Senin, 22 Februari 2016

ETIKA BERBICARA (Maryamatul Munawwarah)

1.      ETIKA BERBICARA

Dalam islam bisa dikatakan bahwa etika bicara itu merupakan menjaga lisan dalam mengkomunikasikan sesuatu, karena setiap kata-kata yang diucapkan kita bisa mendapat pahala apabila perkataan itu baik. Ajaran Islam amat sangat serius memperhatikan soal menjaga lisan sehingga Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa yang memberi jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada antara dua kakinya (kema-luannya) maka aku menjamin Surga untuknya." (HR. Al-Bukhari).
Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan. Seperti dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya:
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia".(An-Nisa: 114).
Hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat didengar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.
A.    Menjaga Lisan
Seorang muslim wajib menjaga lisannya, tidak boleh berbicara batil, dusta, menggunjing, mengadu domba dan melontarkan ucapan-ucapan kotor, ringkasnya, dari apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Sebab kata-kata yang merupakan produk lisan memiliki dampak yang luar biasa.
Perang, pertikaian antarnegara atau perseorangan sering terjadi karena perkataan dan provokasi kata. Sebaliknya, ilmu pengetahuan lahir, tumbuh dan berkembang melalui kata-kata. Perdamaian bahkan persaudaraan bisa terjalin melalui kata-kata. Ironinya, banyak orang yang tidak menyadari dampak luar biasa dari kata-kata. Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa keridhaan Allah, dan dia tidak menyadarinya, tetapi Allah mengangkat dengannya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa kemurkaan Allah, dan dia tidak mempedulikannya, tetapi ia menjerumuskan-nya ke Neraka Jahannam" (HR. Bukhari)
Hadis Hasan riwayat Imam Ahmad menyebutkan, bahwa semua anggota badan tunduk kepada lisan. Jika lisannya lurus maka anggota badan semuanya lurus, demikian pun sebaliknya. Ath-Thayyibi berkata, lisan adalah penerjemah hati dan penggantinya secara lahiriyah. Karena itu, hadits Imam Ahmad di atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi yang lain:
"Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan bila rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
B.     Berkata Baik Atau Diam
Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan lebih baik diam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam." (HR. Al-Bukhari).
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: " Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Adab Nabawi di atas tidak lepas dari prinsip kehidupan seorang muslim yang harus produktif menangguk pahala dan kebaikan sepanjang hidupnya. Menjadikan semua gerak diamnya sebagai ibadah dan sedekah. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"… Dan kalimat yang baik adalah sedekah. Dan setiap langkah yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di masjid)adalah sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah."(HR.Al-Bukhari).
Dalam ayat Al-Qur’an dijelaskan bahwa perkataan atau ucapan yang baik itu terpuji dan juga merupakan amal ibadah, karena akan mendapatkan pahala. Namun apabila sebaliknya maka kehancuran yang akan didapatkan.
“Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.”
“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.”
C.    Sedikit Bicara Lebih Utama
Orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit mengendalikan diri dari kesalahan. Kata-kata yang meluncur bak air mengalir akan menghanyutkan apa saja yang diterjangnya, dengan tak terasa akan meluncurkan kata-kata yang baik dan yang buruk. Ka-rena itu Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang kita banyak bicara. Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda artinya,
"…Dan (Allah) membenci kalian untuk qiila wa qaala." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, qiila wa qaala adalah asyik membicarakan berbagai berita tentang seluk beluk seseorang (ngerumpi). Bahkan dalam hadits hasan gharib riwayat Tirmidzi disebutkan, orang yang banyak bicara diancam oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sebagai orang yang paling beliau murkai dan paling jauh tempatnya dari Rasulullah pada hari Kiamat. Abu Hurairah Radhiallaahu’anhu berkata,
'Tidak ada baiknya orang yang banyak bicara.' Umar bin Khathab Radhiallaahu anhu berkata, 'Barangsiapa yang banyak bicaranya, akan banyak kesalahannya.'
Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Seperti halnya dalam nasehat menasehati pada seseorang dengan mengatur nada bicara dan menghjhidari pokok pembicaraan yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Aisyah Radhiallaahu 'anha telah menuturkan: "Sesungguhnya Nabi apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya".(Mutta-faq'alaih).
D.    Dilarang Membicarakan Setiap Yang Didengar
Dunia kata di tengah umat manusia adalah dunia yang campur aduk. Seperti manusianya sendiri yang beragam dan campur aduk; shalih, fasik, munafik, musyrik dan kafir. Karena itu, kata-kata umat manusia tentu ada yang benar, yang dusta; ada yang baik dan ada yang buruk. Karena itu, ada kaidah dalam Islam soal kata-kata, 'Siapa yang membicarakan setiap apa yang didengarnya, berarti ia adalah pembicara yang dusta'. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam :
"Cukuplah seseorang itu berdosa, jika ia membicarakan setiap apa yang di-dengarnya."
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Cukuplah seseorang itu telah berdusta, jika ia membicarakan setiap apa yang didengarnya."(HR.Muslim).
Adakalanya kita mendengarkan apa yang dibicarakan seseorang kepada kita, tapi alangkah baiknya jika kita hanya sebagai pendengar baik saja. Ada pula seseorang yang menceritakan rahasia mereka, dan sering pula kita menceritakan rahasia kita pada orang lain. Tapi alangkah baiknya jika kita menceritakan pada orang yang tepat dan bisa dipercaya. Dalam al-Qur’an menerangkan bahwa jika memang pembicaraan itu tidak bermanfaat lebih baik hindarilah.
Al-Qur’an Surat Al- Qashas Ayat 55 :
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil".
Al-Qur’an Az-Zumar Ayat 18 :
“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
Bisa dikatakan jika kita membicarakan sesuatu yang telah kita dengar tapi kita tidak tahu akan kebenarannya maka sama halnya dengan Ghibah atau menggunjing, yang bisa mengakibatkan perseteruan. Maka haruslah menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah berfirman yang artinya: "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain".(Al-Hujurat: 12).
Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak menganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya. Jangan memonopoli dalam berbicara, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara. Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.
E.     Jangan Mengutuk dan Berbicara Kotor
Mengutuk dan sumpah serapah dalam kehidupan modern yang serba materialistis sekarang ini seperti menjadi hal yang dianggap biasa. Seorang yang sempurna akhlaknya adalah orang yang paling jauh dari kata-kata kotor, kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji lainnya. Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu meriwayatkan, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Seorang mukmin itu bukanlah seorang yang tha'an, pelaknat, (juga bukan) yang berkata keji dan kotor."(HR.Bukhari).
Tha'an adalah orang yang suka-merendahkan kehormatan manusia, dengan mencaci, menggunjing dan sebagainya.Melaknat atau mengutuk adalah do’a agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah. Imam Nawawi rahima-hullah berkata, 'Mendo’akan agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah bukanlah akhlak orang-orang beriman. Sebab Allah menyifati mereka dengan rahmat (kasih sayang) di antara mereka dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Seperti tertulis dalam ayat Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 148 : “ Allah tidak menyukai ucapan buruk diucapkan langsung dengan terus terang kecuali oleh orang-orang yang di aniaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara. Allah berfirman yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan)". (Al-Hujurat: 11).
Mereka dijadikan Allah sebagai orang-orang yang seperti bangunan, satu sama lain saling menguatkan, juga diumpamakan sebagaimana satu tubuh. Seorang mukmin adalah orang yang mencintai saudara mukminnya yang lain sebagai-mana ia mencintai dirinya sendiri. Maka, jika ada orang yang mendo’akan saudara muslimnya dengan laknat (dijauhkan dari rahmat Allah), itu berarti pemutusan hubungan secara total. Padahal laknat adalah puncak doa seorang mukmin terhadap orang kafir. Karena itu disebutkan dalam hadits shahih:
"Melaknat seorang mukmin adalah sama dengan membunuhnya." (HR. Bukhari).
Sebab seorang pembunuh memutuskan orang yang dibunuhnya dari berbagai manfaat duniawi. Sedangkan orang yang melaknat memutuskan orang yang dilaknatnya dari rahmat Allah dan kenikmatan akhirat.
F.     Jangan Senang Berdebat Meski Benar
Saat ini, di alam yang katanya demokrasi, perdebatan menjadi hal yang lumrah bahkan malah digalakkan. Ada debat calon presiden, debat calon gubernur dan seterusnya. Pada kasus-kasus tertentu, menjelaskan argumentasi untuk menerangkan kebenaran yang berdasarkan ilmu dan keyakinan memang diperlukan dan berguna.
Tetapi, berdebat yang didasari ketidak-tahuan, ramalan, masalah ghaib atau dalam hal yang tidak berguna seperti tentang jumlah Ashhabul Kahfi atau yang sejenisnya maka hal itu hanya membuang-buang waktu dan berpengaruh pada retaknya persaudaraan.
Maka, jangan sampai seorang mukmin hobi berdebat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Saya adalah penjamin di rumah yang ada di sekeliling Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meski dia benar. Dan di tengah-tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun dia bergurau. Juga di Surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaknya."(HR.AbuDaud,dihasankanolehAl-Albani).
G.    Dilarang Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa
Dunia hiburan (entertainment) menjadi dunia yang digandrungi oleh sebagian besar umat manusia. Salah satu jenis hiburan yang digandrungi orang untuk menghilangkan stress dan beban hidup yang berat adalah lawak. Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa terbahak-bahak, padahal di dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti memaksa diri dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang mendapat ancaman melalui lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan sabda beliau:
"Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!" (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).
Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
H.    Merendahkan Suara Ketika Berbicara
Meninggikan suaranya, berteriak dan membentak. Dalam pergaulan sosial, tentu orang yang semacam ini sangat dibenci. Bila sebagai pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang ditakuti oleh bawahannya. Bukan karena kewibawaan dan keteladanannya, tapi karena suaranya yang menakutkan. Bila sebagai bawahan, maka dia adalah orang yang tak tahu diri.
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, 'Orang yang meninggikan suaranya terhadap orang lain, maka tentu semua orang yang berakal menge-tahui, bahwa orang tersebut bukanlah orang yang terhormat.' Ibnu Zaid berkata, 'Seandainya mengeraskan suara (dalam berbicara), adalah hal yang baik, tentu Allah tidak menjadikannya sebagai suara keledai.' Abdurrahman As-Sa'di berkata, 'Tidak diragukan lagi, bahwa (orang yang) meninggikan suara kepada orang lain adalah orang yang tidak beradab dan tidak menghormati orang lain.'
Karena itulah termasuk adab berbicara dalam Islam adalah merendahkan suara ketika berbicara. Allah berfirman, artinya:
"Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai."(QS.Luqman:19).
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik,”
Selain adab dan pemilihan kata dalam berkomunikasi, perhatikan juga materi atau isi pembicaraan kita. Pembicaraan yang dikhawatirkan dapat menjerumuskan kita pada pembicaraan yang berpotensi dosa
2.      Dosa Yang Berdusta Atas Nama Rasulullah
diriwayatkan. Dari Ali, ia mengatakan, Nabi SAW. Bersabda: “janganlah kalian berdusta atas namaku, sebab sesungguhnya siapa yang berdusta atas namaku, maka siaplah masuk ke neraka. (HR. Sepakat Bukahari dan Muslim)
Larangan ini berlaku umum dan ditujukan kepada seluruh pendusta, serta berlaku mutlak untuk segala macam bentuk kebohongan. Artinya, janganlah memakai namaku untuk melakukan sebuah kedustaan.
Sebagian orang telah keliru akibat kejahilannya. Mereka membuat hadits-hadits palsu di dalam hal targhib (anjuran beramal) dan tarhib (peringatan untuk tidak melakukan pelanggaran) dengan argumen: “Kami berdusta tidak untuk keburukan Rasulullah, tetapi itu kami lakukan untuk mendukung syari’at beliau!” Mereka tidak menyadari bahwa kedustaan mereka atas nama Rasulullah tersebut sama artinya dengan berdusta atas nama Allah. Sebab, perbuatan tersebut berarti menetapkan sebuah hukum baru di dalam syariat, baik hukumnya wajib atau mustahab; atau lawan dari kedua hukum tersebut, yakni haram dan makruh.
Jadi, alasan mereka yang menyelisihi hadits di atas tidak dapat diterima, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok al-Karamiyyah yang membolehkan berbohong dalam perkara targhib dan tarhib untuk menguatkan apa yang sudah tercantum di dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. Mereka beralasan bahwa kedustaan tersebut adalah untuk membela Nabi, bukan untuk merusak citra beliau. Alasan seperti ini menunjukkan kebodohan mereka terhadap bahasa Arab.
Dusta dijadikan penyebab masuknya seseorang ke dalam Neraka. Sebab konsekuensi suatu perkara itu pasti terjadi, dan dalam hal ini kepastian seseorang akan masuk Neraka adalah disebabkan oleh kedustaan atas nama Nabi. Atau disimpulkan demikian jika dipahami bahwa kalimat tersebut berbentuk perintah namun bermakna berita. Hal ini didukung oleh riwayat Muslim dari jalur Ghundar, dari Syu’bah:
(( مَنْ يَكْذِبْ عَلَيَّ يَلِجِ النَّارَ. ))
“Barang siapa yang berdusta atas namaku, niscaya dia akan masuk Neraka.”
Dan riwayat Ibnu Majah dari jalur Syarik, dari Manshur, beliau n bersabda:
(( اَلْكَذِبُ عَلَيَّ يُوْلِجُ –أَيْ يُدْخِلُ- النَّارَ. ))
“Berdusta atas namaku akan memasukkan seseorang ke dalam api Neraka.”
3.      Dusta yang Diperbolehkan
Dari Ummu Kultsum binti Uqbah radhiallahu anha bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا
“Bukanlah disebut pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan cara dia menyampaikan hal-hal yang baik atau dia berkata hal-hal yang baik”. (HR. SepakatBukhari, dan muslim
Maksudnya: Walaupun apa yang dia sampaikan atau katakan itu tidak benar, akan tetapi dia mengucapkannya agar terwujud perdamaian di antara kedua belah pihak. Dalam riwayat Muslim ada tambahan:

وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
“Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal: Dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami.”
Dusta merupakan dosa yang sangat besar dan amalan yang sangat jelek. Hanya saja, jika pada suatu keadaan tertentu, kedustaan bisa membawa kemaslahatan syar’i yang lebih besar daripada mudharat kedustaan itu, maka ketika itu dusta diperbolehkan sebutuhnya. Hanya saja ini bukan berarti setiap orang bisa berijtihad dengan pemikirannya untuk menilai suatu dusta itu boleh atau tidak, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah menegaskan bentuk dusta yang diperbolehkan dalam syariat. Karenanya kita wajib terbatas pada apa yang beliau sebutkan dan selainnya tetap dalam hukum haram dan merupakan dusta yang tercela.
Adapun kedustaan yang diperbolehkan adalah:
1.        Dusta untuk mendamaikan pihak yang bertikai.
2.        Dusta dalam perang.
 Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْحَرْبُ خَدْعَةٌ
“Perang adalah tipu daya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4.      Menjaga lidah

Dua perkara penting yang sering diperingatkan Islam kepada manusia supaya menjaga dan memelihara dengan baik ialah penggunaan lidah dan tingkah laku.
Rasulullah s.a.w berpesan kepada semua orang iaitu sekiranya mereka beriman kepada Allah dan rasul-Nya maka hendaklah ia mengeluarkan tutur kata yang baik, dan sekiranya tidak ada sesuatu yang baik yang hendak diperkatakannya, maka hendaklah ia berdiam diri sahaja.
Pesanan ini menekankan tentang kepentingan manusia menjaga tutur katanya supaya tidak mengucapkan sesuatu yang buruk dan menyakiti hati orang lain, kerana tutur kata yang tidak baik akan membawa kepada krisis lain yang boleh menimbulkan permusuhan, kekacauan dan ada kalanya membawa kepada pertumpahan darah dan melibatkan nyawa manusia sendiri.
Maka dengan menjaga lidah dan tutur kata, manusia akan dapat menjamin ketenteraman, perdamaian dan kesejahteraan masyarakat mereka sepanjang masa.
Dalam konteks inilah Rasulullah s.a.w berpesan supaya menjaga lidah, maka tentulah amat diharapkan bahawa manusia juga haruslah menjaga tingkah laku dan perbuatannya agar tidak mengganggu dan melampaui batas sehingga menyentuh hak dan maruah orang lain dengan perbuatan dan gerak geri fizikalnya sendiri.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (Al-Ahzab[33]: ayat 70) “
5.      Jujur Dalam Menyampaikan Informasi
Qaulan Sadida artinya pembicaraan yang benar, jujur, lurus, tidak bohong, dan tidak berbeli-belit. Dalam berkomunikasi  kita hendaknya harus berkata yang benar, jujur, lurus dan tidak berbelit- belit dalam menyampaikan sebuah informasi, sebab apabila ketika kita memberikan informasi dengan berbelit- belit maka akan memungkinkan terjadinya kesalahan informasi yang diterima oleh penerima informasi dari pengirim informasi. Selain itu juga dalam menyampaikan informasi kita harus memberikan informasi yang sebenar- benarnya atau sesuai dengan fakta. Sebab ini merupakan kaedah pertama dalam sistem komunikasi islam menurut Ahmad Sufyan Che Abdullah dalam tulisannya “beberapa kaedah komunikasi islam: menjamin produktiviti kerja”. Dalam islam ketika kita memperoleh informasi atau ketika kita mau menyampaikan sebuah informasi hendaknya informasi yang akan kita sampikan kepada orang lain atau informasi yang kita terima dari orang lain hendaknya kita telaah terlebih dahulu kebenarannya, sebab apabila kita menyampaikan sebuah informasi yang tidak sesuai dengan faktanya itu tentu saja jelas telah menyalahi ajaran islam karena kita memberika sebuah informasi yang tidak sesuai dengan faktnaya atau dusta, padahal sudah jelas- jelas di dalam Al- Qur’an surat Al- Hajj Allah SWT melarang manusia untuk berkata dusta, Allah Berfirman :
Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30).”:
Dari segi substansi, komunikasi islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, hal yang benar saja, jujur, juga tidak boleh merekayasa atau memanipulasi. Apabila dikaitkan dalam pendidikan, komunikasi islam yaitu jadi disini seorang guru hendaknya dalam menyampaikan sebuah informasi kepada siswanya hendaknya memberikan informasi yang benar, jujur, tidak boleh merekayasa dan tidak boleh berbelit- belit. Contoh: ketika seorang guru fiqh sedang menyampaikan informasi atau materi mengenai hukum meminum- minuman khamar itu haram, maka sebelum menyampaikan materi tersebut hendaknya guru terlebih dahulu menelaah tentang pengharaman minuman khamar itu, Apa benar khamar itu diharamkan? Hal ini dilakukan agar ketika guru memberikan materi mengenai khamar sudah tidak terjadi kesalahan informasi. Sebab apabila seorang guru memberikan informasi yang salah, seperti contoh guru memberikan informasi kepada siswanya bahwa khamar itu dihalalkan maka dipikiran siswanya sampai dia dewasa akan membenarkan bahwa khamar itu halal, padahal faktanya bahwa sudah jelas- jelas bahwa minuman khamar itu hukumnya haram, itu semua akan memberikan dampak yang sangat buruk bagi pengetahuan peserta didik,  Hal ini terjadi Karen pada dasarnya guru dikelas itu sangat dipercaya perkataannya oleh peserta didik, jadi guru hendaknya berhati- hati dalam memberikan informasi dan dalam menyampaikan informasi juga guru diharapkan dapat menyampikan secara jelas agar peserta didik mudah menerima informasi yang diberikan oleh guru dan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran informasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar