Inggris dan tsaqafat
dalam bahasa arab. Budaya (culture) berasal dari bahasa latin “colere” yang
artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan. Dari arti bahasa
ini berkembang lah arti culture sebagai: “Segala daya dan aktivitas manusia
untuk mengolah dan mengubah alam”. Dalam bahasa Indonesia kebudayaan berasal
dari bahasa sansekerta “budhayah” yakni bentuk jamak dari budhi yang berarti
budi tau akal. Jadi, kebudayaan adalah hasil budi atau akal manusia untuk
kesempurnaan hidup.
Kebudayaan
suatu masyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Faktor
geografis
Letak
geografis artinya tempat tempat tinggal suatu masyarakat. Tempat tinggal suatu
masyarakat secara geogarafis ini, dapat dibagi kedalam beberapa tempat seperti
pedesaan, pengunungan, perkotaan, suku terasing (pedalaman), dan sebagainya. Selain
tempat tinggal suatu masyarakat, alam dan iklim pun sangat berpengaruh pada
masyrakat tersebut. Sebuah contoh, masyarakat yang berada di daerah iklim dingin
(seperti daerah kutub) pada umumnya menggunakan jenis pakaian yabg berpkaian
tebal. Tetapi sebaliknya, mereka yang hidup di daerah panas (tropis) kebanyakan
menggunakan yang serba tipis. Dengan demikian memiliki pakaian, membuat kain
(peradabanya) selalu dipengaruhi oleh tempat tinggal.
2. Faktor
keturunan
Masyarakat
adalah keturunan dua manusia yaitu adam dan hawa. Namun, setelah sekian ribu
tahun dari keturunan dua insan tersebut berkembang menjadi miliaran manusia di
muka bumi.
3. Pengaruh
dari dunia luar
Perpindahan
bangsa-bangsa ke bangsa yang lain (migration) sejak dahulu kala sudah sering
terjadi. Di zaman modern, dimana komunikasi dan trasnportasi sudah lancar
mengakibatkan perpindahan bangsa atau penduduk sangat memungkinkan. Perpindahan
antar bangsa mengakibatkan kebudayaan asli suatu bangsa dapat luntur dan
bercampur (antara kebudayaan asli dan pendatang)
Pengaruh
kebudayaan luar ini memungkinkan terjadinya tiga peristiwa:
1. Kebudayaan
asli dapat dimusnahkan oleh kebudayaan pendatang atau disebut dengan asimilasi.
2. Kebudayaan
asli dengan pendatang bercampur menjadi satu, sehingga tidak tampak yang asli
maupaun pendatang (sintesis)
3. Antara
kedua kebudayaan tersebut saling berdampingan, isi mengisi dan saling memajukan
(assosiasi atau akulturasi).
Perubahan suatu kebudayaan bukanlah
semata-mata disebabkan adanya perpindahan bangsa atau penduduk masyarakat
(immigration), akan tetapi faktor lain pun banyak yang memengaruhi, seperti
media masa, pendidikan warga, dan sebagainya.
b. Organisasi sosial
Setiap
masyarakat memiliki hubungan social yang bervariasi yang terkristalisas dalam kelompok-kelompok
social, baik kelompok social besar atau kecil, permanen atau temporer,
organisasi formal maupun nonformal. Relasi-relasi dalam organisasi sosial atau
kelompok social ini dipengaruhi oleh kepercayaan, norma dan sikap kelompok.
Organisasi-organisasi social memiiki
pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia, sebagai contoh sebuah
organisasi keagamaan yang merupakan sumber nilai, kebiasaan dan kepercayaan. Dalam
kehidupan yang lebih besar. Negara dapat dikatakan sebagai organisasi social,
dimana ia merupakan sumber dari norma-norma dan nilai bagaimana warganya
bersikap dan berprilaku.
Karena pemegang kekusaan suatu negara
atas daerah tertentu sangat memengaruhi politik suatu negara, maka seorang da’i
dalam menentukan stategi dakwahnya harus benar-benar memerhatikan pemegang
suatu kekuasaan daerah atau nagara tersebut, bagaimana ideologinya,
kepribadiannya dan lain-lain, sebab faktor-faktor ini dapat menjadi penunjang
dan penghambat tercapainya tujuan dakwah.
Dalam konteks yang lebih umum, ketika
melakukan aktivitas dakwah seorang da’i dituntut memerhatiakan budaya
masyarakat serta organisasi-organisasi social yang melingkupi sehingga idak
terjadi benturan antara dakwah dan kultur masyarakat atau aturan-aturan dalam
organisasi social termasuk aturan-aturan negara atau pemerintah.
Menurut
Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip oleh M. Natsir, obyek dakwah dapat dibagi
menjadi tiga:
- Golongan cerdik cendekiawan
yang cinta kebenaran, dan dapat berpikir secara kritis, serta cepat dalam
menangkap arti persoalan.
- Golongan awam, orang kebanyakan
yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat
menangkap pengertian yang tinggi-tinggi.
- Ada golongan yang tingkat
kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut.
Barmawie Umary menyebutkan bahwa ketika da’i berada di
tengah-tengah masyarakat, dia akan mendapati berbagai macam tingkatan manusia.
Da’i akan berhadapan dengan mereka yang:
- Menganut faham-faham dan
pengertian-pengertian yang tradisional yang sulit bagi mereka untuk
mengubahnya.
- Secara apriori akan menolak
segala sesuatu yang baru.
- Dengan ulet ingin
mempertahankan kedudukannya.
- Merasa khawatir apabila yang
akan disampaikan itu akan merugikan.
- Cerdik cendekiawan yang hanya
mau menerima segala sesuatu realita dengan dalil.
- Ragu-ragu disebabkan bermacam
visi atau pengetahuan yang serba tanggung.
- Bodoh tidak mengerti masalah
yang sebenarnya.
Obyek
dakwah dapat dilihat dari segi agama/kepercayaannya dan tingkat
keberagamaannya. Dalam konteks ini A. Hasjmy menyebut obyek atau sasaran dakwah
sebagai berikut :
a.
Manusia muslim, yang dapat dibagi menjadi empat macam:
- Manusia muslim yang berimbang
iman dan amal sālihnya
- Manusia muslim yang tidak
berimbang antara iman dan amal sālihnya
- Manusia muslim taat dan taqwa
- Manusia muslim yang ma’siyat
dan durhaka
b.
Manusia kafir, yang dapat dibagi menjadi tiga macam:
- Manusia kafir kitābī samāwī,
seperti Yahudi dan Nasrani
- Manusia kafir kitābī non samāwī,
seperti Hindu, Budha dsb
- Manusia kafir ilhadi, seperti
penganut atheisme.
c.
Manusia munafiq
Ada
pula yang melihat obyek dakwah dari derajat pikirannya seperti berikut ini :
- Umat yang berpikir kritis,
yaitu orang-orang yang berpendidikan, yang selalu berpikir mendalam
sebelum menerima sesuatu yang dikemukakan kepadanya.
- Umat yang mudah dipengaruhi,
yaitu masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh faham baru tanpa
menimbang-nimbang secara matang apa yang dikemukakan kepadanya.
- Umat yang bertaqlid, yaitu golongan
yang fanatik buta berpegang pada tradisi dan kebiasaan turun-temurun tanpa
menyelidiki salah atau benarnya.
Terkait
dengan ketiga penggolongan di atas, di sini dapat ditambahkan masalah
sugestibilitas (kepekaan disugesti). Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan
sugestibilitas antara lain :
- Usia
Merupakan
faktor yang merupakan sebab orang mudah menerima sugesti. Para ahli psikologi
telah banyak melakukan serangkaian percobaan tentang hal ini, yang menunjukkan
bahwa anak-anak lebih mudah disugesti daripada orang dewasa. Semakin tambah
usia dan tambah pengalaman, seseorang semakin kritis dan diskriminatif dalam
menerima respons.
- Jenis kelamin
Para ahli psikologi dalam penyelidikannya mendapat bukti
bahwa perempuan lebih suggestible daripada laki-laki.
- Kecerdasan
Orang
yang kurang cerdas lebih mudah disugesti. Sedang orang yang cukup tinggi
kecerdasannya tidak mudah disugesti. Kaum cendekiawan lebih sulit untuk
disugesti daripada orang awam.
- Ketidaktahuan seseorang juga
mudah menjadi umpan sugesti.
Penggolongan
obyek dakwah ada yang didasarkan pada responsinya terhadap aktivitas dakwah
yaitu :
- Golongan simpati aktif,
Yaitu obyek dakwah yang simpati dan secara aktif memberi
dukungan moril dan material terhadap kesuksesan dakwah. Mereka juga berusaha mengatasi
hal-hal yang dianggapnya merintangi jalannya dakwah, bahkan mereka bersedia
berkorban segalanya untuk kepentingan syi’ar Allah.
- Golongan pasif,
Yaitu
obyek dakwah yang apatis (masa bodoh) terhadap dakwah, tidak memberikan
dukungan dan juga tidak merintangi dakwah.
- Golongan antipati,
Yaitu
obyek dakwah yang tidak rela atau tidak suka akan terlaksananya dakwah. Mereka
selalu berusaha dengan berbagai cara untuk merintangi atau menggagalkan dakwah.
C.
Interaksi Psikologis Antara Da’I dan
Mad’u
Interaksi diartikan sebagai suatu bentuk
hubungan antara dua orang atau lebih di mana tingkah laku seseorang diubah oleh
tingkah laku yang lain. Melalui dorongan antar pribadi dan response antar
pribadi tersebut, maka lambat laun seseorang akan berubah. Dengan demikian
interaksi sosial merupakan perilaku timbal balik antara seseorang dengan orang
lain. Interaksi
Psikologis Da’i dengan Mad’u adalah Motifasi
Tingkah laku, Komunikasi dan Leadership (Kepemimpinan)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Obyek
dakwah (mad’u) adalah manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia
penerima dakwah, baik individu atau kelompok, baik yang beragama Islam atau
bukan beragama Islam. Pada intinya obyek dakwah adalah manusia secara
keseluruhan.
Dalam melaksanakan proses dakwah akan menghadapi berbagai keragaman
dalm berbagai hal, seperti pikiran-pikiran, pengalaman, kepribadian, dan
lanl-lain. Keragaman tersebut akan memberikan corak dalam menerima pesan
dakwah, karena itulah untuk mengefektifkan sorang da’i ketika menyampaikan
pesan dakwah kepada mad’u diperlukan memahami psikologi yang mempelajari
tentang kejiwaan.
B.
Saran
Seorang
da’i yang baik dan benar adalah yang dapat mengenal mad’unya dan apa yang
didakwahkannya dapat sampai kepada mad’unya tersebut. Untuk mencapai hal itu
maka seorang da’i harus banyak belajar agar dapat mencapai tujuan dakwah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-WISRALI MAM ZAIDALLAH, 2002, STATEGI DAKWAH, JAKARTA : KALAM MULIA
ACHMAD MOBAROK, 2OO6, PSIKOLOGI DAKWAH, JAKARTA : KENCANA
Prof.
H. M. Arifin, M. Ed., Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),
Cet. Ke-6
Ahmad
Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar