Minggu, 21 Februari 2016

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

HADIS
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN dalam ISLAM

DOSEN PENGAMPU :
   WAJIDI SAYADI, M. Ag





DISUSUN OLEH :
       
    MARYAMATUL MUNAWWARAH

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM  (KPI)
JURUSAN  DAKWAH
SEKOLAH  TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONTIANAK
2013

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

  قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنْ يُفْلِحُ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ إِمْرَأًة ,عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ
(رواه البخا ري) 
Diriwayatkan dari Abu Bakrah, ia berkata Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat, bangsa) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada perempuan” (HR. Bukhari dari Abi Bakrah).
A.    Asbaab al- Wuruud
Adapun yang melatar belakangi lahirnya hadis tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan Abi Bakrah sebagai sumber riwayat diatas menyebutkan, ketika para sahabat datang menyampaikan laporan bahwa penduduk Persia telah mengangkat Putri Kisra sebagai Raja. Mendengar laporan tersebut, Nabi SAW menanggapinya dengan mengeluarkan pernyataan sebagai sabdanya : “Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat, bangsa) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada perempuan”.
B.     Sumber Riwayat
Hadis tersebut disampaikan Abu Bakrah yang diterima dari Nabi Muhammad SAW. Dia seorang sahabat Nabi yang nama lengkapnya adalah Nafi’ ibn al-Harits ibn Kaldah, ia tinggal dan menetap dibasrah hingga wafat pada tahun 52 H. Dialah satu-satunya sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut diatas dan semakna dengannya yang didapati dalam kitab-kitab hadis khususnya al-kutub at-Tis’ah yaitu sebanyak tujuh kali riwayat.
C.    Takhrijul Hadis
Hadis tersebut diatas diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab shahihnya sebanyak 2 kali yakni pada hadis no. 4425 dan 7099.

D.    Fiqhul Hadis
Dr. Yusuf al-Qaradhawi pernah ditanya tentang bagaimana kualitas hadis tersebut apakah shahih atau tidak, sebab sebagian orang yang menamakan dirinya sebagai pembela dan pejuang hak-hak perempuan menolak keberadaan hadis tersebut. Menurut mereka, hadis tersebut bertentangan dengan hadis berikut ini :
خُذُواْشَطْرَدِيْنِكُمْ عَنِ الْحُمَيْرَاءَ
“Ambillah setengah agamamu dari al-Humairah”.
Al-Humairah artinya yang kemerah-merahan, maksudnya ialah Aisyah istri Nabi SAW. Al-Qaradhawi menanggapi dan menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa kebodohan yang bercampuraduk dengan selera hawa nafsu merupakan musibah yang paling besar menimpa umat ini. Kebodohan seperti inilah  yang melemahkan dan menolak keberadaan hadis shahih dan justru menerima dan mengagung-agungkan hadis lemah.
Hadis tersebut diatas bahwa “Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat, bangsa) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada perempuan” adalah berkualitas shahih dan diterima oleh para ulama diseluruh penjuru dunia. Sementara hadis yang berbunyi : “Ambillah setengah agamamu dari al-Humaira”, oleh para ulama kritikus hadis seperti Ibn Hajar al-Asqalani mengakui tidak mengenal isnad hadis ini dan tidak pernah terlihat dalam kitab hadis, kecuali hanya dalam an-Nihayah karya Ibnu al-Atsir yang juga tidak menyebutkan siapa yang meriwayatkannya. Ibnu Katsir seorang ulama tafsir dan hadis menyebutkan bahwa al-Mizi dan adz-Dzahabi pernah ditanya tentang hadis ini, keduanya mengaku tidak mengenalnya, bahkan al-Mizi menilai bahwa hadis tersebut adalah batal (palsu).
Apa yang ditanyakan orang tersebut kepada syaikh al-Qaradhawi di Mesir sebetulnya juga terdapat di Indonesia dimana ada sebagian orang yang dikenal sebagai pejuang dan pembela hak-hak perempuan justru menjadikan riwayat hadis “Ambillah setengah agamamu dari al-Humaira”, ini sebagai pedoman padahal sesungguhnya sudah nyata tidak dikenal dalam kitab-kitab hadis bahkan dinilai palsu, hanya untuk mendukung pandangannya bahwa perempuan tidak kurang akalnya sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis shahih yang diriwayatkan Bukhari bahwah perempuan termasuk kurang akal dan agamanya.
Kekeliruan pemahaman terhadap hadis tersebut diatas atau keberanian menolaknya disebabkan karena melihat suatu hadis secara sepintas tekstual saja tanpa menelusuri dalam konteks modern, hadis tersebut diatas semakin popular sebab diera modern ini perbincangan tentang perempuan dengan segala kemampuan dan kemajuannya termasuk dalam bidang politik, yakni kepemimpinannya menjadi semakin menarik dan aktual. Dan hadis tesebut diatas membicarakan masalah kepemimpian perempuan dalam dunia publik.
Hadis tersebut jika dilihat dan dipahami secara tekstual akan memunculkan kesimpulan bahwa perempuan dinilai tidak layak untuk diserahi dan diangkat menjadi pemimpin publik masyarakat lebih-lebih menjadi Presiden. Metode pemahaman seperti ini banyak dilakukan oleh para ulama, bahkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat demikian. Pemahaman secara tekstual seperti ini justru sering menjadi bahan kritikan dan menimbulkan kesan negatif terhadap hadis Nabi SAW karena dinilai diskriminatif terhadap perempuan dan tidak menghargai peran dan eksistensi hak politik mereka untuk memimpin. Atau hadis tersebut diatas dinilai tidak relevan dengan perkembangan dan sudah ketinggalan zaman? Atau boleh jadi justru cara kita berfikir dan memahami hadis tersebut diatas yang ketinggalan zaman? Sehingga dengan berani melemahkan hadis Nabi SAW, padahal sesungguhnya justru yang lemah adalah akal kita sendiri.
Oleh karena itu, upaya memahami hadis tersebut diatas perlu ditelusuri dan diketahui konteks dan latar belakang historis sosial, situasi dan kondisi yang melatar belakangi hadis tersebut disabdakan oleh Nabi SAW. Perubahan situasi dan kondisi serta realitas sosial dimana mereka hidup dan beraktivitas, dikaitkan dengan hadis diatas sangat relevan. Pendekatan kontekstual ini adalah dengan mempertimbangkan latar belakang historis sosial lahirnya hadis tersebut dan realitas sosial masyarakat pada saat itu sehingga gambaran mengenai tujuan disabdakannya hadis itu dapat dipahami.
Setelah ditelusuri latar belakang historisnya, ternyata diperoleh informasi bahwa hadis tersebut disabdakan Nabi SAW sebagai respon dan tanggapan terhadap laporan dari saahabat-sahabat Nabi yang menceritakan tentang pengangkatan seorang perempuan yang menjadi Ratu di Persia yang bernama Buwaran binti Syairawih ibn Kisra ibn Barwaiz. Buwaran diangkat menjadi ratu di Persia menggantikan ayahnya setelah terjadi pergolakan politik berdarah dalam rangka suksesi memperebutkan kekuasaan dimana saudara laki-lakinya turut tewas dalam pergolakan itu. Cerita mengenai peristiwa tersebut yang disampaikan kepada Nabi dan direspon dengan sabda beliau sebagaimana dikemukakan dalam latar belakang lahirnya hadis diatas.
Mengapa Nabi merespon demikian? Boleh jadi karena ada peristiwa sebelumnya bahwa semasa hidupnya raja Kisrah kakek Buwaran yang baru saja dianggakat menjadi ratu, Nabi SAW pernah menyurati dan mengajak dia masuk islam dan raja Kisrah menolak ajakan Nabi secara tidak baik bahkan justru dia merobek-robek surat Nabi tersebut. Ketika menerima laporan dari sahabat bahwa surat ajakan beliau tidak direspon dengan baik, tapi justru dirobek-robek oleh Kisrah maka Nabi bersabda bahwa siapa yang telah merobek-robek suratku dia juga nanti akan dirobek-robek. Pergolakan berdarah yang menimpa keluarga Kisrah raja Persia merupakan bukti terobek-robeknya diri dan keluarga raja sebagaimana dia telah merobek-robek surat ajakan Nabi.
Demikian juga dipandang dari sudut pandang realitas sosial pada waktu itu, bahwa kedudukan perempuan belum sangat memungkinkan untuk menjadi seorang pemimpin publik, apalagi pemimpin Negara bahkan pengangkatan seorang perempuan menjadi pemimpin ini dinilai menyalahi tradisi yang sudah berlaku pada saat itu sebab sudah menjadi tradisi bahwa pemimpin atau kepala Negara itu adalah seorang laki-laki. Sejarah telah mencatat bahwa perempuan dimata masyarakat pada saat itu adalah “Makhluk” yang kurang diharhgai bahkan dikatakan tidak berharga sama sekali, dengan dasar kepercayaan seperti ini maka hanya laki-lakilah yang dipandang layak dan mampu mengurus kepentingan publik dan masalah Negara.
Sementara perempuan tidak dipercaya sama sekali untuk ikut mengurus kepentingan publik apalagi bangsa dan Negara, dalam situasi dan kondisi seperti inilah Nabi SAW menyatakan bahwa menyerahkan urusan kemasyarakatan dan kenegaraan  kepada perempuan tidak akan sukses sebab bagaimana mungkin bisa sukses kalau orang yang memimpin itu adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang ideal bagi seorang pemimpin adalah ia mempunyai wibawa atau kharisma, sementara perempuan pada saat itu sama sekali tidak mempunyai wibawa untuk menjadi pemimpin masyarakat umum.
Daerah tempat terjadinya peristiwa yang ditanggapi Nabi hingga melahirkan hadis tersebut diatas adalah terjadi diwilayah diluar dunia islam. Apakah Nabi menetapkan kreteria ketidak bolehan perempuan menjadi kepala Negara muslim dengan mengacu kepada fakta yang terjadi diluar Negara islam? Demikian juga dikaitkan dengan adanya realitas dan dinamika sosial yang telah mengalami perkembangan kemajuan dizaman sekarang. Situasi dan kondisi serta kemampuan yang dimiliki perempuan terutama diera modern ini tentu sudah tidak sama lagi dengan zaman unta dahulu. Sekarang mereka telah mengalami kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk kemajuan dalam bidang politik.
Oleh karena itu, memahami makna dan maksud hadis diatas tidak secara tekstual tetapi secara kontekstual dengan mempertimbangkan konteksnya, perubahan situasi dan kondisi dimana masyarakat sudah menghargai, menerima dan memposisikan perempuan itu sebagaimana halnya laki-laki, perempuan itu sendiri sudah mempunyai wibawa dan kemampuan memimpin, maka mengangkat mereka menjadi pemimpin adalah boleh-boleh saja. Dengan demikian, hadis diatas persoalan intinya bukan pada persoalan biologis keperempuanannya akan tetapi lebih pada persoalan kemampuan memimpinnya, kemampuan dalam memimpin tidak relevan dikaitkan dengan persolan jenis kelamin melainkan pada kualifikasi (keahlian) dan kualitas pribadi, kapasitas intelektual, integritas (mutu) moral, sistem dan realitas politik yang mendukungnya.[1]
  1. Konsep Gender Dalam Kehidupan
Perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki mempengaruhi kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung dimasyarakat. Hal ini dapat kita lihat di :
  1. Lingkungan keluarga
Keluarga adalah tempat terpenting bagi seseorang karena merupakan tempat pendidikan yang pertama kali dan didalam keluarga pula seseorang paling banyak bergaul serta mengenal kehidupan. Menurut teori gender kedudukan yang terpenting bagi perempuan dalam keluarga adalah sebagai istri dan ibu yang mengatur  jalannya rumah tangga serta memelihara anak (Beechey), untuk menjalankan tugas sebagai istri dan ibu perempuan diharapkan dapat memasak, menjahit, memelihara rumah serta melahirkan, sehubungan dengan tugas ini alangkah baiknya bila kedudukan seorang istri dirumah.
Sebaliknya, menurut ideologi ini kedudukan laki-laki yang terpenting dalam suatu keluarga adalah sebagai seorang suami yang bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama karena tugasnya sebagai pencari nafkah, sering seorang suami tidak peduli dan tidak mau tahu dengan urusan rumah tangga, sebab dia merasa sudah memberi uang untuk jalannya roda rumah tangga (Smith). Bila melihat kondisi masyarakat pada saat ini, tampak konsep-konsep diatas sudah agak  bergeser, banyak istri yang bekerja mencari nafkah diluar rumah.
  1. Lingkungan Pendidikan
Dibidang pendidikan tampak bahwa konsep gender juga dominan. Sebagai contoh masyarakat kita masih menganggap bahwa anak perempuan lebih sesuai memilih jurusan bahasa, pendidikan, sebaliknya anak laki-laki lebih sesuai untuk jurusan teknik. Perempuan dianggap lemah dibidang matematika, sebaliknya laki-laki dianggap lemah dibidang bahasa. Pada keluarga yang kondisi ekonominya terbatas banyak dijumpai pendidikan lebih diutamakan bagi anak laki-laki meskipun anak perempuannya jauh lebih pandai, keadaan ini menyebabkan lebih sedikitnya jumlah perempuan yang berpendidikan. (Millar).
  1. Lingkungan Pekerjaan
Sejak kaum perempuan dapat memperoleh pendidikan dengan baik,  jumlah perempuan yang mempunyai karier atau bekerja diluar rumah menjadi lebih banyak. Mednick berpendapat meskipun jumlah kaum perempuan yang bekerja meningkat tetapi jenis pekerjaan yang diperoleh masih tetap berdasar konsep gender. Kaum perempuan lebih banyak bekerja di bidang pelayanan jasa atau pekerjaan yang membutuhkan sedikit keterampilan seperti dibidang administrasi, perawat atau pelayan toko dan hanya sedikit yang menduduki jabatan manager atau pengambil keputusan (Abbott dan Sapsford). Dari segi upah masih banyak dijumpai bahwa kaum perempuan menerima upah lebih rendah dari laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama, juga perbedaan kesempatan yang diberikan antara karyawan perempuan dan laki-laki dimana laki-laki lebih diprioritaskan.
Dari perbedaan perlakuan tersebut banyak yang kemudian menyimpulkan, menggolongkan dan kemudian menganggap perempuan sebagai orang yang lemah, pasif serta independen dan menganggap laki-laki lebih berharga. Dikatakan oleh Fatima Mernissi kini banyak kaum hawa keluar rumah mereka dan menuju ke pabrik, kantor, Universitas dan seterusnya, dari ungkapan ini kiranya wacana-wacana perempuan mutakhir jadi tidak relevan lagi. Sebab, dari gambaran ini tentang perempuan yang serba kalah dari kaum lelaki untuk konteks saat ini saja sudah jauh dari realitas peran-peran kaum perempuan yang sebenarnya.[2]
F.     Pandangan Ulama Terhadap Hadits Larangan Kepemimpinan Perempuan
Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan perempuan secara tekstual, mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis lainnya dilarang. Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa perempuan menurut syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya, oleh karenanya al-Khattabi mengatakan hawa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah.
Demikian pula al-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berpendapat bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. Sementara itu, para ulama lainnya seperti Ibn Hazm, al-Ghazali, Kamal ibn Abi Syarif dan Kamal ibn Abi Hammam meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala Negara, bahkan Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat laki-laki ini bagi kepala negara sebagaimana syarat bagi seorang qadi, karena didasarkan pada hadis seperti tersebut sebelumnya.[3]
Ada tiga pandangan tentang kepemimpinan wanita dalam Fiqh Islam, pendapat pertama melihat wanita tidak mempunyai hak sama sekali dalam berpolitik, diantara dalil yang dipakai untuk menguatkan pendapat mereka adalah adanya ketentuan laki-laki adalah pemimpin (Al-Nisa : 32 dan 34, Al-Baqarah : 228), larangan wanita untuk keluar rumah (Al-Ahzab : 33 dan 53), dan hadis Abu Bakrah ketika Rasulullah mengetahui Kaum Parsia dipimpin oleh seorang wanita (hadis diatas).
Pendapat kedua dari sebagian besar ulama klasik dan kontemporer memandang wanita memiliki hak berpolitik yang sama seperti laki-laki kecuali memegang pucuk pemerintahan (presiden), dengan beralasan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam Islam (Al-Baqarah : 228, Al-Hujurat : 13, Al-Taubah: 71). Alasan pendapat yang kedua bahwasanya wanita kapabel untuk berpartisipasi dalam wilayah politik, seperti bukti sejarah tentang suksesnya Ratu Bilqis yang memerintahkan Saba (Al-Naml : 32-34). Rasulullah juga mengakui suaka politik dari kaum wanita, seperti Ummu Hani dalam peristiwa Fath Mekkah, Rasulullah juga menerima bai’at kaum wanita, juga penyebaran dakwah Islam dengan periwayatan hadis yang dilakukan juga oleh kaum Muslimah seperti Aisyah ra..
Pendapat ketiga memandang wanita berhak berpolitik seperti laki-laki termasuk memegang pucuk pemerintahan. Kelompok yang sebagian besar ulama kontemporer ini menginterpretasikan hadis Abu Bakrah khusus ditujukan untuk kaum Persia yang saat itu dipimpin oleh seorang wanita, bukan dipukul rata untuk semua kaum, juga mengambil dalil dari kisah sukses Ratu Bilqis yang diceritakan dalam Al-Quran (Al-Naml : 32-34), serta realita suksesnya pemimpin wanita seperti: Syajaratuddur yang menghalau tentara salib masuk Mesir, bahkan kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh wanita.
Mereka berpendapat juga bahwasanya “wilayatul ‘udhma” dulu bermakna pemimpin tertinggi dalam semua ini baik kenegaraan dan agama seperti menjadi imam shalat dan khatib. Namun setelah tumbang Khilafah Utsmaniyyah, sistem kenegaraan mengalami pergeseran, ada pembagian tugas yang membantu wali, seperti parlemen, menteri-menteri, sehingga wanita juga boleh menduduki posisi tertinggi karena tidak ada tuntutan untuk menjadi Imam shalat ataupun khatib.[4]




DAFTAR PUSTAKA

Wajidi Sayadi, 2011. Hadis Tarbawi, Jakarta : Pustaka Firdaus














[1] Wajidi Sayadi, 2011. Hadis Tarbawi, Jakarta : Pustaka Firdaus. Hal 184-190

Tidak ada komentar:

Posting Komentar