HADIS
KEPEMIMPINAN
PEREMPUAN dalam ISLAM
DOSEN PENGAMPU :
WAJIDI SAYADI, M. Ag
DISUSUN OLEH :
MARYAMATUL MUNAWWARAH
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM (KPI)
JURUSAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONTIANAK
2013
KEPEMIMPINAN
PEREMPUAN DALAM ISLAM
قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنْ يُفْلِحُ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ
إِمْرَأًة ,عَنْ
أَبِي بَكْرَةَ قَالَ
(رواه البخا ري)
Diriwayatkan dari Abu Bakrah, ia berkata Rasulullah
SAW bersabda : “Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat, bangsa) yang
menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada perempuan” (HR. Bukhari dari
Abi Bakrah).
A. Asbaab
al- Wuruud
Adapun yang melatar belakangi lahirnya hadis
tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan Abi Bakrah sebagai sumber riwayat
diatas menyebutkan, ketika para sahabat datang menyampaikan laporan bahwa
penduduk Persia telah mengangkat Putri Kisra sebagai Raja. Mendengar laporan
tersebut, Nabi SAW menanggapinya dengan mengeluarkan pernyataan sebagai
sabdanya : “Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat, bangsa) yang menyerahkan
(untuk memimpin) urusan mereka kepada perempuan”.
B. Sumber
Riwayat
Hadis tersebut disampaikan Abu Bakrah yang diterima
dari Nabi Muhammad SAW. Dia seorang sahabat Nabi yang nama lengkapnya adalah
Nafi’ ibn al-Harits ibn Kaldah, ia tinggal dan menetap dibasrah hingga wafat
pada tahun 52 H. Dialah satu-satunya sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut
diatas dan semakna dengannya yang didapati dalam kitab-kitab hadis khususnya al-kutub
at-Tis’ah yaitu sebanyak tujuh kali riwayat.
C. Takhrijul
Hadis
Hadis tersebut diatas diriwayatkan oleh Bukhari
dalam kitab shahihnya sebanyak 2 kali yakni pada hadis no. 4425 dan 7099.
D. Fiqhul
Hadis
Dr. Yusuf al-Qaradhawi pernah ditanya tentang
bagaimana kualitas hadis tersebut apakah shahih atau tidak, sebab sebagian
orang yang menamakan dirinya sebagai pembela dan pejuang hak-hak perempuan
menolak keberadaan hadis tersebut. Menurut mereka, hadis tersebut bertentangan
dengan hadis berikut ini :
خُذُواْشَطْرَدِيْنِكُمْ عَنِ
الْحُمَيْرَاءَ
“Ambillah setengah agamamu dari al-Humairah”.
Al-Humairah artinya yang kemerah-merahan, maksudnya
ialah Aisyah istri Nabi SAW. Al-Qaradhawi menanggapi dan menjawab pertanyaan
ini dengan mengatakan bahwa kebodohan yang bercampuraduk dengan selera hawa
nafsu merupakan musibah yang paling besar menimpa umat ini. Kebodohan seperti
inilah yang melemahkan dan menolak
keberadaan hadis shahih dan justru menerima dan mengagung-agungkan hadis lemah.
Hadis tersebut diatas bahwa “Tidak akan sukses suatu
kaum (masyarakat, bangsa) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka
kepada perempuan” adalah berkualitas shahih dan diterima oleh para ulama
diseluruh penjuru dunia. Sementara hadis yang berbunyi : “Ambillah setengah agamamu
dari al-Humaira”, oleh para ulama kritikus hadis seperti Ibn Hajar al-Asqalani
mengakui tidak mengenal isnad hadis ini dan tidak pernah terlihat dalam kitab
hadis, kecuali hanya dalam an-Nihayah karya Ibnu al-Atsir yang juga tidak
menyebutkan siapa yang meriwayatkannya. Ibnu Katsir seorang ulama tafsir dan
hadis menyebutkan bahwa al-Mizi dan adz-Dzahabi pernah ditanya tentang hadis
ini, keduanya mengaku tidak mengenalnya, bahkan al-Mizi menilai bahwa hadis
tersebut adalah batal (palsu).
Apa yang ditanyakan orang tersebut kepada syaikh
al-Qaradhawi di Mesir sebetulnya juga terdapat di Indonesia dimana ada sebagian
orang yang dikenal sebagai pejuang dan pembela hak-hak perempuan justru
menjadikan riwayat hadis “Ambillah setengah agamamu dari al-Humaira”, ini
sebagai pedoman padahal sesungguhnya sudah nyata tidak dikenal dalam
kitab-kitab hadis bahkan dinilai palsu, hanya untuk mendukung pandangannya
bahwa perempuan tidak kurang akalnya sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis
shahih yang diriwayatkan Bukhari bahwah perempuan termasuk kurang akal dan
agamanya.
Kekeliruan pemahaman terhadap hadis tersebut diatas
atau keberanian menolaknya disebabkan karena melihat suatu hadis secara
sepintas tekstual saja tanpa menelusuri dalam konteks modern, hadis tersebut diatas
semakin popular sebab diera modern ini perbincangan tentang perempuan dengan
segala kemampuan dan kemajuannya termasuk dalam bidang politik, yakni
kepemimpinannya menjadi semakin menarik dan aktual. Dan hadis tesebut diatas
membicarakan masalah kepemimpian perempuan dalam dunia publik.
Hadis tersebut jika dilihat dan dipahami secara
tekstual akan memunculkan kesimpulan bahwa perempuan dinilai tidak layak untuk
diserahi dan diangkat menjadi pemimpin publik masyarakat lebih-lebih menjadi
Presiden. Metode pemahaman seperti ini banyak dilakukan oleh para ulama, bahkan
jumhur (mayoritas) ulama berpendapat demikian. Pemahaman secara tekstual
seperti ini justru sering menjadi bahan kritikan dan menimbulkan kesan negatif terhadap
hadis Nabi SAW karena dinilai diskriminatif terhadap perempuan dan tidak
menghargai peran dan eksistensi hak politik mereka untuk memimpin. Atau hadis
tersebut diatas dinilai tidak relevan dengan perkembangan dan sudah ketinggalan
zaman? Atau boleh jadi justru cara kita berfikir dan memahami hadis tersebut
diatas yang ketinggalan zaman? Sehingga dengan berani melemahkan hadis Nabi
SAW, padahal sesungguhnya justru yang lemah adalah akal kita sendiri.
Oleh karena itu, upaya memahami hadis tersebut
diatas perlu ditelusuri dan diketahui konteks dan latar belakang historis
sosial, situasi dan kondisi yang melatar belakangi hadis tersebut disabdakan
oleh Nabi SAW. Perubahan situasi dan kondisi serta realitas sosial dimana
mereka hidup dan beraktivitas, dikaitkan dengan hadis diatas sangat relevan.
Pendekatan kontekstual ini adalah dengan mempertimbangkan latar belakang
historis sosial lahirnya hadis tersebut dan realitas sosial masyarakat pada
saat itu sehingga gambaran mengenai tujuan disabdakannya hadis itu dapat
dipahami.
Setelah ditelusuri latar belakang historisnya,
ternyata diperoleh informasi bahwa hadis tersebut disabdakan Nabi SAW sebagai
respon dan tanggapan terhadap laporan dari saahabat-sahabat Nabi yang
menceritakan tentang pengangkatan seorang perempuan yang menjadi Ratu di Persia
yang bernama Buwaran binti Syairawih ibn Kisra ibn Barwaiz. Buwaran diangkat
menjadi ratu di Persia menggantikan ayahnya setelah terjadi pergolakan politik
berdarah dalam rangka suksesi memperebutkan kekuasaan dimana saudara
laki-lakinya turut tewas dalam pergolakan itu. Cerita mengenai peristiwa
tersebut yang disampaikan kepada Nabi dan direspon dengan sabda beliau
sebagaimana dikemukakan dalam latar belakang lahirnya hadis diatas.
Mengapa Nabi merespon demikian? Boleh jadi karena
ada peristiwa sebelumnya bahwa semasa hidupnya raja Kisrah kakek Buwaran yang
baru saja dianggakat menjadi ratu, Nabi SAW pernah menyurati dan mengajak dia
masuk islam dan raja Kisrah menolak ajakan Nabi secara tidak baik bahkan justru
dia merobek-robek surat Nabi tersebut. Ketika menerima laporan dari sahabat
bahwa surat ajakan beliau tidak direspon dengan baik, tapi justru dirobek-robek
oleh Kisrah maka Nabi bersabda bahwa siapa yang telah merobek-robek suratku dia
juga nanti akan dirobek-robek. Pergolakan berdarah yang menimpa keluarga Kisrah
raja Persia merupakan bukti terobek-robeknya diri dan keluarga raja sebagaimana
dia telah merobek-robek surat ajakan Nabi.
Demikian juga dipandang dari sudut pandang realitas
sosial pada waktu itu, bahwa kedudukan perempuan belum sangat memungkinkan
untuk menjadi seorang pemimpin publik, apalagi pemimpin Negara bahkan
pengangkatan seorang perempuan menjadi pemimpin ini dinilai menyalahi tradisi
yang sudah berlaku pada saat itu sebab sudah menjadi tradisi bahwa pemimpin
atau kepala Negara itu adalah seorang laki-laki. Sejarah telah mencatat bahwa
perempuan dimata masyarakat pada saat itu adalah “Makhluk” yang kurang
diharhgai bahkan dikatakan tidak berharga sama sekali, dengan dasar kepercayaan
seperti ini maka hanya laki-lakilah yang dipandang layak dan mampu mengurus
kepentingan publik dan masalah Negara.
Sementara perempuan tidak dipercaya sama sekali
untuk ikut mengurus kepentingan publik apalagi bangsa dan Negara, dalam situasi
dan kondisi seperti inilah Nabi SAW menyatakan bahwa menyerahkan urusan
kemasyarakatan dan kenegaraan kepada
perempuan tidak akan sukses sebab bagaimana mungkin bisa sukses kalau orang
yang memimpin itu adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh
masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang ideal bagi seorang pemimpin
adalah ia mempunyai wibawa atau kharisma, sementara perempuan pada saat itu
sama sekali tidak mempunyai wibawa untuk menjadi pemimpin masyarakat umum.
Daerah tempat terjadinya peristiwa yang ditanggapi
Nabi hingga melahirkan hadis tersebut diatas adalah terjadi diwilayah diluar
dunia islam. Apakah Nabi menetapkan kreteria ketidak bolehan perempuan menjadi
kepala Negara muslim dengan mengacu kepada fakta yang terjadi diluar Negara
islam? Demikian juga dikaitkan dengan adanya realitas dan dinamika sosial yang
telah mengalami perkembangan kemajuan dizaman sekarang. Situasi dan kondisi
serta kemampuan yang dimiliki perempuan terutama diera modern ini tentu sudah
tidak sama lagi dengan zaman unta dahulu. Sekarang mereka telah mengalami
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk kemajuan dalam bidang politik.
Oleh karena itu, memahami makna dan maksud hadis
diatas tidak secara tekstual tetapi secara kontekstual dengan mempertimbangkan
konteksnya, perubahan situasi dan kondisi dimana masyarakat sudah menghargai,
menerima dan memposisikan perempuan itu sebagaimana halnya laki-laki, perempuan
itu sendiri sudah mempunyai wibawa dan kemampuan memimpin, maka mengangkat
mereka menjadi pemimpin adalah boleh-boleh saja. Dengan demikian, hadis diatas persoalan
intinya bukan pada persoalan biologis keperempuanannya akan tetapi lebih pada
persoalan kemampuan memimpinnya, kemampuan dalam memimpin tidak relevan
dikaitkan dengan persolan jenis kelamin melainkan pada kualifikasi (keahlian)
dan kualitas pribadi, kapasitas intelektual, integritas (mutu) moral, sistem
dan realitas politik yang mendukungnya.[1]
- Konsep
Gender Dalam Kehidupan
Perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki
mempengaruhi kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung
dimasyarakat. Hal ini dapat kita lihat di :
- Lingkungan keluarga
Keluarga adalah tempat terpenting bagi seseorang karena merupakan tempat pendidikan yang pertama kali dan
didalam keluarga pula seseorang paling banyak bergaul serta
mengenal kehidupan. Menurut teori gender kedudukan yang terpenting bagi perempuan dalam keluarga adalah sebagai istri dan ibu
yang mengatur jalannya rumah tangga serta memelihara anak (Beechey),
untuk menjalankan tugas sebagai istri dan ibu perempuan diharapkan dapat
memasak, menjahit, memelihara rumah serta melahirkan, sehubungan dengan tugas
ini alangkah baiknya bila kedudukan seorang
istri dirumah.
Sebaliknya, menurut ideologi ini
kedudukan laki-laki yang terpenting dalam suatu keluarga adalah
sebagai seorang suami yang bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama
karena tugasnya sebagai pencari nafkah, sering seorang suami tidak peduli dan
tidak mau tahu dengan urusan rumah tangga, sebab dia merasa sudah memberi uang untuk jalannya
roda rumah tangga (Smith). Bila melihat kondisi masyarakat pada saat ini,
tampak konsep-konsep diatas sudah agak bergeser, banyak istri yang
bekerja mencari nafkah diluar rumah.
- Lingkungan Pendidikan
Dibidang pendidikan tampak bahwa konsep gender juga dominan.
Sebagai contoh masyarakat kita masih menganggap bahwa anak perempuan lebih
sesuai memilih jurusan bahasa, pendidikan, sebaliknya anak laki-laki lebih
sesuai untuk jurusan teknik. Perempuan dianggap lemah dibidang matematika, sebaliknya
laki-laki dianggap lemah dibidang bahasa. Pada keluarga yang kondisi ekonominya
terbatas banyak dijumpai pendidikan lebih diutamakan bagi anak laki-laki meskipun
anak perempuannya jauh lebih pandai, keadaan ini menyebabkan lebih sedikitnya
jumlah perempuan yang berpendidikan. (Millar).
- Lingkungan Pekerjaan
Sejak kaum
perempuan dapat memperoleh pendidikan dengan baik, jumlah perempuan yang mempunyai karier
atau bekerja diluar rumah menjadi lebih banyak. Mednick berpendapat meskipun
jumlah kaum perempuan yang bekerja meningkat tetapi jenis pekerjaan yang
diperoleh masih tetap berdasar konsep gender. Kaum perempuan lebih banyak
bekerja di bidang pelayanan jasa atau pekerjaan yang membutuhkan sedikit
keterampilan seperti dibidang administrasi, perawat atau pelayan toko dan hanya
sedikit yang menduduki jabatan manager atau pengambil keputusan (Abbott dan
Sapsford). Dari segi upah masih banyak dijumpai bahwa kaum perempuan menerima
upah lebih rendah dari laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama, juga
perbedaan kesempatan yang diberikan antara karyawan perempuan dan laki-laki dimana
laki-laki lebih diprioritaskan.
Dari
perbedaan perlakuan tersebut banyak yang kemudian menyimpulkan, menggolongkan
dan kemudian menganggap perempuan sebagai orang yang lemah, pasif serta independen
dan menganggap laki-laki lebih berharga. Dikatakan
oleh Fatima Mernissi kini banyak kaum hawa keluar rumah mereka dan menuju ke
pabrik, kantor, Universitas dan seterusnya, dari ungkapan ini kiranya wacana-wacana
perempuan mutakhir jadi tidak relevan lagi. Sebab, dari gambaran ini tentang
perempuan yang serba kalah dari kaum lelaki untuk konteks saat ini saja sudah
jauh dari realitas peran-peran kaum perempuan yang sebenarnya.[2]
F.
Pandangan Ulama Terhadap
Hadits Larangan Kepemimpinan Perempuan
Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan perempuan secara tekstual,
mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut pengangkatan
perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis
lainnya dilarang. Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa perempuan menurut syara’
hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya, oleh karenanya
al-Khattabi mengatakan hawa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah.
Demikian pula al-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut
berpendapat bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga
tidak boleh menjadi kepala negara. Sementara itu, para ulama lainnya seperti
Ibn Hazm, al-Ghazali, Kamal ibn Abi Syarif dan Kamal ibn Abi Hammam meskipun
dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala Negara,
bahkan Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat
laki-laki ini bagi kepala negara sebagaimana syarat bagi seorang qadi, karena
didasarkan pada hadis seperti tersebut sebelumnya.[3]
Ada tiga pandangan tentang kepemimpinan wanita dalam Fiqh Islam, pendapat
pertama melihat wanita tidak mempunyai hak sama sekali dalam berpolitik,
diantara dalil yang dipakai untuk menguatkan pendapat mereka adalah adanya
ketentuan laki-laki adalah pemimpin (Al-Nisa : 32 dan 34, Al-Baqarah : 228),
larangan wanita untuk keluar rumah (Al-Ahzab : 33 dan 53), dan hadis Abu Bakrah
ketika Rasulullah mengetahui Kaum Parsia dipimpin oleh seorang wanita (hadis
diatas).
Pendapat kedua dari sebagian besar ulama klasik dan kontemporer
memandang wanita memiliki hak berpolitik yang sama seperti laki-laki kecuali
memegang pucuk pemerintahan (presiden), dengan beralasan bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam Islam (Al-Baqarah : 228,
Al-Hujurat : 13, Al-Taubah: 71). Alasan pendapat yang kedua bahwasanya wanita
kapabel untuk berpartisipasi dalam wilayah politik, seperti bukti sejarah
tentang suksesnya Ratu Bilqis yang memerintahkan Saba (Al-Naml : 32-34).
Rasulullah juga mengakui suaka politik dari kaum wanita, seperti Ummu Hani
dalam peristiwa Fath Mekkah, Rasulullah juga menerima bai’at kaum wanita, juga
penyebaran dakwah Islam dengan periwayatan hadis yang dilakukan juga oleh kaum
Muslimah seperti Aisyah ra..
Pendapat ketiga memandang wanita berhak berpolitik seperti laki-laki
termasuk memegang pucuk pemerintahan. Kelompok yang sebagian besar ulama
kontemporer ini menginterpretasikan hadis Abu Bakrah khusus ditujukan untuk
kaum Persia yang saat itu dipimpin oleh seorang wanita, bukan dipukul rata
untuk semua kaum, juga mengambil dalil dari kisah sukses Ratu Bilqis yang
diceritakan dalam Al-Quran (Al-Naml : 32-34), serta realita suksesnya pemimpin
wanita seperti: Syajaratuddur yang menghalau tentara salib masuk Mesir, bahkan
kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh wanita.
Mereka berpendapat juga bahwasanya “wilayatul ‘udhma” dulu bermakna
pemimpin tertinggi dalam semua ini baik kenegaraan dan agama seperti menjadi
imam shalat dan khatib. Namun setelah tumbang Khilafah Utsmaniyyah, sistem
kenegaraan mengalami pergeseran, ada pembagian tugas yang membantu wali, seperti
parlemen, menteri-menteri, sehingga wanita juga boleh menduduki posisi
tertinggi karena tidak ada tuntutan untuk menjadi Imam shalat ataupun khatib.[4]
DAFTAR
PUSTAKA
Wajidi
Sayadi, 2011. Hadis Tarbawi, Jakarta : Pustaka Firdaus
[2] http://famuzaki.multiply.com/journal/item/2?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem.
Diakses pada tanggal 02 Januari 2013
[3] http://www.rahima.or.id/index.php?view=article&catid=37:dirasah-hadits&id=55:contoh-tulisan-hadits&option=com_content&Itemid=270.
Diakses pada tanggal 02 Januari 2013
[4] http://www.scribd.com/doc/8162328/KOnsep-Gender-dalam-Pemahaman-Islam.
Diakses pada tanggal 02 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar