Senin, 22 Februari 2016

Negara-Negara Islam Pada Periode Modern Serta Kondisi Politik, Keagamaan dan Sosial (Maryamatul Munawwarah 1113111006)


A.    Turki
Republik Turki ( bahasa Turki) : Türkiye Cumhuriyeti ) disebut Türkiye ( bahasa) : Türkiye ) adalah sebuah negara besar di kawasan Eurasia. Wilayahnya terbentang dari Semenanjung Anatolia di Asia Barat Daya dan daerah Balkan di Eropa Tenggara. Turki berbatasan dengan laut hitam di sebelah utara; Bulgaria di sebelah barat laut; Yunani dan laut Aegea di sebelah barat; Georgia di timur laut; Armenia, Ajerbaijan dan Iran di sebelah timur; dan Irak dan Suriah di tenggara; dan Laut Mediterania di sebelah selatan.
Turki adalah sebuah republik konstitusional yang demokratis, sekular, dan bersatu. Sistem politiknya didirikan pada tahun 1923 di bawah pimpinan Mustafa Kemal Atatürk setelah kejatuhan Khilafah Ottoman .
Perubahan menyeluruh telah terjadi dalam kebijakan dalam negeri Turki. Pada tanggal 1 November 1923, tiga minggu setelah berlakunya genjatan senjata di Mudania, majelis nasional agung mengumumkan penghapusan kesultanan. Refet Pasha, pengikut setia Kemal yang dikemudian hari menjadi pemimpin di Thrace, atas izin sekutu berada di Konstantinopel dan segera merancang kudeta terhadap sultan serta kabinetnya. Sultan melraikan diri dengan menumpang kapal angkatan laut Inggris. Pada tanggal 18 November, majelis mengumumkan sepupu mantan sultan, Abdul Majid, sebagai khalifah dengan pengertian yang jelas bahwa kekuasaannya hanya terbatas pada masalah-masalah spiritual.
Pendirian republik, pada tanggal 29 Oktober majelis nasional agung mengumumkan Turki sebagai suatu republik dan sebagai presidennya yang pertama adalah Mustafa Kemal Pasha. Segera terlihat bahwa walaupun fungsi khalifah hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat seremonial, lembaga ini tidak sesuai dengan jiwa dan semangat pembaruan di republik baru ini. Maka pada tanggal 3 Maret 1924 hubungan dengan zaman lalu dihapuskan dan majelis secara resmi mengakhiri kekhalifahan. Dengan diam-diam khalifah mengundurkan diri ke luar negeri, dan hukumpun disahkan untuk membuang semua anggota Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) dari tanah Turki. Segera setelah itu, tanggal 20 April, majelis memberlakukan konstitusi yang secara umum meniru pola-pola negera Eropa Barat. Dinyatakan bahwa majelis nasional agung memiliki kekuasaan legislatif dan eksekutif yang kelak dijalankan oleh presiden republik dan dewan menteri. Kekuasaan yudikatif diselenggarakan oleh tiga badan peradilan yang masing-masing tidak terikat. Hak memilih ditetapkan atas dasar tidak tuna aksara. Anggota majelis ditetapkan masa jabatannya selama empat tahun, dimana presiden diangkat oleh majelis ini. Konstitusi Turki, cenderung meniru pola demokrasi Barat bukan model soviet, meskipun terjalin aliansi politik dengan Rusia baru.
Tidak dapat disangkal bahwa Turki, dibawah Kemal, mengalami perubahan radikal, bahkan dengan perubahan revolusioner dari orde lama ke orde baru. Hal yang paling menonjol dari revolusi ini ialah bahwa sebagian besar, meski secara bertahap, sesuai dengan tujuannya. Hal ini menghindari perangkat revolusi soviet dan Nazi yang mengganti orde lama dengan absolutisme baru. Dalam mencari hari depan yang lebih makmur dan lebih manusiawi, Turki baru berada dalam periode antara dua perang dunia harus melalui tahap transisi yang di China oleh Sun Yat Sen disebut tutelage.
Sulit dibantah bahwa setelah penghapusan kesultanan dan kekhalifahan, Kemalpun pada hakikatnya adalah seorang diktator. Namun, kediktatoran ini diperlunak paling sedikit oleh tiga faktor : (1) kecenderungan Kemal kepada dasar liberalisme Barat; (2) kebajikan dan tidak mementingkan diri pada Kemal; dan (3) pembagian kekuasaan dengan Partai Rakyat, sumber kekuatan politiknya yang sikapnya tidak bisa diabaikan.
Pada kongres ketiga di Ankara, Partai Rakyat menerima “Enam Dasar Kemalisme” yang menyatakan falsafah politik dasar dari republik baru Turki. Pada tahun 1937 keenam dasar ini secara resmi dimasukkan ke dalam konstitusi. Ia mencakup (1) Republikanisme; (2) Nasionalisme, tidak berdasarkan agama dan ras tetapi berdasarkan kewarganegaraan yang sama dan mengabdi kepada cita-cita nasional; (3) popuisme, artinya kesamaan dalam hukum dan penolakan kepentingan kelas dan persengketaan kelas dan juga penyalahgunaan kapitalisme; (4) etatisme, artinya campur tangan negara yang bersifat membangun di bidang ekonomi; (5) sekularisme, menetapkan pemisahan agama dan negara; (6) revolusionism, tekad untuk mengubah tradisi lama secara radikal apabila memang tidak bermanfaat bagi kemajuan bangsa.
Pakta Nasional Ankara, Kontitusi dan Enam Dasar merupakan dasar hukum dan ideologis bagi kehidupan baru nasional. Diperlukan suatu tindakan untuk mengubah Turki secara radikal. Tujuan utama pembaharuan Turki adalah memisahkan Turki dari budaya dan tradisi kuno Arab-Asia serta mengubahnya menjadi bangsa modern a la Barat. Caranya ialah dengan meruntuhkan lembaga-lembaga lama seperti penghapusan kekhalifahan. Ini merupakan jalan yang tidak hanya bermanfaat bagi perkembangan pemerintahan baru, sementara membebaskan Turki dari komplikasi hubungan luar negerinya, tetapi juga peluang bagi sekularisasi yang cepat. Bulan April 1924, sebulan setelah penghapusan kekhalifahan, Majelis Nasional menghapus wewenang pengadilan-pengadilan agama (Syariah) dan sekolah-sekolah agama. Sekte-sekte rahasia dilarang. Kedudukan ulama dengan gelar Sheikh al Islam dihapuskan bersamaan dengan kesultanan dalam tahun 1922. Untuk mengurusi masalah-masalah agama dibentuk dua badan sipil, yaitu Dewan Urusan Agama dan Dewan Yayasan Tawakal.
Perpindahan ibukota negara dari constantinopel, kedudukan lama para khalifah, ke ibukota baru Ankara menunjukkan gerakan ke arah sekularisme. Ibukota baru nyata memperagakan eksterior modern tanpa membangun masjid di wilayah baru ini. Tahun 1935, Jum’at sebagai hari libur mingguan, diganti dengan hari minggu. Dengan demikian, amandemen tahun 1928 mencoret pasal yang menyatakan Islam sebagai agama negara, dan amandemen tahun 1937 menyatakan kebebasan penuh untuk mencapai cita-cita.
Pembaharuan di bidang hukum dilakukan pada tahun 1926. Dalam rangka menghapus segala hukum dan aturan yang berlaku pada zamanUthmaniyah, baik di bidang agama maupun di bidang sipil, Republik Turki menghapus sistem adat dan menggantinya dengan hukum perdata Swiss, hukum pidana Italia, dan hukum dagang Jerman sebagai hukum-hukum yang berlaku. Hukum yang menjunjung tinggi derajat perempuan juga diberlakukan seperti dilarangnya poligami, wanita diperbolehkan bekerja di kantor-kantor dan tempat umum, wanita diperbolehkan mencari mata pencarian dan menduduki jabatan di bidang ekonomi dan kehidupan intelektual negara.
Pembaharuan lain yang merupakan mata rantai kebijakan sekularisasi ialah penggantian abjad. Atas undangan pemerintah Soviet, Turki mengirimkan delegasinya pada Kongres Turkologi di Baku pada 26 Februari – 6 Maret 1926. Kongres mengusulkan agar tulisan Arab ditinggalkan bagi kepentingan ilmiah karena tidak menguntungkan bahasa Turki. Pada tahun 1928 abjad latin diperkenankan dan pemerintah mendukung segala penelitian intensif demi kemajuan bahasa Turki. Setelah pembaruan ini, nama-nama geografis yang berbau asing diubah ke dalam bahasa Turki tahun 1930. Contantinopel Bizantium diubah menjadi Istanbul, Adrianopel menjadi Edirne, Smyrna menjadi Izmir. Pemerintahan Kemal juga berhasil menyeimbangkan anggaran belanja negara melalui pembaruan pajak dan membuat aturan tradisional lemah di Turki, yakni keungan publik.

B.     Iran
Tiga puluh tiga tahun yang lalu sebuah revolusi berbasis agama meletus di kawasan Timur Tengah. Para ilmuwan sosial terperangah. Heran. Tidak percaya. Terlalu sulit memercayai adanya seorang sosok ulama tua memimpin gerakan rakyat menggulingkan sebuah rezim kuat dukungan Barat. Ketika itu, bahkan hingga kini, teramat sedikit pemikir sosial yang percaya bahwa kekuatan sosial berbasis agama bisa menumbangkan kekuasaan monarki berusia ribuan tahun. Dari yang sedikit itu, Foucault tampil nyaring berbicara berbeda dari mainstream pemikir sosial era itu.
Pemikir Perancis ini menyinggung adanya sebuah sistem sosial baru yang mampu resisten menghadapi derasnya modernisme Iran yang digagas secara belum tuntas oleh Reza Shah. Tokoh posmoderisme ini, memotret kedekatan erat antara rakyat dan seorang agamawan kharismatik sebagai bangunan ikatan sosial model baru di Iran pasca Revolusi Islam. "Keperibadian Khomeini mampu meruntuhkan legenda Dinasti Pahlevi. Tidak ada pemimpin negara dan politik, meski mereka mendapat dukungan penuh media, yang berani mengklaim bahwa rakyatnya memiliki hubungan emosional yang begitu tinggi seperti ikatan yang terjalin antara Khomeini dengan rakyat Iran," tutur Foucault lebih dari tiga dekade silam.
Kini, setelah berlalu lebih dari tiga dekade, ilmu sosial mainstream tetap saja masih begitu sulit menerima eksistensi sistem sosial baru yang berjalan dan diterapkan di Iran selama ini. Tampaknya, ilmu sosial mainstream masih gamang mengakui Islam sebagai sistem alternatif. Misalnya, dalam disiplin ilmu ekonomi, para pemikir masih saja meletakkan frame dualisme Kapitalisme-Sosialisme ketika membaca sistem ekonomi politik sebuah negara Islam semacam Iran. Mereka melihat model perekonomian Islam di Iran sebagai penerapan sistem ekonomi campuran antara dua mainstream besar dunia itu. "Sebuah kombinasi antara sistem Kapitalisme (Liberalisme ekonomi) dan Sosialisme yang mencoba diharmoniskan dengan aturan syariah Islam," tutur seorang alumnus sebuah universitas terkemuka di negara Barat, yang saya temui di Tehran.
 Lalu mengapa bisa terjadi demikian. Pertama, keberadaan Iran sebagai negara berbasis agama masih belum bisa diterima sebagai sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual. Kedua, minimnya literatur yang menjelaskan masalah yang terjadi di Iran dari pendekatan ilmu sosial modern. Ketiga, adanya vested interest yang sangat besar di dalam ilmu sosial sendiri. Benar kata Foucault, kekuasaan dan pengetahuan itu seperti dua gambar dalam sebuah mata uang. Selalu ada efek kuasa dan pengetahuan. Dan begitu sebaliknya. Teori sosial yang berlawanan dengan arus besar sulit untuk bisa berkembang dan mengemuka.
 Tampaknya, terjadi apa yang disebut oleh Foucault sebagai klaim kebenaran pengetahuan, yang tidak memberikan ruang bagi yang lain. Mazhab ekonomi politik mainstream, terutama Merkantilisme dan Liberalisme ekonomi di ranah filsafat pengetahuan merupakan bagian dari era modern yang mendorong munculnya peradababan baru dengan dua basis; rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme Rene Descartes dan Empirisisme Francois Bacon menjadi landasan ide yang berkembang pada masa renaisance, dan inilah pendorong munculnya peradababan baru bernama modernisme.
 Bagi Foucault, pengetahuan moderen telah menciptakan kebenaran melalui produksi pengetahuan ilmiah yang disebarkan melalui institusi-institusi seperti Universitas, angkatan bersenjata, dan media. Faktanya, di level disiplin ilmu ekonomi politik (dan ekonomi politik Internasional) hanya berpijak pada tiga pendekatan utama yaitu: Markantilisme, Liberalisme dan Sosialisme. Padahal dalam kasus Iran, (dan mungkin juga negara lain) ketiga pendekatan itu tidak memadai untuk menjelaskan basis ekonomi politik Republik Islam itu.
 Di level teori sosial terjadi terjadi reduksi metodologis terhadap realitas sosial, jika memaksakan harus menjelaskan fenomena sistem ekonomi politik Iran dengan tiga pendekatan itu. Menggunakan salah satu atau campuran dari tiga pendekatan itu jelas akan mereduksi sistem ekonomi politik Islam yang diterapkan di Iran. Sebab, Merkantilisme, Liberalisme ekonomi, dan Marxisme tidak memberikan ruang bagi kebijakan ekonomi politik sebuah negara yang mengambil prinsip nilai-nilai yang yang dianut bangsa Iran, termasuk nilai-nilai agama.
 Dalam konsepsi filsafat sosial, ekonomi politik Merkantilisme dan Liberalisme yang dijadikan pijakan hingga saat ini mengadopsi prinsip Unilitarianisme yang menilai manusia ditimbang berdasarkan ukuran kebahagiaan yang diperolehnya. Sebuah tindakan seseorang dikatakan baik, jika mampu meningkatkan kepuasan bagi dirinya. Namun jika tidak, maka harus ditinggalkan. Berdasarkan pandangan ini, kepuasaan berbanding lurus dengan utilitas yang diperolehnya.
 Pondasi pemikiran utilitarianisme hanya mempertimbangkan tujuan materil saja. Untuk memenuhi kepuasan puncak, dibentuklah lingkaran sistemik mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi produk dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Pandangan ini, menempatkan ekonomi sebagai tujuan final. Tidak seperti Merkantilisme, ekonomi politik Islam menilai kekayaan alam seperti logam mulia, minyak hanyalah alat, dan bukan ukuran kesejahteraan maupun kekuasaan sebuah negara tersebut. Mazhab ekonomi politik Islam juga tidak sependapat dengan Merkantilisme yang memandang perekonomian internasional sebagai ajang konflik dari pada kerjasama yang saling menguntungkan.
 Menurut Jackson dan Sorensen, dalam bukunya Introduction to International Relations: Theories And Approaches,(2005: 232)Merkantilisme melihat perekonomian internasional sebagai arena zero-sum game. Keuntungan sebuah negara dianggap sebagai kerugian bagi negara lainnya. Teori ini tidak berlaku dalam kebijakan negara yang mengadopsi nilai-nilai Islam seperti Iran. Sebab, keuntungan selain punya sisi nilai kuantitatif, juga mengandung aspek kualitatif. Kedua, keuntungan di satu pihak bisa jadi keuntungan di pihak lain. Ketiga, di sini terjadi pembatasan pada definisi keuatungan hanya pada material saja.
Ketika Benign Mercantilism atau Merkantilisme ramah memandang negara berupaya untuk memelihara kepentingan nasional yang dianggap sebagai unsur penting bagi keamanan dan ketahanan negara. Mazhab ekonomi politik Islam memasukan kepentingan universal kemanusiaan yang berdampingan dengan kepentingan nasional. Ada kepentingan religiusitas maupun keumatan, selain kepentingan nasional belaka. Bantuan luar negeri Iran terhadap gerakan perlawanan Islam Palestina semacam Hamas dalam kacamata Merkantilisme sebagai upaya Iran meningkatkan pengaruhnya di Palestina. Tentu saja penjelasan dengan kacamata Merkantilisme Ramah itu jelas tidak memadai. Karena ada faktor lain dari tujuan Iran membantu Palestina yaitu dimensi religiusitas dan kemanusian. Bagi Republik Islam membantu Palestina merupakan kepentingan nasional mendukungan terhadap bangsa yang tertindas di dunia yang dijiwai spirit religiusitas.   
 Merkantilisme yang menggunakan pondasi pemikiran utilitarianisme hanya mempertimbangkan tujuan materil saja. Untuk memenuhi kepuasan puncak, dibentuklah lingkaran sistemik mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi produk dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Pandangan ini, menempatkan ekonomi sebagai tujuan final. Maka, pembangunan ekonomi dijadikan acuan bagi seluruh bidang lainnya.
 Melampaui pandangan utilitarianisme, manusia menurut Imam Khomeini adalah makhluk yang memiliki dua dimensi. Di satu sisi, sebagai materi yang memiliki karakter hewani. Sedangkan di lain sisi, merupakan dimensi non materi, spiritual, rasional dan ilahi. Kedua dimensi ini bergradasi; bisa terus tumbuh dan berkembang atau mengalami penurunan.
C.    Afghanistan
Republik Islam Afganistan adalah sebuah negara di Asia Tengah. Ia kadang-kadang digolongkan sebagai bagian dari Asia Selatan atau Timur Tengah karena kedekatannya dengan Plato Iran. Afganistan berbatasan dengan Iran di sebelah barat, Pakistan di selatan dan timur, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan di utara, dan Republik Rakyat Cina di ujung timur. Afganistan juga berbatasan dengan Kashmir, wilayah yang dipersengketakan oleh India dan Pakistan. Afganistan merupakan salah satu negara termiskin di dunia.
Pada kurun waktu antara tergulingnya rezim pemerintahan Taliban pada 2001 dan Loya jirga (sidang majelis Musyawarah Tradisional) tahun 2004, dunia Barat menyebut negara ini dengan nama Negara Islam Transisi Afganistan.
Kini, sebuah pemerintahan sementara telah didirikan. Diketuai oleh presiden Hamid Karzai, kebanyakan anggotanya dari Aliansi Utara, dan campuran dari daerah dan kelompok etnis lainnya yang terbentuk dari pemerintahan transisi oleh Loya jirga. Mantan raja Zahir Shah yang kembali ke negeri, namun tak dikembalikan lagi sebagai raja dan hanya menjalankan kekuatan seremonial terbatas.
Di bawah Persetujuan Perjanjian Bonn (Bonn Agreement), Komisi Konstitusi Afganistan didirikan untuk berkonsultasi dengan publik dan pembentukan konstitusi draft. Dijadwalkan meluncurkan draft pada 1 September 2003, komisi itu telah meminta penundaan agar mengerjakan konsultasi lebih lanjut. Pertemuan loya jirga (dewan agung) konstitusional diselenggarakan pada Desember 2003 saat konstitusi baru diadopsi yang menciptakan bentuk pemerintahan presiden.
Pasukan dan dinas intelijen dari AS dan sejumlah negara lain hadir, beberapa untuk menjaga perdamaian, lainnya ditugaskan memburu sisa Taliban dan al-Qaeda. Angkatan Penjaga Perdamaian PBB memanggil operasi Angkatan Pembantu Keamanan Internasional di Kabul, bermula Desember 2001. NATO mengambil kendali angkatan ini pada 11 Agustus 2003. Kebanyakan negeri tetap di bawah kendali panglima perang.
Pada 27 Maret 2003, WaMenHan Afghanistan dan panglima perang yang berpengaruh Jenderal Abdul Rashid Dostum menciptakan tugas untuk Zona Utara Afghanistan dan mengangkat pejabat untuk itu, menentang perintah presiden sementara Hamid Karzai bahwa tiada lagi zona di Afghanistan.
Afghanistan ialah sebuah negara yang relatif miskin, sangat bergantung pada pertanian dan peternakan. Ekonominya melemah akibat kerusuhan politik dan militer terkini, tambahan kemarau keras dengan kesulitan bangsa antara 1998-2001. Sebagian penduduk mengalami krisis pangan, sandang, papan, dan minimnya perawatan kesehatan. Kondisi ini diperburuk oleh operasi militer dan ketidakpastian politik. Inflasi menyisakan banyak masalah. Menyusul perang koalisi yang dipimpin AS yang menimbulkan jatuhnya Taliban pada November 2001 dan pembentukan Otoritas Interim Afganistan (AIA) yang diakibatkan dari Persetujuan Bonn Desember 2001, usaha Internasional untuk membangun kembali Afganistan ditujukan di Konferensi Donor Tokyo untuk Rekonstruksi Afganistan pada Januari 2002, di mana $4,5 juta dikumpulkan untuk dana perwalian yang akan diatur oleh Bank Dunia. Wilayah prioritas untuk rekonstruksi termasuk konstruksi pendidikan, kesehatan, dan fasilitas kesehatan, peningkatan kapasitas administratif, perkembangan sektor pertanian, dan pembangunan kembali jalan, energi, dan jaringan telekomunikasi.

D.    Islam Di Eropa
Selama 20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat
secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa     jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta; sekarang angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya           adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia.            Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September             2001.
Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Qur'an, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia    yang   berpaling kepada Islam.
Demikianlah, perkiraan yang umum   terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa "serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia", dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada        Islam. Berbagai media massa telah sering menyiarkan berita tentang Islam    dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah perkembangan yang    terus-menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa, dan peningkatan ini tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi
dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi      umat    Islam,  namun banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan sebablain: angka perpindahan agama yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada tanggal 20 Juni 2004 dengan    judul "Islam adalah agama yang berkembang paling pesat di Eropa" membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik Prancis.
Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama   pasca peristiwa serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di Prancis meningkat sebanyak 30 hingga 40 ribu di tahun lalu saja. Mempertimbangkan kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan         kedudukan Gereja di milenium baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah
penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen.   Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat   ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis,  dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka     ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa.            Dalamsebuah laporan yang didasarkan pada media masa ditahun1999, majalah Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50 tahun ke depan Eropa akan menjadi salah      satu pusat utama perkembangan Islam. Islam adalah Bagian     Tak Terpisahkan dari Eropa. Bersamaan dengan kajian sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya        baru-baru ini saja, akan tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa. Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan             kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291), memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua  masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang-benderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun.

E.     Islam Di Amerika
Sejarah Islam di Amerika Serikat bermula sekitar abad ke 16, dimana Estevánico dari Azamor adalah Muslim pertama yang tercatat dalam sejarah Amerika Utara. Walau begitu, kebanyakan para peneliti di dalam mempelajari kedatangan Muslim di AS lebih memfokuskan pada kedatangan para imigran yang datang dari Timur Tengah pada akhir abad ke 19. Migrasi Muslim ke AS ini berlangsung dalam periode yang berbeda, yang sering disebut "gelombang", sekalipun para ahli tidak selalu sepakat dengan apa yang menyebabkan gelombang ini.
Populasi Muslim di AS telah meningkat dalam seratus tahun terakhir, dimana sebagain besar pertumbuhan ini didorong oleh adanya imigran. Pada 2005, banyak orang dari negara-negara Islam menjadi penduduk AS - hampir 96.000 - setiap tahun dibanding dua dekade sebelumnya.
Masjid adalah tempat ibadah utama bagi seorang Muslim. Di AS, ada sekitar 1.209 Masjid, dimana yang terbesar adalah Islamic Center of America yang terletak di Dearborn, Michigan. Dibangun pada 2005, Masjid ini dapat menampung lebih dari 3.000 jamaah yang terus tumbuh di wilayah itu. Hanya kurang dari 100 unit yang benar-benar dari awal dirancang sebagai Masjid, kebanyakan jamaah Islam di AS pada awalnya beribadah di bangunan-bangunan yang semula didirikan untuk tujuan lain, seperti bekas stasiun pemadam kebakaran, teater, gudang, dan toko. Jumlah Masjid terbanyak di AS adalah di negara bagian California, yakni sekitar 227 unit pada tahun 2001.
Komunitas Muslim pertama berada di Midwest. Di Dakota Utara, kaum Muslim berkumpul untuk salat berjamaah pada tahun-tahun pertama era 1900-an; di Indiana, sebuah pusat kegiatan Islam dimulai sejak 1914; dan Cedar Rapids, Iowa, adalah rumah bagi Masjid tertua yang masih digunakan hingga sekarang. Daerborn, Michigan, dipinggiran Detroit, adalah tempat Muslim Sunni dan Syiah dari banyak negara Timur Tengah. Bersama umat Kristen dari Timur Tengah, kaum Muslim Michigan membentuk komunitas Arab-Amerika terbesar di negara ini. Galangan kapal di Quincy, Massachusetts, diluar Boston, menyediakan lapangan kerja bagi imigran Muslim sejak tahun 1800-an. Di New England juga telah dibuat sebuah Islamic Center, yang kini menjadi kompleks Masjid besar untuk beribadah bagi para pelaku bisnis, guru, profesional, serta pedagang dan buruh. Di New York, Islam telah hadir dan muncul selama lebih dari satu abad.
Rumah pertama yang lain bagi imigran Muslim adalah Chicago, Illinois, dimana beberapa orang menyatakan jumlah Muslim yang tinggal disini pada awal 1900-an adalah yang terbanyak di antara kota-kota lain di AS. Lebih dari 40 kelompok Muslim telah berdiri di kawasan Chicago. Di Los Angeles dan San Fransisco, California, juga telah menjadi pusat komunitas Muslim yang besar di AS. Islamic Center di California Selatan adalah salah satu entitas Muslim terbesar di AS. Jumlah Masjid di California juga adalah yang terbanyak di AS, yakni sekitar 227 Masjid pada tahun 2001
Suatu survey nasional yang diadakan pada 2003 oleh Pusat Riset Pew dan Forum Agama dan Kehidupan Publik Pew melaporkan bahwa persentase orang Amerika yang memandang kurang baik Islam meningkat satu persen menjadi 34% dari 2002 dan 2003, lalu meningkat lagi dua persen menjadi 36% ditahun 2005. Pada waktu yang sama, persentase publik Amerika yang menganggap bahwa Islam dapat mendorong kepada tindak kekerasan dibandingkan agama yang lain menurun dari 44% pada Juli 2003 menjadi 36% pada Juli 2005. Pada Juli 2005, survey Pew menunjukkan bahwa 59% orang dewasa Amerika menganggap bahwa Islam "sangat berbeda dengan agama mereka", menurun satu persen dari tahun 2003. Pada survey yang sama, 55% mempunyai pendapat yang baik terhadap Muslim Amerika, atau naik empat persen dibanding Juli 2003 yang hanya 51%. Berdasar poling yang dilakukan oleh CBS pada April 2006 mengenai keyakinan, memperlihatkan bahwa: 58% orang Amerika lebih memilih Protestan, 48% memilih Katolik, 47% memilih Yahudi, 31% memilih Kristen fundamental, 20% memilih Mormonisme, 19% memlih Islam, 8% memilih Sainstologi.

Sumber : Islam_di_Amerika_Serikat.htm, Islam di Eropa.html, Afganistan.htm, iran.htm
Gerorge Lencowzki, 1993, Timur Tengah Di Tengah Kancah Dunia, Bandung : Sinar Baru Algensindo
Ali Sodiqin, dkk, 2003, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta : LESFI Yogyakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar