KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
PRINSIP DASAR KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Dosen Pengampu:
Dr. Ibrahim MA
Oleh:
Maryamatul Munawwarah
Prodi Komunikasi Penyiaran Islam
Jurusan Dakwah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN )
Pontianak
2013
PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Komunikasi
antarbudaya merupakan komunikasi yang berlangsung diantara partisipan yang
berbeda budaya. Hal ini juga dikemukakan oleh beberapa ahli yang mengemukakan
definisi komunikasi antarbudaya.
Andrea
L Rich dan Dennis M Ogawa misalnya menyatakan dalam buku Intercultural
Communication, A Reader, bahwa komunikasi antarbudaya berarti komunikasi antara
orang-orang dari kultur yang berbeda baik kepercayaan, nilai atau cara
berperilaku. Karena itu komunikasi antarbudaya tentu tidak lepas dari beberapa
prinsip yang harus dipegang daniketahui untuk memudahkan orang memahami
komunikasi anatarbudaya, baik secara teori maupun praktek.
Seluruh
penafsiran kita tentang budaya bersifat relatif,
Karena itu kita
tidak boleh menilai budaya yang lain
Berdasarkan
budaya kita yang terbatas.
Tetapi kita
harus selalu berusaha mencari algoritme
Yang
menghubungkan satu peristiwa dalam budaya yang Satu
Dengan satu
peristiwa yang lain.
(Edward T Hall)
Ada
beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi dengan orang
berbeda latar belakang budaya, baik dalam aspek kebahasaan sebagai simbol dan
lambang komunikasi antarbudaya, maupun perbedaan cara-cara yang digunakan oleh
masing-masing kelompok budaya dalam berkomunikasi dengan orang lain dari budaya
yang berbeda.
Sebagai
komponen utama untuk melambangkan komunikasi, bahasa merupakan karakteristik
yang membedakan manusia dengan binatang, satu etnis dengan etnis lain, satu
bangsa dengan bangsa lain dan sebagainya. Bahasa juga merupakan representasi
budaya atau suatau ‘peta kasar’ yang menggambarkan budaya, termasuk pandangan
dunia (world view), kepercayaan (belief), nilai (values),
pengetahuan dan pengalaman (knowledge and experience) yang dianut oleh
suatu komunitas budaya yang bersangkutan.
Sebagai
representasi budaya, bahasa yang kita gunakan dalam berkomunikasi senantiasa
menggambarkan keadaan pemakai bahasa itu sendiri. Sebagai contoh, kita dapat
mengenal dengan mudah siapa sebennarnya orang yang akrab dengan istilah
sosialisasi dan sebagainya.
Sebagai
‘peta budaya’ bahasa dapat membedakan suatu budaya dengan budaya yang lain atau
suatu subbudaya dengan subbudaya yang lainnya. Kelompok etnis, etnisitas
politik atau kelas sosial yang berbeda boleh jadi ditandai dengan bahasa lain
yang mencerminkan kemiripan kedua budaya tersebut. Dengan asumsi, bahasa
mencerminkan budaya, maka ciri budaya suatu komunitas, misalnya kecanggihannya,
juga akan terlihat pada kecanggihan bahasanya. Jadi, bahasa merupakan
instrument manusia dalam mengembangkan budaya. Tanpa budaya, manusia tidak akan
mungkin berbudaya, tanpa bahasa manusia tidak lebih baik dari binatang, sebab
binatang juga punya bahasa, hanya saja binatang tidak punya budaya dan bahasa
binatang pun tidak serumit bahasa manusia.
Untuk
menggambarkan bahasa sebagai prinsip utama dalam komunikasi antarbudaya, Devito
menegaskan prinsip tersebut ke dalam enam aspek, yakni :
Gagasan umum
bahwa bahasa memengaruhi pemikiran dan perilaku paling
banyak disuarakan oleh para antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan disepanjang tahun
1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik bahasa memengaruhi proses kognitif kita. Dan karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan
strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan
bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir
tentang dunia.
Bahasa
bersifat relatif, demikian ungkapan para sosiolog dalam mengkaji bahasa. Karena
pada kenyataannya, tidak ada bahasa yang mutlak dan pasti untuk suatu objek
tertentu dan berlaku dalam keselurhan komunitas ruang dan waktu. Bahasa sangat
relatif sifatnya, tergantung ruang dan waktu.sebagai contoh ‘mata’ bisa saja
berarti alat yang digunakan untuk melihat (pancra indera penglihatan manusia),
akan tetapi ‘mata’ juga bisa berarti ‘mata hati’,’mata kaki’, ‘mata air’, ‘mata
pencaharian’, ‘mata rantai’, ‘mata pisau’, atau bahkan ‘mata-mata’. Demikian
juga mengenai kata ‘siap’ bisa berarti OK, bisa juga sudah selesai, bisa juga
akan di mulai, dan sebagainya.
b.
Bahasa Sebagai Cermin Budaya
Bahasa mencerminkan budaya.
Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa
maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara budaya (dan,
karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi
dilakukan.Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahan
komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah
paham, makin banyak salah persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing).
c.
Mengurangi Ketidak-pastian
Makin besar
perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam ambiguitas dalam
komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini
sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan
perilaku orang lain. Karena letidak-pasrtian dan ambiguitas yang lebih besar
ini, diperlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan
untuk berkomunikasi secara lebih bermakna.
d.
Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya
Makin besar
perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para
partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif.
Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada. ini
mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak
patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan
kurang percaya diri.
e.
Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya
Perbedaan
antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan
secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih
akrab. Walaupun kita selalu menghadapi kemungkinan salah persepsi dan salah menilai orang lain, kemungkinan ini
khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya.
f.
Memaksimalkan Hasil Interaksi
Dalam
komunikasi antarbudaya - seperti dalam semua komunikasi - kita berusaha
memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank
(1989) mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya.
Sebagai contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan
akan memberikan hasil positif. Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, anda
mungkin menghindarinya. Dengan demikian, misalnya anda akan memilih berbicara
dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan anda ketimbang orang yang
sangat berbeda. Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita terus
melibatkan diri dan meningkatkan komunikasi kita.
Bila kita
memperoleh hasil negatif, kita mulai menarik diri dan mengurangi komunikasi.
Ketiga, kita
mebuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan hasil
positif. Dalam komunikasi, anda mencoba memprediksi hasil dari, misalnya,
pilihan topik, posisisi yang anda ambil, perilaku nonverbal yang anda
tunjukkan, dan sebagainya. Anda kemudian melakukan apa yang menurut anda akan
memberikan hasil positif dan berusaha tidak melakkan apa yang menurut anda akan
memberikan hasil negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Anugrah,
dadan, 2008. Komunikasi AntarBudaya.jakarta
M,saleh,
Ibrahim, 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya, STAIN Pontianak Press
Canaraga,
Hafied, 2002. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta, Rajawali Pres
Tidak ada komentar:
Posting Komentar