A.
SEJARAH PERADABAN ISLAM
PADA KERAJAAN PONTIANAK
1.
Sejarah Berdirinya Kota
Pontianak
Sultan
Syarif Abdurrahman Al-kadri adalah Pendiri dan Sultan pertama Kerajaan
Pontianak. Ia dilahirkan pada tahun 1142 Hijriah / 1729 /1730 M, putra Al-Habib
Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal dari Arab.
Tiga
bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah,
Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari
tempat kediaman baru. Mereka berangkat dengan 14 perahu Kakap menyusuri Sungai
Peniti. Waktu dzuhur mereka sampai disebuah tanjung, Syarif Abdurrahman bersama
pengikutnya menetap disana. Tempat itu terkadang dikenal dengan nama Kelapa
Tinggi Segedong.
Namun
Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat
tinggal dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai.
Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan shalat zuhur itu kini dikenal sebagai
Dhohor.
Ketika
menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal
dengan nama Batu Layang dimana sekarang ditempat itulah Syarif Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan.
Di pulau itu mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak. Syarif Abdurrahman
lalu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu.
Setelah itu, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas.
Menjelang
subuh 14 Rajab 1184 hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada
persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Setelah delapan hari menebas
pohon di daratan itu, maka Syarif Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan
balai, dan kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini
berdiri Mesjid Jami dan Kraton Kadariah.
Akhirnya
pada tanggal 8 bulan Sya’ban1192 Hijriah, bertepatan dengan hari senin dengan
dihari oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan
Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Habib Alqadri. Dibawah
kepemimpinannya kerajaan Pontianak berkembang sebagai kota pelabuhan dan
perdagangan yang cukup disegani.
Didalam
sejarah berdirinya kota Pontianak ini banyak menimbulkan perbandingan yang
membuat kontroversi bagi semua pihak yang menelitinya. Contohnya saja ada yang
menyatakan Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadri pada hari
Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H), yang ditandai dengan membuka hutan dipersimpangan tiga Sungai Landak,
Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kauas untuk mendirikan balai dan rumah sebagai
tempat tinggal. Pada tahun 1192 H, Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan
pada Kesultanan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya
Mesjid Jami’ Sultan Abdurrhman Alqadri dan Kraton Kadariah, yang sekarang
terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur, dan ada juga yang
mengatakan lain dari pendapat diatas tadi yaitu bahwa Sejarahnya belanda mulai
masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi), dari Betawi, verth menulis
bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif Hussein bin Ahmed Alqadri (atau
dalam versi lain disebut sebagai Al-habib Husin), setelah meninggal kerajaan
Mempawah mulai merantau. Di wilayah Banjarmasin, ia menikah dengan adik sultan.
Ia berhasil dalam perniagaan dan mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai
kapal pencalang dan perahu lancangnya. Kemudian ia mulai melakukan perlawanan
terhadap penjajahan Belanda.
Dengan
bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak kapal
Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Prancis di Pelabuhan Passir.
Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan pemukiman di
sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan sungai Landak dan
kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur, dan
Pontianak berdiri.
2. Masuknya Islam Di Pontianak
Di
Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh bangsawan Arab
bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulu Sungai Pawan, di
Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan pemakaman Islam kuno. Angka tahun yang
ertua pada makam-makam tersebut adalah tahun 1340 Saka (1418 M). jadi, Islam
telah ada sebelum abad ke-15 dan diperkirakan berasal dari Majapahit karena
bentuk makam bergaya Majapahit dan
berangka tahun Jawa kuno. Di Kalimantan Timur, Islam masuk melalui Kerajaan
Kutai yang dibawa oleh dua orang penyiar agama dari Minagkabau yang bernama
Tuan Haji Bandang dan Tuan Haji Tunggangparangan. Di Kalimantan Selatan, Islam
masuk melalui Kerajaan Banjar yang disiarkan oleh Dayyan, seorang khatib (ahli
khutbah) dari Demak. Di Kalimantan Tengah, bukti kedatangan Islam ditemukan
pada masjid Ki Gede di Kotawaringin yang bertuliskan angka tahun 1434 M.
Masuknya
Islam di Kalimantan ini juga tidak luput dari perjuangan ayahnua Sultan Syarif
Abdurrahman Al-Qadri yaitu Habib Husein al-Qadri. Mengenai Habib Husein
Al-Qadri ini tidak terlalu sukar membuat penyelidikan karena memang terdapat
beberapa manuskrip yang khusus membicarakan biografinya. Walau bagaimana pun
semua manuskrip yang telah dijumpai tidak jelas nama pengarangnya, yang disebut
hanya penyalin. Semua manuskrip dalam bentuk tulisan Melayu/Jawi. Nama
lengkapnya, As-Saiyid/ as-Syarif Husein bin A-Habib Ahmad/Muhammad bin a-Habi Husein
bin al Habib Muhammad al-Qadri, Jamalul Lail, Ba’ Alawi, sampai nasabnya kepada
Nabi Muhammad s.a.w. sampai ke atas adalah melalui perkawinan Saidatina Fatimah
dengan Saidina Ali k.w. Nama gelarnya ialah Tuan Besar Mempawah. Lahir di
Tarim, Yaman pada tahun 1120 H /1708 M. wafat di Sebukit Rama Mempawah, 1184 H/
1771 M ketika berusia 64 tahun. Dalam usia yang masih muda beliau, meninggalkan
negeri kelahirannya untuk menuntut ilmu pengetahuan bersama beberapa orang
sahabatnya.
Dalam
persepektif yang berbeda kedatangan islam ke Kalimantan Barat melalui kekuatan
ekonomi dan perdagangan. Seperti di daerah-daerah lainnya di Nusantara, Islam
disebarkan oleh pedagang-pedagang muslim dan da’i-da’I kelana, yang juga
tertarik pada perdagangan atau semata-mata bertujuan menyebarkan Islam. Sebab
itu penyebaran Islam di Kalimantan terpusat pada kota-kota pelabuhan. Karena
wilayah pulau Kalimantan sangat luas, maka di pulau ini muncul beberapa pusat
penyebaran Islam. Tidak mengherankan, jika pemeluk Islam pertama di Kalimantan
didominasi oleh kaum pedagang. Mereka tinggal di daerah pantai, diderah-daerah
jalur perdagangan.
Beberapa
dengan Sumatera, Jawa, dan lainnya, perkembangan Islam ke pedalaman Kalimantan
Barat khususnya di Pontianak sangat lamban. Islam hanya terbesar di daerah
–daerah pesisir saja. Sedikit sekali orang-orang dayak pedalaman yang menganut
Islam. Kebanyakan yang memeluk Islam adalah orang-orang berkebudayaan Melayu.
Kemungkinan mereka adalah pedagang-pedagang Muslim yang datang ke Kalimantan, dan
para imigran dari luar Kalimantan barat. Di Kalimantan Barat, Islam masuk
melalui Pontianak yang disiarkan oleh bangsawan Arab bernama Sultan Syarif
Abdurrahman pada abad ke-18
Sebelum
kedatangan para pedagang Arab, pedagang-pedagang Melayu dan perampok-perampok
tertarik untuk menetap di Kalimantan Barat. Tujuan mereka adalah untuk mendulan
emas dan berlian. Mereka kemudian mendirikan kota-kota di muara sungai. Pada
perkembangan berikutnya, mereka tersebar sampai ke Hulu. Selanjutnya mereka
hidup mapan di sana. Ketika pengembara-pengembara Arab datang ke Pontianak,
mereka memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat, dan mengajak
masyarakat itu untuk memeluk Islam. Berikutnya, penyebaran Islam dilakukan oleh
para da’I dari Sumatera, Jawa dan dari daerah lainnya.
Di wilayah Pontianak Kalimantan Barat sebagaimana dikemukakan oelh
Mrs. Samuel Bryan Scott dalam
Mohammedanism in Borneo; Notes for a study of the lokal modifications of Islam
and the extent of is influence on the native tribes. Islam sudah ada sejak
akhir abad ke-15 , akan tetapi sampai awal abad ke 18 kegiatan pengislaman
belum kuat, walaupun beberapa sultan sudah menerima Islam. Pada 1735 seorang
ulama Arab, Syarif Husein bin Ahmad al-Qadri, seorang ulama yang berasal dari
negeri Trim Ar-Ridha Hdralmaut (Timur Tengah) datang ke Matan. Ketika itu yang
menganut Islam sedikit sekali. Ia berusaha mengajarkan Islam kepada masyarakat.
Dan ia diangkat untuk menjadi penasehat raja, akan tetapi jabatannya tidak
bertahan lama dikarenakan adanya perselisihan paham tentang hukuman terhadap
nahkoda yang tidak di setujui oleh sultan Kamaludin, yang menyebabkan ia harus
pindah ke Mempawah. Di Mempawah ia disambut oleh Opu Daeng Manambon dengan
tangan terbuka. Sultan melindunginya dan mendirikan masjid untuknya. Selain itu
ia dinikahkan dengan saudara perempuan sultan dan mendapatkan anak lima orang
anak diantaranya Syarif Abdurrahman al-Qadri yang lahir pada tahun 1471.
Di Mempawah Habib Husein al-Qadri sebelum wafatnya pada tanggal 3
Dzulhijjah 1184 H, beliau menikahkan putranya yang bernama Syari Abdurrahman
al-Qadri dengan putrid raja Mempawah
Utin Candramidi. Ketika beliau berada di Banjar oleh Sultan Banjar
diangkat menjadi pengeran Sayid Abdurarhman Nur Alam yang kemudian menjadi Raja
Pontianak dengan gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib husein al-Qadri.
Umat
Islam pada masa awalnya masuknya Islam yang di bawa oleh Syarif Husein bin
Ahmad al-Qadri, penganut Islam pada masa itu masih sedikit, tetapi setelah
berdirinya kerajaan Islam Pontianak pada tahun1771 miladiyah, maka agama Islam
menjadi agama yang mayoritas. Kesultana Pontianak dengan rajanya yang bernama
Sultan Syraif Abdurrahman Al-Qadri yang mana ia adalah putra Habib Husein
al-Qadri, yang menbjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat.
Kehadiran
kesultanan yang bercorak Islam membawa pengaruh yang besar terhadap
perkembangan agama Islam di Pontianak. Kesultanan Pontianak yang terletak di
pinggiran sungai Kapuas dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri sebagai
sultannya menyebabkan Islam menjadi agama yang mayoritas dimana masyarkat
disekitar kesultanan Pontianak seperti, dikampung Kapur, Kampung Bansir, Kapung
Banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental dengan pengaruh agama Islam. Di
daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar yang pada
jaman tersebut beliau adalah salah seorang yang termahsyur, Sultajn Syarif
Abdurrahman al-Qadri mengundang Djafar khusus untuk menjadi guru ngaji
dilingkunag Keraton Kadariyah Pontianak. Hal ini membuktikan bahwa Islam pada
masa itu sudah menyebar luas ke wilayah pontiank. Ustdz Djafar yang kelak
menurunkan anak yang bernama Kurdi Djafar yang dikenal sebagai pendiri cabang
Muhammadiyah di Sui Bakau Kecil Mempawah.
3. Bentuk-Bentuk Peradaban Islam di Pontianak
Dengan
mengetahui apa yang dimaksud dengan peradaban Islam, yakni perkembangan atau
kemajuan kebudayaan Islam dalam perspektif sejarahnya, maka banyak sekali
peninggalan peradaban Islam di Pontianak, Kalimantan Barat yang sampai saat ini
masih terjaga kelestariannya antara lain sebagai berikut:
1. Kraton Kadriyah
Sejarah
Pontianak dimulai pada tahun 1771 saat Syarif Abdurrahman dari kerajaan Mempawah
menempuh ekspedisi akbar guna mencari tempat tinggal baru di sepanjang sungai
Kapuas. Rombongan sempat singgah di pulau Batu Layang yang sekarang menjadi
kompleks pemakaman keturunan raja Pontianak. Di tempat inilah mereka mulai
mendapatkan gangguan dari hantu Pontianak. Hal inilah yang melatarbelakangi
nama Pontianak. Yaitu berasal dari kata “kuntilanak” hantu wanita legendaries
dari film horror Indonesia yang dicirikan dengan rambut panjang, gaun putih,
dan tawa melengking.
Syarif
Abdurrahman melanjutkan perjalanan hingga ke persimpangan Sungai Kpuas dan
Landak, membuka daerah selama delapan hari, lalu mendirikan rumah dan balai.
Sekarang delapan tahun, ia dilantik menjadi raja pertama dan bersamaan dengan
itu berdiri pulalah Istana Kadriyah. Istana Kadriyah berdiri gagah ditepi
sungai Kapuas, tepatnya diwilayah kampung Dalam Bugis, dengan ornament yang kental
menyiratkan cirri kerajaan Islam. Selain cat warna kuning khas melayu, terdapat
benyak sekali pahatan bulan dan bintang yang menghiasi sisi keratin. Logo ini
bisa dilihat tertera dipintu masuk dan dinding kayu, dibendera kebesaran yang
berkibar dihalaman Istana, ruangan Istana yang didominasi warna kuning.
Singgasana raja yang berwarna keemasan berdiri kokoh dikeliling foto para
pembesar kerajaan dan beberpa aksesoris seperti jam duduk tua dan guci-guci
keramik. Tampak pula sebuah cermin antic dari Prancis yang dinamakan “Kaca
Seribu” ruangan ini masih menyiratkan aura kegagahannya sebagai tempat para
petinggi mengambil keputusan, layaknya ruang oval di Gedung Putih.
Lantainya
masih papan kayu beliau (kayu ulin) yang terkenal akan kekuatannya. Jika masyarakat
bangga dengan kayu jatinya, masyarakat Kalimantan kagum pada kayu jatinya,
masyarakat Kalimantan kagum pada kayu belian-nya. Kayu ini dikenal memilii
kekuatan luar biasa, bahkan gergaji biasa pun tak akan sanggup memotong
batangnya. Pastinya juga kita tak akan menemukan ukiran indah berbahan kayu
belian. Konon, jika direndam didalam air selama bertahun-tahun, kayu belian
akan awet selama pulihan atau bahkan ratusan tahun. Untuk membersihkan kayu
belian ini masyarakat Pontianak memiliki kebiasaan unik yaitu mencampurkan air
pel dengan solar saat mengepel lantai berbahan kayu belian. Campuran ini
dipercaya bisa membuat lantai tampak licin dan kinclong, serta lebih awet dan
bersih, metode yang menarik, asalkan tidak ada orang yang membuang punting rokok
sembarangan.
Keraton Kadriyah merupakan salah satu bentuk peradaban Islam di
Pontianak, yang mana hal ini didukung dengan sumber-sumber yang diperoleh yang
menyatakan bahwa awal berdirinya Keraton Qadriyah bersamaan dengan berdirinya
kota Pontianak yaitu pada tahun 1771 miladiyah, jadi Keratin Kadriyah merupakan
satu peradaban yang pertama yang melambangkan bahwa Islam sudah berkembang di
Pontianak pada masa itu. Yang diperkenalkan oleh Sultan Syarif Abdurrahman
al-Qadri yang pada masa itu sebelum ia mengenalkan ajaran Islam dan menetap di
Pontianak, ia sudah terlebih dahulu menetap di kerajaan Mempawah. Awal
berdirinya kota Pontianak dan Keraton
Kasriyah yaitu berawal dari keinginan Syarif Abdurrahman al-Qadri untuk mencari
tempat tinggal baru dan bermaksud untuk menyebarkan ajaran Islam lebih luas.
Pada awalnya pasukan Syarif Abdurrahman al-Qadri singgah di pulau Batu Layang
yang sekarang menjadi kompleks pemakaman keturunan raja Pontianak. Disinilah
awal mulanya rombongan Syarif Abdurrahman al-Qadri mendapatkan gangguan dari
hantu kuntilanak, yang dari nama tersebutlah nama kota Pontianak berasal. Untuk
menggusir hantu-hantu tersebut Syarif Abdurrahman al-Qadri mendapatkan petunjuk
untuk memerintahkan anak buahnya untuk menembakkan meriam kepada hantu-hantu
tersebut yang diyakini dapat mengusir hantu hantu tersebut berdasarkan petunjuk
yang didapat juga, Syarif Abdurrahman memerintahkan kepada rombongannya untuk
menembakkan meriam, yang selain untuk mengusir gangguan hantu kuntilanak, juga
sebagai penanda, bahwa di manapun peluru meriaam itu jatuh, maka ditempat
itulah nantinya akan dibangun kesultanan. Akhirnya peluru tersebut jatuh
disimpang tiga pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai
Landak adalah tempat jatuhnya peluru meriam yang ditembakkan tersebut. Kawasan
tersebut kemudian dikenal dengan nama Kampung Beting yang termasuk di dalam
wilayah Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Akhirnya Kesultanan
Pontianak tersebut kemudian didirikan yang bernama. Istana Qadriyah sebagai
pusat pemerintahan kesultanan Pontianak ketika itu, yang semulanya dikatakan
kalau pada saat itu kota Pontianak masih banyak hutan,hutan yang sangat lebat,
jadi hal inilah yang menjadikan data yang kuat kalau memang tempat atau pusat
penyebaran Islam pertama di Pontianak terletak di Keraton Kadriyah yang
menjadikan salah satu bentuk peradaban Islam di Pontianak. Hingga kini
bangunnan bersejarah di Kota Pontianak tersebut masih tetap kokoh berdiri. Jadi
memang benarlah bahwa Keraton Kadriyah merupakan awal peradaban Islam di
Pontianak, yang mana ditempat itulah awal mulanya pusat penyebaran Islam
dilakukan di Kota Pontianak, walaupun sebenarnya di Pontianak sudah ada yang
memeluk Islam sebelum kedatangan Syarif Abdurrahman al-Qadri yang dibuktikan
pada masa itu ada seorang guru ngaji yang termahsyur di Pontianak pada masa itu
yang bernama ustadz Djafar, tetapi Islam belum banyak menganutnya hanya sedikit
sekali masyarakat Pontianak yang memeluk Islam sebelum datangnya Syarif
Abdurrahman, setelah Syarif Abdurrahman datang dan lebih memperluas jaringan
tentang ajaran Islam, maka Islam menjadi agama yang sangat banyak pemeluknya
yang mejadikan agama Islam menjadi agama yang mayoritas. Dan baru ada pertama
kali ada raja yang memerintah di Pontianak. Ditambah dengan berdirinya
Kesultanan Pontianak membuat pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
Islam di Pontianak. Oleh karena itu Keraton Qadriyah dikatakan salah satu
bentuk peradaban Islam di kota Pontianak.
2. Masjid jami’
Pendiri
masjid jami’ sekaligus pendiri kota Pontianak adalah Syarif Abdurrahman
Al-Qadri. Ia seorang keturunan Arab, anak Al-Habib Husein, seorang penyebar
agama Islam dari Jawa. Al-Habib Husein datang ke Kekerajaan Matan pada 1733
Masehi. Al- Habib Husein menikah dengan Putri Raja Matan (kini Kabupaten
Ketapang) Sultan Kamaluddin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan itu lahirlah
Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama
Islam.
Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan konstruksinya dari
kayu. Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi. Ia memiliki putera bernama
Syarif Usman. Saat ayahnya meninggal, Syarif Usman masih berusia kanak-kanak,
sehingga belum bisa meneruskan pemerintahan almarhum ayahnya. Maka pemerintahan
sementara dipegang adik Syarif Abdurrahman, bernama Syarif Kasim. Setelah
Syarif Usman dewasa, ia menggantikan pamannya sebagai sebagai Sulatan
Pontianak, pada 1822 sampai dengan 1855 Masehi. Pembangunan masjid kemudian
dilanjutkan Syarif Usman, dan dinamakan sebagai masjid Abdurrahman, sebagai
penghormatan dan untuk mngenang jasa-jasa ayahnya. Beberapa ulama terkenal
telah mengajarkan agama Islam di masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Mereka
diantaranya Muhammad al-Kadri, dan Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh
Madani, H. Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan.
Masjid
Jami’ Pontianak dapat menampung sekitar 1.500 jaah shalat. Masjid akan penuh
terisi jamaah shalat, saat waktu shalat jumaat dan tarawih Ramadhan. Pada sisi
kiri pintu masuk masjid, terdapat pasar ikan tradisional. Dibelakangnya
merupakan permukiman padat penduduk Kampung Beting, kelurahan Dalam Bugis dan
dibagian depan masjid, yang juga menghadap ke barat, terbentang Sungai Kapuas.
Jika
melihat kebagian dalam masjid, terdapat enam pilar dari kayu belian berdiameter
setengah meter. Dua pelukan tangan orang dewasa tak akan mampu mencapai
lingkaran pilar. Selain pilar bundar, juga da enam tiang penyangga lainnya yang
menjulang ke langit-langit masjid, berbentuk bujur sangkar. Pilar bujur sangkar
itu berukuran kayu belian untuk tiang rumah dewasa ini. Namun ukurannya diatas
rata-rata. Jika sekarang ada ukuran 6x6, 7x7,8x8, dan 10x10 maka tiang tersebut
lebih besar lagi. Masjid itu memiliki mimbar tempat khutbah yang unik, mirip
geladak kapal. Pada sisi kiri dan kanan mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis
pada kayu plafor. Hampir 90% konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu
belian. Atapnya yang semula dari rumbia, kini menggunakan sirap, potongan
belian berukuran tipis. Atapnya bertingkat empat.pada tingkat kedua, terdapat
jendela-jendela kaca berukuran kecil. Sementara dibangun paling atas, atapnya
mirip kuncup bunga atau setupa. Jendelanya yang berjejeran dengan pintu masuk,
berukuran besar-besar, juga dari kaca tembus pandang,. Ada pula kaca yang
berwarna merah dan kuning.
Jarak
antara lantai masjid dengan tanah, sekitar 50 centi meter. Namun menurut
seorang pemuda setempat, tinggi antara lantai masjid dengan tanah sekitar dua
meter. Kini kolong masjid sudah dicor semen, agar lantinya tidak semakin turun.
Stuktur tanah yang labil dan sebagian besar bergambut, menjadikan
bangunan-bangunan di Pontianak gampang ambalas. Ironisnya, barau yang
melindungi halaman masjid dari kikisan air Sungai Kapuas dan dibangun dalam dua
tahun terakhir, kini menjadi proyek gagal karena kesulitan keuangan. Sepintas,
terlihat tidak banyak berubah dari masjid tua tersebut. Ketika semua sedang
berubah dan berkembang. Masjid Jami’ Sultan. Abdurrahman tetap menampakkan
wajah lamanya.
Masjid
Jami’ dikatakan salah satu bentuk peradaban Islam di Kota Pontianak adalah sama
halnya dengan kesultanan Pontianak yang mengatakan awal berdirinya kesultanan
tersebut dengan petunjuk yang diperoleh oleh Syarif Abdurrahman al-Qadri yang
mana memerintahkan anak buahnya untuk menembakkan meriam kearah hantu
kuntilanak yang mengganggu perjalanan mereka guna mencari tempat baru dalam
menyebarkan ajaran Islam. Yang dimanapun peluru itu jatuh disitulah akan
dibangun kesultanan yang juga akan dibangun masjid sebagai pusat penyebaran
Islam dan tempat melakukan kegiatan umum apapun selain kegiatan penyebaran
ajaran Islam. Dan masjid Jami’ ini sengaja dibuat untuk mengenang jasa-jasa
Syarif Abdurrahman yang telah menyebarkan ajaran Islam sehingga Islam sangat
mudah untuk diterima dan menjadi agama yang mayoritas, sehingga masjid tersebut
diberi nama masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Dan dengan mendirikan masjid maka
dapat menbuktikan bahwa Islam pada masa awal penyebarannya sudah dapat diterima
masyarakat setempat dan menjadikan sebagai pusat penyebaran Islam.
3. Makam Batu Layang
Disebut
juga Taman Makam dari Kerajaan Pontianak mulai dari Raja pertama (Sultan Syarif
Abdurrahman al-Qadri) hingga Raja Terakhir (Sultan Hamid II) serta beberapa
keluarga raja. Tempat ini biasanya ramai
dikunjungi khususnya pada Hari Besar Islam. Makam ini terletak kurang lebih 2 Km
dari Tugu Katulistiwa yang dapat dikunjungi dengan menggunakan transportasi
darat maupun transportasi air (sampan).
Makam Batu Layang juga dapat dikatakan menjadi salah satu bentuk
peradaban Islam di Pontianak mungkin dikarenakan temapt ini merupakan tempat
dimana pahlawan agama Islam dimakamkan dan mereka merupakan penyebar ajaran
Islam sehingga Islam sangat berkembang pada masa itu hingga sekarang menjadi
agama yang mayoritas sehingga tempat makam Batu Layang ini dijadikan tempat
atau sebagai bentuk peradaban Islam dikota Pontianak. Dan tempat ini juga
dijadikan tempat makam para raja-raja Pontianak mungkin dikarenakan awal
mulanya tempat yang mereka singgahi di Pontianak adalah Pulau Batu Layang. Dan
masyarakat menjadikan tempat yang selalu
ramai dikunjungi oleh warga Pontianak pada saat-saat hari besar keagamaan. Hal
ini merupakan penghormatan yang diberikan masyarakat kepada para penyebar Islam
di kota Pontianak. Dan makam ini juga menjadi petanda kalau di Pontianak pernah
ada orang-orang yang memang berjasa dalam menyebarkan Islam di kota Pontianak,
sehingga menjadi salah satu bentuk peradaban Islam di Pontianak.
4. Bidang pendidikan
Perkembangan
berikutnya lahirnya berbagai organisasi isalam yang menjalankan pendidikan
islam pada beberapa sekolah maupun yayasan di Pontianak, antara lain:
a.
Yayasan Pendidikan Barawi
b.
Yayasan Pendidikan Islam
c.
Yayasan Pendidikan Bawamai
d.
Yayasan pendidikan muhammadiyah
4.
Perkembangan Islam di Pontianak
Umat Islam menjadi mayoritas ketika
berdirinya kerajaan Pontianak pada tahun 1771 Miladiah. Kesultanan Pontianak
dengan Rajanya Sultan Syarif Abdurrahman
Al-Qadri adalah putra Syarif Husin Al-Qadri yang menjadi salah seorang penyebar
agama Islam di Kalimantan Barat kehadiran kesultanan yang yang gercorak Islam
masih membawa pengaruh adat istiadat bangsa Nusantara yang dinamakan pengaruh
Jawa Pra Islam. Salah satu pengaruh kuat adalah percampuran budaya Timur tengah
dengan budaya pra Islam. Sekitar tahun1733 Syarif Husin bin Ahmad Al-Qadri
seorang ulama dari negeri Trim Ar-Ridha Hadralmaut (timur Tengah) datang
kekerajaan Matan untuk menyebarkan agama Islam, kemudian diangkat sebagai
penasehat raja, akan tetapi jabatan
tidak begitu lama dikarenakan ada perselisihan paham tentang hukuman terhadap
nahkoda tidak disetujui oleh Syarif Husein kemudian pindah kekerajaan Mempawah.
Dikerajaan itu beliau diangkat sebagai patih oleh Opu Daeng Manambon. Syarif
Husin menikah dengan Nyai Tua dari perkawinan ini mendapat lima orang anak
diantaranya Syarif Abdurrahman al-Qadrie yang lahir tahun1471.
Kawasan sekitar pusat pemerintahan kesultanan
Pontianak yang gterletak dipinggiran Sungai Kapuas, Kampung Kapur, Kampu
Bansir, Kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental pengaruh agama
Islam. Daerah Kapung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar.
Pada jaman tersebut beliau salah seorang yang termahsyur. Sultan Pontianak
Syarif Muhammad Al-Qadri mengundang husus menjadi guru ngaji dilingkungan
Keraton Kadariyah Pontianak. Ustad Djafar yang kelak menurunkan anak yang bernama
Kurdi Djafar yang dikenal pendiri cabang Muhammadiyah di Sungai Bakau Kecil di
Mempawah dan salah satu seorang putranya Mawardi Djafar seorang tokoh
Muhammadiyah yang ada di Pontianak ( dalam Ikhsan wawancara H. Rahim Djafar).
Agama Islam menjadi agama mayoritas di Kalimantan
Barat dan Pontianak khususnya. Agama di Pontianak terdiri dari agama Islam,
Katholik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu bagi masyarakat Tionghua. Toleransi
agama sangat dijunjung tinggi di Pontianak, sehingga dapat dikatakan aman dan
sejahtera. Perkembangan yang berikutnya lahirnya berbagai organisasi Islam yang
menjalankan pendidikan Islam pada beberapa sekolah maupun yayasan di Pontianak:
a.
Yayasan pendidikan Bawari
b.
Yayasan pendidikan Bawamai
c.
Yayasan perguruan Islamiah
d.
Yayasan pendidikan Muhammadiyah
e.
Yayasan Pendidikan Al-Azhar
Masih banyak pendidikan yang belum bisa didata. Di
samping itu perkembangan pengajian ibu-ibu yang berkembang pesat di Pontianak.
Peranan ulama yang begitu besar terhadap perkembangan pendidikan tidak hanya
pada pendidikan formal akan tetapi pada pendidikan nonformal. Ulama yang
berpengaruh membentuk pendidikan di era tahun enam puluhan dan sampai delapan
puluhan di Pontianak antara lain.
a.
H. Ismail Bin Abdul Karim alias
Ismail Mundu Mufti kerajaan Kubu.
b.
Syeh Abdullah Zawawi (Mufti
kerajaan Pontianak)
c.
Syah Syarwani
d.
Habib Muksin Al Hinduan (
Tarekat Naksabandiah)
e.
Syeh H. Abdurani Mahmud ( Ahli
Hisab)
f.
Habib Shaleh Al Haddad
g.
H. Abdussyakur Badri alias H.
Muksin
h.
H. Ibrahin Basyir alias wak
guru
B.
SEJARAH PERADABAN ISLAM
DI MEMPAWAH
1.
Masuknya Islam di Mempawah
Islam
di Mempawah tidak terlepas dari pengaruh seorang yang bernama Opu Daeng
manambon meskipun beliau bukan seorang ulama akan tetapi latar belakang dari
Opu Daeng Manambon ini adalah beragama Islam, beliau menadapatkan amanah dari
raja senggaok untuk menggantikan posisinya karena raja senggaok telah wafat.
Pergilah
Opu Daeng Manambon kepusat kerajaan yaitu di karangan, sesampai rombongan dari
Opu Daeng Manambon ini di Sungai Kuala, mereka disambut gembira oleh rakyat
setempat, Opu daeng Manambon pun pergi kekerajaan serta mengadakan serah terima
jabatan karena masyarakat pada saat itu patuh dan stia pada rajanya, mayarakatpun
mengikuti agama yang dianut oeleh Opu Daenga Manambon yaitu Islam, Islam masuk
di Mempawah.karena pengaruh dari kekuasaan Opu Daeng Manambon, akan tetapi Opu
Daeng Manambon tidak bekerja sendirian dalam proses mengislamisasi rakyat pada
saat itu yang agama nenek moyangnya adalah Hindu, beliau memanggil ulama dari
kerajaan matan adalah Habib Husein Al-Qadri. Setelah beliau pindah ke
Mampwah, banyak yang berguru kepada
Habib ini, karena Hhabib ini dikenal denagn kemasyhuran dalam bidang agamanya,
beliau terkenal denagn orang yang suci bisa menyembuhkan penyakit denagn
doa-doanya kepada Allah, tidak tanduk beliau dalam menyebarluaskan Islam di
Mempawah sangat mudah kerana pemerintahan Opu Daeng Manambon sanagt mendukung
denagn kinerja beliau. Tidak heran bahwa di Mempawah terdapat ulama yang wara’,
dan terkeanal akan keagamaannya karena Habib Husein Al-Qadri ini mengabdi
kepada kerajaan, dan Islam berkembang denagn pesat di Mempawah, pemerintahan
Opu Daeng Manmbon inipun memegang asas hukum Islam, seperti bermusyawarah dan
menyerahkan persoalan kepada hukum Al-quran dan hadits.
Selain
itu Habib Husein A-Qadri pun selalu membimbing masyarakat yang masih awam
terhadapa Islam, masyarakatpun senag ternyata agama yang dibawa oleh Opu Daeng
Manambon dan Habin Husein Al-Qadri ini mampu menyentuh hati mereka dengan
lembut, samapi akhirnya Islam berkembang di Mempawah.
2.
Perkembangan Islam di Mempawah
Karena
kemasyhuran Habib Husein al-Qadrie ini tentang ilmu agama, banyak orang yang
dari seluruh penjuru negeri ini pergi untuk berguru ke Mempawah. Mempawah pada
saat itu menjadi center pembelajaran menimba ilmu agama Islam denagn
berguru kepada Habib Husein Al-Qadri ini, banyak orang yang berguru menimba
ilmu agama Islam di Mempawah, samapai akhirnya Mempawah yang yang dahulu
bercorak Hindu menjadi bercorak Islam karena pengaruh yang besar dari kerajaan.
Kebesaran nama Habib Husein (Tuan
Besar Mempawah) tersebar luas hingga ke Asia Tenggara ia merupakan penganut
madzhab Syafii. Ia juga suka dengan ilmu tasawuf. Amalan tasawuf yang sering
dilakukannya adalah Ratib Al-Haddad dan tarikat Qadariah. Ketika menjadi mufti
Mempawah, yang diajarkannya kepada masyarakat umum lebih berupa amalan dan
bercorak membeir keterangan (syarah).
Islam
pada masa itu menganut madzhab Syafii, dan beliau juga mengajarkan tarekat
kadiriah akan tetapi beliau mengajarkan terakat tersebut hanya kepada orang
yang beliau rasa cukup memahami agama dengan kuat seperti Opu Daeng Manambon
pun mengikuti tarekat tersebut, untuk ajaran yang diajrkan ke masyarakat beliau
member pemahaman dasar tentang hukum Islam, agar nanti masyarakat tidak terlalu
mngeluh dengan agama barunya ini.
Perkembnagan Islam di Mempwah sampai meluas dan merata
dipelosok-pelosok baik di Mempawah hulu maupun hilir, masyarakat dikenal
denagan ketaatan Islamnya. Sampai-sampai mempawah dijuluki kota Islam tertua di
Kalbar. Selain masyarakt mengamalkan Islam, masyarakatpun menjunjung
nilai-nilai Islam, keadaan saat itu nyaman, ramah dan tentram karena masyarakat
sangat menjunjung nilai-nilai Islam, bila ada masalah, mereka menyerahkan
kepada Habib Husein al-Qadri, dan semua keputusan dari Habib mereka taati,
disinilah letak berkembangnya Islam di Mempawah karena pengaruh ajaran dari
Habib Huaein al-Qadri, sampai beliau wafat pada tahun 3 Dzulhijjah 1184 M. dan
beliau berpesan yang brehak menggantikan beliau adalah syeh Ali bin Faqih
Al-Fatani ulama asal Fatani Thailan Selatan.
3.
peradaban dan kemajuan yang
dicapai
Berangkat
dari perkembangan Islam di Mempawah, peradaban Islam meliputi pertama adalah
symbol nama kerajaan yaitu AMANTUBILLAH,sebuah ide yang bercorakkan Islam
terhadap nama kerajaan, selain itupula sekitar 100 meter dari kerajaan dibangun
pula mesjid Jami’ sebagai tempat sentral keagamaan setra bermusyawarah terhadap
persoalan agama.
Di
Mempawah juga ada sebuah peradaban yang mana dahulu Mempawah dikenal dengan
agama Hindu dan dari kerajaan dayak akan tetapi setelah masuknya Islam Hindu
berubah menjadi Islam yang sangat taat akibat pengaruh dari Opu Daeng Manambon
serta kawinnya anak dari raja senggaok. Akibat dari pengaruh Islam dan
banyaknya pendatang dari etnik melayu akhirnya sampai sekarang yang berkembang
di Mempawah adalah suku Melayu Mempawah.
Selain
itu pula di Mempawah ada kemajuan Islam yang dicapai, yaitu berdirinya
pesantren madrasatunnajah Wal Fatah yang terletak di Sui Bakau Besar Mempawah
yang didirikan pada tahun 1918 Masehi. Pada masa itu madrasah ini telah menjadi
madrah tertua di Kalimantan Barat.
Selain
itu Mempawah dikenal dengan masjid Jamiatul Khair, masjid ini selalu mengikuti
perkembangan zaman masjid ini didirikan oleh Gusti Amir, yang unik dari masjid
ini adalah soal kepengurusannya, sejak awal ditata dengan komposisi: 20 orang
jumlah pengurus melambang 20 sifat Allah SWT, pengurus inti ada 6 orang melambangkan
rukun iman, kemudian ada 5 bidang melambangkan rukun Islam 13 personalia
pembantu sidang melambangkan rukun shalat, dengan penyusunan yang demikian
masjid Jami’ ini terus menyiarkan agama Islam sampai ke Sambas.
Peradaban
dan kemajuan yang dicapai selain bangunan bersejarah ialah setelah wafatnya
Habib husein Al-Qadri dan penggantinya Syekh Ali Bin Fakih Al-Fatani yang mana
pengetahuan agama beliau sangat lengkap karena beliaupun berguru dimekkah.
Beliau mengajarkan Ilmu tentang Fiqih bermadzhab Syafii, dibidanga akidah
mengikutu ahli sunnah wal-jamaah, serta tasawufnya mengikuti ulama-ulama sufi.
Sejak
kedatangan ulama tersebut berkembanglah Barzanji, Nazham, Burdah dan
sejenisnya, dan setiap malam jum’at ditempat upacara resmi sering mendengungkan
lagu-lagu zikir sebagai bentuk untuk memperoleh pahala, bukan dipandang sebagai
kesenian dan kebudayaan.
Berbeda
dengan terekat yang sering diamalkan syeikh Ali adalah terekat Syatariyah dan
tarekat Naqsyabandiyah , Habib Husein Al-Qadri mengamalkan terekat Qadariyah.
Selain Syeikh Ali Bin Faqih Al-Fatani ada ulama yang mengahasilkan
katya, Haji Sulaiman adalah seorang ulma. Diantara karyanya yang telah ditemui ialah
Sullamush Shu’ud Ila Hadhrati Zainil Wujud.
kitab tersebut diselesaikan pada malam jum’at, 27 Jumadilakhir 1298 H.
beliau bermukim dikampung Kuala Secapah Mempawah, dan berisikan tentang doa
kepada Nabi Muhammad, shalawat kepada Nabi Muhammad, Shalat Tarawih dan masih
banyak yang lain. Selain itu ulama yang berasal dari Mempawah bernama Abdurr
Rasyid bin Hasan penyusun risalah ikstisharul Muhtadi fi Ahkamit Tajwid,
yang diselesaikan hari selasa, 15 Zulkaedah 1353 H. kandungan membicarakan ilmu
tajwid. Cetakan yang pertama dicetak oleh Mathba’ah al- Masawi, 14 Ulu
Palembang.
Tariqat
Syaziliyah juga pernah diamalkan oelh ulama yang berasala dari Mempawah, beliau
ialah Umar Ibnu U’u Maju’ yang
menghasilakan karya berjudul Salasilah dan amalan thariqat Ayaziliyah
Adapun
pengajian pondok selain itu ialah Daral Ulum yang diasaskan oleh Abdurrahman
bin husein al-Kalantani, murit Tok Kenali, pengajian pondok beliau terletak di
Kampung Terusan, Mempawah. Hanya pondok pengajian inilah satu-satunya pondok
pengajian tanpa kelasa dan tanpa bangku, system pendidikannya sama dengan di
Patani, Kelantan, Kedah dan Pulau Jawa, dalam tahun 1975, beberapa orang kader
Pondok Pesantren Saigoniyah dan Dar al-‘Ulum bergabung, sama-sama mengajar
di Pondok Pesantren Al-Fathanah di Kuala
Mempawah. Oleh karena itu berarti kelanjutan dari pada kedua-dua institusi yang
tesebut, masih berjalan terus sampai sekarang. Kader-kader Pondok Pesantren
Saigoniyah banyak mengeluarkan kader-kader yang mengajar dibeberapa tempat di
Kalimantan Barat tetapi sekarang hampir semuanya telah meninggal dunia dan nama
pondok pesantern pun punah karena akibat perang dunia ke dua, muncul ditahun
1977 Madrasah Al-Irsyad. Nama baru ini diberikan bertujuan mengabdikan nama
Seikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan nama keturunan beliau. Yaitu Muhammad
Arsyad. Beliau satu-satunya ulama yang dihormati di Kampung Saigon ketika itu.
Adapun Mufti Kerajaan
Mempawah yang terakhir adalah Abdurrahman dan karyanya adalah Quwaninul
Mubbtadi fil Fiqih yang diselesaikan pada 22 Dzulhijjah 1353 H, kitab ini
membicarakan tentang soal Tanya jawab Fiqih, dan dicetak oleh Matba’ah Manasawi
Palembang.
C.
SEJARAH PERADABAN ISLAM
DI KERAJAAN SAMBAS.
1.
Sejarah dan Perkembangan
Kerajaan Sambas
Kerajaan Islam Sambas
terletak dibagian utara Provinsi Kalimantan Barat ini didirika secara damai
oleh Raden Sulaiman (1009-1081 H/1606-1670 M) putra Raja Tengah dan merupakan
kelanjutan dari kerajaan Hindu Ratu Sepudak, yaitu kerajaan “Smbas Tua” yang
terletak di kota lama sekutu Kejaan ini berada dibawah kerajaan Koloni kerajaan
Johor, sebuah kerajaan Melayu di Semanjung Melaka sebelumnya Raden Sulaiman
adalah patih/ “menteri” di bidang keamanan dan pertahanan Ratu anom Kesukma
Yhuda dan sekaligus adik ipar dari Sepudak itu.
Memperhatikan
berbagai data sejarah dapat dikemukakan ternyata didalam diri Raden Sulaiman
mengalir darah bangsawan dan negarawan. Dari pihak ayah ia memiliki keturunan
dengan Kesultanan Brunai. Ayah Raden Sulaiman bernama Raja Tengah tidak lain
adalah putra keduasulan Brunai Darussalam Sultan Hasan (1582-1602).
Dengan
demikian dari pihak ayahnya pendiri kesultanan Sambas ini sangat dekat
kekerabatannya dengan pihak kesultanan yang berada dibagian utara pulau
Kalimantan. Dari pihak ibunya Raden Sulaiman memiliki hubungan darah dengan
Raja Matan Sukadana. Ibunya adalah ratu surya dan merupakan adik Sultan Matan
Sukadana yang bernama penembahan giri Mustika bergelar Muhammmad Shafiyud-din
(artinya “Muhammad yang beragama murni”) dengan demikian penguasa kesultanan
Sambas memiliki jaringan politik kekerabatan dengan beberapa kekerajaan besar
Melayu yang ada pada waktu itu.
Setelah
resmi mejadi kesultanan Sambas pada senin 10 Dzulhijjah 1040 H Raden Sulaiman
menggunakan gelar kebesaran yaitu Sultan Muhammas Syafiyud-din mengikuti
gelar pamannya (kakak ibunya) penembahan Giri Mustika yang memerintah di Matan
Sukadana.
Sepanjang
perjalanan sejarahnya Sambas memiliki lima tempat atau kota bersejarah sebagai
tonggak awal kelahirannya sehingga akhirnya menjadi sebuah kesultanan besar.
Tempat atau kota ini adalah:
1.
Kota bangun (muare tambangun),
merupakan tempat pertama kalinya Raja Tengah ayah Raden Sulaiman singgah dan
kemudian membangun perkembangan di Sambas. Ditempat inipula Ratu Anom Kesukma
Yudha menyerahkan tahta kerajaan Sambas tua secara damai dan suka rela kepada
Raden Sulaiman Sultan Sambas yang pertama.
2.
Kota Lama, merupakan ibu kota
atau pusat pemerintahan kerajaan Sambas tua yang masih menganut agama Hindu
yaitu kerajaan Ratu Sepudak yang terletak di Sekura
3.
Kota Bandir, daerah hulu Sungai Subah yang
merupakan tempat Raden Sulaiman mengasingkan diri setelah meninggalkan kerajaan
Sepudak dan juga selama tiga tahun menjadi pusat pemerintahan tradisional
kerajaan Sambas yang dinamakan oele Ratu Sepudak kepada Raden Sulaiman.
4.
Lubuk Madung, daerah disamping
sungai Terberau, merupakan ibu kota pertama kesultanan Sambas dan disinilah
Raden sulaiman ditabalkan menjadi raja dengan gelara Muhammad Syafiuddin.
5.
Muare Ulakkan, tempat dijadikannya pusat
pemerintahan kesultanan Sambas sejak masa kekuasaan raden Bima bin Raden
Sulaiman dan masih dapat disaksikan samapi saat ini.
Sejak berdirinya kesultanan sambas terjadi proses penegembanga agama
Islam secara damai disana. Pada awal abad ke 19 penguasa ke 8 bernama Raden
Pasu bin Raden Jamak ( Murohum Anom) bergelar Sultan Muhammad Shyafiuddin 1
(memerintah 1813-1826 M) mulai membangun secara resmi lembaga keagamaan Islam
di istana Sambas. Diantara yang dilakukannya adalah melantik Haji Nurdin
Mustafa sebagai Imam kesultanan. Tugas imam adalah setiap hari datang ke istana
untuk memebrikan pelajaran agama kepada para kerabat kesultanan terutama
mengaji Al-Quran dan pelaksanaan sembahyang. Dengan demikian dapat ditegaskan
bahawa Islam betul-betul kokoh masuk kedalam sendi pemerintahan di Kesultanan
Sambas adalah awal abad ke-8 yaitu pada masa pemerintahan Raden Pasu.
2.
Perkembangan kerajaan Sambas
Pada masa inilah Sambas
melahirkan seorang cikal-bakal ulama besar dibidang tarikat yaitu Ahmad Khatib bin abdul Ghaffar s-Sambasi al-
Jawi (180218750, yang kemudian menjadi syeikh mursyid kamil mukamil
(guru pembimbing utama ) di mekkah.
Sekitar
setengah abad kemudian penguasa Sambas ke 13 bernama Raden Arifin (muruhum
cianjur) bin Muruhum Tajuddin bergelar pengeran adipati atau Sultan Muhammad
Shafiyuddin 11 (memerintah1866-1922) mendirikan masjid didepan istana pada
tahun1872. Kemudian mendirikan Madrasah perguruan Islam As-Shultaniyah
tahun 1992.
Bersamaan
dengan masa didirikannya masjid istana tahun 1872 dibentuklah suatu lembaga
keagamaan kesultanan yang menangani masalah hukum dan utusan agama Islam.
Lembaga ini dijabat oleh seorang ulama yang disebut Maharaja Imam (Hakim dan
kepala urusan agama Islam).
Pada
masa H. Muhammad Imran Putera H. Muhammad Arif mejabat sebagai Maharaja Imam,
ia menyaksikan suatu perkembangan dan kemajuan masyarakat yang cukup pesat di
Sambas baik karena kemakmuran kerajaan merupakan karena perkembangan dan
kemajuan zaman. Disadarinya bahwa hal itu akan menimbulkan tututan dan
tantangan yang semakin besar dan semakin tinggi. Lebih-lebih lagi penjajah
Belanda terus menerus mengadakan proses pembaratan(westernisasi) kepada
penguasa dan masyarakat Sambas dengan dampak negative yang ditimbulkannya yaitu
pola hidup semakin jauh dari agama bahkan pemurtadan dari Islam.
Bertolak dari kenaytaan tersebut H. Muhammad
Imran berkesimpulan bahwa Sambas memerlukan orang-orang yang betul-betul
menguasai ilmu keagamaan serta memiliki wawasan yang luas guna dapat mejawab
dan menghadapi perkembangan, tuntutan dan tatangan tersebut. Maharaja Imam
Sambas H, Muhammad Imran berkeinginan agar Sambas kembali melahirkan ulama
besar, untuk mewujudkan keinginan tersebut tidak ada jalan lain kecuali
mengirimkan putera-putera terbaik Sambas untuk belajar ilmu kepusat-pusat
keilmuan dan kemajuan didunia Isalam. Keinginan inipun dimusyawarahkan, dan
ibarat “gayung bersanbur” niat ini mendapat dukungan penuh dari Sultan Sambas.
Sekitar tahun 1901 Maharaja Imam Sambas yang kedua ini mengirim puterenya
Muhammad Basyuni (1885-1976) ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji yang
dilanjutkannya belajar disana selama lima tahun.
Pada
tahun 1910 H. Muhammad Imran kembali memberangkatkan dua puteranya H. Muhammad
Basyuni dan Muhammad Fauzi bersama-sama dengan Ahmad Su’ud ke Cairo Mesir untuk
setudi ke Universitas Al-Azhar H. Muhammad Basyuni berkesempatan studi di Cairo
selama empat tahun. Beliau pulang ke Sambas pada tahun 1913 karena ayahnya
sakit dan kemudian wafat. Pristiwa inipun menakdirkan H. Muhammad Basyuni
diangkat sebagai Maharaja Imam Sambas menggantikan kedudukan ayahnya, sejak itu
ia tidak belajar secara formal yang belum selesai dijalaninya, pengembangan
ilmu selanjutnya dilakukannya dengan banuyak membaca dan menulis
Tampilnya Maharaja Imam Sambas H. Muhammad Basyuni Imran sebagai
tokoh Islam di kerajaan pantai utara Kalimantan Barat menempatkan Sambas
sebagai bagian dari pusat-pusat Islam yang berperan besar dalam membangun
Nusantara Baru dan sekaligus mempersiapkan kualitas mental dan spiritual
masyarakat sambas untuk menyongsong dan membangun Indonesia merdeka.
3.
Sejarah masuknya dan
perkembangan Islam di kerajaan sambas
a.
Sejarah masuknya Islam di
Kerajaan Sambas
Proses
masuknya agama Islam dikalimantan Barat diawali dengan melalui aliran Sungai
Samabas, kemudian menyebar ke Singkawang, Mempawah dan Pontianak dengan
menyusuri Sungai Kapuas. Selanjutnya penyebaran dilakukan dengan melalui Landak
masuk ke daerah Tayan, Sintang dan Naga Pinoh. Dari daerah Sintang menyusuri
sungai Kapuas sampai Putussibau. Penyebaran ini berlangsung sekitar tahun
1550-1800 M.
b. Perkembangan Islam di kerajaan sambas
Sejak
berdirinya Kesultanan Sambas terjadi proses pengembangan agama Islam secara
damai disana. Pada awal abad ke 19 penguasa ke 8 bernama Raden Pasu bin Raden
Jamak (murohum Anom) bergelar Sultan Muhammad Shafiyuddin 1 (memrintah
1813-1286M) mulai membangun secara resmi Lembaga Keagamaan Islam di Istana
sambas. Diantara yang dilakukannya adalah melantik Haji Narudin Mustafa sebagai
Imam Kesulatanan. Tugas Imam adalah setiap hari datang ke Istana untuk
memberikan pelajaran agam kepada para kerabat kesultanan, terutama mengaji
Al-Quran dan pelaksanaan sembahyang. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa
Islam betul-betul kokoh masuk kedalam pemerintahhan di Kesultanan Sambas adalah
awal abad ke-8 yaitu pada masa pemerintahan Raden pasu.
4.
Kemajuan-kemajuan kerajaan
sambas
a.
Faktor dari kemajuan kerajaan
Sambas
Selain
itu dapat pula disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor utama yang berperan dalam memajukan
masyarakat dan kesultanan Sambas. Diantara pertama, kesejahteraan dan
kemakmuran sosial ekonomi kesultanan Sambas, kedua,semangat keilmuan dibidang
agama yang dipelopori langsung oleh Sultan dan ulama, semangat ini merupakan
“gayur bersambut” terhadap gelombang reformasi yang muncul di Timur Tengah, dan
ketiga, jaringan politik dan sosial yang kuat dengan kerajaan-kerajaan yang
lain. Keempat; modernisai yang dibawa dan diperkenalkan oleh penjajah terutama
Beland.
1. Perjalanan Kota Sambas
Daerah
Sambas pertama kali dibangun oleh Raja Tengah sekitar tahun1620 Masehi. Dan
Raja Tengah adalah anak keturunan Brunei Darussalam. Kemudian pada tanggal 10
dzulhijjah 1040 H. (sekitar tahun 1630 M). Raden Sulaiman dinobatkan sebagai
Sultan Sambas yang pertama digelar Sultan Muhammad Tsfuddin. Sejak itulah
berdiringya kesultanan Sambas yang pertama.
Sejak
tanggal 15 Juni 1999 kota Sambas telah kembali bangkit menjadi ibukota
Kabupaten Sambas. Sebelumnya kota Sambas
hanya menjadi ibukota Kecamatan, salah satu kecamatan dalam Kabupaten Daerah
Tingkat II Sambas yang beribukota di Singkawang (sejak tahun 1957-1999).
Kalau
kita lihat kebelakang, sejarah kesultanan Sambas, adalah sebuah kerajaan kesultanan
besar di Kalimantan maupun dinusantara Indonesia. Kesultanan Sambas terkenal besar sejak sultan Sambas yang
pertama Sultan Muhammmad Syafiuddin I (1631-1668.) kejayaan kesultanan Sambas
telah membesarkan nama negri Sambas, sampai pada Sultan Sambas ke 15 yaitu
Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Safiuddin (1931-1943). Kerajaan Sambas sirna
ketika Sultan ke 15 ini wafat karena ditangkap dan dibunuh oleh tentara
pendudukam Jepang tahun 1943. Kerajaan Fcisme jepang meruntuhkan kejayaan
Sambas.
Nama
dan kejayaan Sambas sesungguhnya tidak hanya dimulai daru Sultan Muhammad
Syafiuddin I (1631-1668). Sejak abad ke-13 Masehi sudah ada kekuasaan raja-raja
Sambas. Bermula dari kedatangan prajurit majapahit di Paloh. Kemnudiann pusat
kerajaan Sambas berpindah ke kota lama di Teluk keramat. Dari kota lama
berpindah ke kota bangun di Sungai Sambas Besar. Dari kota bangun pindah lagi
ke kota Bandir dan kemudian pindah lagi ke Lubuk Madung. Konon menurut cerita.
RombonganRaden Sulaiman pernah singgah
di Tebas. Mereka sempat menebas daerah iniu tetapi kemudian ditinggalkan.
Dinamakanlah daerah itu Tebas.
Barulah
pada masa Sultan Sambas ke-2 yaitu Raden Bima gelar Sultan Muhammad Tajuddin
(1668-1708) pusat Kesultanan Sambas dibangun di Muara Ulakan, dipertemuan tiga
sungai yaitu Sungai Sambas Kecil, sungai Subah dan sungai Tabura. Sejak tahun
1668 kota sambas itu Meliputi daerah Pemangkat, singkawang dan daerah sambas
sendiri, yang kaya akan emas.
Sejak
jaman penduduk Jepang dan NICA (1942-1950),integritas kerajaan Samabas telah
sirna karena terlibat dengan pergolakan perang dunia II. Ketika daerah Samabas
atau Kalimantan Barat kembali bernaung dibawah Negara ke-Sultanan Republik
Indonesia pada tahun 1950, dan dibentuknya pemerintahan administrative
Kabupaten Sambas rakyat Sambas sesungguhnya menuntut agar Sambas tetap menjadi
Ibu kota Kabupaten Sambas. Keinginan rakyat Smbas ini adalah sebagai upaya
melanjutkan kembali kejayaan negri Sambas sejak pemerintahan pada Ultan Sambas
dari tahun 1631-1943.
Pada
akhirnya, keinginan rakyat menjadikan kota sambas sebagai ibu kota Kabupaten
Sambas terwujud juga sejak tanggal 15 Juli 1999. Pemerintahan Kabupaten Sambas
berkedudukan di kota Sambas, yang telah sirna sejak tahun 1943-1999, lima puluh
tahun kemudian.
2. Purba sejarah sambas
Riwayat
kerajaan Sambas dan para Sultan Sambas berdasarkan catatan tertulis dan benda
peninggalan secara jelas dimulai pada awal berdirinya Kesultana Islam Sambas
pada awal abad ke-17. Sumber tertulis utama tentang Kesultanan Sambas, adalah
tulisan Sultan Muhammad Safiuddin Sambas II berjudul “silsilah raja-raja
Sambas” yang tertulis sendiri oleh Sultan Sambas ke-13 itu pada bulan Desember
1903. Sumber tertulis utama dari Negara Brunei Darussalam adalah kitab
“silsilah raja-raja Berunei” seumber sejarah kesultana Sambas berkaitan dengan
kerajaan Berunei telah diterbitkan dalam tiga buah buku oleh Pusat sejarah
Berunei. Ketiga buku tersebut adalah:
“tarsilah
Brunai, sejarah awal dan perkembangan Islam” (tahun 1990)
“raja Tengah,
sultan serawak Pertama dan Terakhir” (tahun 1995).
“tarsilah Brunai,
Zaman kegemilangan dan kemashuran “tahun (1997)
Di
dalam sejarah Raja-Raja Brunai maupun silsilah Raja-Raja Sambas, riwayat
kesultanan Sambas dijelaskan mulai masa Raja Tengah, raja serawak yang selama
40 tahun berada di Sukadana dan Sambas (1600-1641). Raden sulaiman adalah putra
Raja Tenagh dari perkawinan Raja Tengah dengan putri Surya Kusuma. Putri Sultan
Matan/Sukadana, Sulatan Muhammad Syafiuddin. Kemudian Raden Sulaiman adalah
Sultan Sambas pertama: 1631-1668. Namun sejarah Sambas sudah bermula jauh
sebelum Raden Sulaiman berkuasa. Walaupun tidak didapatkan catatan tertulis
tentang purba sejarah Sambas, dari catatan kerajaan Majapahit dan kronik-kronik
Kaisar Cina, disebutkan bahwa Sambas sudah ada sejajar dengan kerajaan-kerajaan
di Kalimantan, Jawa, Sumatera, Malaka dan Brunai serta Kekaisaran Cina pada
abad ke 13 dan ke 14.
Masa
purba sejarah Sambas dan Kalimantan masih diliputi kabut ketidak pastian karena
tidak banyak data dan informasi yang diperoleh, namun daerah bagian Kalimantan
telah banyak dikenal oleh para pelancong dan pedagang asing dari Cina, Indina
dan Arab sejakabad ke-10.
Dan
pada akhirnya kerajaan Sambas terbentuklah, dan kota sambas menjadi pusat
perdagangan para kaumnya. Kemudian letak geografia pelabuhan Sambas yang
strategia yaitu berdekatan dengan Malaka, Selat Malaka, Laut Cina Selatan. Dan
singapura sebagai basis perdagangan internasional sangat menguntungkan proses
perkembangan kota. Sehingga munculnya pelayaran maritime dan sungai fasilitas
untuk menyelenggarakan transformasi dan komunikasi telah mendorong semakin
ramainya perdagangan kawasan ini. Kegiatan ekspor impor semakin meningkat.
Melihat keuntungan yang biasa diperoleh, bahwasanya pemerintah Belanda berniat
untuk memperbaiki pelabuhan ini dan diberi fasilitas sehingga kapal KMP (Kongsi
Pelayaran Belanda) maupun dari kapal asing dapat berlabuh.
Pengaruh
lebih jauh lagi, seperti yang ditunjukkan oleh Panji Anom, adalah semakin
dengan tingginya tingkat kesejahteraan dan kemakmuran negeri Sambas. Sambas
menjadi sebuah kesultanan yang maju dan berkembang dengan raminya pelabuhan
yang dilalui.
Kemakmuran
kesultanan Sambas sebagai hasil perdagangan Internasional memberikan kesempatan
kepada rakyat dari kesultanan paling utara Kalimantan Barat untuk melakukan
perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di timur tengah terutama di
kota Mekah.
Di
sisi lain, kemajuan kesultanan dan interaksi perekonomian yang ia lakukan telah
menarik masuk dan bermukimnya para pedagang dari wilayah-wilayah tetangganya
dan bangsa asing. Sudah sejak lama sultan dan rakyat sangat terbuka dan
menyambut baik siapa saja yang datang ke daerah ini. Misalnya, kebijakan
pemerintahan kesultanan. Kesultanan Sultan Abu Bakar Tajuddin 1 (berkuasa
1793-1825) yang telah menyediakan tempat khusus para pendatang untuk kediaman
orang dari Siak Sri Indapura, Riau disediakan suatu tempat yang diberi nama
kampung Tanjung Rengas: sedangkan pendatang dari Sulawesi disediakan tempat
yang dinamakan Kampung Bugis.
Sifat
terbuka yang menjadi ciri khas masyarakat pantai seperti ini tidak hanya
menyangkut dari latar belakang suku, tetapi juga terbuka terhadap masuknya
berbagai agama atau kepercayaan lain. Dalam pribahasa Melayu “kecil telapak
tangan, nyiru kami tadahkan”. Sebagai sebuah kesultanan Islam, tata
pemerintahan dan kemasyarakatan di jalankan menurut ajaran Islam dengan tetap
mempertahankan adat istiadat dalam
masalah hukum pidana perdata misalnya, kesultanan Sambas membentuk
lembaga pengadilan.
Kesultanan
Sambas menggunakan kitab Kanun sebagai undang-undang untuk mengatur kehidupan
seperti masalah tanah, warisan, perkawinan dan sebagainya. Perbedaan yang
mendasar dari tata pemerintahan kesultanan Sambas sebelum dan setelah mendapat pengaruh Islam antara lain dapat dilihat dari
undang-undang yang dipakai adalah adat istiadat. Sedangkan setelah masuknya
pengaruh Islam perundang-undangannyatelah mengacuh kepada kitab kanun. Dan
kitab nanun ini berisi hukum Islam dan hukum adat yang telah dipadukan.
Pembaruan
antar budaya dan ajaran Islam terjadi sangat interns. Antara adat dan agama
tumbuh dan berkembang secara berdampinagan. Di Kesultanan ini, setiap acara ada
adatnya tersendiri. Mulai dari bertani, mendirikan rumah, perkawinan,
kelahiran, kemalangan sampai kematian. Bahkan seni pertunjukkan seperti Jepin
yang hampir dimiliki oleh semua semua Melayu pesisir, yang dipandang sebagai
dakwah Islam.
Coba kita telusuri jauh kebelakang, proses Islamisasi ini
telah berlangsung sejak kedatangan Raja Tengah ke daerah ini sekitar tahun 1620
M. proses pembaruan keturunan Raja Tengah antar lain dalam bentuk perkawinan
silang dengan wanita-wanita kesultanan tetangganya seperti Sukadana,Mempawah
dan lain-lain, maupun dengan wanita-wanita setempat. Dengan pembentukan
keluarga muslim ini, maka komunitas-komunitas Islam pun tercipta. Cirri
pendidikan dalam Islam yang popular adalah ” mengaji”.
Paling
tidak, sejak pemerintahan Sultan Sambas yang ke II. Muhammad Tjajuddin II
(1666-1702), prakter pendidikan Islam dipusatkan di masjid sebagai tempat
memperdalam ilmu agama yang mulai berkembang. Pada masa pemerintahan Sultan
Akamuddin I (1702-1727) telah dibangun masjid baru yang diberinama
“Kamasllaita”. Pada masa pemerintahannya diperkirakan telah datang seorang
ulama besar dari Patani Thailand Selatan
yang bernama Syakh Abd Al- Jalil al- Fatani dan mengajar Islam di Sambas.
Momentum
kedatangan para ulama seperti inilah telah merangsang terciptanya tahapan baru
praktek pendidikan di masyarakat. Pendidikan utama yakni dalam keluarga yang
subjek utamanya pada kemampuan membaca al-quran yang diperluas dengan
penguasaan subjek-subjek lain seprti
bahasa arab, fiqih, sampai dengan ajaran tasawuf proses transmisi keilmuan ini
biasanya terjadi karena motivasi keagman pada orang tua, lalu mengirimkan anak
dan pemuda untuk memperdalam ilmu tersebut. Setelah menyelaikan pelajaran,
mereka kembali ketanah kelahiran mereka masing-masing. dan meneruskan ilmu,
sekalian mensosialisasikan ajaran-ajaran yang telah ia ketahui yang diperoleh
dari lingungan dan masyarakat.
Pada
masa kesultanan Akamuddin II (1762-1768), penyebaran agama Islam semain
ditingkatkan. Dan pada era inilah Sultan memiliki pejabat kesultanan yang
bernama Imam Ya’kub. Ia ditugaskan untuk membina semua keluarga kesultanan.
Kebijakan mengangkat pejabat agama dilingkungan kesultanan tampaknya merupakan
cikal bakal upaya memformalisasikan dan mengadministrasikan hukum Islamiyah
diwilayah keultanan.
Dalam
mengupayakan administrasi hukum Islam secara kongkrit baru terwujud sepeempat
abad kemudian ketika sultan Muhammad ali Tsayfuddin berkuasa (1813-1826). Ia
mulai membangun institusi keagamaan dalam Islam diistana dengan melantik H
Nurdudin Mustafa sebagai Imam kesultanan Sambas. Tugas imam adalah menangani
banyak hal yang berkaitan dengan persoalan keagamaan, disamping ini memberikan
pelajaran agama di Istana. Keluarna Nurudin ini yang belakangan diketahui
melahirkan ulama-ulama besar Sambas pada pergantian XIX dan XX seperti H.
Muhammad arif (Maharaja Imam Pertama) dan Muhammad Imran (Maharaja Imam ke II)
Muhammad Basiuni Imran (Maharaja Imam ketiga) dan mereka semua pernah belajar
ilmu yang telah diajarkan.
Di
bawah otoritas keagamaan tokoh-tokoh ulama ini, pendidikan Islam menemukan
momentum yang paling penting/ kondisif mereka berupaya mensosialisasikan
penyelenggaraan pendidikan Islam dalam bentuk institusi. Pada tahun 1866
berdirilah sebuah “madrasah al-sultaniyah” yang langsung diresmikan oleh Sultan
Sambas yakni “Muhammad Tsafiudin II (1866-1922). Dalam pendidikan Islam
tersebut pada penghujung abad XIX dan XX. Tetapi hal ini terpaksa dilakukan.
a.
Pembaharuan pendidikan Islam di
Sambas
b.
Untuk mengetahui dalam
penempatan fase dan pola pendidika Islam
Dengan demikian memang nyata bahwa
peradaban Islam yang dibangun kerajaan Samabas tempo dahulu selalu diawali
dengan upaya pembelajaran pada lingkungan istana kesultanan kemudian belakangan
diikuti pula kalangan bawah, yakni seluruh masyarakat.
D.
SEJARAH PERADABAN ISLAM
DIKETAPANG
1.
Sejarah Peradaban Islam di
Ketapang
Jika menurut
sejarahnya, kerajaan Matan yang sekarang beda di Ketapang, Kalimantan Barat,
merupakan bagian dari jajaran kerajaan melayu yang terdapat di Pulau
Kalimantan. Sejarah dan asal-usul Kerajaan Matan sendiri cukup rumit karena
kerajaan ini merupakan kelanjutan riwayat dari Kerajaan Tanjungpura yang
kemudian melahirkan dua kerajaan turunan, yaitu Kerajaan Sukadana dan Kerajaan
Matan. Oleh karena dilanda konflik internal yang berujung pada perebutan
kekuasaan, Kerajaan Matan kemudian terbagi menjadi dua, yakni kerajaan
Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan. Disisi lain, Kerajaan Sukadana,
sebagai penerus pertama Kerajaan Tanjungpura, masih tetap eksis disamping
geliat dua kerajaan pecahan Kerajaan Matan tersebut. Kerajaan Tanjungpura sendiri
pada awalnya merupakan kerajaan yang didirikan oleh Barawijaya yang berasal
dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Pada masa Brawijaya, Kerajaan Tanjungpura
sempat menjadi kerajaan besar pada zaman Hindu-Buda di bumi Borneo.
Kerajaan
Tanjungpura mengalami masa keemasan pada sekitar abad ke-14. Kerajaan ini
adalah kerajaan tertua di Tanah Kayong. Nama Tanah Kayong digunakan untuk
menyebut Ketapang yang terkenal sebagai tanah asal orang yang-orang sakit. Dari
riwayat sejarah Kerajaan Tanjungpura inilah asal-usul peradaban Kerajaan Matan
tutur tergurat. Sumber yang menyatakan tentang keberadaan Karajaan Tanjungpura
dapat dibaca dalam Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca pada masa Kertanegara
(1268-1292) dari Singosari dan pada masa Kerajaan Majapahit dengan Sumpah
Palapa Patih Mangkubumi Gajah Mada.
Ibukota
Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari suatu tempat
ketempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjun gpura berpindah ibukota
adalan terutama karena serangan dari kawanan perampok (bajak laut) atau dikenal
sebagai “Lanon”. Konon. Dimasa itu sepakterjang gerombolan “lanon” sangat kejam
dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan
adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan
lain. Sering berpindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya
situs sejarah yang ditemukan dibekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut.
Negara
Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat
pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negri Baru, ibukota Kerajaan
Tanjungpura berpindah kesukadana. Pada masa pemenrintahan Sultan Muhammad
Zainuddin (1665-1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di
daerah Sungai Matan. Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang
penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati
sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan
Tanjungpura. Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada
1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat ditepian
Sungai Punye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke
Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta
dimana Keraton Muhammad Sunan sekarang berdiri.
Nama Matan sendiri mulai digunakan pada era pemerintahan Sultan
Muahammad Zainuddin yang merupakan raja pertama Kerajaan Matan. Sultan Muhammad
Zainuddin, yang memiliki nama kecil Gsuti Jakar Negara, adalah putra sulung
dari Raja Sukadana yang terakhir, yaitu Gusti Kesuma Matan alias Gusti Mustika
(1622-1665) yang juga memiliki dua anak lainnya, yakni Pangeran Agung dan Indra
Mirupa atau Indra Kesuma. Gusti Mustika sendiri merupakan Raja Matan pertama
yang menggunakan gelar sultan, gelar raja yang berciri Islam, dan menyandang
gelar Sultan Muhammad Syaifuddin. Agama Islam sendiri sudah masuk ke Kalimantan
sejak permulaan Tahun 1550 yang dibawa kaum pedagang Arab dari Palembang.
Pada
akhir pemerintahan Kerajaan Sukadana dibawah rezim Sultan Muhammad Syafiuddin,
terjadi peperangan yang dikenal sebagai perang Sanggau. Selain itu, pada 1622
Kerajaan sukadana juga mendapat serangan dari kerajaan Mataram Islam yang
dipimpin oleh Sultan Agung. Tidak hanya itu, gangguan dari gerombolan bajak
laut disepanjang perairan pantai dan selat Karimata pun semakin menjela.
Kekacauan demi kekacauan inilah yang kemudian berakibat pada runtuhnya Kerajaan
sukadana. Agar tetap bertahan. Maka pusat Kerajaan Matan dipindah kewilayah
yang kemudian dikenal sebagai tempat berdirinya Kerajaan Matan dibawah pimpinan
putra mahkota Gusti Jakar Negara atau sultan Muhammad Zainuddin.
Pemerintahan
perdana Kerajaan Matan pertama olehSultan Muhammad Zainuddin ternyata tidak
berjalan mulus. Ancaman justru datang dari Pangeran Agung yang berambisi untuk
menggulingkan tahta kakanya. Untuk mengatasi ancaman perpecahan ini. Sultan
Muhammad Zainuddin mendapat bantuan dari lima bersaudara asal Gugis yang datang
dari Simpang ke Matan. Lima bersaudara yang terkenal dengan sebutan Daeng Manambon ini tgerdiri
dari Opu Daeng Petani, Opu Daeng Manambon, Opu Daeng Naraweh, Opu Daeng
Kemasih, dan Opu Daeng Calak. Atas pertolongan dari Daeng Manambon bersaudra,
selamatlah tahta Sultan Muhammad Zainuddin dengan berhasil ditangkapnya
Pangeran Agung.
2. Fase Perkembangan Kerajaan Tanjungpura
Sejarah
sultan muhammd Zainuddin Lengser, pemerintah Kerajaan Matan diteruskan oelh
putranya yang bernama Gusti Kesuma Bandan dan bergelar Sultan Muhammad
Muazzuddin yang memerintah pada kurun 1724-1738. Sultan Muhammad Muazzuddin
memiliki tiga orang putra, yaitu Gusti Bendung, Gusti Irwan, dan Gusti Muhaamd
Ali. Ketika Sultan Muhammad Muazzuddin wafat, ditunuklah Gusti Bendung atau
atau Pengeran Ratu Agung sebagai penerus tahta Kerajaan Matan dengan Gelar
Sultan Muhammad Tajuddin (1738-1749). Sementara anak kedua Sultan Muhammad
Muazzuddin, yaitu Gusti Irwan, menjadi raja di Kayong (Muliakerta) dengan gelar
Sultan Mangkurat yang membawahi kerajaan Kayong Matan (sering pula disebut
sebagai kerajaan Tanjungpura II)
Pada
kurun berikutnya (1749-1762), pemerintahan Matan dipegang oleh anak tertua dari
Sultan Muhammad Tajuddin yaitu Sultan Ahmad Kamaluddin yang bernama asli Gusti Kencuran. Terakhir, tahta kuasa Kerajaan Matan diturunkan kepada
Gusti Asma yang bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin (1762-1819). Sultan inilah
yang menjadi raja pamungkas Dinasti Matan karena setelah itu pusat pemerintahan
dipindahkan ke wilayah bernama Simpang yang letaknya tidak seberapa jauh dari
Matan, dan nama kerajaannya pun berubah menjadi kerajaan Simpang atau sering
pula dikenal sebagai Kerajaan Simpang- Matan, karena kerajaan ini merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Matan.
Dengan demikian, terdapat dua kerajaan yang menyandang nama Matan,
yaitu kerajaan Simpang-Matan, dan bawah komando Sultan Muhammad Jamaluddin, dan
Kerajaan Kayong-Matan yang dipimpin oleh Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat.
Jika diurutkan, terdapat beberapa kerajaan yang merupakan keturunan dari
Kerajaan Tanjungpura, yaitu Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan, Kerajaan
Simpang-Matan, seta Kerajaan Kayong-Matan. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut
masih terjalin hubungan kekerabatan yang cukup erat kendati masih sering
terjadi pasang surut karena beberapan sebab perselisihan dan campur tangan
penjajah Belanda.
3. Wilayah Kekuasaan
Wilayah
Kerajaan Tanjungpura yang menurunkan Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan,
Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan, cukup sulit dipetakan dengan
pasti. Seperti yang telah dipaparkan di atas, pusat pemerintahan Kerajaan
Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan. Salah satu pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura adalah di
Negeri Baru (disebut juga benua lama). Menurut beberapa sejarawan, Kota Baru
terletak di Ketapang, Kalimantan Barat. Kerajaan Tanjungpura sering dikenal
juga dengan nama Bakulapura dengan Ibu Negerinya di Tanjungpuri. Dari Negeri
Baru, Ibu Kota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana hingga berdirinya
kerajaan baru bernama Kerajaan Sukadana. Kerajaan Sukadan telah merintis
perluasan kekuasaannya pada masa pemerintahan Panembahan Baroh (1548-1550)
hingga ke daerah pedalaman Sungai Melanu, yaitu sampai ke sebuah desa bernama
Desa Matan (sekarang bernama Desa Batu Barat) yang kini termasuk ke dalam
wilayah Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Pengembangan
wilayah kekuasaan ini adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang
telah masuk ke Sukadana. Perpindahan ini juga mampengaruhi arus perpindahan
penduduk Sukadana yang bermigrasi ke pedalaman, menyusuri tepian Sungai Melano,
Sungai Matan, Sungai Bayeh, dan bermukim di Kampung Bukang, Banjor, Kembereh,
Gerai, Kalam, Simpang, Dua, hingga ke daerah Balaiberkuak.
Meskipun
pusat pemerintahan Kerajaan Sukadana telah dipindahkan ke Desa Matan sejak masa
kepemimpinan Panembahan Baroh, namun nama Kerajaan Matan baru dikenal pada era
pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724),yang menegaskan bahwa pusat
kerajaan berada di daerah Sungai Matan.Pada 1637,pusat pemerintahan Kerajaan
Matan berpindah lagi,kali ini ke Indra Laya yang terletak di Sungai Puye,anak
Sungai Pawan.Kemudian,kerajaan menjadi berpindah ke Kartapura,kemudian baru ke
Desa Tanjungpura,dan terakhir pindah ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad
Saunan sekarang berdiri.
Setelah
era pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin (1762-1819),raja terakhir Dinasti Matan,berakhir
pusat pemerintahan kerajaan di pindah kan ke wilayah bernama Simpang,letaknya
tidak seberapa jauh dari Matan,dan nama kerajaannya pun berubah menjadi
Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan karena kerajaan ini merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Matan. Sebelumnya, Kerajaan Kayong-Matan sudah
terlebih dulu berdiri sebagai akibat dari perpecahan internal Kerajaan Matan. Maka
kemudian di sepakatilah pembagian wilayah antara Kerajaan Simpang-Matan dan
Kerajaan Kayong-Matan dengan batas Sungai Pawan.Sebelah kiri Sungai Pawan
adalah wilayah Kerajaan Kayong-Matan adalah di sebelah kanan sungai.Adapun
batas-batas darat nya adalah sebagai berikut:
1.Di daerah
Kubing Sei.Laur(Penggenting Asah).
2.Di desa Baya
(Kematanan Agol).
3. Di Hulu Sei.
Laur (Tembenang Pantap).
4. Sistem Pemerintahan
Pendiri
Kerajaan Tanjungpura adalah Raja Brawijaya dari Majapahit.Dalam menjalankan
roda pemerintahan Kerajaan Tanjungpura, Raja Brawijaya di bantu oleh lima
saudaranya yang masung-masing di daulat mengampu lima suku dengan
pangkat,tugas,serta wewenang yang berbeda.Pertama adalah Maya Agung yang
bertugas menerima setiap utusan yang datang ke kerajaan.Maya Agung merupakan
hulubalang pertama atau bertindak sebagai wakil raja yang di beri kewenangan
menangani urusan-urusan besar,termasuk perang dan menggelar upacara penobatan
raja. Kedua adalah Mengkalang yang bertugas menangani hal-hal yang tidak bisa
dilakukan raja dan Maya Agung. Suku ketiga di nama kan Priyayi atau Rerahi Muka
Raja yang menjalankan fungsi nya sebagai pengisi kekosongan pemerintahan ketika
raja wafat dan belum ada penggantinya.Suku keempat adalah Siring yang menjadi
pengiring raja dan pemegang pusaka raja, istana, adat, dan sarana-sarana yang
rusak. Kelima suku inilah yang berhak untuk menyelenggarakan proses
pengangkatan dan penobatan raja. Ketika Kerajaan Tanjungpura berganti nama
menjadi Kerajaan Sukadana,ajaran Islam mulai masuk dan perlahan-lahan menggeser
agama Budha yang menjadi keyakinan Brawijaya pada era Kerajaan
Tanjungpura,kendati keluarga kerajaan belum memeluk Islam.Perkembangan ajaran Islam
yang dibawa pedagang-pedagang Arab dari Palembang pada permulaan tahun 1500
bertambah pesat pada masa pemerintahan Panembahan Baroh, meski raja ini juga
belum memeluk Islam.
Pada
masa ini, penyebutan raja mulai diganti dengan gelar gusti.Gelar di lingkungan
kerajaan bukanlah menunjukkan kastar/kelas, sosial namun cendrung merujuk pada
ikatan kekerabatan yang menganut garis laki-laki atau dari keturunan bapak
(patriarki) sementara, panembahan pertama yang memeluk agama Islam adalah Giri
Kesuma atau Gusti Aliyuddin atau Panembahan Sorgi (1590-1604) yang menggantikan
Panembahan Baroh. Pada masa inilah, keberadaan calon Kerajaan Matan sudah
merintis pondasi dan sudah mulai beberapa di samping sisa-sisa Kerjaan
sebelumnya, yatu Kerajaan Sukadana, yang masih berdiri.
Memasuki
pertengahan abad ke-18, penjajah Belanda mulai turut campur dalam pemerintahan
kerajaan pada masa Sultsn Muhammad Jamaluddin yang menjadi raja terakhir
Kerajaan Mantan sebelum mendirikan Kerajaan Simpang –Mantan, sementara Kerajaan
Kayong berdiri di bawah pimpinan saat
Gusti Irwan dengan geler Sultsn
Mangkurat. Belanda mulai membangun tangsi-tanagsi militer di wilayah Kerajaan
Simpang-Matan seerta menjadi kan daerah Sukadana sebagai basias kekuatan dan
pertahanannya dalam mengusai daerah-daerah pantai selatan di Kalimantan Barat .
Perkembangan
selanjutnya adalah belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan Sultan
Simpang.Mantan dengan kedok menawarkan jasa kepada Sultan untuk mengurusi
wilayah Kerajaan Simpang-Matan yang terlalu luas.Tawaran ini diterima oleh
Sultan Muhammad Jamaluddin hingga akhir nya Belanda berhasil menguasai Kerajaan
Simpang-Matan.Sejak saat itu,pengaruh Belanda semakin kuat dan selalu
mencampuri urusan-urusan internal kerajaan kendati beberapa kali terjadi
perlawanan dari orang-orang kerajaan untuk menangkal pengaruh Belanda,seperti
perlawanan Gusti Panji bergelar Penambahan Suryaningrat (raja keempat Kerajaan
Simpang-Matan),Patih Kampung Sepuncak (Hulubalang I),Uti Usma,Gusti Muhammad
Shalehan,Gusti Hamzah,dan lain-lain nya.
Pada
era pendudukan militer Jepang yang mengusur kolonialisme Belanda 1942, rakyat
serumpun Kerajaan Mantan mengalami masa masa mengcekam akibat kekejaman Jepang
Tanggal 23 April 1943,Jepang menangkap raja raja di Kalimantan Barat dan nyaris
semuanya dibunuh.Gusti Mesir,Sultan Kerajaan Simpang Mantan beruntung dapat
lolos dari pembunuhan massal itu.Akan tetapi,nasip tragis menimpa Gusti
Muhammad Saunan, yang memimpin Kerajaan Kayong-Matan sejak tahun
1922.Penambahan Mata terakhir ini meninggal dunia tahun 1943 sebagai korban
fasismi Jepang.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
wilayah yang semula di bawah kuasa kerajaan dihimpun dalam suatu daerah
pemerintahan yang di sebut swapraja dan di bentuklah suatu majelis yang bernama
Majelis Pemerintahan Kerajaan (MPKM) sebagai pengampu pemerintahan adat. Pada
akhirnya, seiring dengan terbentuknya pemerintahan di daerah-daerah pasca
penyerahan kedaulatan dari Belanda kepemerintah Reppublik Indonesia tahun 1949,
wilayah kerajaan ini dilebur dan diserahterimakan kepada Pemerintah Daerah
Kalimantan Barat dengan dihapuskannya swapraja berdasarkan Undang –undang No.27
tahun 1959 tertanggal 4 Juli 1959, dan Intruksi Gubernur Kepala Daerah
Perovinsi Kalimantan Barat tertanggal 29 Fepbruari 1960 No.376/Pem-A/1-6.
E. Sejarah Peradaban Islam di Sangggau
1. Sejarah
Sanggau
adalah nama sebuah Kabupaten di Kalimantan Barat yang terletak tidak begitu
jauh dengan kota Pontianak. Sebelum berubah menjadi Kabupaten, di wilayah
Sanggau berdiri suatu kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke 4 masehi.
Penyebutan “Sanggau” sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh di tepi
sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni Sungai Sekayam. Sungai
Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin oleh Dara Nante,
seorang perempuan Ninggrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat mencari
suaminya yang bernama Babai Cinga. Namun ada juga pendapat yang meyakini bahwa
nama “Sanggau” diambil dari nama Suku Dayak Sanggau, sebuah klan Suku Dayak
yang menjadi suku asal Babai Cinga. Suami dara Nante, Babai Cinga ditemukan
melalui sebuah sayembara yang diselenggarakan oleh Dara Nante di sebuah
perkampungan Dayak di Tepi sungai Entabai yang bernama “Tampun Juah”.
2. Masa Awal Kerajaan Sanggau
Dalam
perjalanan menyusuri Sanggau Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu dengan
orang-orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih Bardat dan Patih
Bangi. Rombongan Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha menemukan sebuah
tempat yang bernama Tampu Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu bergabung dan
bersama-sama mengarungi Sungai Sekayam. Di Tengah perjalanan, ternyata di
aliran Sungai Sekayam terdapat dua cabang anak sungai. Rombongan besar ini
kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang dikenal dengan nama
Sungai Entebai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante dan Suku
Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai
Entebai, berkah Dara Nante karena di tempat itulah ia dapat menemukan Babai
Cinga.
Tampun
Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya saku-suku
bangsa Dayak dari berbagai klan yang bermigrasi dari banyak daerah asal.
Setelah beberapa saat menetap di Tampun Juah, rombongan Patih Bardat dan Patih
Bangi memutuskan untuk meneruskan perjalanannya menuju hulu Sungai Kapuas.
Dara
Nante tidak menetap selamanya di Tampun Juah karena Dara Nante memutuskan untuk
pulang ke Sukadana dan kembali menyusuri Sungai Sekayam. Namun ditengah
perjalanan, tepatnya di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau.
Rombongan dara Nante sendiri sebelumnya pernah singgah di Labai Lawai dalam
perjalanan pertama mereka ketika mencari
Babai Cinga.
Hingga
kini, di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah peninggalan Kerajaan
Sanggau, yakni berupa batu-batu keramat yang dinamakan Batu Dara Nante dan Batu
Babai Cinga. Batu-batu itu menancap di tanah dan ditutup kain kuning berbentuk
segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat
masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut dengan
memberikan kerajaan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut. Keturunan
Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu
didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan
sebagai penguasa kerajaan Sanggau yang pertama.
Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante
menitipkan pucuk pimpinan Kerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang
bernama Dakkudak. Namun, Dakkudak ternyata tidak mampu menjalankan amanat Dara
Nante dengan semestinya. Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya dengan
baik. Akibat kondisi yang kian terjepit dan tidak menguntungkan, Dakkudak
kemudian memilih angkat kaki dari Kerajaan sanggau dan pergi menuju ke daerah
Semboja dan Segarong.
Kepergian
Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat. Kelanjutan
riwayat Kerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak dalam diketahui
dengan pasti, namun, pada tanggal 1485 M, seorang perempuan yang masih memiliki
garis keturunan dengan Dara Nante, bernama Dayang mas Ratna (1485-1528 M),
dinobatkan sebagai penguasa Sanggau. Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah
bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke mengkiang,
sebuah tempat yang terletak di muara Sungai Sekayam. Dalam menjalankan
pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernma Nurul
Kamal atau Abdurrahman, keturunan Kyai
Kerang dari Banten. Meski Nurul Kamal diduga kuat adalah seorang muslim, namun
belum diketahui apakah Kerajan Sanggau sejak masa pemerintahan Dayang Mas Ratna
juga telah bercorak Islam.
Pemimpin
Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang perempuan, bernama
Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1528-1569 M). Dalam menjalankan
pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama
Abang Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu. Selain
itu, masih pada era pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan Sanggau telah menjalin
hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sintang yang saat itu dipimpin oleh Raja
Juhair atau Jubair. Jadi, dalam hal ini sebenarnya masih ada hubungan darah
(famili) antara raja-raja Kerajaan Sanggau dengan raja-raja Kerajaan Sintang.
Selanjutnya,
Kerajaan Sanggau dipimpin oleh seorang raja yang bernama Abang Gani dengan
gelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M). Pada era ini, Kerajaan
Sanggau terlibat perkara dengan Kerajaan Matan (Tanjungpura). Kasus ini bermula
dari perkawinan puteri Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan seorang
penguasa dari Kerajaan Matan. Namun, beberapa tahun setelah perkawinan itu,
terdengar kabar bahwa Raja Matan telah menikah lagi. Oleh karena itu, pihak
Kerajaan Sanggau bermaksud untuk menjemput Dayang Seri Gemala dari Kerajaan
Matan. Melalui berbagai perundingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan Sanggau,
akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara
Damai. Warga Kerajaan Sanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka
cita.
Setelah
Raja Abang Gani wafat pada tahun 1614 M, tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau
diserahkan kepada putra mahkota yang
bernama Abang Basun dengan gelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M).
Pemerintahan Pangeran Mangkubumi Pakunegara mendapat dukungan penuh dari
saudaranya, bernama abang Abon dengan gelar Pangeran Sumabayan, dan sepupunya
yang bernama Abang Guneng.
3.
Eksistensi Kesultanan Sanggau
Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah pangeran Mangkubumi
Pakunegara adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690
M. Abang Bungsu adalah anak lelaki pangeran Mangkubumi Pakunegara dari istri
ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Pengangkatan Abang
Bungsu menjadi raja dilakukan karena kedua istri Pangeran Mangkubumi yang lain
tidak bisa memberikan anak laki-laki. Abang Bungsu dinobatkan sebagai raja
Sanggau dengan gelar Sultan Muhammad Jamaluddin Kusumanegara. Menilik nama dan
penyebutan gelar yang diselamatkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan bahwa
pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam. Dengan demikian nama
Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi kesultanan Sanggau, sesuai dengan pemerintahan
khas Islam.
Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan
pusat pemerintahan dari Mengkiang, ketempat yang sekarang menjadi kota Sanggau.
Akan tetapi masih banyak keturunan Abang Bungsu yang tetap bertahan di
Mengkiang. Konon Abang Bungsu atau Sultan Mohammad Jamaluddin pernah berkunjung
ke Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Sultan Mohammad Jamaluddin membawa pulang
oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang diberi nama Bujang Juling, Dara kuning,
dan Dara Hijau.
Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad
Jamaluddin mangkat. Tahta Kerajaan Sanggau dijabat oleh anak sulungnya, bernama
Abang Kamaruddin atau Abang Saka bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722
M). Dalam mengelola pemerintahan, Sultan Akhmad dibantu oleh adiknya yang
bernama Penembahan Ratu Surya Negara. Kedua putera almarhum Sultan Muhammad
Jamaluddin ini saling bekerja sama untuk memajukan Kesultanan Sanggau. Sultan
Akhmad Kamaruddin berperan sebagai kepala pemerintahan dan menyandang gelar
Gusti, sedangkan Panembahan Ratu Surya Negara, yang memperoleh gelar Ade,
diangkat sebagai penasehat kesultanan sekaligus membawahi daerah perairan atau
kawasan pesisir laut.
Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin
menderita sakit. Ketika Sultan Akhmad Kamaruddin dalam kondisi lemah karena
sakitnya itu, Panembahan Ratu Surya Negara berkali-kali datang menghadap sang
kakak agar tahta pemerintahan Kesultanan Sanggau diserahkan kepadanya. Awalnya,
pemerintahan itu tidak dianggap secara serius oleh Sultan Akhmad Kamaruddin,
namun karena Panembahan Ratu Surya Negara terus-menerus mendesak, maka akhirnya
Sultan menyerahkan tahta kepada sang adik. Pada tahun 1722 M, Panembahan Ratu
Surya Negara dinobatkan menjadi Sultan Sanggau dan bergelar Sultan Zainuddin
(1722-1741 M). Selain itu, karena sebelum dinobatkan Panembahan Ratu Surya
Negara selalu bertanya kepada kakaknya kapan ia bisa naik tahta menjadi raja,
maka ia mendapat julukan Abang Sebilang Hari.
Pascawafatnya
Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan
Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara
bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin. Selain
itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana
Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan
Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin.
Pergantian
Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai pemimpin Kesultanan
Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762
M) dari daerah darat dan bertahta di Istana Beringin. Pada masa ini, terjalin
hubungan akrab antara Kesultanan
Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Hal ini dibuktikan dengan
pemberian sebuah meriam yang dinamakan “Genter Alam” kepada Kesultanan Sanggau
dari Sultan Kadria Pontianak. Sebagai hadiah balasan, Pangeran Ratu Surya
Negara mengirimkan balok-balok kayu belian yang kini masih tersimpan di Istana
Kesultanan Kadriah Pontianak.
Hubungan antara
Kesultanan Sanggau dan Kesultanan
Kadriah Pontianak mulai retak pada tahun 1778 M. Penguasa Kesultanan Kadriah
Pontianak saat itu berambisi melakukan
sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya. Kesultanan Kadriah Pontianak
berhasil menduduki wilayah Kesultanan Sanggau sekaligus menguasai jalur
perdagangan Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau,
Sultan Kadriah Pontianak mendirikan benteng yang namanya Jambu Basrah di Pulau
Simpang Labi yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau.
Setelah Pangeran
Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta Kesultanan Sanggau kembali
beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Panembahan Mohammad Thahir 1 Surya
Negara (1762-1785 M). Selanjutnya, Kesultanan Sanggau dipimpin oleh Pangeran
Usman (di Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Usman Paku Negara
(1785-1812). Pada masa pemerintahan Panembahan Usman Paku Negara, Kerajaan
Sanggau menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sekadau melalui ikatan
perkawinan. Ratu Godok, puteri Panembahan Usman Paku Negara, menikah dengan
Raja Sekadau. Di sisi lain, pada tahun 1812, terjadi lagi perselisihan antara
Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Kali ini, Kesultanan
Sanggau dapat menghalau serangan dari Kesultanan Kadriah Pontianak.
Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk
kekuasaan Kerajaan Sanggau beralih kepada Panembahan Mohammad Ali Surya Negara
(1812-1823 ) dari Istan Kuta. Era pemerintahan Panembahan Mohammad Ali Mangku
Negara berkhir pada tahun 1823 dan di gantikan oleh wakil dari Istana Beringin,
yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kerajaan Sanggau sampai tahun
1828. Pada masa pemerintahannya, Sultan Ayub menggagas pembangunan Masjid Jami’
Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun 1826. Selain itu, Sultan Ayub
memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk.
Saudara Sultan Ayub, bernama Ade Akhmad, naik
tahta menjadi Sultan Sanggau dengan gelar Panembahan Mohammad Kusuma Negara.
Penobatan Ade Akhmad yang notaben masih berasal dari pihak Istana Beringin itu
disebabkan karena calon Sultan dari Istana Kuta masih kecil dan belum cukup
umur untuk memimpin Kesultanan Sanggau. Setelah Ade Akhmad atau Panembahan
Mohammad Kusuma Negara wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga
Istana Kura yang naik tahta, yakni Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1875).
Panembahan Mohammad Thahir II pernah merumuskan batas-batas wilayah hukum
antara kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei. Namun., tanda batas yang
telah dibuat Panembahan Mohammad Thahir II tersebut kini belum dapat dilacak dan
ditemukan.
Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah
Kesultanan Sanggau didatangi bangsa Belanda pada awalnya, kedatangan Belanda
disambut dengan baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau Belanda
memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon untuk diinginkan menetap di
Sanggau. Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh oleh Panembahan Mohammad Thahir
II. Dengan demikian, Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di wilayah Kesultanan
Sanggau.
Panembahan Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 maret 1876.
Kedudukannya sebagai Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana
Beringin) yang bergelar Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Sejak
saat inilah roda pemerintahan di Kesultanan Sanggau mulai dipengaruhi oleh hegomoni
belanda, termasuk dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan kedudukan
seorang sultan, serta berbagai perjanjian yang dilakukan antara pihak
Kesultanan Sanggau adalah Belanda.
Pada tahun 1877, misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai
penyewaan tanah Kesultanan Sanggau oleh Belanda, yang ditandatangani oleh
Gubenur Jederal Hindia Belanda J.W. van Lansberge (1875-1881) serta pihak
Kesultanan Sanggau yang diwakili oleh Sultan Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh
(Mangkubumi), Pangeran Ratu Mangku Negara (Raja di Semerangkai), Pangeran Mas
Paduka Putera (Raja di Balai Karangan), dan Pangeran Adi Ningrat selaku
(Menteri Kesultanan Sanggau). Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung
Sekayam disewakan kepada Belanda.
Setelah Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara meninggal dunia pada
tahun 1908, tampak pemerintahan Kesultanan Sanggau diteruskan oleh Panembahan
Gusti Mohammad Ali Surya Negara (dari
Istana Kuta) yang berkuasa sampai tahun 1915. Pemangku tahta Kesultanan Sanggau
berikutnya adalah pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (dari Istana
Beringin). Era Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara berakhir pada tahun 1921 setelah beliau
dipensiunkan oleh Belanda. Belanda yang telah berhasil masuk kedalam setiap
kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian menobatkan Panembahan Thahir
III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin Kesultanan Sanggau yang
selanjutnya. Kekuasaan Panembahan Thahir III Surya Negara bertahta hingga tahun
1941 dan digantikan oleh Gusti Mohammad Arif Paku Negara dari pihak keluarga
Istana Beringin.
Pada tahun 1942, Belanda menerah kepada Jepang. Sejak itulah masa
pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk diwilayah Kesultanan Sanggau, dimulai.
Era kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun
karena pada tahun 1942 beliau ditangkap dan kemudian dibunuh oleh tentara
Jepang. Sepeninggalan Gusti Mohammad Arif Paku Negara, atas campur tangan
pemerintah penduduk Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat
Kesultanan Sanggau. Ade Marhaban Saleh sejatinya juga berhasil dari pihak
Istana Beringin. Namun kondisi ini menjadi hal yang bisa dimaklumi karena
adanya tekanan dari pihak pemerintah militer Jepang. Ade Marhaban Saleh
digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih dari keluarga Istana
Beringin, pada tahun 1944. Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagai
pemangku adat Kesultanan Sanggau pada saat-saat terakhir pendudujan Jepang di
Indonesia.
Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan
Sekutu. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun pada
bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang perang Dunia
ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk
berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggau. Oleh
karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bernama Rierker untuk
menempati posisi sebagai Asisten Residen di wilayah Sanggau. Rieker, yang
datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian
menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari singgasana Kesultanan Sanggau dan
mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai penggantinya.
Penembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana
Kuta.
Tahta penembahan
Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahta hingga Sanggau diubah menjadi
daerah swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya
Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir. Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan
serah terima pemerintahan Swapraja Sanggau kepada M. Th. Djama selaku Kepala
Daerah Swatantra Tingkat II Sanggau. Sejak saat inilah riwayat Kesultanan
Sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu kota
Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah mati
suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 juli 2009,
dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak memiliki kewenangan
dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran
Ratu H. Gusti Arman Surya Negara
dinobatkan sebagai Sultan Sanggau. Acara agung itu dihadiri oleh
beberapa tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Baharuddin dari Kesultanan
Palembang Darussalam, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah dari Istana Ismayana, dan
Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin
4. Wilayah Kekuasaan
Meski bukan
sebuah kerajaan yang besar, namun Kesultanan Sanggau juga memiliki beberapa
wilayah pendudukan. Pada masing-masing dari daerah taklukan Kesultanan Sanggau
tersebut ditempatkan seorang penjabat yang ditunjuk oleh Sultan Sanggau.
Daerah-daerah yang disebutkan sebagai bagian dari wilayah pendudukan Kesultanan
Sanggau tersebut diantaranya adalah Semerangkai, Balai Karangan, Tanjung
Sekayam, dan sejumlah daerah lainnya
Secara umum,
wilayah Kerajaan atau Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda dengan wilayah
Kabupaten Sanggau, Propinsi Kalimantan Barat, pada masa sekarang. Hal tersebut
terlihat ketika pembentukan Kabupaten Sangguau yang mengacu kepada wilayah
Swapraja Sanggau, sementara Swapraja Sanggau dahulu Kabupaten Sanggau merupakan
salah satu daerah yang terletak ditengah-tengah dan berada di bagian utara
Kalimantan Barat. Sebelah utara Sanggau berbatasan dengan Srawak (Malaysia),
sebelah selatan dengan Kabupaten Ketapang, sebelah barat dengan Kabupaten
Landak, dan sebelah timur dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau.
a.
Peninggalan Kebudayaan
di Sanggau
Adapun
peninggalan Kebudayaan pada masa kerajaan Islam diSanggau yaitu.
1)
Kompleks Istana Kuta
Pengertian komplek Istana Kuta yang dimaksud adalah bekas bangunan
utama dan pendukung Kesultanan Kuta, baik yang berfungsi sebagai
admistratif Kesultanan maupun urusan
kemasyarakatan.
2)
Masjid Jami’
Posisi awal Masjid Jami’ ini berada antara Rumah Laut dan Rumah
besar, hingga pada abat 18 posisi bangunan ini dipindahkan kepinggir Sungai
Kapuas.
3)
Istana Kuta
Secara umum bentuk dan kondisi bangunan ini dalam keadaan baik hal
ini dikarnakan usia bangunan yang relatif mudah dibandingkan dengan istana
Kuta, mengingat terbentuknya Istana akibat dari sistem pemerintahan Belanda
(abat 18) pada saat itu yang ingin mendapatkan kekuasaan mutlak melalui pihak
istana. Jadi secara sistem tata pemerintahan peradaban Islam diSanggau mengenal
istilah kesultanan. Ini artinya secara politik Islam sudah mulai teintenalisasi
dalam kehidupan istana Sanggau. Selain itu keberadaan masjid Jami’ juga menjadi
bukti bahwa Sanggau sdah melahirkan peradaban Islam.Bahkan keberadaan Masjid
menjadi semacam center aktifitas sosial keagamaam masyarakat Sanggau
b. Sejarah Peradaban Islam di Sintang
1. Sintang di
Masa Hindu
Sejarah awal Kerajaan Sintang dimulai ketika seseorang bernama Aji
Melayu datang kedaerah Kujau sekitar abad ke 4 M. Kedatangan Aji Melayu
ternyata membawa kebudayaan Hindu masuk ke ranah Melayu Kalimanta Barat,
khususnya didaerah Sintang. Di Kujau, Aji Melayu mengawini seorang gadis
bernama Putung Ke empat dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Dayang
Lengkong.
Setalah beberapa lama menetap di Kujau, Aji Melayu berpindah ke
Nanga Sepauk hingga meninggal di sana dan dimakamkan di Tanah Tanjung, daerah
Muara Sungai Sepauk. Setelah Aji Malayu meninggal, berturut-turut penguasa
Nanga Sepauk adalah Dayang Lengkong, Dayank Randung, Abang Panjang Demo Karang
(berkuasa sekitar abat ke 7 M), Demong Kara, kemudian Demong Irawan. Pada masa
Demong Irawan bekuasa, Kerajaan Sintang resmi berdiri, yaitu sekitar abat ke 13
(+-1262 M).
Sebelum mendirikan Kerajaan Sintang, Demong Irawan melakukan
pengembaraan dengan menyusuri Sungai Kapuas yang akhirnya sampai kedaerah
pertemuan antara Sungai Kapuas dan Melawi yang disebut daerah Nanga Laway. Di
daearah ini kemudian di dirikan permukiman yang berkembang menjadi sebuah
kerajaan yang kemudian di kenal sebagai Kerajaan Sintang. Raja pertama Kerajaan
Sintang adalah Demong Irawan yang bergelar Jubair I ( +_ 1262 M ).
Berdirinya Kerajaan Sintang yang kala itu masih becorak Hindu
ternyata sanggup menarik penduduk sekitar daerah Nanga Laway untuk datang dan
mendirikan permukiman baru. Berkembangnya permukiman disekitar Nanga Laway
ternyata menarik perhatian Patih tahun 1275 M.
Kedatangan Patih Logender beserta pengikutnya disambut baik oleh
Jubair I. Bahkan Patih Logender
diizinkan untuk tinggal di Kerajaan Sintang, diangkat menjadi penasehat, dan
dikawinkan dengan putri Jubair I yang bernama Dara Juanti. Setelah Jubair I meninggal
pada tahun 1291 M, Dara Juanti naik tahta menjadi raja di Kerajaan Sintang,
sedangkan Patih Logender tetep dijadikan penasehat raja.
Tidak jelas siapa raja pengganti
setelah Dara Juanti. Hanya saja sekitar tahun 1640 M terdapat raja bernama
Abang Samad yang memerintah Kerajaan Sintang. Setelah Abang Samad turun tahta,
berturut-turut posisi raja ditempati oleh Jubair II, Abang Suruh, Abang
Tembilang, Pangeran Agung ( 1715- 1725 M ), dan Raden Purba.
Raja terakhir ketika Kerajaan
Sintang masih dalam pengaruh Hindu adalah Raden Purba. Raden Purba memerintah
di Kerajaan Sintang sampai sekitar akhir abad ke- 18, bersamaan dengan masuknya
pengaruh Islam Kerajaan Sintang dan Kapuas Hulu. Sebelum meninggal, disebutkan
bahwa Raden Purba telah memeluk agama Islam.
c. Masuknya Islam di Sintang
Proses masuknya budaya Islam ke Kalimantan Barat,
termasuk ke Kerajaan Sintang, diyakini melalui aliran Sungai Sambas, kemudian
menyebar ke Singkawang, mempawah, dan Pontianak dengan menyusuri Sungai Kapuas.
Selanjutnya, penyebaran dilakukan melalui Sungai Landak masuk ke daerah Tayan,
Sintang, dan Nanga Pinoh. Dari daerah Sintang, dakwah Islam menyusuri Sungai
Kapuas sampai daerah Putussibau. Penyebaran ini berlangsung sekitar tahun
1500-1800 M.
Pengaruh Islam mulai masuk ke Kerajaan Sintang ketika
Kerajaan ini diperintah oleh Raden Purba. Setelah Raden Purba meninggal, tahta
kesultanan Sintang dipegang oleh Adi Nata bergelar Sultan Nata Muhammad
Syamsuddin Sa’adul Khairriwaddin. Sultan Nata merupakan putera dari Mangku
Malik dan Nyai Cilik (adik Pangeran Tunggal).
Pemerintahan Sultan Nata ditandai dengan berbagai macam
perubahan yang sifatnya mendasar. Perubahan paling signifikan adalah
bergantinya bentuk kerajaan menjadi Kesultanan dan Penyusunan undang-undang
Kesultanan. Undang-undang Kesultanan Sintang tersebut memuat tata kehidupan
masyarakat Sintang dan adad istiadadnya.
Pengganti Sultan Nata adalah Ade Abdurrahman yang
bergelar Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin atau biasa dikenal dengan nama
Sultan Aman (1150-1200 H). Pemerintahan Sultan Aman ditandai dengan kewajiban
menanam padi di setiap pedesaan, pemantawan hasil kerja rakyat oleh kepala
kampung setiap satu bulan dan melaporkan kepada raja muda. Raja muda adalah
golongan bangsawan yang diangkat sebagai wakil pemerintahan pusat di daerah
bawahan.
Pada tahun 1200 H, Sultan Aman meninggal dunia.
Kepemimpinan di Kesultanan Sintang diteruskan oleh puteranya yang bernama Ade
Abdurrasyid yang bergelar Sultan Abdurrasyid. Selanjutnya Sultan Abdurrasyid
mengangkat adiknya yang bernama Raden Machmud sebagai mangkubumi.
Masa
pemerintahan Sultan Abdurrasyid dikenal sebagai masa perkembangan dunia
keilmuan (khususnya kesusatraan) dan kesenian. Keterbukaan terhadap pengaruh luar, dalam hal ini
kesusastraan dan kesenian, memungkinkan perkembangan di kedua bidang ini
terealisasi di Kesultanan Sintang.Perkembanagan ilmu kesusastraan Islam di
wilayah Kesultanan Sintang masuk melalui Selat Malaka, Serawak, dan Pontianak.
Perkembangan
tersebut tidak lepas dari campur tangan para pedagang yang membawa pula
beberapa karya sastra dalam perdagangan. Beberapa kitab kesusatraan yang turut
serta dibawa antara lain Hikayah Amir Hamzah, Hikayah Umarmayah, Hikayah
Landahor, Syair Yatim Mustafa, dan Kitab Tajul Muluk.
Kekuasaan Sultan Abdurrasyid berakhir dengan meninggalnya beliau pada
tahun 1795 M. Pengganti kedudukan Sultan Abdurrasyid adalah Ade Noh, putra Sultan Abdurrasyid yang dinobatkan
dengan gelar Pangeran Ratu Ahmad Kamaruddin (Sultan Ahmad Kamaruddin). Untuk
membantu menjalankan pamerintahan, Sultan Ahmad Kamaruddin mengangkat putera
dari Raden Machmud (adik Sultan Abdurrasyid) yang bernama Adi Muhammad Djoen
sebagai mangkabumi.
d.
Wilayah Kekuasaan
Pada masa pemerintahan Demong Irawan yang bergelar Jubair (1262-1291
M),Kekerajaan Sintang mulai memperluas wilayah kekuasaannya.Kerajaan yang
awalnya berpusat di Nanga Lawai (suatu tempat pertemuan antara Sungai Kapuas
dan Melawi),kemudian diperluas ke daerah Sepauk , Tempanak , dan Melawi dengan
menempatkan wakilnya di bawah kekuasaan Kekerajaan Sintang.Sebagai lambang
penaklukan , Jubair I membuat batu peringatan Kekerajaan Sintang yang disebut
dengan “Batu Kundur”.Batu Kundur tersebut terletak di depan bekas istana
Kerajaan Kampung Tanjung Ria ,
Sintang (sekarang Museum Daerah Sintang
Pada masa pemerintahan Pangeran Tunggal,
wilayah kekuasaan Kerajaan Sintang kembali di perluas. Perluasan wilayah
kekuasaan tersebut meliputi Sintang, Sepauk, Tempunak, Jetak, Dedai, Gandis,
Kayan, Nanga Mau, Nanga Tebidah.
Perluasan wilayah kekuasaan yang telah
di lakukan oleh Pangeran Tunggal, di lanjutkan ketika Kesultanan Sintang di
perintah oleh Sultan Nata. Perluasan tersebut meliputi wilayah Ketungau Hilir
dan Ketungau Hulu sampai perbatasan daerah Serawak, daerah Melawi, ( Nagah
Pinoh, Menungkung, Serawai sampai Ambalau yang berdekatan dengan perbatasan
Kalimantan Tengah ).
7.Kehidupan Sosisal Budaya
Pada masa pemerintahan raden Purba,
pengaruh Islam mulai memasuki kehidupan sosial dan budaya, sehingga terjadi
peroses saling mempengaruhi antar kebudayaan. Misalnya di bidang seni, pengaruh
dari kebudayaan Islam merasuk kekehidupan istana dan masyarakat dengan masuknya
alat musik, rebana, musik gambus, dan Tari Zatin.
Pada masa pemerintahan
Sultan Aman, setiap tahunnya diadakan perlombaan perahu bagi masyarakat Sintang
yang belokasi di Sungai Kapuas. Perahu yang di lombakan adalah jenis perahu
panjang yang sanggup memuat 60 orang, di tambah dengan seorang pengemudi di
belakang dan seorang pawai yang duduk di depan sambil memukul gong untuk memberikan semangat bagi para pengayuh
perahu.
Penduduk di Kesultanan
Sintang juga mengembangkan industri kerajinan rumah tangga. Para penduduk
mengembangkan kerajinan mengukir peti kayu dan menenun dengan benang yang
bersal dari serat nanas. Penduduk juga telah mengenal teknik pewarnaan benang
dengan menggunakan getah kayu atau biasa di sebut oleh penduduk setempat dengan
istilah jernang. Selain itu, para penduduk juga mengembangkan kerajinan
menganam rotan dengan hasil produksi seperti bakul, keranjang, tudung saji,
tengkalang, ( tempat menyimpan pakaian ), renjong dan tikar rotan.
Akhir dari tulisan ini, dapat di tarik
benang merah, bahwa Kerajaan Islam di ketapang berawal dari kerajaan Tanjung
Pura yang awalnya menganut agama Hindu yang didirikan oleh Brawijaya yang
berasal dari maja pahit yangb akhirnya agama Islam masuk sedikit demi sedikit
menggeser agama Budha pada saat kerajaan Tanjung Pura berganti nama menjadi
kerajaan Sukadana yang din bawa oleh pedagang-pedagang arab.
Adapun kerajaan Sanggau ini tidak jauh
halnya dengan kerajaan Ketapang yang mana kerajaan Sanggau memiliki banyak
peninggalan kerajaan seperti komplek istana Kuta yang berfungsi sebagai
administratif kesultanan dan urusan kemasyarakatan, ada juga masjid jami’ , dan
istana Kuta.
Sejarah yang sama juga terjadi pada
kerajaan Sintang awal mulainya bercorak Hindu yang budanya dibawa oleh Aji
Melayu yang kemudian berkembang. Dan pada akhirnya setelah Raden Purba
berkuasa, agama Islam mulai masuk dan berkembang sehingga mengubah sistem
kerajaan Sintang menjadi Kesultanan.
Jadi dapatlah
dikatakan bahwa peradaban Islam di Ketapang, Sanggau dan Sintang merupakan
hasil metamorfosis dari peradaban Hindu yang pada gilirannya mengambil visi
progress membentuk tatanan sosial Islam dengan sistem Kesultanan dan budaya
baru yang syarat dengan nilai-nilai Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Badri
Yatim. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta
: PT. Raja Garfindo Persada
Wahab
as-sambasi, sejarah peradaban Islam, 2012
STAIN Pontianak Press
Zulkifli,
sejarah peradaban Islam, 2011, STAIN Pontianak Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar