A.
Nahdlatul Ulama
(NU)
Nahdlatul
Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 oleh para ulama yang
pada umumnya menjadi pengasuh pondok pesantren. Kelahiran NU merupakan muara
dari rangkaian kegiatan yang mempunyai mata rantai hubungan dengan berbagai
keadaan, peristiwa yang dialami bangsa indonesia sebelumnya, dengan latar
belakang tradisi keagamaan, masalah sosial politik, dan kultural yang terjalin
dalam satu keterkaitan. Para ulama pada umumnya telah memiliki jamaah
(komunitas warga yang menjadi anggota kelompoknya) dengan ikatan hubungan yang
akrab, yang terbentuk dalam pola hubungan santri-kiai, terutama ada masyarakat
dilingkungan pondok pesantrenya. Para ulama pondok pesantren memiliki kesamaan
wawasan pandangan dan tradisi keagamaan yang berlandaskan pada ahl-al-sunnah
wa al-jamaah. Dengan demikian, pembentukan NU dan proses kelahirannya tidak
bisa terlepas dari usaha para ulama untuk mempertahankan dan mengembangkan
paham keagamaan ahl al-sunnah wa al jamaah.
Pada
saat didirikannya, NU merupakan Jam’iyah Diniyah (organisasi keagamaan)
melengkapi organisasi-organisasi sosial kebangsaan dan organisasi sosial
keagamaan (islam) yang sudah ada sebelumnya, seperti Budi Utomo (1908-sebagai gerakan kultural politik.),
serikai Islam (1911-bercirikan politik keagamaan), Muhammadiyah (1912-gerakan
modernis islam bercorak pendidikan keagamaan), dan NU mengambil bentuk dan
peran keagamaan sebagai gerakan sayap tradisionalis islam. Keberadaan NU
sebagai sayap tradisionalis seperti ditunjukkan oleh istilah Nadhlatul Ulama
bukan Nadhlatul Ummat atau yang lain.
Pada
dua dasawarsa pertama setelah pendiriannya, kegiatan NU lebih terfokus pada
usaha pembinaan keagamaan sesuai dengan aliran faham yang diyakininya.
Disamping membina masyarakai dibidang pendidikan, sosial dan perekonomian, seperti tergambar dalam
aggaran dasar organisasi.
Paham
Ajaran Keagamaan dan Basis kekuatan pendukung Nadhlatul Ulama
Sejak
awal pendirian NU merupakan organisasi yang bermotif dan berlandaskan keagamaan
yang spesipik dengan haluann Ahl al- sunnah wa al-Jama’ah. Oleh karena itu
segala sikap, perilaku dan karakter perjuangganya akan selalu diukur
berdasarkan norma dan prinsip ajaran agama islam yang dianut. Prinsip-prinsip
ajaran (ideologi) yang dianutnya menjadi
tuntunan atau pedoman bagi praktek-praktek keagamaan maupun dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan dikalangan NU, yang pada gilirannya akan membentuk
karakteristik sendiri dalam perjalanan kehidupan NU, serta membedakannya dengan
organisasi keagamaan yang lain. Adapun prinsip-prinsip ajaran yang memberikan
nuansa spesifik pada NU dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Paham Ahl
al-sunnah wa al-Jama’ah
Paham ini bagi NU merupakan ideologi yang eksistensinya terlekat
pada keberadaan NU itu sendiri. Ia menjadi cita-cita kelahiran, menjadi pedoman
dalam perjalanan dalam kehidupan NU dan menjadi landasan perjuangan yang
senantiasa dipegang teguh dalam mengembangkan islam di Indonesia. Di samping
itu, apabila dilihat akar historis tumbuhnya paham aliran dalam islam termasuk
ahlisunnah wal jamaah, tidak telepas dari adanya perbedaan-perbedaan teologis akibat dari persoalan politik
(imamah) sepeninggal Nabi, terutama periode khalifah keempat. Daam masyarakat islam ,ahl al-sunnah wa
al-Jama’ah telah dianggap sebagai ideologi dari berbagai gerakan dan
oganisasi, dan oleh karena itu, dewasa ini banyak digunakan untuk menunjuk pada
kelompok atau komunitas umat islam yang mengikuti mazhab dan atau kekuatan
politik tertentu.
2.
Paham Teologi
Asy’ariyah dan Maturidiyah
Teologi yang diajarkan di Indonesia sejak awal masuknya islam
adalah teologi Asy’ariyah, sehingga yang dikenal di Indonesia pada umumnya ialah teologi dalam
paham/aliran Asy’ariyah, sehingga timbul kesan dikalangan sementara umat
islam Indonesia, bahwa inilah satu-satu teologi yang ada dalam islam. Menurut
Murthada al-Zabidi, bahwa apabila disebut ahl-al-sunnah wa al jama’ah dalam
teologi maka yang dimaksud adaah penganut Asy’ariyah dan Maturidi. Maka
demikian NU mengukuti ahl al-sunnah wa al-jama’ah, maka yang dimaksud
adalah NU mengikuti pemikiran Asy’ari dan Imam Maturidi.
3.
Paham Mazhab
Sebagai implikasi pemahaman terhadap pengertian ahl al-sunnah wa
al-jama’ah, maka dalam memahami persoalan-persoalan hukum (fiqh) NU mengikuti
salah satu mazhab empat, terutama mazhab syafi’i yang dikenal ajarannya yang
moderat. Dalam pandangan NU mengikuti Mazhab bagi umat islam merupakan sesuatu
yang wajib manakala tidak bisa mengetahui inti syariat secara berkesinambungan
dan jika dikhawatirkan manusia akan terjerumus dalam kesesatan dalam
pengalamanya.
4.
Ajaran Tasawuf
NU sebagai penganut faham ahl al-sunnah wa al jama’ah adalah
penganut dan penghayat tasawuf, NU menyelaraskan antara tasawuf, terutama
Al-Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali dengan tauhid asy’ariyah dan Maturidiyah
dan hukum fiqh sesuai dengan salah satu mazhab sunni yang empat. Hal ini bearti
bahwa tarekat yang diakui sah oleh NU hanya tarekat yang sudah diakui baik dan
benar oleh syeikh-syeikh tarekat sedunia, yang disebut sebagai Tarekat Al
Mu’tabarah yang sesuai dengan prinsip-prinsip Ahl al-sunnah wa al-jama’ah.
B.
Muhammadiyah
Model gerakan Muhammadiyah yang sangat menggigit dan concern
dengan cita-cita awalnya adalah pembaruan (modernisasi atau reformasi).
Modernisasi (tajdid) adalah gerakan pembaruan
pemikiran Muhammadiyah untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang
mereka hadapi. Yang merujuk pada Al- Qur'an dan As- Sunnah sebagai titik tolak
atau landasan yang sekaligus juga memberi pengarahan, ke arah pemikiran itu
harus dikembangkan.
Muhammadiyah sebagai persekutuan keagamaan “borjuis” yang berbasis
pada masyarakat pedagang yang tinggal diperkotaan (urban). Sebagai jam’iyah, Muhammadiyah lebih terasa sebagai patembayan
yang organis ketimbang sebagai paguyuban yang mekanis. Ada kesetian pada
organisasi yang menggungguli kesetian warga pada tokoh ada rencana dan ada
mekanisme bagaimana merealisasikan rencana itu. Dalam piramida masyarakat
Indonesia yang sedang membangun, umumnya mereka berada dipihak yang merasakan
kue pembangunan. Secara ekonomi menengah secara politik dan budaya juga demikian.
Adalah kodrat sejarah bahwa antara kedua kelompok itu akan bisa
terjadi ketegangan. Pada mulanya hanyalah ketegangan kultural yang bersifat
sementara dan segera akan mencair apabila masing-masing kelompok, karena proses
sosial, terjadi saling mendekati. Akan
tetapi apabila masing-masing kelompok itu sempat mengkosolidir diri, maka
ketegangan antara mereka bisa menjadi lain. Ketegangan politik antar kelompok
konsolidir diri ini pada pada dasarnya adalah ketegangan politik yang
menyangkut kepentingan para pemimpin dalam memperebutkan pengaruh. Ketegangan
politik seperti ini memang selalu cenderung panas, lebih-lebih jika shibghah
agama dibawa serta untuk persucian
klaim masing-masing.
Dinamisasi yang ada
pada tubuh Muhammadiyah adalah mempertautkan antara teks "normatifitas"
dengan teks "historisitas". Dua wilayah ini dalam garapan
Muhammadiyah senantiasa berjalan bersama-sama. Misalnya, K.H. Ahmad Dahlan
dalam mengajarkan Surat Al-Ma'un kepada santri-santrinya menunjukkan bukti
nyata bahwa Muhammadiyah tidak hanya berputar-putar pada wilayah teologis,
tetapi Muhammadiyah berusaha concern terhadap problem sosial yang
harus memperoleh perhatian serius. Sehingga teologi Muhammadiyah menjadi
teologi sosial yang dapat dilihat kasat mata. Oleh karena itu, Muhammadiyah
kemudian mendirikan PKU (Rumah Sakit), Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, dan
bidang-bidang sosial lainnya.
Dalam Muhammadiyah, ada lembaga khusus yang sengaja menangani
masalah-masalah perkembangan hukum. Lembaga itu adalah Majlis Tarjih.
Lembaga tarjih menangani persoalan konrtemporer yang selalu berkembang dan
sangat menuntut adanya jawaban yang harus digariskan. Persoalan ini tidak hanya
berbau fiqh tetapi juga masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial
kemasyarakatan.
Sumber :
Badri
Yatim, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada
Rozikin
Darman, 2001, Membidik NU, Yogyakarta : Gama Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar