Senin, 22 Februari 2016

PRINSIP DASAR KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA


KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
PRINSIP DASAR KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA


Dosen Pengampu:
Dr. Ibrahim MA




Oleh:
Maryamatul Munawwarah


Prodi Komunikasi Penyiaran Islam
Jurusan Dakwah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN )
Pontianak
2013



PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi yang berlangsung diantara partisipan yang berbeda budaya. Hal ini juga dikemukakan oleh beberapa ahli yang mengemukakan definisi komunikasi antarbudaya.
Andrea L Rich dan Dennis M Ogawa misalnya menyatakan dalam buku Intercultural Communication, A Reader, bahwa komunikasi antarbudaya berarti komunikasi antara orang-orang dari kultur yang berbeda baik kepercayaan, nilai atau cara berperilaku. Karena itu komunikasi antarbudaya tentu tidak lepas dari beberapa prinsip yang harus dipegang daniketahui untuk memudahkan orang memahami komunikasi anatarbudaya, baik secara teori maupun praktek.
Seluruh penafsiran kita tentang budaya bersifat relatif,
Karena itu kita tidak boleh menilai budaya yang lain
Berdasarkan budaya kita yang terbatas.
Tetapi kita harus selalu berusaha mencari algoritme
Yang menghubungkan satu peristiwa dalam budaya yang Satu
Dengan satu peristiwa yang lain.
(Edward T Hall)
Ada beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi dengan orang berbeda latar belakang budaya, baik dalam aspek kebahasaan sebagai simbol dan lambang komunikasi antarbudaya, maupun perbedaan cara-cara yang digunakan oleh masing-masing kelompok budaya dalam berkomunikasi dengan orang lain dari budaya yang berbeda.
Sebagai komponen utama untuk melambangkan komunikasi, bahasa merupakan karakteristik yang membedakan manusia dengan binatang, satu etnis dengan etnis lain, satu bangsa dengan bangsa lain dan sebagainya. Bahasa juga merupakan representasi budaya atau suatau ‘peta kasar’ yang menggambarkan budaya, termasuk pandangan dunia (world view), kepercayaan (belief), nilai (values), pengetahuan dan pengalaman (knowledge and experience) yang dianut oleh suatu komunitas budaya yang bersangkutan.
Sebagai representasi budaya, bahasa yang kita gunakan dalam berkomunikasi senantiasa menggambarkan keadaan pemakai bahasa itu sendiri. Sebagai contoh, kita dapat mengenal dengan mudah siapa sebennarnya orang yang akrab dengan istilah sosialisasi dan sebagainya.
Sebagai ‘peta budaya’ bahasa dapat membedakan suatu budaya dengan budaya yang lain atau suatu subbudaya dengan subbudaya yang lainnya. Kelompok etnis, etnisitas politik atau kelas sosial yang berbeda boleh jadi ditandai dengan bahasa lain yang mencerminkan kemiripan kedua budaya tersebut. Dengan asumsi, bahasa mencerminkan budaya, maka ciri budaya suatu komunitas, misalnya kecanggihannya, juga akan terlihat pada kecanggihan bahasanya. Jadi, bahasa merupakan instrument manusia dalam mengembangkan budaya. Tanpa budaya, manusia tidak akan mungkin berbudaya, tanpa bahasa manusia tidak lebih baik dari binatang, sebab binatang juga punya bahasa, hanya saja binatang tidak punya budaya dan bahasa binatang pun tidak serumit bahasa manusia.
Untuk menggambarkan bahasa sebagai prinsip utama dalam komunikasi antarbudaya, Devito menegaskan prinsip tersebut ke dalam enam aspek, yakni :
a.       Relativitas Bahasa
Gagasan umum bahwa bahasa memengaruhi pemikiran dan perilaku paling banyak disuarakan oleh para antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan disepanjang tahun 1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik bahasa memengaruhi proses kognitif kita. Dan karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia.
Bahasa bersifat relatif, demikian ungkapan para sosiolog dalam mengkaji bahasa. Karena pada kenyataannya, tidak ada bahasa yang mutlak dan pasti untuk suatu objek tertentu dan berlaku dalam keselurhan komunitas ruang dan waktu. Bahasa sangat relatif sifatnya, tergantung ruang dan waktu.sebagai contoh ‘mata’ bisa saja berarti alat yang digunakan untuk melihat (pancra indera penglihatan manusia), akan tetapi ‘mata’ juga bisa berarti ‘mata hati’,’mata kaki’, ‘mata air’, ‘mata pencaharian’, ‘mata rantai’, ‘mata pisau’, atau bahkan ‘mata-mata’. Demikian juga mengenai kata ‘siap’ bisa berarti OK, bisa juga sudah selesai, bisa juga akan di mulai, dan sebagainya.
b.      Bahasa Sebagai Cermin Budaya
Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan.Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahan komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak salah persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing).
c.       Mengurangi Ketidak-pastian
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam ambiguitas dalam komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain. Karena letidak-pasrtian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna.
d.      Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada. ini mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri.
e.       Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya
Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih akrab. Walaupun kita selalu menghadapi kemungkinan salah persepsi dan salah menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya.
f.       Memaksimalkan Hasil Interaksi
Dalam komunikasi antarbudaya - seperti dalam semua komunikasi - kita berusaha memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank (1989) mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif. Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, anda mungkin menghindarinya. Dengan demikian, misalnya anda akan memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan anda ketimbang orang yang sangat berbeda. Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita terus melibatkan diri dan meningkatkan komunikasi kita. Bila kita memperoleh hasil negatif, kita mulai menarik diri dan mengurangi komunikasi.
Ketiga, kita mebuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan hasil positif. Dalam komunikasi, anda mencoba memprediksi hasil dari, misalnya, pilihan topik, posisisi yang anda ambil, perilaku nonverbal yang anda tunjukkan, dan sebagainya. Anda kemudian melakukan apa yang menurut anda akan memberikan hasil positif dan berusaha tidak melakkan apa yang menurut anda akan memberikan hasil negatif.












DAFTAR PUSTAKA
Anugrah, dadan, 2008. Komunikasi AntarBudaya.jakarta
M,saleh, Ibrahim, 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya, STAIN Pontianak Press
Canaraga, Hafied, 2002. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta, Rajawali Pres







































Tidak ada komentar:

Posting Komentar