Senin, 22 Februari 2016

KERAJAAN ISLAM DI KALBAR (Maryamatul Munawwarah 1113111006)

A.    SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA KERAJAAN PONTIANAK
1.      Sejarah Berdirinya Kota Pontianak
Sultan Syarif Abdurrahman Al-kadri adalah Pendiri dan Sultan pertama Kerajaan Pontianak. Ia dilahirkan pada tahun 1142 Hijriah / 1729 /1730 M, putra Al-Habib Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal dari Arab.
Tiga bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah, Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari tempat kediaman baru. Mereka berangkat dengan 14 perahu Kakap menyusuri Sungai Peniti. Waktu dzuhur mereka sampai disebuah tanjung, Syarif Abdurrahman bersama pengikutnya menetap disana. Tempat itu terkadang dikenal dengan nama Kelapa Tinggi Segedong.
Namun Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai. Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan shalat zuhur itu kini dikenal sebagai Dhohor.
Ketika menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal dengan nama Batu Layang dimana sekarang ditempat itulah Syarif  Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan. Di pulau itu mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak. Syarif Abdurrahman lalu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu. Setelah itu, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas.
Menjelang subuh 14 Rajab 1184 hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Setelah delapan hari menebas pohon di daratan itu, maka Syarif Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan balai, dan kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri Mesjid Jami dan Kraton Kadariah.
Akhirnya pada tanggal 8 bulan Sya’ban1192 Hijriah, bertepatan dengan hari senin dengan dihari oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif  Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Habib Alqadri. Dibawah kepemimpinannya kerajaan Pontianak berkembang sebagai kota pelabuhan dan perdagangan yang cukup disegani.
Didalam sejarah berdirinya kota Pontianak ini banyak menimbulkan perbandingan yang membuat kontroversi bagi semua pihak yang menelitinya. Contohnya saja ada yang menyatakan Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadri pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H), yang ditandai dengan membuka  hutan dipersimpangan tiga Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kauas untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1192 H, Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan pada Kesultanan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Mesjid Jami’ Sultan Abdurrhman Alqadri dan Kraton Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur, dan ada juga yang mengatakan lain dari pendapat diatas tadi yaitu bahwa Sejarahnya belanda mulai masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi), dari Betawi, verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif Hussein bin Ahmed Alqadri (atau dalam versi lain disebut sebagai Al-habib Husin), setelah meninggal kerajaan Mempawah mulai merantau. Di wilayah Banjarmasin, ia menikah dengan adik sultan. Ia berhasil dalam perniagaan dan mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai kapal pencalang dan perahu lancangnya. Kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Prancis di Pelabuhan Passir. Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan sungai Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur, dan Pontianak berdiri.

2.      Masuknya Islam Di Pontianak
Di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh bangsawan Arab bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulu Sungai Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan pemakaman Islam kuno. Angka tahun yang ertua pada makam-makam tersebut adalah tahun 1340 Saka (1418 M). jadi, Islam telah ada sebelum abad ke-15 dan diperkirakan berasal dari Majapahit karena bentuk makam  bergaya Majapahit dan berangka tahun Jawa kuno. Di Kalimantan Timur, Islam masuk melalui Kerajaan Kutai yang dibawa oleh dua orang penyiar agama dari Minagkabau yang bernama Tuan Haji Bandang dan Tuan Haji Tunggangparangan. Di Kalimantan Selatan, Islam masuk melalui Kerajaan Banjar yang disiarkan oleh Dayyan, seorang khatib (ahli khutbah) dari Demak. Di Kalimantan Tengah, bukti kedatangan Islam ditemukan pada masjid Ki Gede di Kotawaringin yang bertuliskan angka tahun 1434 M.
Masuknya Islam di Kalimantan ini juga tidak luput dari perjuangan ayahnua Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yaitu Habib Husein al-Qadri. Mengenai Habib Husein Al-Qadri ini tidak terlalu sukar membuat penyelidikan karena memang terdapat beberapa manuskrip yang khusus membicarakan biografinya. Walau bagaimana pun semua manuskrip yang telah dijumpai tidak jelas nama pengarangnya, yang disebut hanya penyalin. Semua manuskrip dalam bentuk tulisan Melayu/Jawi. Nama lengkapnya, As-Saiyid/ as-Syarif Husein bin A-Habib Ahmad/Muhammad bin a-Habi Husein bin al Habib Muhammad al-Qadri, Jamalul Lail, Ba’ Alawi, sampai nasabnya kepada Nabi Muhammad s.a.w. sampai ke atas adalah melalui perkawinan Saidatina Fatimah dengan Saidina Ali k.w. Nama gelarnya ialah Tuan Besar Mempawah. Lahir di Tarim, Yaman pada tahun 1120 H /1708 M. wafat di Sebukit Rama Mempawah, 1184 H/ 1771 M ketika berusia 64 tahun. Dalam usia yang masih muda beliau, meninggalkan negeri kelahirannya untuk menuntut ilmu pengetahuan bersama beberapa orang sahabatnya.
Dalam persepektif yang berbeda kedatangan islam ke Kalimantan Barat melalui kekuatan ekonomi dan perdagangan. Seperti di daerah-daerah lainnya di Nusantara, Islam disebarkan oleh pedagang-pedagang muslim dan da’i-da’I kelana, yang juga tertarik pada perdagangan atau semata-mata bertujuan menyebarkan Islam. Sebab itu penyebaran Islam di Kalimantan terpusat pada kota-kota pelabuhan. Karena wilayah pulau Kalimantan sangat luas, maka di pulau ini muncul beberapa pusat penyebaran Islam. Tidak mengherankan, jika pemeluk Islam pertama di Kalimantan didominasi oleh kaum pedagang. Mereka tinggal di daerah pantai, diderah-daerah jalur perdagangan.
Beberapa dengan Sumatera, Jawa, dan lainnya, perkembangan Islam ke pedalaman Kalimantan Barat khususnya di Pontianak sangat lamban. Islam hanya terbesar di daerah –daerah pesisir saja. Sedikit sekali orang-orang dayak pedalaman yang menganut Islam. Kebanyakan yang memeluk Islam adalah orang-orang berkebudayaan Melayu. Kemungkinan mereka adalah pedagang-pedagang Muslim yang datang ke Kalimantan, dan para imigran dari luar Kalimantan barat. Di Kalimantan Barat, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh bangsawan Arab bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18
Sebelum kedatangan para pedagang Arab, pedagang-pedagang Melayu dan perampok-perampok tertarik untuk menetap di Kalimantan Barat. Tujuan mereka adalah untuk mendulan emas dan berlian. Mereka kemudian mendirikan kota-kota di muara sungai. Pada perkembangan berikutnya, mereka tersebar sampai ke Hulu. Selanjutnya mereka hidup mapan di sana. Ketika pengembara-pengembara Arab datang ke Pontianak, mereka memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat, dan mengajak masyarakat itu untuk memeluk Islam. Berikutnya, penyebaran Islam dilakukan oleh para da’I dari Sumatera, Jawa dan dari daerah lainnya.
Di wilayah Pontianak Kalimantan Barat sebagaimana dikemukakan oelh Mrs. Samuel  Bryan Scott dalam Mohammedanism in Borneo; Notes for a study of the lokal modifications of Islam and the extent of is influence on the native tribes. Islam sudah ada sejak akhir abad ke-15 , akan tetapi sampai awal abad ke 18 kegiatan pengislaman belum kuat, walaupun beberapa sultan sudah menerima Islam. Pada 1735 seorang ulama Arab, Syarif Husein bin Ahmad al-Qadri, seorang ulama yang berasal dari negeri Trim Ar-Ridha Hdralmaut (Timur Tengah) datang ke Matan. Ketika itu yang menganut Islam sedikit sekali. Ia berusaha mengajarkan Islam kepada masyarakat. Dan ia diangkat untuk menjadi penasehat raja, akan tetapi jabatannya tidak bertahan lama dikarenakan adanya perselisihan paham tentang hukuman terhadap nahkoda yang tidak di setujui oleh sultan Kamaludin, yang menyebabkan ia harus pindah ke Mempawah. Di Mempawah ia disambut oleh Opu Daeng Manambon dengan tangan terbuka. Sultan melindunginya dan mendirikan masjid untuknya. Selain itu ia dinikahkan dengan saudara perempuan sultan dan mendapatkan anak lima orang anak diantaranya Syarif Abdurrahman al-Qadri yang lahir pada tahun 1471.
Di Mempawah Habib Husein al-Qadri sebelum wafatnya pada tanggal 3 Dzulhijjah 1184 H, beliau menikahkan putranya yang bernama Syari Abdurrahman al-Qadri dengan putrid raja Mempawah  Utin Candramidi. Ketika beliau berada di Banjar oleh Sultan Banjar diangkat menjadi pengeran Sayid Abdurarhman Nur Alam yang kemudian menjadi Raja Pontianak dengan gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib husein al-Qadri.
Umat Islam pada masa awalnya masuknya Islam yang di bawa oleh Syarif Husein bin Ahmad al-Qadri, penganut Islam pada masa itu masih sedikit, tetapi setelah berdirinya kerajaan Islam Pontianak pada tahun1771 miladiyah, maka agama Islam menjadi agama yang mayoritas. Kesultana Pontianak dengan rajanya yang bernama Sultan Syraif Abdurrahman Al-Qadri yang mana ia adalah putra Habib Husein al-Qadri, yang menbjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat.
Kehadiran kesultanan yang bercorak Islam membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan agama Islam di Pontianak. Kesultanan Pontianak yang terletak di pinggiran sungai Kapuas dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri sebagai sultannya menyebabkan Islam menjadi agama yang mayoritas dimana masyarkat disekitar kesultanan Pontianak seperti, dikampung Kapur, Kampung Bansir, Kapung Banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental dengan pengaruh agama Islam. Di daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar yang pada jaman tersebut beliau adalah salah seorang yang termahsyur, Sultajn Syarif Abdurrahman al-Qadri mengundang Djafar khusus untuk menjadi guru ngaji dilingkunag Keraton Kadariyah Pontianak. Hal ini membuktikan bahwa Islam pada masa itu sudah menyebar luas ke wilayah pontiank. Ustdz Djafar yang kelak menurunkan anak yang bernama Kurdi Djafar yang dikenal sebagai pendiri cabang Muhammadiyah di Sui Bakau Kecil Mempawah.

3.      Bentuk-Bentuk Peradaban Islam di Pontianak
Dengan mengetahui apa yang dimaksud dengan peradaban Islam, yakni perkembangan atau kemajuan kebudayaan Islam dalam perspektif sejarahnya, maka banyak sekali peninggalan peradaban Islam di Pontianak, Kalimantan Barat yang sampai saat ini masih terjaga kelestariannya antara lain sebagai berikut:

1.      Kraton Kadriyah
Sejarah Pontianak dimulai pada tahun 1771 saat Syarif Abdurrahman dari kerajaan Mempawah menempuh ekspedisi akbar guna mencari tempat tinggal baru di sepanjang sungai Kapuas. Rombongan sempat singgah di pulau Batu Layang yang sekarang menjadi kompleks pemakaman keturunan raja Pontianak. Di tempat inilah mereka mulai mendapatkan gangguan dari hantu Pontianak. Hal inilah yang melatarbelakangi nama Pontianak. Yaitu berasal dari kata “kuntilanak” hantu wanita legendaries dari film horror Indonesia yang dicirikan dengan rambut panjang, gaun putih, dan tawa melengking.
Syarif Abdurrahman melanjutkan perjalanan hingga ke persimpangan Sungai Kpuas dan Landak, membuka daerah selama delapan hari, lalu mendirikan rumah dan balai. Sekarang delapan tahun, ia dilantik menjadi raja pertama dan bersamaan dengan itu berdiri pulalah Istana Kadriyah. Istana Kadriyah berdiri gagah ditepi sungai Kapuas, tepatnya diwilayah kampung Dalam Bugis, dengan ornament yang kental menyiratkan cirri kerajaan Islam. Selain cat warna kuning khas melayu, terdapat benyak sekali pahatan bulan dan bintang yang menghiasi sisi keratin. Logo ini bisa dilihat tertera dipintu masuk dan dinding kayu, dibendera kebesaran yang berkibar dihalaman Istana, ruangan Istana yang didominasi warna kuning. Singgasana raja yang berwarna keemasan berdiri kokoh dikeliling foto para pembesar kerajaan dan beberpa aksesoris seperti jam duduk tua dan guci-guci keramik. Tampak pula sebuah cermin antic dari Prancis yang dinamakan “Kaca Seribu” ruangan ini masih menyiratkan aura kegagahannya sebagai tempat para petinggi mengambil keputusan, layaknya ruang oval di Gedung Putih.
Lantainya masih papan kayu beliau (kayu ulin) yang terkenal akan kekuatannya. Jika masyarakat bangga dengan kayu jatinya, masyarakat Kalimantan kagum pada kayu jatinya, masyarakat Kalimantan kagum pada kayu belian-nya. Kayu ini dikenal memilii kekuatan luar biasa, bahkan gergaji biasa pun tak akan sanggup memotong batangnya. Pastinya juga kita tak akan menemukan ukiran indah berbahan kayu belian. Konon, jika direndam didalam air selama bertahun-tahun, kayu belian akan awet selama pulihan atau bahkan ratusan tahun. Untuk membersihkan kayu belian ini masyarakat Pontianak memiliki kebiasaan unik yaitu mencampurkan air pel dengan solar saat mengepel lantai berbahan kayu belian. Campuran ini dipercaya bisa membuat lantai tampak licin dan kinclong, serta lebih awet dan bersih, metode yang menarik, asalkan tidak ada orang yang membuang punting rokok sembarangan.
Keraton Kadriyah merupakan salah satu bentuk peradaban Islam di Pontianak, yang mana hal ini didukung dengan sumber-sumber yang diperoleh yang menyatakan bahwa awal berdirinya Keraton Qadriyah bersamaan dengan berdirinya kota Pontianak yaitu pada tahun 1771 miladiyah, jadi Keratin Kadriyah merupakan satu peradaban yang pertama yang melambangkan bahwa Islam sudah berkembang di Pontianak pada masa itu. Yang diperkenalkan oleh Sultan Syarif Abdurrahman al-Qadri yang pada masa itu sebelum ia mengenalkan ajaran Islam dan menetap di Pontianak, ia sudah terlebih dahulu menetap di kerajaan Mempawah. Awal berdirinya kota Pontianak  dan Keraton Kasriyah yaitu berawal dari keinginan Syarif Abdurrahman al-Qadri untuk mencari tempat tinggal baru dan bermaksud untuk menyebarkan ajaran Islam lebih luas. Pada awalnya pasukan Syarif Abdurrahman al-Qadri singgah di pulau Batu Layang yang sekarang menjadi kompleks pemakaman keturunan raja Pontianak. Disinilah awal mulanya rombongan Syarif Abdurrahman al-Qadri mendapatkan gangguan dari hantu kuntilanak, yang dari nama tersebutlah nama kota Pontianak berasal. Untuk menggusir hantu-hantu tersebut Syarif Abdurrahman al-Qadri mendapatkan petunjuk untuk memerintahkan anak buahnya untuk menembakkan meriam kepada hantu-hantu tersebut yang diyakini dapat mengusir hantu hantu tersebut berdasarkan petunjuk yang didapat juga, Syarif Abdurrahman memerintahkan kepada rombongannya untuk menembakkan meriam, yang selain untuk mengusir gangguan hantu kuntilanak, juga sebagai penanda, bahwa di manapun peluru meriaam itu jatuh, maka ditempat itulah nantinya akan dibangun kesultanan. Akhirnya peluru tersebut jatuh disimpang tiga pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak adalah tempat jatuhnya peluru meriam yang ditembakkan tersebut. Kawasan tersebut kemudian dikenal dengan nama Kampung Beting yang termasuk di dalam wilayah Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Akhirnya Kesultanan Pontianak tersebut kemudian didirikan yang bernama. Istana Qadriyah sebagai pusat pemerintahan kesultanan Pontianak ketika itu, yang semulanya dikatakan kalau pada saat itu kota Pontianak masih banyak hutan,hutan yang sangat lebat, jadi hal inilah yang menjadikan data yang kuat kalau memang tempat atau pusat penyebaran Islam pertama di Pontianak terletak di Keraton Kadriyah yang menjadikan salah satu bentuk peradaban Islam di Pontianak. Hingga kini bangunnan bersejarah di Kota Pontianak tersebut masih tetap kokoh berdiri. Jadi memang benarlah bahwa Keraton Kadriyah merupakan awal peradaban Islam di Pontianak, yang mana ditempat itulah awal mulanya pusat penyebaran Islam dilakukan di Kota Pontianak, walaupun sebenarnya di Pontianak sudah ada yang memeluk Islam sebelum kedatangan Syarif Abdurrahman al-Qadri yang dibuktikan pada masa itu ada seorang guru ngaji yang termahsyur di Pontianak pada masa itu yang bernama ustadz Djafar, tetapi Islam belum banyak menganutnya hanya sedikit sekali masyarakat Pontianak yang memeluk Islam sebelum datangnya Syarif Abdurrahman, setelah Syarif Abdurrahman datang dan lebih memperluas jaringan tentang ajaran Islam, maka Islam menjadi agama yang sangat banyak pemeluknya yang mejadikan agama Islam menjadi agama yang mayoritas. Dan baru ada pertama kali ada raja yang memerintah di Pontianak. Ditambah dengan berdirinya Kesultanan Pontianak membuat pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan Islam di Pontianak. Oleh karena itu Keraton Qadriyah dikatakan salah satu bentuk peradaban Islam di kota Pontianak.
2.      Masjid jami’
Pendiri masjid jami’ sekaligus pendiri kota Pontianak adalah Syarif Abdurrahman Al-Qadri. Ia seorang keturunan Arab, anak Al-Habib Husein, seorang penyebar agama Islam dari Jawa. Al-Habib Husein datang ke Kekerajaan Matan pada 1733 Masehi. Al- Habib Husein menikah dengan Putri Raja Matan (kini Kabupaten Ketapang) Sultan Kamaluddin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan itu lahirlah Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama Islam.
Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan konstruksinya dari kayu. Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi. Ia memiliki putera bernama Syarif Usman. Saat ayahnya meninggal, Syarif Usman masih berusia kanak-kanak, sehingga belum bisa meneruskan pemerintahan almarhum ayahnya. Maka pemerintahan sementara dipegang adik Syarif Abdurrahman, bernama Syarif Kasim. Setelah Syarif Usman dewasa, ia menggantikan pamannya sebagai sebagai Sulatan Pontianak, pada 1822 sampai dengan 1855 Masehi. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan Syarif Usman, dan dinamakan sebagai masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan untuk mngenang jasa-jasa ayahnya. Beberapa ulama terkenal telah mengajarkan agama Islam di masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Mereka diantaranya Muhammad al-Kadri, dan Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh Madani, H. Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan.
Masjid Jami’ Pontianak dapat menampung sekitar 1.500 jaah shalat. Masjid akan penuh terisi jamaah shalat, saat waktu shalat jumaat dan tarawih Ramadhan. Pada sisi kiri pintu masuk masjid, terdapat pasar ikan tradisional. Dibelakangnya merupakan permukiman padat penduduk Kampung Beting, kelurahan Dalam Bugis dan dibagian depan masjid, yang juga menghadap ke barat, terbentang Sungai Kapuas.
Jika melihat kebagian dalam masjid, terdapat enam pilar dari kayu belian berdiameter setengah meter. Dua pelukan tangan orang dewasa tak akan mampu mencapai lingkaran pilar. Selain pilar bundar, juga da enam tiang penyangga lainnya yang menjulang ke langit-langit masjid, berbentuk bujur sangkar. Pilar bujur sangkar itu berukuran kayu belian untuk tiang rumah dewasa ini. Namun ukurannya diatas rata-rata. Jika sekarang ada ukuran 6x6, 7x7,8x8, dan 10x10 maka tiang tersebut lebih besar lagi. Masjid itu memiliki mimbar tempat khutbah yang unik, mirip geladak kapal. Pada sisi kiri dan kanan mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis pada kayu plafor. Hampir 90% konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu belian. Atapnya yang semula dari rumbia, kini menggunakan sirap, potongan belian berukuran tipis. Atapnya bertingkat empat.pada tingkat kedua, terdapat jendela-jendela kaca berukuran kecil. Sementara dibangun paling atas, atapnya mirip kuncup bunga atau setupa. Jendelanya yang berjejeran dengan pintu masuk, berukuran besar-besar, juga dari kaca tembus pandang,. Ada pula kaca yang berwarna merah dan kuning.
Jarak antara lantai masjid dengan tanah, sekitar 50 centi meter. Namun menurut seorang pemuda setempat, tinggi antara lantai masjid dengan tanah sekitar dua meter. Kini kolong masjid sudah dicor semen, agar lantinya tidak semakin turun. Stuktur tanah yang labil dan sebagian besar bergambut, menjadikan bangunan-bangunan di Pontianak gampang ambalas. Ironisnya, barau yang melindungi halaman masjid dari kikisan air Sungai Kapuas dan dibangun dalam dua tahun terakhir, kini menjadi proyek gagal karena kesulitan keuangan. Sepintas, terlihat tidak banyak berubah dari masjid tua tersebut. Ketika semua sedang berubah dan berkembang. Masjid Jami’ Sultan. Abdurrahman tetap menampakkan wajah lamanya.
Masjid Jami’ dikatakan salah satu bentuk peradaban Islam di Kota Pontianak adalah sama halnya dengan kesultanan Pontianak yang mengatakan awal berdirinya kesultanan tersebut dengan petunjuk yang diperoleh oleh Syarif Abdurrahman al-Qadri yang mana memerintahkan anak buahnya untuk menembakkan meriam kearah hantu kuntilanak yang mengganggu perjalanan mereka guna mencari tempat baru dalam menyebarkan ajaran Islam. Yang dimanapun peluru itu jatuh disitulah akan dibangun kesultanan yang juga akan dibangun masjid sebagai pusat penyebaran Islam dan tempat melakukan kegiatan umum apapun selain kegiatan penyebaran ajaran Islam. Dan masjid Jami’ ini sengaja dibuat untuk mengenang jasa-jasa Syarif Abdurrahman yang telah menyebarkan ajaran Islam sehingga Islam sangat mudah untuk diterima dan menjadi agama yang mayoritas, sehingga masjid tersebut diberi nama masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Dan dengan mendirikan masjid maka dapat menbuktikan bahwa Islam pada masa awal penyebarannya sudah dapat diterima masyarakat setempat dan menjadikan sebagai pusat penyebaran Islam.

3.      Makam Batu Layang
                        Disebut juga Taman Makam dari Kerajaan Pontianak mulai dari Raja pertama (Sultan Syarif Abdurrahman al-Qadri) hingga Raja Terakhir (Sultan Hamid II) serta beberapa keluarga  raja. Tempat ini biasanya ramai dikunjungi khususnya pada Hari Besar Islam. Makam ini terletak kurang lebih 2 Km dari Tugu Katulistiwa yang dapat dikunjungi dengan menggunakan transportasi darat maupun transportasi air (sampan).
Makam Batu Layang juga dapat dikatakan menjadi salah satu bentuk peradaban Islam di Pontianak mungkin dikarenakan temapt ini merupakan tempat dimana pahlawan agama Islam dimakamkan dan mereka merupakan penyebar ajaran Islam sehingga Islam sangat berkembang pada masa itu hingga sekarang menjadi agama yang mayoritas sehingga tempat makam Batu Layang ini dijadikan tempat atau sebagai bentuk peradaban Islam dikota Pontianak. Dan tempat ini juga dijadikan tempat makam para raja-raja Pontianak mungkin dikarenakan awal mulanya tempat yang mereka singgahi di Pontianak adalah Pulau Batu Layang. Dan masyarakat  menjadikan tempat yang selalu ramai dikunjungi oleh warga Pontianak pada saat-saat hari besar keagamaan. Hal ini merupakan penghormatan yang diberikan masyarakat kepada para penyebar Islam di kota Pontianak. Dan makam ini juga menjadi petanda kalau di Pontianak pernah ada orang-orang yang memang berjasa dalam menyebarkan Islam di kota Pontianak, sehingga menjadi salah satu bentuk peradaban Islam di Pontianak.
4.      Bidang pendidikan
Perkembangan berikutnya lahirnya berbagai organisasi isalam yang menjalankan pendidikan islam pada beberapa sekolah maupun yayasan di Pontianak, antara lain:
a.       Yayasan Pendidikan Barawi
b.      Yayasan  Pendidikan Islam
c.       Yayasan Pendidikan Bawamai
d.      Yayasan pendidikan muhammadiyah

4.      Perkembangan Islam di Pontianak
Umat Islam menjadi mayoritas ketika berdirinya kerajaan Pontianak pada tahun 1771 Miladiah. Kesultanan Pontianak dengan Rajanya Sultan  Syarif Abdurrahman Al-Qadri adalah putra Syarif Husin Al-Qadri yang menjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat kehadiran kesultanan yang yang gercorak Islam masih membawa pengaruh adat istiadat bangsa Nusantara yang dinamakan pengaruh Jawa Pra Islam. Salah satu pengaruh kuat adalah percampuran budaya Timur tengah dengan budaya pra Islam. Sekitar tahun1733 Syarif Husin bin Ahmad Al-Qadri seorang ulama dari negeri Trim Ar-Ridha Hadralmaut (timur Tengah) datang kekerajaan Matan untuk menyebarkan agama Islam, kemudian diangkat sebagai penasehat  raja, akan tetapi jabatan tidak begitu lama dikarenakan ada perselisihan paham tentang hukuman terhadap nahkoda tidak disetujui oleh Syarif Husein kemudian pindah kekerajaan Mempawah. Dikerajaan itu beliau diangkat sebagai patih oleh Opu Daeng Manambon. Syarif Husin menikah dengan Nyai Tua dari perkawinan ini mendapat lima orang anak diantaranya Syarif Abdurrahman al-Qadrie yang lahir tahun1471.
Kawasan sekitar pusat pemerintahan kesultanan Pontianak yang gterletak dipinggiran Sungai Kapuas, Kampung Kapur, Kampu Bansir, Kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental pengaruh agama Islam. Daerah Kapung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar. Pada jaman tersebut beliau salah seorang yang termahsyur. Sultan Pontianak Syarif Muhammad Al-Qadri mengundang husus menjadi guru ngaji dilingkungan Keraton Kadariyah Pontianak. Ustad Djafar yang kelak menurunkan anak yang bernama Kurdi Djafar yang dikenal pendiri cabang Muhammadiyah di Sungai Bakau Kecil di Mempawah dan salah satu seorang putranya Mawardi Djafar seorang tokoh Muhammadiyah yang ada di Pontianak ( dalam Ikhsan wawancara H. Rahim Djafar).
Agama Islam menjadi agama mayoritas di Kalimantan Barat dan Pontianak khususnya. Agama di Pontianak terdiri dari agama Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu bagi masyarakat Tionghua. Toleransi agama sangat dijunjung tinggi di Pontianak, sehingga dapat dikatakan aman dan sejahtera. Perkembangan yang berikutnya lahirnya berbagai organisasi Islam yang menjalankan pendidikan Islam pada beberapa sekolah maupun yayasan di Pontianak:
a.       Yayasan pendidikan Bawari
b.      Yayasan pendidikan Bawamai
c.       Yayasan perguruan Islamiah
d.      Yayasan pendidikan Muhammadiyah
e.       Yayasan Pendidikan Al-Azhar
Masih banyak pendidikan yang belum bisa didata. Di samping itu perkembangan pengajian ibu-ibu yang berkembang pesat di Pontianak. Peranan ulama yang begitu besar terhadap perkembangan pendidikan tidak hanya pada pendidikan formal akan tetapi pada pendidikan nonformal. Ulama yang berpengaruh membentuk pendidikan di era tahun enam puluhan dan sampai delapan puluhan di Pontianak antara lain.
a.       H. Ismail Bin Abdul Karim alias Ismail  Mundu Mufti kerajaan Kubu.
b.      Syeh Abdullah Zawawi (Mufti kerajaan Pontianak)
c.       Syah Syarwani
d.      Habib Muksin Al Hinduan ( Tarekat Naksabandiah)
e.       Syeh H. Abdurani Mahmud ( Ahli Hisab)
f.       Habib Shaleh Al Haddad
g.      H. Abdussyakur Badri alias H. Muksin
h.      H. Ibrahin Basyir alias wak guru

B.     SEJARAH PERADABAN ISLAM DI MEMPAWAH
1.      Masuknya Islam di Mempawah
Islam di Mempawah tidak terlepas dari pengaruh seorang yang bernama Opu Daeng manambon meskipun beliau bukan seorang ulama akan tetapi latar belakang dari Opu Daeng Manambon ini adalah beragama Islam, beliau menadapatkan amanah dari raja senggaok untuk menggantikan posisinya karena raja senggaok telah wafat.
Pergilah Opu Daeng Manambon kepusat kerajaan yaitu di karangan, sesampai rombongan dari Opu Daeng Manambon ini di Sungai Kuala, mereka disambut gembira oleh rakyat setempat, Opu daeng Manambon pun pergi kekerajaan serta mengadakan serah terima jabatan karena masyarakat pada saat itu patuh dan stia pada rajanya, mayarakatpun mengikuti agama yang dianut oeleh Opu Daenga Manambon yaitu Islam, Islam masuk di Mempawah.karena pengaruh dari kekuasaan Opu Daeng Manambon, akan tetapi Opu Daeng Manambon tidak bekerja sendirian dalam proses mengislamisasi rakyat pada saat itu yang agama nenek moyangnya adalah Hindu, beliau memanggil ulama dari kerajaan matan adalah Habib Husein Al-Qadri. Setelah beliau pindah ke Mampwah,  banyak yang berguru kepada Habib ini, karena Hhabib ini dikenal denagn kemasyhuran dalam bidang agamanya, beliau terkenal denagn orang yang suci bisa menyembuhkan penyakit denagn doa-doanya kepada Allah, tidak tanduk beliau dalam menyebarluaskan Islam di Mempawah sangat mudah kerana pemerintahan Opu Daeng Manambon sanagt mendukung denagn kinerja beliau. Tidak heran bahwa di Mempawah terdapat ulama yang wara’, dan terkeanal akan keagamaannya karena Habib Husein Al-Qadri ini mengabdi kepada kerajaan, dan Islam berkembang denagn pesat di Mempawah, pemerintahan Opu Daeng Manmbon inipun memegang asas hukum Islam, seperti bermusyawarah dan menyerahkan persoalan kepada hukum Al-quran dan hadits.
Selain itu Habib Husein A-Qadri pun selalu membimbing masyarakat yang masih awam terhadapa Islam, masyarakatpun senag ternyata agama yang dibawa oleh Opu Daeng Manambon dan Habin Husein Al-Qadri ini mampu menyentuh hati mereka dengan lembut, samapi akhirnya Islam berkembang di Mempawah.

2.      Perkembangan  Islam di Mempawah
Karena kemasyhuran Habib Husein al-Qadrie ini tentang ilmu agama, banyak orang yang dari seluruh penjuru negeri ini pergi untuk berguru ke Mempawah. Mempawah pada saat itu menjadi center pembelajaran menimba ilmu agama Islam denagn berguru kepada Habib Husein Al-Qadri ini, banyak orang yang berguru menimba ilmu agama Islam di Mempawah, samapai akhirnya Mempawah yang yang dahulu bercorak Hindu menjadi bercorak Islam karena pengaruh yang besar dari kerajaan.
                        Kebesaran nama Habib Husein (Tuan Besar Mempawah) tersebar luas hingga ke Asia Tenggara ia merupakan penganut madzhab Syafii. Ia juga suka dengan ilmu tasawuf. Amalan tasawuf yang sering dilakukannya adalah Ratib Al-Haddad dan tarikat Qadariah. Ketika menjadi mufti Mempawah, yang diajarkannya kepada masyarakat umum lebih berupa amalan dan bercorak membeir keterangan (syarah).
                        Islam pada masa itu menganut madzhab Syafii, dan beliau juga mengajarkan tarekat kadiriah akan tetapi beliau mengajarkan terakat tersebut hanya kepada orang yang beliau rasa cukup memahami agama dengan kuat seperti Opu Daeng Manambon pun mengikuti tarekat tersebut, untuk ajaran yang diajrkan ke masyarakat beliau member pemahaman dasar tentang hukum Islam, agar nanti masyarakat tidak terlalu mngeluh dengan agama barunya ini.
Perkembnagan Islam di Mempwah sampai meluas dan merata dipelosok-pelosok baik di Mempawah hulu maupun hilir, masyarakat dikenal denagan ketaatan Islamnya. Sampai-sampai mempawah dijuluki kota Islam tertua di Kalbar. Selain masyarakt mengamalkan Islam, masyarakatpun menjunjung nilai-nilai Islam, keadaan saat itu nyaman, ramah dan tentram karena masyarakat sangat menjunjung nilai-nilai Islam, bila ada masalah, mereka menyerahkan kepada Habib Husein al-Qadri, dan semua keputusan dari Habib mereka taati, disinilah letak berkembangnya Islam di Mempawah karena pengaruh ajaran dari Habib Huaein al-Qadri, sampai beliau wafat pada tahun 3 Dzulhijjah 1184 M. dan beliau berpesan yang brehak menggantikan beliau adalah syeh Ali bin Faqih Al-Fatani ulama asal Fatani Thailan Selatan.
3.      peradaban dan kemajuan yang dicapai
Berangkat dari perkembangan Islam di Mempawah, peradaban Islam meliputi pertama adalah symbol nama kerajaan yaitu AMANTUBILLAH,sebuah ide yang bercorakkan Islam terhadap nama kerajaan, selain itupula sekitar 100 meter dari kerajaan dibangun pula mesjid Jami’ sebagai tempat sentral keagamaan setra bermusyawarah terhadap persoalan agama.
Di Mempawah juga ada sebuah peradaban yang mana dahulu Mempawah dikenal dengan agama Hindu dan dari kerajaan dayak akan tetapi setelah masuknya Islam Hindu berubah menjadi Islam yang sangat taat akibat pengaruh dari Opu Daeng Manambon serta kawinnya anak dari raja senggaok. Akibat dari pengaruh Islam dan banyaknya pendatang dari etnik melayu akhirnya sampai sekarang yang berkembang di Mempawah adalah suku Melayu Mempawah.
Selain itu pula di Mempawah ada kemajuan Islam yang dicapai, yaitu berdirinya pesantren madrasatunnajah Wal Fatah yang terletak di Sui Bakau Besar Mempawah yang didirikan pada tahun 1918 Masehi. Pada masa itu madrasah ini telah menjadi madrah tertua di Kalimantan Barat.
Selain itu Mempawah dikenal dengan masjid Jamiatul Khair, masjid ini selalu mengikuti perkembangan zaman masjid ini didirikan oleh Gusti Amir, yang unik dari masjid ini adalah soal kepengurusannya, sejak awal ditata dengan komposisi: 20 orang jumlah pengurus melambang 20 sifat Allah SWT, pengurus inti ada 6 orang melambangkan rukun iman, kemudian ada 5 bidang melambangkan rukun Islam 13 personalia pembantu sidang melambangkan rukun shalat, dengan penyusunan yang demikian masjid Jami’ ini terus menyiarkan agama Islam sampai ke Sambas.
Peradaban dan kemajuan yang dicapai selain bangunan bersejarah ialah setelah wafatnya Habib husein Al-Qadri dan penggantinya Syekh Ali Bin Fakih Al-Fatani yang mana pengetahuan agama beliau sangat lengkap karena beliaupun berguru dimekkah. Beliau mengajarkan Ilmu tentang Fiqih bermadzhab Syafii, dibidanga akidah mengikutu ahli sunnah wal-jamaah, serta tasawufnya mengikuti ulama-ulama sufi.
Sejak kedatangan ulama tersebut berkembanglah Barzanji, Nazham, Burdah dan sejenisnya, dan setiap malam jum’at ditempat upacara resmi sering mendengungkan lagu-lagu zikir sebagai bentuk untuk memperoleh pahala, bukan dipandang sebagai kesenian dan kebudayaan.
Berbeda dengan terekat yang sering diamalkan syeikh Ali adalah terekat Syatariyah dan tarekat Naqsyabandiyah , Habib Husein Al-Qadri mengamalkan terekat Qadariyah.
Selain Syeikh Ali Bin Faqih Al-Fatani ada ulama yang mengahasilkan katya, Haji Sulaiman adalah seorang ulma. Diantara karyanya yang telah ditemui ialah Sullamush Shu’ud Ila Hadhrati Zainil Wujud.  kitab tersebut diselesaikan pada malam jum’at, 27 Jumadilakhir 1298 H. beliau bermukim dikampung Kuala Secapah Mempawah, dan berisikan tentang doa kepada Nabi Muhammad, shalawat kepada Nabi Muhammad, Shalat Tarawih dan masih banyak yang lain. Selain itu ulama yang berasal dari Mempawah bernama Abdurr Rasyid bin Hasan penyusun risalah ikstisharul Muhtadi fi Ahkamit Tajwid, yang diselesaikan hari selasa, 15 Zulkaedah 1353 H. kandungan membicarakan ilmu tajwid. Cetakan yang pertama dicetak oleh Mathba’ah al- Masawi, 14 Ulu Palembang.
Tariqat Syaziliyah juga pernah diamalkan oelh ulama yang berasala dari Mempawah, beliau ialah Umar Ibnu U’u  Maju’ yang menghasilakan karya berjudul Salasilah dan amalan thariqat Ayaziliyah
Adapun pengajian pondok selain itu ialah Daral Ulum yang diasaskan oleh Abdurrahman bin husein al-Kalantani, murit Tok Kenali, pengajian pondok beliau terletak di Kampung Terusan, Mempawah. Hanya pondok pengajian inilah satu-satunya pondok pengajian tanpa kelasa dan tanpa bangku, system pendidikannya sama dengan di Patani, Kelantan, Kedah dan Pulau Jawa, dalam tahun 1975, beberapa orang kader Pondok Pesantren Saigoniyah dan Dar al-‘Ulum bergabung, sama-sama mengajar di  Pondok Pesantren Al-Fathanah di Kuala Mempawah. Oleh karena itu berarti kelanjutan dari pada kedua-dua institusi yang tesebut, masih berjalan terus sampai sekarang. Kader-kader Pondok Pesantren Saigoniyah banyak mengeluarkan kader-kader yang mengajar dibeberapa tempat di Kalimantan Barat tetapi sekarang hampir semuanya telah meninggal dunia dan nama pondok pesantern pun punah karena akibat perang dunia ke dua, muncul ditahun 1977 Madrasah Al-Irsyad. Nama baru ini diberikan bertujuan mengabdikan nama Seikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan nama keturunan beliau. Yaitu Muhammad Arsyad. Beliau satu-satunya ulama yang dihormati di Kampung Saigon ketika itu.
Adapun  Mufti Kerajaan Mempawah yang terakhir adalah Abdurrahman dan karyanya adalah Quwaninul Mubbtadi fil Fiqih yang diselesaikan pada 22 Dzulhijjah 1353 H, kitab ini membicarakan tentang soal Tanya jawab Fiqih, dan dicetak oleh Matba’ah Manasawi Palembang.




C.    SEJARAH PERADABAN ISLAM DI KERAJAAN SAMBAS.
1.      Sejarah dan Perkembangan Kerajaan Sambas
Kerajaan Islam Sambas terletak dibagian utara Provinsi Kalimantan Barat ini didirika secara damai oleh Raden Sulaiman (1009-1081 H/1606-1670 M) putra Raja Tengah dan merupakan kelanjutan dari kerajaan Hindu Ratu Sepudak, yaitu kerajaan “Smbas Tua” yang terletak di kota lama sekutu Kejaan ini berada dibawah kerajaan Koloni kerajaan Johor, sebuah kerajaan Melayu di Semanjung Melaka sebelumnya Raden Sulaiman adalah patih/ “menteri” di bidang keamanan dan pertahanan Ratu anom Kesukma Yhuda dan sekaligus adik ipar dari Sepudak itu.
Memperhatikan berbagai data sejarah dapat dikemukakan ternyata didalam diri Raden Sulaiman mengalir darah bangsawan dan negarawan. Dari pihak ayah ia memiliki keturunan dengan Kesultanan Brunai. Ayah Raden Sulaiman bernama Raja Tengah tidak lain adalah putra keduasulan Brunai Darussalam Sultan Hasan (1582-1602).
Dengan demikian dari pihak ayahnya pendiri kesultanan Sambas ini sangat dekat kekerabatannya dengan pihak kesultanan yang berada dibagian utara pulau Kalimantan. Dari pihak ibunya Raden Sulaiman memiliki hubungan darah dengan Raja Matan Sukadana. Ibunya adalah ratu surya dan merupakan adik Sultan Matan Sukadana yang bernama penembahan giri Mustika bergelar Muhammmad Shafiyud-din (artinya “Muhammad yang beragama murni”) dengan demikian penguasa kesultanan Sambas memiliki jaringan politik kekerabatan dengan beberapa kekerajaan besar Melayu yang ada pada waktu itu.
Setelah resmi mejadi kesultanan Sambas pada senin 10 Dzulhijjah 1040 H Raden Sulaiman menggunakan gelar kebesaran yaitu Sultan Muhammas Syafiyud-din mengikuti gelar pamannya (kakak ibunya) penembahan Giri Mustika yang memerintah di Matan Sukadana.
            Sepanjang perjalanan sejarahnya Sambas memiliki lima tempat atau kota bersejarah sebagai tonggak awal kelahirannya sehingga akhirnya menjadi sebuah kesultanan besar. Tempat atau kota ini adalah:
1.      Kota bangun (muare tambangun), merupakan tempat pertama kalinya Raja Tengah ayah Raden Sulaiman singgah dan kemudian membangun perkembangan di Sambas. Ditempat inipula Ratu Anom Kesukma Yudha menyerahkan tahta kerajaan Sambas tua secara damai dan suka rela kepada Raden Sulaiman Sultan Sambas yang pertama.
2.      Kota Lama, merupakan ibu kota atau pusat pemerintahan kerajaan Sambas tua yang masih menganut agama Hindu yaitu kerajaan Ratu Sepudak yang terletak di Sekura
3.       Kota Bandir, daerah hulu Sungai Subah yang merupakan tempat Raden Sulaiman mengasingkan diri setelah meninggalkan kerajaan Sepudak dan juga selama tiga tahun menjadi pusat pemerintahan tradisional kerajaan Sambas yang dinamakan oele Ratu Sepudak kepada Raden Sulaiman.
4.      Lubuk Madung, daerah disamping sungai Terberau, merupakan ibu kota pertama kesultanan Sambas dan disinilah Raden sulaiman ditabalkan menjadi raja dengan gelara Muhammad Syafiuddin.
5.       Muare Ulakkan, tempat dijadikannya pusat pemerintahan kesultanan Sambas sejak masa kekuasaan raden Bima bin Raden Sulaiman dan masih dapat disaksikan samapi saat ini.
Sejak berdirinya kesultanan sambas terjadi proses penegembanga agama Islam secara damai disana. Pada awal abad ke 19 penguasa ke 8 bernama Raden Pasu bin Raden Jamak ( Murohum Anom) bergelar Sultan Muhammad Shyafiuddin 1 (memerintah 1813-1826 M) mulai membangun secara resmi lembaga keagamaan Islam di istana Sambas. Diantara yang dilakukannya adalah melantik Haji Nurdin Mustafa sebagai Imam kesultanan. Tugas imam adalah setiap hari datang ke istana untuk memebrikan pelajaran agama kepada para kerabat kesultanan terutama mengaji Al-Quran dan pelaksanaan sembahyang. Dengan demikian dapat ditegaskan bahawa Islam betul-betul kokoh masuk kedalam sendi pemerintahan di Kesultanan Sambas adalah awal abad ke-8 yaitu pada masa pemerintahan Raden Pasu.
2.      Perkembangan kerajaan Sambas
Pada masa inilah Sambas melahirkan seorang cikal-bakal ulama besar dibidang tarikat yaitu  Ahmad Khatib bin abdul Ghaffar s-Sambasi al- Jawi (180218750, yang kemudian menjadi syeikh mursyid kamil mukamil (guru pembimbing utama ) di mekkah.
Sekitar setengah abad kemudian penguasa Sambas ke 13 bernama Raden Arifin (muruhum cianjur) bin Muruhum Tajuddin bergelar pengeran adipati atau Sultan Muhammad Shafiyuddin 11 (memerintah1866-1922) mendirikan masjid didepan istana pada tahun1872. Kemudian mendirikan Madrasah perguruan Islam As-Shultaniyah tahun 1992.
Bersamaan dengan masa didirikannya masjid istana tahun 1872 dibentuklah suatu lembaga keagamaan kesultanan yang menangani masalah hukum dan utusan agama Islam. Lembaga ini dijabat oleh seorang ulama yang disebut Maharaja Imam (Hakim dan kepala urusan agama Islam).
Pada masa H. Muhammad Imran Putera H. Muhammad Arif mejabat sebagai Maharaja Imam, ia menyaksikan suatu perkembangan dan kemajuan masyarakat yang cukup pesat di Sambas baik karena kemakmuran kerajaan merupakan karena perkembangan dan kemajuan zaman. Disadarinya bahwa hal itu akan menimbulkan tututan dan tantangan yang semakin besar dan semakin tinggi. Lebih-lebih lagi penjajah Belanda terus menerus mengadakan proses pembaratan(westernisasi) kepada penguasa dan masyarakat Sambas dengan dampak negative yang ditimbulkannya yaitu pola hidup semakin jauh dari agama bahkan pemurtadan dari Islam.
 Bertolak dari kenaytaan tersebut H. Muhammad Imran berkesimpulan bahwa Sambas memerlukan orang-orang yang betul-betul menguasai ilmu keagamaan serta memiliki wawasan yang luas guna dapat mejawab dan menghadapi perkembangan, tuntutan dan tatangan tersebut. Maharaja Imam Sambas H, Muhammad Imran berkeinginan agar Sambas kembali melahirkan ulama besar, untuk mewujudkan keinginan tersebut tidak ada jalan lain kecuali mengirimkan putera-putera terbaik Sambas untuk belajar ilmu kepusat-pusat keilmuan dan kemajuan didunia Isalam. Keinginan inipun dimusyawarahkan, dan ibarat “gayung bersanbur” niat ini mendapat dukungan penuh dari Sultan Sambas. Sekitar tahun 1901 Maharaja Imam Sambas yang kedua ini mengirim puterenya Muhammad Basyuni (1885-1976) ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji yang dilanjutkannya belajar disana selama lima tahun.
Pada tahun 1910 H. Muhammad Imran kembali memberangkatkan dua puteranya H. Muhammad Basyuni dan Muhammad Fauzi bersama-sama dengan Ahmad Su’ud ke Cairo Mesir untuk setudi ke Universitas Al-Azhar H. Muhammad Basyuni berkesempatan studi di Cairo selama empat tahun. Beliau pulang ke Sambas pada tahun 1913 karena ayahnya sakit dan kemudian wafat. Pristiwa inipun menakdirkan H. Muhammad Basyuni diangkat sebagai Maharaja Imam Sambas menggantikan kedudukan ayahnya, sejak itu ia tidak belajar secara formal yang belum selesai dijalaninya, pengembangan ilmu selanjutnya dilakukannya dengan banuyak membaca dan menulis
Tampilnya Maharaja Imam Sambas H. Muhammad Basyuni Imran sebagai tokoh Islam di kerajaan pantai utara Kalimantan Barat menempatkan Sambas sebagai bagian dari pusat-pusat Islam yang berperan besar dalam membangun Nusantara Baru dan sekaligus mempersiapkan kualitas mental dan spiritual masyarakat sambas untuk menyongsong dan membangun Indonesia merdeka.
3.      Sejarah masuknya dan perkembangan Islam di kerajaan sambas
a.       Sejarah masuknya Islam di Kerajaan Sambas
Proses masuknya agama Islam dikalimantan Barat diawali dengan melalui aliran Sungai Samabas, kemudian menyebar ke Singkawang, Mempawah dan Pontianak dengan menyusuri Sungai Kapuas. Selanjutnya penyebaran dilakukan dengan melalui Landak masuk ke daerah Tayan, Sintang dan Naga Pinoh. Dari daerah Sintang menyusuri sungai Kapuas sampai Putussibau. Penyebaran ini berlangsung sekitar tahun 1550-1800 M.

b.      Perkembangan Islam di kerajaan sambas
Sejak berdirinya Kesultanan Sambas terjadi proses pengembangan agama Islam secara damai disana. Pada awal abad ke 19 penguasa ke 8 bernama Raden Pasu bin Raden Jamak (murohum Anom) bergelar Sultan Muhammad Shafiyuddin 1 (memrintah 1813-1286M) mulai membangun secara resmi Lembaga Keagamaan Islam di Istana sambas. Diantara yang dilakukannya adalah melantik Haji Narudin Mustafa sebagai Imam Kesulatanan. Tugas Imam adalah setiap hari datang ke Istana untuk memberikan pelajaran agam kepada para kerabat kesultanan, terutama mengaji Al-Quran dan pelaksanaan sembahyang. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa Islam betul-betul kokoh masuk kedalam pemerintahhan di Kesultanan Sambas adalah awal abad ke-8 yaitu pada masa pemerintahan Raden pasu.




4.      Kemajuan-kemajuan kerajaan sambas
a.       Faktor dari kemajuan kerajaan Sambas
Selain itu dapat pula disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor  utama yang berperan dalam memajukan masyarakat dan kesultanan Sambas. Diantara pertama, kesejahteraan dan kemakmuran sosial ekonomi kesultanan Sambas, kedua,semangat keilmuan dibidang agama yang dipelopori langsung oleh Sultan dan ulama, semangat ini merupakan “gayur bersambut” terhadap gelombang reformasi yang muncul di Timur Tengah, dan ketiga, jaringan politik dan sosial yang kuat dengan kerajaan-kerajaan yang lain. Keempat; modernisai yang dibawa dan diperkenalkan oleh penjajah terutama Beland.
1.      Perjalanan Kota Sambas
Daerah Sambas pertama kali dibangun oleh Raja Tengah sekitar tahun1620 Masehi. Dan Raja Tengah adalah anak keturunan Brunei Darussalam. Kemudian pada tanggal 10 dzulhijjah 1040 H. (sekitar tahun 1630 M). Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas yang pertama digelar Sultan Muhammad Tsfuddin. Sejak itulah berdiringya kesultanan Sambas yang pertama.
Sejak tanggal 15 Juni 1999 kota Sambas telah kembali bangkit menjadi ibukota Kabupaten  Sambas. Sebelumnya kota Sambas hanya menjadi ibukota Kecamatan, salah satu kecamatan dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Sambas yang beribukota di Singkawang (sejak tahun 1957-1999).
Kalau kita lihat kebelakang, sejarah kesultanan Sambas, adalah sebuah kerajaan kesultanan besar di Kalimantan maupun dinusantara Indonesia. Kesultanan Sambas  terkenal besar sejak sultan Sambas yang pertama Sultan Muhammmad Syafiuddin I (1631-1668.) kejayaan kesultanan Sambas telah membesarkan nama negri Sambas, sampai pada Sultan Sambas ke 15 yaitu Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Safiuddin (1931-1943). Kerajaan Sambas sirna ketika Sultan ke 15 ini wafat karena ditangkap dan dibunuh oleh tentara pendudukam Jepang tahun 1943. Kerajaan Fcisme jepang meruntuhkan kejayaan Sambas.
Nama dan kejayaan Sambas sesungguhnya tidak hanya dimulai daru Sultan Muhammad Syafiuddin I (1631-1668). Sejak abad ke-13 Masehi sudah ada kekuasaan raja-raja Sambas. Bermula dari kedatangan prajurit majapahit di Paloh. Kemnudiann pusat kerajaan Sambas berpindah ke kota lama di Teluk keramat. Dari kota lama berpindah ke kota bangun di Sungai Sambas Besar. Dari kota bangun pindah lagi ke kota Bandir dan kemudian pindah lagi ke Lubuk Madung. Konon menurut cerita. RombonganRaden Sulaiman  pernah singgah di Tebas. Mereka sempat menebas daerah iniu tetapi kemudian ditinggalkan. Dinamakanlah daerah itu Tebas.
Barulah pada masa Sultan Sambas ke-2 yaitu Raden Bima gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1668-1708) pusat Kesultanan Sambas dibangun di Muara Ulakan, dipertemuan tiga sungai yaitu Sungai Sambas Kecil, sungai Subah dan sungai Tabura. Sejak tahun 1668 kota sambas itu Meliputi daerah Pemangkat, singkawang dan daerah sambas sendiri, yang kaya akan emas.
Sejak jaman penduduk Jepang dan NICA (1942-1950),integritas kerajaan Samabas telah sirna karena terlibat dengan pergolakan perang dunia II. Ketika daerah Samabas atau Kalimantan Barat kembali bernaung dibawah Negara ke-Sultanan Republik Indonesia pada tahun 1950, dan dibentuknya pemerintahan administrative Kabupaten Sambas rakyat Sambas sesungguhnya menuntut agar Sambas tetap menjadi Ibu kota Kabupaten Sambas. Keinginan rakyat Smbas ini adalah sebagai upaya melanjutkan kembali kejayaan negri Sambas sejak pemerintahan pada Ultan Sambas dari tahun 1631-1943.
Pada akhirnya, keinginan rakyat menjadikan kota sambas sebagai ibu kota Kabupaten Sambas terwujud juga sejak tanggal 15 Juli 1999. Pemerintahan Kabupaten Sambas berkedudukan di kota Sambas, yang telah sirna sejak tahun 1943-1999, lima puluh tahun kemudian.
2.      Purba sejarah sambas
Riwayat kerajaan Sambas dan para Sultan Sambas berdasarkan catatan tertulis dan benda peninggalan secara jelas dimulai pada awal berdirinya Kesultana Islam Sambas pada awal abad ke-17. Sumber tertulis utama tentang Kesultanan Sambas, adalah tulisan Sultan Muhammad Safiuddin Sambas II berjudul “silsilah raja-raja Sambas” yang tertulis sendiri oleh Sultan Sambas ke-13 itu pada bulan Desember 1903. Sumber tertulis utama dari Negara Brunei Darussalam adalah kitab “silsilah raja-raja Berunei” seumber sejarah kesultana Sambas berkaitan dengan kerajaan Berunei telah diterbitkan dalam tiga buah buku oleh Pusat sejarah Berunei. Ketiga buku tersebut adalah:
“tarsilah Brunai, sejarah awal dan perkembangan Islam” (tahun 1990)
“raja Tengah, sultan serawak Pertama dan Terakhir” (tahun 1995).
“tarsilah Brunai, Zaman kegemilangan dan kemashuran “tahun (1997)
Di dalam sejarah Raja-Raja Brunai maupun silsilah Raja-Raja Sambas, riwayat kesultanan Sambas dijelaskan mulai masa Raja Tengah, raja serawak yang selama 40 tahun berada di Sukadana dan Sambas (1600-1641). Raden sulaiman adalah putra Raja Tenagh dari perkawinan Raja Tengah dengan putri Surya Kusuma. Putri Sultan Matan/Sukadana, Sulatan Muhammad Syafiuddin. Kemudian Raden Sulaiman adalah Sultan Sambas pertama: 1631-1668. Namun sejarah Sambas sudah bermula jauh sebelum Raden Sulaiman berkuasa. Walaupun tidak didapatkan catatan tertulis tentang purba sejarah Sambas, dari catatan kerajaan Majapahit dan kronik-kronik Kaisar Cina, disebutkan bahwa Sambas sudah ada sejajar dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan, Jawa, Sumatera, Malaka dan Brunai serta Kekaisaran Cina pada abad ke 13 dan  ke 14.
Masa purba sejarah Sambas dan Kalimantan masih diliputi kabut ketidak pastian karena tidak banyak data dan informasi yang diperoleh, namun daerah bagian Kalimantan telah banyak dikenal oleh para pelancong dan pedagang asing dari Cina, Indina dan Arab sejakabad ke-10.
Dan pada akhirnya kerajaan Sambas terbentuklah, dan kota sambas menjadi pusat perdagangan para kaumnya. Kemudian letak geografia pelabuhan Sambas yang strategia yaitu berdekatan dengan Malaka, Selat Malaka, Laut Cina Selatan. Dan singapura sebagai basis perdagangan internasional sangat menguntungkan proses perkembangan kota. Sehingga munculnya pelayaran maritime dan sungai fasilitas untuk menyelenggarakan transformasi dan komunikasi telah mendorong semakin ramainya perdagangan kawasan ini. Kegiatan ekspor impor semakin meningkat. Melihat keuntungan yang biasa diperoleh, bahwasanya pemerintah Belanda berniat untuk memperbaiki pelabuhan ini dan diberi fasilitas sehingga kapal KMP (Kongsi Pelayaran Belanda) maupun dari kapal asing dapat berlabuh.
Pengaruh lebih jauh lagi, seperti yang ditunjukkan oleh Panji Anom, adalah semakin dengan tingginya tingkat kesejahteraan dan kemakmuran negeri Sambas. Sambas menjadi sebuah kesultanan yang maju dan berkembang dengan raminya pelabuhan yang dilalui.
Kemakmuran kesultanan Sambas sebagai hasil perdagangan Internasional memberikan kesempatan kepada rakyat dari kesultanan paling utara Kalimantan Barat untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di timur tengah terutama di kota Mekah.
Di sisi lain, kemajuan kesultanan dan interaksi perekonomian yang ia lakukan telah menarik masuk dan bermukimnya para pedagang dari wilayah-wilayah tetangganya dan bangsa asing. Sudah sejak lama sultan dan rakyat sangat terbuka dan menyambut baik siapa saja yang datang ke daerah ini. Misalnya, kebijakan pemerintahan kesultanan. Kesultanan Sultan Abu Bakar Tajuddin 1 (berkuasa 1793-1825) yang telah menyediakan tempat khusus para pendatang untuk kediaman orang dari Siak Sri Indapura, Riau disediakan suatu tempat yang diberi nama kampung Tanjung Rengas: sedangkan pendatang dari Sulawesi disediakan tempat yang dinamakan Kampung Bugis.
Sifat terbuka yang menjadi ciri khas masyarakat pantai seperti ini tidak hanya menyangkut dari latar belakang suku, tetapi juga terbuka terhadap masuknya berbagai agama atau kepercayaan lain. Dalam pribahasa Melayu “kecil telapak tangan, nyiru kami tadahkan”. Sebagai sebuah kesultanan Islam, tata pemerintahan dan kemasyarakatan di jalankan menurut ajaran Islam dengan tetap mempertahankan adat istiadat dalam  masalah hukum pidana perdata misalnya, kesultanan Sambas membentuk lembaga pengadilan.
Kesultanan Sambas menggunakan kitab Kanun sebagai undang-undang untuk mengatur kehidupan seperti masalah tanah, warisan, perkawinan dan sebagainya. Perbedaan yang mendasar dari tata pemerintahan kesultanan Sambas sebelum dan setelah mendapat  pengaruh Islam antara lain dapat dilihat dari undang-undang yang dipakai adalah adat istiadat. Sedangkan setelah masuknya pengaruh Islam perundang-undangannyatelah mengacuh kepada kitab kanun. Dan kitab nanun ini berisi hukum Islam dan hukum adat yang telah dipadukan.
Pembaruan antar budaya dan ajaran Islam terjadi sangat interns. Antara adat dan agama tumbuh dan berkembang secara berdampinagan. Di Kesultanan ini, setiap acara ada adatnya tersendiri. Mulai dari bertani, mendirikan rumah, perkawinan, kelahiran, kemalangan sampai kematian. Bahkan seni pertunjukkan seperti Jepin yang hampir dimiliki oleh semua semua Melayu pesisir, yang dipandang sebagai dakwah Islam.
            Coba kita telusuri jauh kebelakang, proses Islamisasi ini telah berlangsung sejak kedatangan Raja Tengah ke daerah ini sekitar tahun 1620 M. proses pembaruan keturunan Raja Tengah antar lain dalam bentuk perkawinan silang dengan wanita-wanita kesultanan tetangganya seperti Sukadana,Mempawah dan lain-lain, maupun dengan wanita-wanita setempat. Dengan pembentukan keluarga muslim ini, maka komunitas-komunitas Islam pun tercipta. Cirri pendidikan dalam Islam yang popular adalah ” mengaji”.
Paling tidak, sejak pemerintahan Sultan Sambas yang ke II. Muhammad Tjajuddin II (1666-1702), prakter pendidikan Islam dipusatkan di masjid sebagai tempat memperdalam ilmu agama yang mulai berkembang. Pada masa pemerintahan Sultan Akamuddin I (1702-1727) telah dibangun masjid baru yang diberinama “Kamasllaita”. Pada masa pemerintahannya diperkirakan telah datang seorang ulama besar dari Patani Thailand  Selatan yang bernama Syakh Abd Al- Jalil al- Fatani dan mengajar Islam di Sambas.
Momentum kedatangan para ulama seperti inilah telah merangsang terciptanya tahapan baru praktek pendidikan di masyarakat. Pendidikan utama yakni dalam keluarga yang subjek utamanya pada kemampuan membaca al-quran yang diperluas dengan penguasaan subjek-subjek lain  seprti bahasa arab, fiqih, sampai dengan ajaran tasawuf proses transmisi keilmuan ini biasanya terjadi karena motivasi keagman pada orang tua, lalu mengirimkan anak dan pemuda untuk memperdalam ilmu tersebut. Setelah menyelaikan pelajaran, mereka kembali ketanah kelahiran mereka masing-masing. dan meneruskan ilmu, sekalian mensosialisasikan ajaran-ajaran yang telah ia ketahui yang diperoleh dari lingungan dan masyarakat.
Pada masa kesultanan Akamuddin II (1762-1768), penyebaran agama Islam semain ditingkatkan. Dan pada era inilah Sultan memiliki pejabat kesultanan yang bernama Imam Ya’kub. Ia ditugaskan untuk membina semua keluarga kesultanan. Kebijakan mengangkat pejabat agama dilingkungan kesultanan tampaknya merupakan cikal bakal upaya memformalisasikan dan mengadministrasikan hukum Islamiyah diwilayah keultanan.
Dalam mengupayakan administrasi hukum Islam secara kongkrit baru terwujud sepeempat abad kemudian ketika sultan Muhammad ali Tsayfuddin berkuasa (1813-1826). Ia mulai membangun institusi keagamaan dalam Islam diistana dengan melantik H Nurdudin Mustafa sebagai Imam kesultanan Sambas. Tugas imam adalah menangani banyak hal yang berkaitan dengan persoalan keagamaan, disamping ini memberikan pelajaran agama di Istana. Keluarna Nurudin ini yang belakangan diketahui melahirkan ulama-ulama besar Sambas pada pergantian XIX dan XX seperti H. Muhammad arif (Maharaja Imam Pertama) dan Muhammad Imran (Maharaja Imam ke II) Muhammad Basiuni Imran (Maharaja Imam ketiga) dan mereka semua pernah belajar ilmu yang telah diajarkan.
Di bawah otoritas keagamaan tokoh-tokoh ulama ini, pendidikan Islam menemukan momentum yang paling penting/ kondisif mereka berupaya mensosialisasikan penyelenggaraan pendidikan Islam dalam bentuk institusi. Pada tahun 1866 berdirilah sebuah “madrasah al-sultaniyah” yang langsung diresmikan oleh Sultan Sambas yakni “Muhammad Tsafiudin II (1866-1922). Dalam pendidikan Islam tersebut pada penghujung abad XIX dan XX. Tetapi hal ini terpaksa dilakukan.
a.       Pembaharuan pendidikan Islam di Sambas
b.      Untuk mengetahui dalam penempatan fase dan pola pendidika Islam
Dengan demikian memang nyata bahwa peradaban Islam yang dibangun kerajaan Samabas tempo dahulu selalu diawali dengan upaya pembelajaran pada lingkungan istana kesultanan kemudian belakangan diikuti pula kalangan bawah, yakni seluruh masyarakat.




D.    SEJARAH PERADABAN ISLAM DIKETAPANG
1.      Sejarah Peradaban Islam di Ketapang
Jika menurut sejarahnya, kerajaan Matan yang sekarang beda di Ketapang, Kalimantan Barat, merupakan bagian dari jajaran kerajaan melayu yang terdapat di Pulau Kalimantan. Sejarah dan asal-usul Kerajaan Matan sendiri cukup rumit karena kerajaan ini merupakan kelanjutan riwayat dari Kerajaan Tanjungpura yang kemudian melahirkan dua kerajaan turunan, yaitu Kerajaan Sukadana dan Kerajaan Matan. Oleh karena dilanda konflik internal yang berujung pada perebutan kekuasaan, Kerajaan Matan kemudian terbagi menjadi dua, yakni kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan. Disisi lain, Kerajaan Sukadana, sebagai penerus pertama Kerajaan Tanjungpura, masih tetap eksis disamping geliat dua kerajaan pecahan Kerajaan Matan tersebut. Kerajaan Tanjungpura sendiri pada awalnya merupakan kerajaan yang didirikan oleh Barawijaya yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Pada masa Brawijaya, Kerajaan Tanjungpura sempat menjadi kerajaan besar pada zaman Hindu-Buda di bumi Borneo.
Kerajaan Tanjungpura mengalami masa keemasan pada sekitar abad ke-14. Kerajaan ini adalah kerajaan tertua di Tanah Kayong. Nama Tanah Kayong digunakan untuk menyebut Ketapang yang terkenal sebagai tanah asal orang yang-orang sakit. Dari riwayat sejarah Kerajaan Tanjungpura inilah asal-usul peradaban Kerajaan Matan tutur tergurat. Sumber yang menyatakan tentang keberadaan Karajaan Tanjungpura dapat dibaca dalam Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca pada masa Kertanegara (1268-1292) dari Singosari dan pada masa Kerajaan Majapahit dengan Sumpah Palapa Patih Mangkubumi Gajah Mada.
Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari suatu tempat ketempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjun gpura berpindah ibukota adalan terutama karena serangan dari kawanan perampok (bajak laut) atau dikenal sebagai “Lanon”. Konon. Dimasa itu sepakterjang gerombolan “lanon” sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Sering berpindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang ditemukan dibekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut.
Negara Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah kesukadana. Pada masa pemenrintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan. Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura. Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat ditepian Sungai Punye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta dimana Keraton Muhammad Sunan sekarang berdiri.
Nama Matan sendiri mulai digunakan pada era pemerintahan Sultan Muahammad Zainuddin yang merupakan raja pertama Kerajaan Matan. Sultan Muhammad Zainuddin, yang memiliki nama kecil Gsuti Jakar Negara, adalah putra sulung dari Raja Sukadana yang terakhir, yaitu Gusti Kesuma Matan alias Gusti Mustika (1622-1665) yang juga memiliki dua anak lainnya, yakni Pangeran Agung dan Indra Mirupa atau Indra Kesuma. Gusti Mustika sendiri merupakan Raja Matan pertama yang menggunakan gelar sultan, gelar raja yang berciri Islam, dan menyandang gelar Sultan Muhammad Syaifuddin. Agama Islam sendiri sudah masuk ke Kalimantan sejak permulaan Tahun 1550 yang dibawa kaum pedagang Arab dari Palembang.
Pada akhir pemerintahan Kerajaan Sukadana dibawah rezim Sultan Muhammad Syafiuddin, terjadi peperangan yang dikenal sebagai perang Sanggau. Selain itu, pada 1622 Kerajaan sukadana juga mendapat serangan dari kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung. Tidak hanya itu, gangguan dari gerombolan bajak laut disepanjang perairan pantai dan selat Karimata pun semakin menjela. Kekacauan demi kekacauan inilah yang kemudian berakibat pada runtuhnya Kerajaan sukadana. Agar tetap bertahan. Maka pusat Kerajaan Matan dipindah kewilayah yang kemudian dikenal sebagai tempat berdirinya Kerajaan Matan dibawah pimpinan putra mahkota Gusti Jakar Negara atau sultan Muhammad Zainuddin.
Pemerintahan perdana Kerajaan Matan pertama olehSultan Muhammad Zainuddin ternyata tidak berjalan mulus. Ancaman justru datang dari Pangeran Agung yang berambisi untuk menggulingkan tahta kakanya. Untuk mengatasi ancaman perpecahan ini. Sultan Muhammad Zainuddin mendapat bantuan dari lima bersaudara asal Gugis yang datang dari Simpang ke Matan. Lima bersaudara yang terkenal  dengan sebutan Daeng Manambon ini tgerdiri dari Opu Daeng Petani, Opu Daeng Manambon, Opu Daeng Naraweh, Opu Daeng Kemasih, dan Opu Daeng Calak. Atas pertolongan dari Daeng Manambon bersaudra, selamatlah tahta Sultan Muhammad Zainuddin dengan berhasil ditangkapnya Pangeran Agung.

2.      Fase Perkembangan Kerajaan Tanjungpura
Sejarah sultan muhammd Zainuddin Lengser, pemerintah Kerajaan Matan diteruskan oelh putranya yang bernama Gusti Kesuma Bandan dan bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin yang memerintah pada kurun 1724-1738. Sultan Muhammad Muazzuddin memiliki tiga orang putra, yaitu Gusti Bendung, Gusti Irwan, dan Gusti Muhaamd Ali. Ketika Sultan Muhammad Muazzuddin wafat, ditunuklah Gusti Bendung atau atau Pengeran Ratu Agung sebagai penerus tahta Kerajaan Matan dengan Gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1738-1749). Sementara anak kedua Sultan Muhammad Muazzuddin, yaitu Gusti Irwan, menjadi raja di Kayong (Muliakerta) dengan gelar Sultan Mangkurat yang membawahi kerajaan Kayong Matan (sering pula disebut sebagai kerajaan Tanjungpura II)
Pada kurun berikutnya (1749-1762), pemerintahan Matan dipegang oleh anak tertua dari Sultan Muhammad Tajuddin yaitu Sultan Ahmad Kamaluddin yang bernama asli  Gusti Kencuran. Terakhir,  tahta kuasa Kerajaan Matan diturunkan kepada Gusti Asma yang bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin (1762-1819). Sultan inilah yang menjadi raja pamungkas Dinasti Matan karena setelah itu pusat pemerintahan dipindahkan ke wilayah bernama Simpang yang letaknya tidak seberapa jauh dari Matan, dan nama kerajaannya pun berubah menjadi kerajaan Simpang atau sering pula dikenal sebagai Kerajaan Simpang- Matan, karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan.
Dengan demikian, terdapat dua kerajaan yang menyandang nama Matan, yaitu kerajaan Simpang-Matan, dan bawah komando Sultan Muhammad Jamaluddin, dan Kerajaan Kayong-Matan yang dipimpin oleh Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat. Jika diurutkan, terdapat beberapa kerajaan yang merupakan keturunan dari Kerajaan Tanjungpura, yaitu Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan, Kerajaan Simpang-Matan, seta Kerajaan Kayong-Matan. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut masih terjalin hubungan kekerabatan yang cukup erat kendati masih sering terjadi pasang surut karena beberapan sebab perselisihan dan campur tangan penjajah Belanda.
3.      Wilayah Kekuasaan
Wilayah Kerajaan Tanjungpura yang menurunkan Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan, Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan, cukup sulit dipetakan dengan pasti. Seperti yang telah dipaparkan di atas, pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan. Salah satu pusat  pemerintahan Kerajaan Tanjungpura adalah di Negeri Baru (disebut juga benua lama). Menurut beberapa sejarawan, Kota Baru terletak di Ketapang, Kalimantan Barat. Kerajaan Tanjungpura sering dikenal juga dengan nama Bakulapura dengan Ibu Negerinya di Tanjungpuri. Dari Negeri Baru, Ibu Kota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana hingga berdirinya kerajaan baru bernama Kerajaan Sukadana. Kerajaan Sukadan telah merintis perluasan kekuasaannya pada masa pemerintahan Panembahan Baroh (1548-1550) hingga ke daerah pedalaman Sungai Melanu, yaitu sampai ke sebuah desa bernama Desa Matan (sekarang bernama Desa Batu Barat) yang kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Pengembangan wilayah kekuasaan ini adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang telah masuk ke Sukadana. Perpindahan ini juga mampengaruhi arus perpindahan penduduk Sukadana yang bermigrasi ke pedalaman, menyusuri tepian Sungai Melano, Sungai Matan, Sungai Bayeh, dan bermukim di Kampung Bukang, Banjor, Kembereh, Gerai, Kalam, Simpang, Dua, hingga ke daerah Balaiberkuak.
Meskipun pusat pemerintahan Kerajaan Sukadana telah dipindahkan ke Desa Matan sejak masa kepemimpinan Panembahan Baroh, namun nama Kerajaan Matan baru dikenal pada era pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724),yang menegaskan bahwa pusat kerajaan berada di daerah Sungai Matan.Pada 1637,pusat pemerintahan Kerajaan Matan berpindah lagi,kali ini ke Indra Laya yang terletak di Sungai Puye,anak Sungai Pawan.Kemudian,kerajaan menjadi berpindah ke Kartapura,kemudian baru ke Desa Tanjungpura,dan terakhir pindah ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Setelah era pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin (1762-1819),raja terakhir Dinasti Matan,berakhir pusat pemerintahan kerajaan di pindah kan ke wilayah bernama Simpang,letaknya tidak seberapa jauh dari Matan,dan nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan. Sebelumnya, Kerajaan Kayong-Matan sudah terlebih dulu berdiri sebagai akibat dari perpecahan internal Kerajaan Matan. Maka kemudian di sepakatilah pembagian wilayah antara Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan dengan batas Sungai Pawan.Sebelah kiri Sungai Pawan adalah wilayah Kerajaan Kayong-Matan adalah di sebelah kanan sungai.Adapun batas-batas darat nya adalah sebagai berikut:
1.Di daerah Kubing Sei.Laur(Penggenting Asah).
2.Di desa Baya (Kematanan Agol).
3. Di Hulu Sei. Laur (Tembenang Pantap).
4. Sistem Pemerintahan
Pendiri Kerajaan Tanjungpura adalah Raja Brawijaya dari Majapahit.Dalam menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Tanjungpura, Raja Brawijaya di bantu oleh lima saudaranya yang masung-masing di daulat mengampu lima suku dengan pangkat,tugas,serta wewenang yang berbeda.Pertama adalah Maya Agung yang bertugas menerima setiap utusan yang datang ke kerajaan.Maya Agung merupakan hulubalang pertama atau bertindak sebagai wakil raja yang di beri kewenangan menangani urusan-urusan besar,termasuk perang dan menggelar upacara penobatan raja. Kedua adalah Mengkalang yang bertugas menangani hal-hal yang tidak bisa dilakukan raja dan Maya Agung. Suku ketiga di nama kan Priyayi atau Rerahi Muka Raja yang menjalankan fungsi nya sebagai pengisi kekosongan pemerintahan ketika raja wafat dan belum ada penggantinya.Suku keempat adalah Siring yang menjadi pengiring raja dan pemegang pusaka raja, istana, adat, dan sarana-sarana yang rusak. Kelima suku inilah yang berhak untuk menyelenggarakan proses pengangkatan dan penobatan raja. Ketika Kerajaan Tanjungpura berganti nama menjadi Kerajaan Sukadana,ajaran Islam mulai masuk dan perlahan-lahan menggeser agama Budha yang menjadi keyakinan Brawijaya pada era Kerajaan Tanjungpura,kendati keluarga kerajaan belum memeluk Islam.Perkembangan ajaran Islam yang dibawa pedagang-pedagang Arab dari Palembang pada permulaan tahun 1500 bertambah pesat pada masa pemerintahan Panembahan Baroh, meski raja ini juga belum memeluk Islam.
Pada masa ini, penyebutan raja mulai diganti dengan gelar gusti.Gelar di lingkungan kerajaan bukanlah menunjukkan kastar/kelas, sosial namun cendrung merujuk pada ikatan kekerabatan yang menganut garis laki-laki atau dari keturunan bapak (patriarki) sementara, panembahan pertama yang memeluk agama Islam adalah Giri Kesuma atau Gusti Aliyuddin atau Panembahan Sorgi (1590-1604) yang menggantikan Panembahan Baroh. Pada masa inilah, keberadaan calon Kerajaan Matan sudah merintis pondasi dan sudah mulai beberapa di samping sisa-sisa Kerjaan sebelumnya, yatu Kerajaan Sukadana, yang masih berdiri.
Memasuki pertengahan abad ke-18, penjajah Belanda mulai turut campur dalam pemerintahan kerajaan pada masa Sultsn Muhammad Jamaluddin yang menjadi raja terakhir Kerajaan Mantan sebelum mendirikan Kerajaan Simpang –Mantan, sementara Kerajaan Kayong berdiri  di bawah pimpinan saat Gusti  Irwan dengan geler Sultsn Mangkurat. Belanda mulai membangun tangsi-tanagsi militer di wilayah Kerajaan Simpang-Matan seerta menjadi kan daerah Sukadana sebagai basias kekuatan dan pertahanannya dalam mengusai daerah-daerah pantai selatan di Kalimantan Barat .
Perkembangan selanjutnya adalah belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan Sultan Simpang.Mantan dengan kedok menawarkan jasa kepada Sultan untuk mengurusi wilayah Kerajaan Simpang-Matan yang terlalu luas.Tawaran ini diterima oleh Sultan Muhammad Jamaluddin hingga akhir nya Belanda berhasil menguasai Kerajaan Simpang-Matan.Sejak saat itu,pengaruh Belanda semakin kuat dan selalu mencampuri urusan-urusan internal kerajaan kendati beberapa kali terjadi perlawanan dari orang-orang kerajaan untuk menangkal pengaruh Belanda,seperti perlawanan Gusti Panji bergelar Penambahan Suryaningrat (raja keempat Kerajaan Simpang-Matan),Patih Kampung Sepuncak (Hulubalang I),Uti Usma,Gusti Muhammad Shalehan,Gusti Hamzah,dan lain-lain nya.
Pada era pendudukan militer Jepang yang mengusur kolonialisme Belanda 1942, rakyat serumpun Kerajaan Mantan mengalami masa masa mengcekam akibat kekejaman Jepang Tanggal 23 April 1943,Jepang menangkap raja raja di Kalimantan Barat dan nyaris semuanya dibunuh.Gusti Mesir,Sultan Kerajaan Simpang Mantan beruntung dapat lolos dari pembunuhan massal itu.Akan tetapi,nasip tragis menimpa Gusti Muhammad Saunan, yang memimpin Kerajaan Kayong-Matan sejak tahun 1922.Penambahan Mata terakhir ini meninggal dunia tahun 1943 sebagai korban fasismi Jepang.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, wilayah yang semula di bawah kuasa kerajaan dihimpun dalam suatu daerah pemerintahan yang di sebut swapraja dan di bentuklah suatu majelis yang bernama Majelis Pemerintahan Kerajaan (MPKM) sebagai pengampu pemerintahan adat. Pada akhirnya, seiring dengan terbentuknya pemerintahan di daerah-daerah pasca penyerahan kedaulatan dari Belanda kepemerintah Reppublik Indonesia tahun 1949, wilayah kerajaan ini dilebur dan diserahterimakan kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Barat dengan dihapuskannya swapraja berdasarkan Undang –undang No.27 tahun 1959 tertanggal 4 Juli 1959, dan Intruksi Gubernur Kepala Daerah Perovinsi Kalimantan Barat tertanggal 29 Fepbruari 1960 No.376/Pem-A/1-6.   




E. Sejarah Peradaban Islam di Sangggau
1. Sejarah
Sanggau adalah nama sebuah Kabupaten di Kalimantan Barat yang terletak tidak begitu jauh dengan kota Pontianak. Sebelum berubah menjadi Kabupaten, di wilayah Sanggau berdiri suatu kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke 4 masehi. Penyebutan “Sanggau” sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh di tepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni Sungai Sekayam. Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin oleh Dara Nante, seorang perempuan Ninggrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat mencari suaminya yang bernama Babai Cinga. Namun ada juga pendapat yang meyakini bahwa nama “Sanggau” diambil dari nama Suku Dayak Sanggau, sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Babai Cinga. Suami dara Nante, Babai Cinga ditemukan melalui sebuah sayembara yang diselenggarakan oleh Dara Nante di sebuah perkampungan Dayak di Tepi sungai Entabai yang bernama “Tampun Juah”.

2.   Masa Awal Kerajaan Sanggau  
Dalam perjalanan menyusuri Sanggau Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu dengan orang-orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih Bardat dan Patih Bangi. Rombongan Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha menemukan sebuah tempat yang bernama Tampu Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu bergabung dan bersama-sama mengarungi Sungai Sekayam. Di Tengah perjalanan, ternyata di aliran Sungai Sekayam terdapat dua cabang anak sungai. Rombongan besar ini kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang dikenal dengan nama Sungai Entebai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante dan Suku Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai Entebai, berkah Dara Nante karena di tempat itulah ia dapat menemukan Babai Cinga.
Tampun Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya saku-suku bangsa Dayak dari berbagai klan yang bermigrasi dari banyak daerah asal. Setelah beberapa saat menetap di Tampun Juah, rombongan Patih Bardat dan Patih Bangi memutuskan untuk meneruskan perjalanannya menuju hulu Sungai Kapuas.
Dara Nante tidak menetap selamanya di Tampun Juah karena Dara Nante memutuskan untuk pulang ke Sukadana dan kembali menyusuri Sungai Sekayam. Namun ditengah perjalanan, tepatnya di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau. Rombongan dara Nante sendiri sebelumnya pernah singgah di Labai Lawai dalam perjalanan pertama  mereka ketika mencari Babai Cinga.
Hingga kini, di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah peninggalan Kerajaan Sanggau, yakni berupa batu-batu keramat yang dinamakan Batu Dara Nante dan Batu Babai Cinga. Batu-batu itu menancap di tanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut dengan memberikan kerajaan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut. Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan sebagai penguasa kerajaan Sanggau yang pertama.
Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan pucuk pimpinan Kerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang bernama Dakkudak. Namun, Dakkudak ternyata tidak mampu menjalankan amanat Dara Nante dengan semestinya. Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya dengan baik. Akibat kondisi yang kian terjepit dan tidak menguntungkan, Dakkudak kemudian memilih angkat kaki dari Kerajaan sanggau dan pergi menuju ke daerah Semboja dan Segarong.
Kepergian Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat. Kelanjutan riwayat Kerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak dalam diketahui dengan pasti, namun, pada tanggal 1485 M, seorang perempuan yang masih memiliki garis keturunan dengan Dara Nante, bernama Dayang mas Ratna (1485-1528 M), dinobatkan sebagai penguasa Sanggau. Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke mengkiang, sebuah tempat yang terletak di muara Sungai Sekayam. Dalam menjalankan pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernma Nurul Kamal  atau Abdurrahman, keturunan Kyai Kerang dari Banten. Meski Nurul Kamal diduga kuat adalah seorang muslim, namun belum diketahui apakah Kerajan Sanggau sejak masa pemerintahan Dayang Mas Ratna juga telah bercorak Islam.
Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang perempuan, bernama Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1528-1569 M). Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama Abang Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu. Selain itu, masih pada era pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan Sanggau telah menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sintang yang saat itu dipimpin oleh Raja Juhair atau Jubair. Jadi, dalam hal ini sebenarnya masih ada hubungan darah (famili) antara raja-raja Kerajaan Sanggau dengan raja-raja Kerajaan Sintang.
Selanjutnya, Kerajaan Sanggau dipimpin oleh seorang raja yang bernama Abang Gani dengan gelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M). Pada era ini, Kerajaan Sanggau terlibat perkara dengan Kerajaan Matan (Tanjungpura). Kasus ini bermula dari perkawinan puteri Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan seorang penguasa dari Kerajaan Matan. Namun, beberapa tahun setelah perkawinan itu, terdengar kabar bahwa Raja Matan telah menikah lagi. Oleh karena itu, pihak Kerajaan Sanggau bermaksud untuk menjemput Dayang Seri Gemala dari Kerajaan Matan. Melalui berbagai perundingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan Sanggau, akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara Damai. Warga Kerajaan Sanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka cita.
Setelah Raja Abang Gani wafat pada tahun 1614 M, tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau diserahkan  kepada putra mahkota yang bernama Abang Basun dengan gelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M). Pemerintahan Pangeran Mangkubumi Pakunegara mendapat dukungan penuh dari saudaranya, bernama abang Abon dengan gelar Pangeran Sumabayan, dan sepupunya yang bernama Abang Guneng.

3.      Eksistensi Kesultanan Sanggau
Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah pangeran Mangkubumi Pakunegara adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690 M. Abang Bungsu adalah anak lelaki pangeran Mangkubumi Pakunegara dari istri ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Pengangkatan Abang Bungsu menjadi raja dilakukan karena kedua istri Pangeran Mangkubumi yang lain tidak bisa memberikan anak laki-laki. Abang Bungsu dinobatkan sebagai raja Sanggau dengan gelar Sultan Muhammad Jamaluddin Kusumanegara. Menilik nama dan penyebutan gelar yang diselamatkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan bahwa pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam. Dengan demikian nama Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi kesultanan Sanggau, sesuai dengan pemerintahan khas Islam.
Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang, ketempat yang sekarang menjadi kota Sanggau. Akan tetapi masih banyak keturunan Abang Bungsu yang tetap bertahan di Mengkiang. Konon Abang Bungsu atau Sultan Mohammad Jamaluddin pernah berkunjung ke Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Sultan Mohammad Jamaluddin membawa pulang oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang diberi nama Bujang Juling, Dara kuning, dan Dara Hijau.
Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad Jamaluddin mangkat. Tahta Kerajaan Sanggau dijabat oleh anak sulungnya, bernama Abang Kamaruddin atau Abang Saka bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M). Dalam mengelola pemerintahan, Sultan Akhmad dibantu oleh adiknya yang bernama Penembahan Ratu Surya Negara. Kedua putera almarhum Sultan Muhammad Jamaluddin ini saling bekerja sama untuk memajukan Kesultanan Sanggau. Sultan Akhmad Kamaruddin berperan sebagai kepala pemerintahan dan menyandang gelar Gusti, sedangkan Panembahan Ratu Surya Negara, yang memperoleh gelar Ade, diangkat sebagai penasehat kesultanan sekaligus membawahi daerah perairan atau kawasan pesisir laut. 
Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin menderita sakit. Ketika Sultan Akhmad Kamaruddin dalam kondisi lemah karena sakitnya itu, Panembahan Ratu Surya Negara berkali-kali datang menghadap sang kakak agar tahta pemerintahan Kesultanan Sanggau diserahkan kepadanya. Awalnya, pemerintahan itu tidak dianggap secara serius oleh Sultan Akhmad Kamaruddin, namun karena Panembahan Ratu Surya Negara terus-menerus mendesak, maka akhirnya Sultan menyerahkan tahta kepada sang adik. Pada tahun 1722 M, Panembahan Ratu Surya Negara dinobatkan menjadi Sultan Sanggau dan bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M). Selain itu, karena sebelum dinobatkan Panembahan Ratu Surya Negara selalu bertanya kepada kakaknya kapan ia bisa naik tahta menjadi raja, maka ia mendapat julukan Abang Sebilang Hari.
Pascawafatnya Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin. Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin.
Pergantian Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai pemimpin Kesultanan Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M) dari daerah darat dan bertahta di Istana Beringin. Pada masa ini, terjalin hubungan akrab antara   Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Hal ini dibuktikan dengan pemberian sebuah meriam yang dinamakan “Genter Alam” kepada Kesultanan Sanggau dari Sultan Kadria Pontianak. Sebagai hadiah balasan, Pangeran Ratu Surya Negara mengirimkan balok-balok kayu belian yang kini masih tersimpan di Istana Kesultanan Kadriah Pontianak.
Hubungan antara Kesultanan Sanggau dan  Kesultanan Kadriah Pontianak mulai retak pada tahun 1778 M. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak saat  itu berambisi melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya. Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kesultanan Sanggau sekaligus menguasai jalur perdagangan Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Kadriah Pontianak mendirikan benteng yang namanya Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau.
Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta Kesultanan Sanggau kembali beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Panembahan Mohammad Thahir 1 Surya Negara (1762-1785 M). Selanjutnya, Kesultanan Sanggau dipimpin oleh Pangeran Usman (di Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812). Pada masa pemerintahan Panembahan Usman Paku Negara, Kerajaan Sanggau menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sekadau melalui ikatan perkawinan. Ratu Godok, puteri Panembahan Usman Paku Negara, menikah dengan Raja Sekadau. Di sisi lain, pada tahun 1812, terjadi lagi perselisihan antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Kali ini, Kesultanan Sanggau dapat menghalau serangan dari Kesultanan Kadriah Pontianak.   
      Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggau beralih kepada Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823 ) dari Istan Kuta. Era pemerintahan Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara berkhir pada tahun 1823 dan di gantikan oleh wakil dari Istana Beringin, yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kerajaan Sanggau sampai tahun 1828. Pada masa pemerintahannya, Sultan Ayub menggagas pembangunan Masjid Jami’ Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun 1826. Selain itu, Sultan Ayub memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk.
      Saudara Sultan Ayub, bernama Ade Akhmad, naik tahta menjadi Sultan Sanggau dengan gelar Panembahan Mohammad Kusuma Negara. Penobatan Ade Akhmad yang notaben masih berasal dari pihak Istana Beringin itu disebabkan karena calon Sultan dari Istana Kuta masih kecil dan belum cukup umur untuk memimpin Kesultanan Sanggau. Setelah Ade Akhmad atau Panembahan Mohammad Kusuma Negara wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga Istana Kura yang naik tahta, yakni Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1875). Panembahan Mohammad Thahir II pernah merumuskan batas-batas wilayah hukum antara kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei. Namun., tanda batas yang telah dibuat Panembahan Mohammad Thahir II tersebut kini belum dapat dilacak dan ditemukan.
Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah Kesultanan Sanggau didatangi bangsa Belanda pada awalnya, kedatangan Belanda disambut dengan baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau Belanda memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon untuk diinginkan menetap di Sanggau. Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh oleh Panembahan Mohammad Thahir II. Dengan demikian, Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di wilayah Kesultanan Sanggau.
Panembahan Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 maret 1876. Kedudukannya sebagai Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Sejak saat inilah roda pemerintahan di Kesultanan Sanggau mulai dipengaruhi oleh hegomoni belanda, termasuk dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan kedudukan seorang sultan, serta berbagai perjanjian yang dilakukan antara pihak Kesultanan Sanggau adalah Belanda.
Pada tahun 1877, misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai penyewaan tanah Kesultanan Sanggau oleh Belanda, yang ditandatangani oleh Gubenur Jederal Hindia Belanda J.W. van Lansberge (1875-1881) serta pihak Kesultanan Sanggau yang diwakili oleh Sultan Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh (Mangkubumi), Pangeran Ratu Mangku Negara (Raja di Semerangkai), Pangeran Mas Paduka Putera (Raja di Balai Karangan), dan Pangeran Adi Ningrat selaku (Menteri Kesultanan Sanggau). Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam disewakan kepada Belanda.
Setelah Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara meninggal dunia pada tahun 1908, tampak pemerintahan Kesultanan Sanggau diteruskan oleh Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya  Negara (dari Istana Kuta) yang berkuasa sampai tahun 1915. Pemangku tahta Kesultanan Sanggau berikutnya adalah pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (dari Istana Beringin). Era Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara  berakhir pada tahun 1921 setelah beliau dipensiunkan oleh Belanda. Belanda yang telah berhasil masuk kedalam setiap kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian menobatkan Panembahan Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin Kesultanan Sanggau yang selanjutnya. Kekuasaan Panembahan Thahir III Surya Negara bertahta hingga tahun 1941 dan digantikan oleh Gusti Mohammad Arif Paku Negara dari pihak keluarga Istana Beringin.
Pada tahun 1942, Belanda menerah kepada Jepang. Sejak itulah masa pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk diwilayah Kesultanan Sanggau, dimulai. Era kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun karena pada tahun 1942 beliau ditangkap dan kemudian dibunuh oleh tentara Jepang. Sepeninggalan Gusti Mohammad Arif Paku Negara, atas campur tangan pemerintah penduduk Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau. Ade Marhaban Saleh sejatinya juga berhasil dari pihak Istana Beringin. Namun kondisi ini menjadi hal yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak pemerintah militer Jepang. Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih dari keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944. Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau pada saat-saat terakhir pendudujan Jepang di Indonesia.
Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun pada bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggau. Oleh karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bernama Rierker untuk menempati posisi sebagai Asisten Residen di wilayah Sanggau. Rieker, yang datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari singgasana Kesultanan Sanggau dan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai penggantinya. Penembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana Kuta.
Tahta penembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahta hingga Sanggau diubah menjadi daerah swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir. Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima pemerintahan Swapraja Sanggau kepada M. Th. Djama selaku Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sanggau. Sejak saat inilah riwayat Kesultanan Sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara  dinobatkan sebagai Sultan Sanggau. Acara agung itu dihadiri oleh beberapa tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Baharuddin dari Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah dari Istana Ismayana, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin
4. Wilayah Kekuasaan
Meski bukan sebuah kerajaan yang besar, namun Kesultanan Sanggau juga memiliki beberapa wilayah pendudukan. Pada masing-masing dari daerah taklukan Kesultanan Sanggau tersebut ditempatkan seorang penjabat yang ditunjuk oleh Sultan Sanggau. Daerah-daerah yang disebutkan sebagai bagian dari wilayah pendudukan Kesultanan Sanggau tersebut diantaranya adalah Semerangkai, Balai Karangan, Tanjung Sekayam, dan sejumlah daerah lainnya
Secara umum, wilayah Kerajaan atau Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda dengan wilayah Kabupaten Sanggau, Propinsi Kalimantan Barat, pada masa sekarang. Hal tersebut terlihat ketika pembentukan Kabupaten Sangguau yang mengacu kepada wilayah Swapraja Sanggau, sementara Swapraja Sanggau dahulu Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak ditengah-tengah dan berada di bagian utara Kalimantan Barat. Sebelah utara Sanggau berbatasan dengan Srawak (Malaysia), sebelah selatan dengan Kabupaten Ketapang, sebelah barat dengan Kabupaten Landak, dan sebelah timur dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau.
a.      Peninggalan Kebudayaan di Sanggau
Adapun peninggalan Kebudayaan pada masa kerajaan Islam diSanggau yaitu.
1)      Kompleks Istana Kuta
Pengertian komplek Istana Kuta yang dimaksud adalah bekas bangunan utama dan pendukung Kesultanan Kuta, baik yang berfungsi sebagai admistratif  Kesultanan maupun urusan kemasyarakatan.

2)       Masjid Jami’
Posisi awal Masjid Jami’ ini berada antara Rumah Laut dan Rumah besar, hingga pada abat 18 posisi bangunan ini dipindahkan kepinggir Sungai Kapuas.
3)      Istana Kuta
Secara umum bentuk dan kondisi bangunan ini dalam keadaan baik hal ini dikarnakan usia bangunan yang relatif mudah dibandingkan dengan istana Kuta, mengingat terbentuknya Istana akibat dari sistem pemerintahan Belanda (abat 18) pada saat itu yang ingin mendapatkan kekuasaan mutlak melalui pihak istana. Jadi secara sistem tata pemerintahan peradaban Islam diSanggau mengenal istilah kesultanan. Ini artinya secara politik Islam sudah mulai teintenalisasi dalam kehidupan istana Sanggau. Selain itu keberadaan masjid Jami’ juga menjadi bukti bahwa Sanggau sdah melahirkan peradaban Islam.Bahkan keberadaan Masjid menjadi semacam center aktifitas sosial keagamaam masyarakat Sanggau
b. Sejarah Peradaban Islam di Sintang
1. Sintang di Masa Hindu
Sejarah awal Kerajaan Sintang dimulai ketika seseorang bernama Aji Melayu datang kedaerah Kujau sekitar abad ke 4 M. Kedatangan Aji Melayu ternyata membawa kebudayaan Hindu masuk ke ranah Melayu Kalimanta Barat, khususnya didaerah Sintang. Di Kujau, Aji Melayu mengawini seorang gadis bernama Putung Ke empat dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Dayang Lengkong.
Setalah beberapa lama menetap di Kujau, Aji Melayu berpindah ke Nanga Sepauk hingga meninggal di sana dan dimakamkan di Tanah Tanjung, daerah Muara Sungai Sepauk. Setelah Aji Malayu meninggal, berturut-turut penguasa Nanga Sepauk adalah Dayang Lengkong, Dayank Randung, Abang Panjang Demo Karang (berkuasa sekitar abat ke 7 M), Demong Kara, kemudian Demong Irawan. Pada masa Demong Irawan bekuasa, Kerajaan Sintang resmi berdiri, yaitu sekitar abat ke 13 (+-1262 M).
Sebelum mendirikan Kerajaan Sintang, Demong Irawan melakukan pengembaraan dengan menyusuri Sungai Kapuas yang akhirnya sampai kedaerah pertemuan antara Sungai Kapuas dan Melawi yang disebut daerah Nanga Laway. Di daearah ini kemudian di dirikan permukiman yang berkembang menjadi sebuah kerajaan yang kemudian di kenal sebagai Kerajaan Sintang. Raja pertama Kerajaan Sintang adalah Demong Irawan yang bergelar Jubair I ( +_ 1262 M ).
Berdirinya Kerajaan Sintang yang kala itu masih becorak Hindu ternyata sanggup menarik penduduk sekitar daerah Nanga Laway untuk datang dan mendirikan permukiman baru. Berkembangnya permukiman disekitar Nanga Laway ternyata menarik perhatian Patih tahun 1275 M.
Kedatangan Patih Logender beserta pengikutnya disambut baik oleh Jubair  I. Bahkan Patih Logender diizinkan untuk tinggal di Kerajaan Sintang, diangkat menjadi penasehat, dan dikawinkan dengan putri Jubair I yang bernama Dara Juanti. Setelah Jubair I meninggal pada tahun 1291 M, Dara Juanti naik tahta menjadi raja di Kerajaan Sintang, sedangkan Patih Logender tetep dijadikan penasehat raja.  
              Tidak jelas siapa raja pengganti setelah Dara Juanti. Hanya saja sekitar tahun 1640 M terdapat raja bernama Abang Samad yang memerintah Kerajaan Sintang. Setelah Abang Samad turun tahta, berturut-turut posisi raja ditempati oleh Jubair II, Abang Suruh, Abang Tembilang, Pangeran Agung ( 1715- 1725 M ), dan Raden Purba.
               Raja terakhir ketika Kerajaan Sintang masih dalam pengaruh Hindu adalah Raden Purba. Raden Purba memerintah di Kerajaan Sintang sampai sekitar akhir abad ke- 18, bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam Kerajaan Sintang dan Kapuas Hulu. Sebelum meninggal, disebutkan bahwa Raden Purba telah memeluk agama Islam.

c.       Masuknya Islam di Sintang
Proses masuknya budaya Islam ke Kalimantan Barat, termasuk ke Kerajaan Sintang, diyakini melalui aliran Sungai Sambas, kemudian menyebar ke Singkawang, mempawah, dan Pontianak dengan menyusuri Sungai Kapuas. Selanjutnya, penyebaran dilakukan melalui Sungai Landak masuk ke daerah Tayan, Sintang, dan Nanga Pinoh. Dari daerah Sintang, dakwah Islam menyusuri Sungai Kapuas sampai daerah Putussibau. Penyebaran ini berlangsung sekitar tahun 1500-1800 M.
Pengaruh Islam mulai masuk ke Kerajaan Sintang ketika Kerajaan ini diperintah oleh Raden Purba. Setelah Raden Purba meninggal, tahta kesultanan Sintang dipegang oleh Adi Nata bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa’adul Khairriwaddin. Sultan Nata merupakan putera dari Mangku Malik dan Nyai Cilik (adik Pangeran Tunggal).
Pemerintahan Sultan Nata ditandai dengan berbagai macam perubahan yang sifatnya mendasar. Perubahan paling signifikan adalah bergantinya bentuk kerajaan menjadi Kesultanan dan Penyusunan undang-undang Kesultanan. Undang-undang Kesultanan Sintang tersebut memuat tata kehidupan masyarakat Sintang dan adad istiadadnya.
Pengganti Sultan Nata adalah Ade Abdurrahman yang bergelar Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin atau biasa dikenal dengan nama Sultan Aman (1150-1200 H). Pemerintahan Sultan Aman ditandai dengan kewajiban menanam padi di setiap pedesaan, pemantawan hasil kerja rakyat oleh kepala kampung setiap satu bulan dan melaporkan kepada raja muda. Raja muda adalah golongan bangsawan yang diangkat sebagai wakil pemerintahan pusat di daerah bawahan.
Pada tahun 1200 H, Sultan Aman meninggal dunia. Kepemimpinan di Kesultanan Sintang diteruskan oleh puteranya yang bernama Ade Abdurrasyid yang bergelar Sultan Abdurrasyid. Selanjutnya Sultan Abdurrasyid mengangkat adiknya yang bernama Raden Machmud sebagai mangkubumi.
            Masa pemerintahan Sultan Abdurrasyid dikenal sebagai masa perkembangan dunia keilmuan (khususnya kesusatraan) dan kesenian. Keterbukaan  terhadap pengaruh luar, dalam hal ini kesusastraan dan kesenian, memungkinkan perkembangan di kedua bidang ini terealisasi di Kesultanan Sintang.Perkembanagan ilmu kesusastraan Islam di wilayah Kesultanan Sintang masuk melalui Selat Malaka, Serawak, dan Pontianak.
            Perkembangan tersebut tidak lepas dari campur tangan para pedagang yang membawa pula beberapa karya sastra dalam perdagangan. Beberapa kitab kesusatraan yang turut serta dibawa antara lain Hikayah Amir Hamzah, Hikayah Umarmayah, Hikayah Landahor, Syair Yatim Mustafa, dan Kitab Tajul Muluk.
              Kekuasaan Sultan Abdurrasyid berakhir dengan meninggalnya beliau pada tahun 1795 M. Pengganti kedudukan Sultan Abdurrasyid adalah Ade Noh,  putra Sultan Abdurrasyid yang dinobatkan dengan gelar Pangeran Ratu Ahmad Kamaruddin (Sultan Ahmad Kamaruddin). Untuk membantu menjalankan pamerintahan, Sultan Ahmad Kamaruddin mengangkat putera dari Raden Machmud (adik Sultan Abdurrasyid) yang bernama Adi Muhammad Djoen sebagai mangkabumi.

d.      Wilayah Kekuasaan
        Pada masa pemerintahan  Demong Irawan yang bergelar Jubair (1262-1291 M),Kekerajaan Sintang mulai memperluas wilayah kekuasaannya.Kerajaan yang awalnya berpusat di Nanga Lawai (suatu tempat pertemuan antara Sungai Kapuas dan Melawi),kemudian diperluas ke daerah Sepauk , Tempanak , dan Melawi dengan menempatkan wakilnya di bawah kekuasaan Kekerajaan Sintang.Sebagai lambang penaklukan , Jubair I membuat batu peringatan Kekerajaan Sintang yang disebut dengan “Batu Kundur”.Batu Kundur tersebut terletak di depan bekas istana Kerajaan Kampung     Tanjung Ria , Sintang (sekarang Museum Daerah Sintang
       Pada masa pemerintahan Pangeran Tunggal, wilayah kekuasaan Kerajaan Sintang kembali di perluas. Perluasan wilayah kekuasaan tersebut meliputi Sintang, Sepauk, Tempunak, Jetak, Dedai, Gandis, Kayan, Nanga Mau, Nanga Tebidah.
       Perluasan wilayah kekuasaan yang telah di lakukan oleh Pangeran Tunggal, di lanjutkan ketika Kesultanan Sintang di perintah oleh Sultan Nata. Perluasan tersebut meliputi wilayah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu sampai perbatasan daerah Serawak, daerah Melawi, ( Nagah Pinoh, Menungkung, Serawai sampai Ambalau yang berdekatan dengan perbatasan Kalimantan Tengah ).
7.Kehidupan Sosisal Budaya
        Pada masa pemerintahan raden Purba, pengaruh Islam mulai memasuki kehidupan sosial dan budaya, sehingga terjadi peroses saling mempengaruhi antar kebudayaan. Misalnya di bidang seni, pengaruh dari kebudayaan Islam merasuk kekehidupan istana dan masyarakat dengan masuknya alat musik, rebana, musik gambus, dan Tari Zatin.
        Pada masa pemerintahan Sultan Aman, setiap tahunnya diadakan perlombaan perahu bagi masyarakat Sintang yang belokasi di Sungai Kapuas. Perahu yang di lombakan adalah jenis perahu panjang yang sanggup memuat 60 orang, di tambah dengan seorang pengemudi di belakang dan seorang pawai yang duduk di depan sambil memukul gong untuk  memberikan semangat bagi para pengayuh perahu.
        Penduduk di Kesultanan Sintang juga mengembangkan industri kerajinan rumah tangga. Para penduduk mengembangkan kerajinan mengukir peti kayu dan menenun dengan benang yang bersal dari serat nanas. Penduduk juga telah mengenal teknik pewarnaan benang dengan menggunakan getah kayu atau biasa di sebut oleh penduduk setempat dengan istilah jernang. Selain itu, para penduduk juga mengembangkan kerajinan menganam rotan dengan hasil produksi seperti bakul, keranjang, tudung saji, tengkalang, ( tempat menyimpan pakaian ), renjong dan tikar rotan.
         Akhir dari tulisan ini, dapat di tarik benang merah, bahwa Kerajaan Islam di ketapang berawal dari kerajaan Tanjung Pura yang awalnya menganut agama Hindu yang didirikan oleh Brawijaya yang berasal dari maja pahit yangb akhirnya agama Islam masuk sedikit demi sedikit menggeser agama Budha pada saat kerajaan Tanjung Pura berganti nama menjadi kerajaan Sukadana yang din bawa oleh pedagang-pedagang arab.
         Adapun kerajaan Sanggau ini tidak jauh halnya dengan kerajaan Ketapang yang mana kerajaan Sanggau memiliki banyak peninggalan kerajaan seperti komplek istana Kuta yang berfungsi sebagai administratif kesultanan dan urusan kemasyarakatan, ada juga masjid jami’ , dan istana Kuta.
         Sejarah yang sama juga terjadi pada kerajaan Sintang awal mulainya bercorak Hindu yang budanya dibawa oleh Aji Melayu yang kemudian berkembang. Dan pada akhirnya setelah Raden Purba berkuasa, agama Islam mulai masuk dan berkembang sehingga mengubah sistem kerajaan Sintang menjadi Kesultanan.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa peradaban Islam di Ketapang, Sanggau dan Sintang merupakan hasil metamorfosis dari peradaban Hindu yang pada gilirannya mengambil visi progress membentuk tatanan sosial Islam dengan sistem Kesultanan dan budaya baru yang syarat dengan nilai-nilai Islam. 
DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. Raja Garfindo Persada
Wahab as-sambasi, sejarah peradaban Islam,  2012 STAIN Pontianak Press
Zulkifli, sejarah peradaban Islam, 2011, STAIN Pontianak Press

                                                                              



Tidak ada komentar:

Posting Komentar