Minggu, 21 Februari 2016

Kekuasaan Media Massa

Nama               : Maryamatul Munawwarah    Nim                 : 1113111006
MK                  : Komunikasi Massa                Dosen              : Acan Mahdi, M. Si
Jurusan            : KPI
Kekuasaan Media Massa

Keberadaan media saat ini telah berkembang tidak hanya sekadar mempresentasikan pengetahuan, gagasan, dan pandangan yang membentuk struktur secara mantap. Media saat ini justru telah membangun realitas sosial dari sebuah industri yang lebih menuntut pada pengembalian modal usaha yang disajikan terhadap masyarakat dinamis dan kontemporer. Media massa saat ini, telah menjadi institusi produktif yang kemudian memposisikan dirinya sebagai agen perubahan. Melalui media, berlangsung perbenturan yang mengguncang struktur kebudayaan dan sistem komunikasi yang telah mapan, berubah pada struktur kebudayaan dan sistem kominikasi baru. Dengan demikian, media memberi kontribusi proses perubahan dan pembentukan pengetahuan baru.
Industri media saat ini telah melahirkan kelompok yang berdaya (para pemodal) untuk membentuk mainstream atau nilai-nilai yang sekaligus membentuk struktur kebudayaan dominan. Dengan demikian, kekuatan kelompok partkular dapat menghasilkan cultural transgression berkat mitos-mitos bentukan mereka dan diekspresikan melalui media yang mereka miliki. Keberadaan media saat ini adalah bagian dari sebuah industri, setiap industri media dituntut memperhitungkan pengembalian setiap investasi yang ditanamnya. Sebagai sebuah industri, setiap produsen media dalam rangka mempertahankan eksistensinya tidak bisa menafikan kepentingan ekonomi. Determinasi ekonomi inilah, kemudian menjadi motivasi utama pengusaha media akan selalu melakukan ekspansi usaha demi mengembalikan investasi yang mereka tanam.
Bagi para pengusaha stasiun televisi misalnya, demi pengembalian investasi akan ditandai dengan sejumlah tindakan pengelola stasiun merayu pemasang iklan agar menjadi sponsor sejumlah sajian acara yang ditayangkan, baik berupa hiburan maupun informasi. Diharapkan setiap siaran yang ditayangkan mampu “merayu” pemasang iklan. Ketika sebuah sajian acara ternyata disukai banyak pemirsa maka ia pun terus menerus diproduksi berkualitas, mendidik, atau berguna bagi pemirsa, itu nomor dua.
Di sisi lain, praktik-praktik sosial antarindividu tiba-tiba tercipta dengan cepat, secepat mereka merepresentasikan dirinya akibat merespons sejumlah tayangan acara yang ada. Sihir sakti acara televisi telah mencengkeram sejak bagun pagi hingga kita tidur kembali. Ia telah membentuk gerakkan arus besar tentang relasi-relasi antara yang mendominasi dan yang terdominasi, antara yang mempengaruhi dan yang terpengaruhi, antara yang memprovokasi dan yang terprovokasi, antara yang berkuasa dengan yang dikuasi, bahkan antara gambaran ruang yang bersifat publik dengan yang bersifat domestik.
Acara tayangan televisi telah menjadi bagian dari refleksi kehidupan sehari-hari. Ia menjadi model dari sebuah habitus yang berperan aktif dalam ranah sosial. Ia telah menjadi fenomena komunikasi yang tidak bisa dilepaskan dari karakterisitik individu-individu yang kemudian menjadi objek dan subjeknya. Bahkan, tanpa sadar ia telah membangun hubungan-hubungan sosial melalui interaksi sosial dalam konteks politik, ekonomi, dan kultural. Ruang dan waktu tak lagi menjadi pembatas dan kendala terjadinya perubahan (bandingkan pada Gidden 1979).
Dari sinilah lahir kebudayaan massa yang cepat dan penuh perubahan. Di tengah kebudayaan massa yang serba cepat itulah sejumlah ekspresi tentang nilai, pengetahuan, norma, dan simbol, menandai dinamika masyarakat kita. Televisi, kini tak lagi sekadar media komunikasi yang melahirkan dan membangun hubungan sosial secara harmonis. Ia bisa jadi justru mendorong penghacuran hubungan sosial tersebut. Apalagi media semacam televisi merupakan alat yang digunakan untuk mengembangkan strategi yang kemudian melahirkan propaganda kekuatan politik, ekonomi, bahkan misi keagamaan (bandingkan pada Berlo, 1960 dan Fidler, 1997).
Di samping itu, jika televisi kita tempatkan sebagai media strategi komunikasi, maka ia mempunyai tujuan memelihara atau mengubah sikap atau pendapat sasaran demi kepentingan sumber pembuat strategi. Bahkan, dapat dikatakan bahwa media komunikasi lebih cenderung bertujuan untuk melahirkan khalayak (audience) agar patuh kepada pihak yang menguasai modal komunikasi, baik dalam konteks politik maupun ekonomi.
Televisi sebagai media komunikasi juga menjalankan fungsi imperatif, yakni memelihara otonomi ruang pribadi (personal space) khalayak untuk tujuan objektivikasi dan subjektivikasi. Objektivikasi dapat dilihat sebagai proses untuk mencapai objektivitas terhadap dunia luar (auter-world), sedangkan subjektifikasi dilakukan demi membangun subjektivitas bagi dunia dalam (inner-world) masing-masing individu (bandingkan pada Berger dan Luckman, 1966).
Kontestasi kekuasaan
Perkembangan media saat ini sejalan dengan perkembangan sosial. Perkembangan sosial saat ini, pada dasarnya telah melampaui pemikiran modernitas (yang ditandai dengan munculnya industri barang dan jasa) menuju pemikiran pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan oleh seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi informasi.
Keberadaan media di era pascamodernitas ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam menandai dinamika sosial dan ekonomi masyarakatnya, terutama dalam mengkonsumsi simbol-simbol dan gaya hidup daripada fungsi produksi barang yang menjadi ciri khas era industri. Konsumsi simbol-simbol, gaya hidup, dan dinamika masyarakat terjadi, karena media telah melakukan konstruksi realitas sosial.
Media pada dasarnya telah memberi kontribusi cukup banyak dalam pengkajian tentang pengetahuan suatu masyarakat. Kontribusi media terhadap pengkajian tentang pengetahuan suatu masyarakat dapat ditandai dari strategi dan kepentingan yang dikembangkan media itu sendiri. Dalam mengembangkan strategi dan kepentingannya, terbentuklah identitas-identitas yang kemudian diposisikan menjadi para pelaku media.
Posisi para pelaku pada dasarnya telah ditentukan oleh suatu struktur atau bentuk pengorganisasian demi kepentingan media itu sendiri. Atau dengan kata lain, identitas-identitas yang telah diorganisasi dan dikonstruksi menjadi aktor-aktor yang secara kongkret terlibat dalam arus kontinyu tindakan tersebut, pada dasarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan yang terus berkembang pada diri media.
Jika dalam mengembangkan kepentingan media, para pelaku melakukan tindakan saling mendukung, saling mengontrol, saling bersaing, dan saling mengalahkan, maka hal itu dapat dipahami sebagai proses pembentukan pengetahuan yang melekat di dalamnya. Serangkaian proses pembentukan pengetahuan itulah yang kemudian memberi ruang bekerjanya kekuasaan. Sebab, tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak kekuasaan tanpa pengetahuan.
Sajian acara televisi misalnya, pada dasarnya tidak hanya dilihat dari bentuk-bentuk tekstual semata, ia tersaji lantaran praktik-praktik sosial para pelaku yang diproduksi dan direproduksi secara terus menerus sejalan dengan pengetahuan dan identitas-identitas kultural secara luas. Tersajikannya acara televisi tersebut pada dasarnya melalui proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi pengetahuan para pelaku yang terlibat, yang kemudian diekspresikan secara tekstual.
Dalam proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi pengetahuan para pelaku itulah, berlangsung kontestasi kekuasaan. Konsep kontestasi kekuasaan dalam hal ini dapat digambarkan dalam bentuk perjuangan, perebutan, dan persaingan yang seiring dengan proses pembentukan pengetahuan itu sendiri.
Baik proses pembentukan pengetahuan maupun terciptanya kontestasi kekuasaan pada dasarnya dapat dilihat sebagai bentuk kebudayaan. Akan tetapi harus disadari bahwa kekuasaan akan terus mengalir ke sejumlah institusi dan struktur, sehingga kekuasaan tidak dapat diartikan sebagai suatu struktur yang mantap. Ia justru akan selalu berubah sejalan dengan interaksi yang berlangsung secara terus-menerus – baik berupa perjuangan, perebutan, maupun perdebatan – serta berkembangnya pengetahuan para pelaku.
Artinya, kekuasaan akan menyebar tanpa bisa dilokalisasi dan meresap dalam seluruh jalinan hubungan sosial. Meresapnya kekuasaan dalam seluruh jalinan hubungan sosial pada dasarnya merupakan ungkapan-ungkapan kebudayaan, sedangkan kebudayaan merupakan bentukan dari relasi-relasi kekuasaan.

Relasi-relasi kekuasaan media saat ini menunjukan gambaran yang sangat dinamis. Kedinamisan tersebut menggambarkan sebuah kontestasi kekuasaan, yang tidak hanya ditentukan oleh satu pemegang otoritas. Kedinamisan justru ditandai oleh kekuasaan yang terus menerus mengalir dan menyebar ke sejumlah relasi yang terlibat di dalamnya. Katakanlah otoritas negara negara tidak menjadi satu-satunya pengendali regulasi misalnya. Namun, ada sejumlah kepentingan sejumlah pelaku yang selalu dinegosiasikan terus menerus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar