Minggu, 21 Februari 2016

Konteks Sosial Media Penyiaran

Nama   : Maryamatul Munawwarah                            NIM    : 1113111006
Dosen  : Juniawati, M. Sc                                           MK      : Broadcasting

Konteks Sosial Media Penyiaran
A.    Penyiaran Publik
Sebelum masuk ke istilah penyiaran publik, lebih baik mendefinisikan terlebih dahulu kata publik sejauh dimungkinkan. Kata publik, ketika membicarakan pada tingkat lembaga penyiaran publik, secara umum dilekatkan dalam konteks warga negara (citizens) dengan hak-haknya, menjadi warga negara dan mendapatkan hak-haknya adalah konsekuensi logis secara hukum (juga konsekuensi politis, administratif, dan lain-lain) dari kontrak sosial bersama, yang melahirkan negara berikut dengan : wilayah negara, warga negara, dan pemerintahan, serta atribut lainya dari negara tersebut, misalnya penggunaan publik yang dilekatkan pada transportasi publik dan pelayanan publik.
Secara khusus, publik dalam istilah penyiaran publik sebagaimana yang disebut oleh Efendi Ghazali bahwa kata publik diposisikan sekaligus dalam dua pengertian yakni sebagai khalayak (pemirsa atau pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi, serta upaya pemberdayaan masyarakat dalam proses menuju masyarakat madani.
Oleh karena itu, ketika penyiaran publik dibangun bersama atas partisipasi publik, maka fungsi dan nilai kegunaan penyiaran publik tentunya ditujukan bagi berbagai kepentingan dan aspirasi publik. Sendjaja yang terinspirasi oleh Harol D. Lasswell telah menguraikan beberapa fungsi sosial dari lembaga penyiaran publik. Pertama, sebagai pengawas sosial (social surveillance) yaitu merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi didalam dan diluar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kedua, Korelasi sosial (social correlation) merujuk pada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai konsensus. Konsensus sosial ini biasanya untuk memperkuat rasa identitas dari berbagai kelompok untuk menjadi satu kekuatan besar bersama. Dan Ketiga, Sosialisasi (socialization) merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi kegenerasi lainnya atau dari satu kelompok kekelompok lainnya. Nilai-nilai kearifan masyarakat lokal harus terus dijaga dan dibentengi dari “serbuan” nilai-nilai modern yang ditampilkan melalui institusi-institusi produksi.
Menurut Ashadi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk kehadiran media penyiaran publik di Indonesia. Pertama, telekomunikasi sebagai basis material, keberadaan media penyiaran publik bertumpu pada ranah (domain) telekomunikasi, yaitu fasilitas transmisi signal. Setiap transmisi menggunakan jalur telekomunikasi berupa gelombang elektromagnetik yang “dikuasai” negara.
Kedua, orientasi fungsi publik sebagai basis kultural, basis kultural dari keberadaan media penyiaran publik sebagai institusi publik ditentukan oleh nilai bersama yang menjadi dasar keberadaannya. Nilai dasar ini mulai dari ketentuan hukum, kebijakan negara, serta konsensus yang tumbuh dilingkungan masyarakat tentang orientasi dan fungsi sosial-kultural yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik, nilai bersama ini diharapkan dirumuskan oleh kaum profesional penyiran publik sebagai titik awal dalam penghayatan atas orientasi fungsional kelembagaan.
Ketiga, sistem jaringan publik, sistem penyiaran publik pada dasarnya berupa ranah jaringan penyiaran dan stasiun penyiaran, masing-masing ranah ini dapat memiliki pola orientasi fungsional yang spesifik serta pola hubungan institusional satu sama lain. Rumusan kedua macam pola ini diperlukan sebagai dasar sistemik kelembagaan penyiaran publik, keberadaan media penyiran publik juga ditentukan oleh dukungan sosial dan finansial. Secara kongkrit dukungan ini diwujudkan melalui adanya stake-holder yang berfungsi untuk mendorong dan mengawasi jalannya fungsi kultural penyiaran publik dan memberi dukungan sistem finansial beroperasinya penyiaran publik.
Keempat, adanya code of conduct profesi dan institusi, code of conduct dimaksudkan untuk memelihara standar profesi, biasanya mencakup visi dan misi yang menjadi landasan dari seluruh standar tindakan dan nilai hasil kerja kaum prefesional, bertolak dari sikap terhadap masyarakat dan pemaknaan atas hasil kerja dalam konteks sosial. Pemaknaan hasil kerja dalam konteks sosial ini perlu ditempatkan dalam konteks makna sosial dari media penyiaran publik, sebagai acuan standar tindakan profesional dan hasil kerjanya suatu institusi memiliki dua sisi, eksternal untuk menjaga makna sosial dari media massa dan internal sebagai dasar dalam penilaian (evaluasi) profesional sebagai bagian dalam sistem manejemen personalia.
Kelima sistem kontrol fungsi publik, untuk menjaga agar suatu institusi dapat berjalan dalam penyelenggaraan yang bersih, perlu dijunjung tinggi prinsip akuntabilitas terhadap stake-holder khususnya dan publik umumnya. Akuntabilitas memiliki dua sisi, menyangkut parameter akuntabilitas akuntasi dan menyangkut prinsip akuntabilitas sosial untuk menjaga orientasi fungsionalnya kepada publik. Jika pertanggungjawaban akuntansi melalui lembaga audit (publik maupun negara).
B.     Program Siaran yang “Membumi”
Idealnya, LPP berorientasi pada penyiaran yang mengusung nilai-nilai lokal dan kepentingan-kepentingan masyarakat lokal. Habermas berpendapat bahwa pada awalnya media dibentuk dan menjadi bagian integral dari public sphere tetapi kemudian dikomersialkan menjadi komoditas (comodified) melalui distribusi secara massal dan menjual khalayak massa untuk perusahaan periklanan, sehingga media jauh dari perannya semula sebagai public sphere.
Tetapi patut diperhatikan peringatan Keane, media publik masih dominan memberikan kesempatan berbicara dan didengarkan secara tidak merata diantara para khalayak. Mereka mengandalkan casting profesional atau orang-orang yang menjadi “langganan” yang ditunjuk sendiri oleh media untuk berbicara mewakili umum. Murdock mengacu kepada kegagalan siaran publik dalam mengikuti langkah diskursus sosial politik yang meningkat dengan cepat, sistem demokratis ditingkat nasional yang bertanggung  jawab memerlukan sistem media yang mempunyai batas yang sama yang dapat menghasilkan diskusi-diskusi publik yang tidak berkaitan dengan kepentingan partisan.
Murdock mengusulkan prinsip-prinsip mendasar yakni kebutuhan akses terhadap informasi, nasehat dan analisis yang memungkinkan mereka untuk mengetahui apa hak pribadi mereka dan mengusahakannya secara efektif; akses terhadap beragam informasi, debat pada bidang-bidang yang melibatkan pilihan-pilihan politik publik, fasilitas untuk mengenali diri dan aspirasi mereka dalam representasi dan pembentukannya dalam media. Media publik memberikan lisensi untuk berbicara dan mendengar secara tidak adil, karena pembicara ditunjuk dan belum tentu mewakili kepentingan publik.
Jadi, untuk menguatkan penyiaran publik sebagai model dari pelayanan publik (the public service models) yang dapat menguatkan bangunan public sphere tentunya harus melakukan hal-hal yang dapat mendukung keberlangsungan model pelayanan publik yang dimaksud. Sehingga, cita-cita tentang public sphere sebagaimana yang disebut oleh Habermas dapat terealisasikan.
Agenda kultural yang harus ditempuh insan LPP adalah meyakinkan publik bahwa perubahan itu telah dan sedang terjadi dengan secara sistemik mengubah stigma yang masih kuat di publik bahwa media publik ini merupakan media organik pemerintah, meraih sebanyak mungkin partisipasi publik untuk mengisi program siaran LPP  tanpa tendensi untuk akumulasi modal atau akumulasi kebutuhan akses politik kepada elit lokal.
Kedepan, LPP patut meniru langkah yang telah dilakukan di USA. Ketika jasa layanan Televisi kabel mulai marak di AS tahun 1970an, Komisi Komisi Penyiaran Federal AS (FCC) tersebut menetapkan semua perusahaan layanan TV kabel (yang mencakup 100 wilayah pemasaran) harus memberikan akses kepada publik setempat  untuk menayangkan program-program siaran nirlaba yang mereka produksi sendiri melalui sumber-sumber dana yang mereka himpun sendiri. Itu semua dinilai sebagai  corporate social responsibility dari setiap perusahaan TV kabel yang telah memperoleh hak monopoli untuk membangun infrastruktur dan kemudian menggarap pasar layanan TV kabel di masing-masing wilayah.
Secara filosofis, urgensi kehadiran media penyiaran publik berangkat dari kehidupan publik yang dilihat dari posisi sebagai warga masyarakat hanya dalam dua ranah, yaitu dalam lingkup kekuasaan dan lingkup pasar. Padahal, masyarakat memiliki ruang tersendiri untuk berapresiasi, berkarya, berpendapat, dan bersikap terhadap realitas yang ada di sekelilingnya. Oleh karena itu, munculnya pandangan dikotomis yang mengabaikan peran dan posisi warga negara dalam konteks hubungan sosial dan bernegara telah mengabaikan adanya kenyataan tentang ranah publik yang diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang di dalamnya berlangsung dinamika kehidupan yang bersih dari kekuasaan dan pasar. Habermas menyebut ranah ini sebagai ranah publik atau public sphere.
Secara garis besar, ada empat alasan mengapa lembaga penyiaran publik itu penting dalam sistem demokrasi. Pertama dalam konteks kehidupan demokrasi dan penguatan masyarakat sipil, sejatinya publik berhak mendapatkan siaran yang lebih mencerdaskan, lebih mengisi kepala dengan sesuatu yang lebih bermakna dibandingkan sekedar menjual kepala kepada pemasang iklan melalui logika rating.
Kedua, berkait dengan yang pertama warga berhak memperoleh siaran yang mencerdaskan tanpa adanya batasan geografis, lebih-lebih sosio-politis. Argumen kedua ini penting karena lembaga penyiaran swasta akan selalu berfikir dalam kerangka besaran jumlah penduduk dan potensi ekonomi untuk membuka jaringannya. Akibatnya, daerah-daerah yang miskin dan secara ekonomi tidak menguntungkan tidak akan mendapatkan layanan siaran swasta.
Ketiga, penyiaran publik merupakan entitas penyiaran yang memiliki concern lebih terhadap identitas dan kultur nasional. Jika lembaga penyiaran swasta acapkali dituduh menjadi bagian dari apa yang sering disebut sebagai imperalisme budaya, maka lembaga penyiaran publik justru sebaliknya. Keberadaan lembaga penyiaran publik penting dalam rangka menjaga identitas dan kultur nasional yang bersifat dinamis.
Keempat, demokrasi media niscaya memerlukan lembaga penyiaran yang bersifat independent, baik dilihat dari kepentingan negara maupun komersial. Hal ini penting digarisbawahi karena lembaga penyiaran yang dikontrol negara akan cenderung menjadi ideological state aparatus, sedangkan lembaga penyiaran yang dikontrol swasta akan mengakibatkan penggunaan logic of acumulation and exclusion sebagai penentu apa dan bagaimana sesuatu ditayangkan. Sebagaimana nanti dapat dilihat dalam pembahasan bab selanjutnya, dominasi lembaga penyiaran swasta telah membuat hanya kelompok masyarakat tertentu yang direpresentasikan dalam media penyiaran nasional. Demikian juga dengan tayangan yang hanya memenuhi keinginan pasar dibandingkan dilandasi oleh usaha yang sungguh-sungguh untuk turut serta, katakanlah, mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Kemudian dalam konteks budaya, terdapat delapan prinsip yang dibawa oleh lembaga penyiaran publik. Pertama, geographic universality, prinsip ini menggambarkan bagaimana seharusnya penyelenggaraan penyiaran publik berorientasi pada publik secara luas. Keterjangkauan siaran di seluruh lapisan masyarakat merupakan hal penting yang harus diwujudkan. Kedua, catering for all interest and taste. Prinsip ini mendorong lembaga penyiaran publik memproduksi semua program yang memenuhi kepentingan publik termasuk untuk kelompok minoritas. Ketiga, catering for minorities. Prinsip ini menopang idealisme lembaga penyiaran publik untuk senantiasa menaruh perhatian pada program-program acara bagi publik minoritas misalnya menyangkut persoalan anak-anak, rasial, atau minoritas gender. Melalui lembaga penyiaran publik kelompok-kelompok minoritas akan memiliki ruang berekspresi yang bermakna bagi tumbuh kembangnya wacana publik tanpa harus tertekan oleh kepentingan kelompok elit atau mayoritas.
Keempat, detachment from vested interest and government. Prinsip ini mengindikasikan pentingnya kemandirian lembaga penyiaran publik dari pengaruh atau intervensi pihak luar seperti pemerintah, partai politik, pemodal atau kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Kemandirian ini penting artinya untuk menjaga konsistensi lembaga penyiaran publik pada kepentingan-kepentingan publik.
Kelima, one broadcasting system to be directly founded by the corpus of users. Berdasarkan prinsip tersebut lembaga penyiaran publik dituntut untuk mencanangkan pendanaan langsung dan pembayaran yang relatif universal. Sifat pendanaan demikian akan memberikan ruang independensi yang luas bagi lembaga karena tidak perlu bergantung pada pihak-pihak tertentu. Alternatif pendanaan yang dimaksud dapat bersumber dari iuran penyiaran, donasi perorangan, yayasan atau perusahaan-perusahaan juga subsidi pemerintah.
Keenam, competition in good programming rather than numbers. Prinsip ini menegaskan teori diversity of content sekaligus mengarahkan lembaga penyiaran publik untuk memproduksin dan menyiarkan program-program berkualitas yang tidak hanyak mengikuti rating dan selera pasar sebagaimana terjadi pada lembaga penyiaran komersial.
Ketujuh, guideliness to liberate programming makers and not restricted them. Prinsip ini menegaskan perlunya pedoman untuk memberi kebebasan kepada pengelola lembaga penyiaran publik untuk mebuat program-program sesuai tuntutan kreativitas, bukan malah membatasi dengan berbagai sensor dan tekanan.
C.    Penyiaran Swasta
Secara mendasar, lembaga penyiaran swasta bersifat komersial dan menggantungkan hidupnya dari pemasukan iklan, namun sebagai institusi yang mempergunakan ranah publik, ia harus terikat oleh ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran. Dalam konteks televisi swasta Indonesia, kecenderungannya sangat sentralistik, untuk itulah sistem penyiaran swasta berjaringan menjadi sebuah keniscayaan. Alasannya, televisi swasta nasional mampu menjangkau 80% penduduk di Indonesia, sementara penduduk yang mempunyai akses terhadap televisi sebesar 67%. Jadi, jumlah  potensial viewers-nya berkisar sekitar 118 juta penduduk, ini berarti sekitar 118 juta penduduk mempunyai akses terhadap televisi. Masing-masing televisi sudah menjangkau antara 60 sampai dengan 99 % penduduk yang mempunyai akses terhadap televisi.
Ada dua hal yang dapat dicatat dari sini. Pertama, jumlah penduduk yang mampu mengakses televisi baru separuhnya. Kedua, disisi lain televisi sudah mampu menjangkau sekitar 60 sampai 90% dari mereka yang mempunyai akses. Ini sebenarnya sudah dapat dikatakan sangat tinggi mengingat di Amerika Serikat saja regulasinya mengatakan bahwa seseorang dapat memiliki stasiun televisi dalam jumlah yang tidak terbatas, tetapi tidak boleh menjangkau lebih dari 39% television’s household atau nation’s TV homes.
Bila dilihat dari yang lain, maka pelaksanaan stasiun televisi berjaringan  ini akan ikut membangun berkembangnya televisi lokal, merangsang dan membangun dinamika ekonomi dan sosial dan budaya lokal. Rumah produksi lokal akan tumbuh, biro iklan lokal, lembaga “rating” lokal juga akan tumbuh, hal semacam ini tentu saja akan mendapat dukungan ekonomi dan sosial lokal.
Posisi televisi jaringan semacam ini akan sangat kuat posisinya ditingkat lokal karena mendapat dukungan lokal, yang pada gilirannya menjadi stasiun televisi berjaringan yang sangat kuat secara nasional, baik dilihat dari kaca mata sosial, budaya maupun ekonomi. Disini, diperlukan sebuah pemimpin stasiun televisi yang visioner, yang sebenarnya sudah dituntun oleh Undang-undang Penyiaran.
D.    Penyiaran Komunitas
Media komunitas hadir sebagai media alternatif yang mengusung keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), yang juga mendorong adanya keberagaman isi (diversity of content) dalam program-program siaran karena melayani komunitasnya yang juga beragam[9]. Kemudian, oleh karena keberagaman kepemilikan itulah, masyarakat bisa melakukan kontrol sendiri (self controlling) terhadap isi siaran. Pengelola lembaga penyiaran komunitas, tidak bisa sewenang-wenang menayangkan program siaran yang tidak sesuai dengan nilai, aturan, maupun budaya lokal.
Media komunitas pada dasarnya memainkan peran yang hampir sama dengan media massa pada umumnya, hanya saja pada wilayah (level of playing field) yang terbatas. Dibatasinya jangkauan layanan jenis media penyiaran ini justru diharapkan dapat memberikan layanan secara lebih spesifik dan membuka partisipasi secara lebih sempurna kepada komunitasnya. Semakin luas jangkauan siaran akan semakin sulit mendapatkan partisipasi dari masyarakat, karena apapun media ini merupakan refleksi kebutuhan komunitasnya. Dengan demikian, ada pula fungsi kontrol sosial yang dimilikinya, fungsi menghibur, mendidik dan menginformasikan berita yang benar-benar merefleksikan kebutuhan komunitasnya.
Selanjutnya, dalam rangka menjawab kebutuhan kebutuhan tersebut, empat prinsip mendasar yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan penyiaran komunitas. Pertama, berskala lokal dan mendorong partisipatif warga, karena tipologinya yang mendorong partisipasi warga masyarakat, maka skala terbatas merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan. Dengan keterbatasan jangkauan yang dimiliki, diharapkan dapat memberi kesempatan pada setiap prakarsa warga komunitas untuk tumbuh dan tampil setara sejak tahap perumusan program siaran, pengelolaan hingga kepemilikan. Untuk mampu menjawab kebutuhan komunitasnya, penyiaran tersebut haruslah membangun partisipasi warga masyarakatnya seluas mungkin.
Kedua, teknologi siaran yang dipergunakan sesuai dengan kemampuan ekonomi komunitas dan bukan bergantung pada campur tangan pihak luar, untuk membangun sense of belonging yang tinggi, partisipasi masyarakat dalam hal penyediaan peralatan sesuai dengan kemampuannya merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan meskipun bukan tidak mungkin sumber pembiayaan dari luar komunitas. Jika sumber daya infastruktur berasal dari luar komunitas, maka perlu pendekatan yang tepat agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Ketiga, didorong oleh misi kebaikan bersama komunitas dan bukan mencapai tujuan keuntungan uang, sejak awal penyiaran komunitas harus mendeklarasikan misinya kepada masyarakat, termasuk operasionalisasinya yang mengandalkan semangat kesukarelawan penyiar dan pengelolanya. Jika tidak, maka akan sulit untuk menjaga semangat tersebut yang telah dimunculkan sedari awal pendirian.
Keempat, mengemukakan masalah-masalah bersama untuk dicarikan solusinya sehingga mendorong keterlibatan aktif komunitas dalam upaya perubahan sosial-politik. Sebagai media milik bersama, persoalan-persoalan bersama yang ada dimasyarakat layak disiarkan dan diadvokasi. Ketika persoalan-persoalan tersebut diangkat, maka harapannya semakin banyak warga masyarakat yang concern dengan persoalan bersama dan pada gilirannya semakin memperluas keterlibatan warga masyarakat dari berbagai lapisan yang ada di wilayah tersebut.

REFERENSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar